Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

QIYAS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Dr. Asep Suryanto., S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh :

(Kelompok 5)

Neng Dewi Salmah Lailatus Syarifah 231002057

Muhammad Gesta Nugraha Fauzi 231002058

Ayu Dwi Lestari 231002070

Suci Noor Aisah 231002083

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS SILIWANGI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Qiyas” ini, tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas dari Bapak Dr. Asep Suryanto., S.Ag., M.Ag. pada mata kuliah Ushul
Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Qiyas baik bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik.

Tasikmalaya, Agustus 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1


B. Permasalahan.........................................................................................2
C. Rumusan Masalah..................................................................................3
D. Tujuan....................................................................................................3
E. Kegunaan Makalah................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...................................................................4

A. Pengertian Qiyas.....................................................................................4

B. Rukun-rukun Qiyas.................................................................................4

C. Macam-macam Qiyas..............................................................................6

BAB III PENUTUP...........................................................................9

A. KESIMPULAN......................................................................9
B. SARAN..................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai agama yang sempurna yang dibawa oleh nabi terakhir, setelah nabi
menutup usia, Islam kelanjutannya diemban oleh para sahabat dan generasi
setelahnya. Maka setiap permasalahan yang datang mereka berhukum pada al-
Quran dan Hadis Nabi juga melalui ijma shahabat begitu juga melalui ijtihad
sahabat karena hal ini seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi
maka muncul pula permasalahan-permasalahan baru di tengah-tengah
masyarakat. Seiring dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru, Islam
memberikan cara atau petunjuk kepada para mujtahid untuk menginterprestasikan
hukum-hukum yang bersifat global sehingga dapat diterapkan pada permasalahan-
permasalahan dimasanya. Dengan kata lain kita memperkenalkan pokok-pokok
yang dijadikan landasan atau sumber hukum. Selain al-Qur'an, sunnah dan ijma',
ada pula qiyas (analogi). Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum
dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan baru yang timbul dan
mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada
yaitu al-Qur'an, sunnah dan ijma'. Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya,
barulah metode qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan
yang sudah jelas nash hanya pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya
kesamaan dalam 'illat hukumnya. Dasar pemikiran qiyâs itu ialah adanya kaitan
yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang
ibadat, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan
hukum yang rasional itu oleh ulama disebut "Illat". Di samping itu, dikenal pula
konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang
diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam
hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. Meskipun Allah SWT. hanya
menetapkan hukum terhadap satu dari dua hal yang bersamaan itu, tentu

ii
hukum yang sama berlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal
itu tidak menyebutkan hukumnya.

B. Permasalahan

1. Minum khamer adalah suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan dengan
nash, yaitu haram. Ditunjukkan oleh firman Allah Swt (QS. Al-Ma’idah 5:90)

َ ‫يٰ ٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ اٰ َمنُوْ ٓا اِنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َوااْل َ ْن‬
َ‫صابُ َوااْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل ال َّشيْطٰ ِن فَاجْ تَنِبُوْ هُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬

Artinya : Sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala,


mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu. (QS. al Maidah: 90), dengan illat
memabukkan. Maka semua hasil perasaan (minuman) yang mempunyai illat
memabukkan, hukumnya disamakan dengan khamer dan haram diminum.

2. Jual beli pada saat adzah hari Jumat adalah peristiwa yang hukumnya
ditetapkan dengan nash, yaitu makruh. Ditunjukkan oleh firman Allah Swt (QS.
Al-Jumu’ah 62:9)

‫ي لِلصَّلٰو ِة ِم ْن يَّوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا اِ ٰلى ِذ ْك ِر اللّٰ ِه َو َذرُوا ْالبَ ْي َعۗ ذٰلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
َ ‫يٰ ٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ اٰ َمنُوْ ٓا اِ َذا نُوْ ِد‬
َ‫تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. (QS. al Jumuah: 9), karena ada illat kesibukan yang
melupakan shalat. Sewa menyewa, gadai, atau akad mu'amalah apa saja pada saat
adzan shalat Jumat memiliki illat ini, yaitu kesibukan yang melupa kan shalat,
maka hukum akad-akad tersebut disamakan dengan jual beli dan makruh
dilakukan pada saat adzan shalat.”

Pada semua contoh di atas, peristiwa yang tidak mempunyai nash dalam
hukumnya disamakan dengan peristiwa yang mempunyai nash dalam hukumnya,
karena memiliki kesamaan dalam illat hukumnya. Menyamakan hukum antara dua
kejadian karena memiliki illat hukum yang sama, menurut istilah ahli ilmu ushul
fikih, disebut kia

ii
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qiyas?
2. Apa saja rukun-rukun Qiyas?
3. Apa saja macam-macam Qiyas?

D. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Qiyas
2. Untuk mengetahui rukun-rukun Qiyas
3. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas

E. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan agar memberikan kegunaan baik
secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, makalah ini berguna sebagai
pengembangan konsep pengetahuan tentang Qiyas yang dapat bermanfaat untuk
meningkatkan pemahaman mengenai Pengertian Qiyas, Rukun-rukun Qiyas, dan
Macam-macam Qiyas. Secara teoritis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi
penyusun maupun pembaca dalam kehidupan sehingga mampu memahami
tentang Qiyas.

ii
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Qiyas
Qiyas secara etimologis adalah mengukur, membanding sesuatu dengan
semisalnya. Qiyas menurut istilah ahli ushul fiqih adalah menyamakan suatu
hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang
sudah memiliki nash hukum, sebab sama dengan illat hukumnya. Sedangkan
menurut terminoogi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang
saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah :

1. Al-Ghazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui


dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan
hukum atau peniadaan hukum.

2. Abu Hasan Al-Bashri

Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui


karena dalam kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkan (mujtahid).

3. Abu Zahrah

Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash hukumnya karena


keduanya berserikat dalam illat hukum.

Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada


pada urutan keempat setelah al-Qur'an, hadis, dan ijma. Bagi ulama yang
menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut memiliki alasan yang kuat
baik dari nas maupun dari akal

B. Rukun-rukun Qiyas

Qiyas merupakan kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an


dan Sunnah. Qiyas dilakukan oleh mujtahid dengan meneliti alasan logis (illat)

1
2

dari rumusan hukum. Dan setelah diteliti ternyata terdapat pula illat yang sama
pada perkara yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Jika terbukti ada
kesamaan illat-nya maka dapat dipastikan hukumnya juga sama. Atas dasar proses
diatas maka untuk melakukan qiyas ada empat rukun yang harus dipenuhi oleh
qiyas, yaitu :

a. Al-ashlu, yaitu suatu yang sudah ada hukumnya dalam nash. Al-ashlu disebut
juga maqis alahi (yang dijadikan ukuran) atau mahmul alaihi (yang dijadikan
tanggungan) atau musyabbah bih (yang dibuat keserupaan), contohnya tentang
khamar. Sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh ashal :

1. Ashal bukan merupakan faru’ dan ashal lainnya.


2. Ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
3. Dalil yang menetapkan illat pada Ashal tidak bersifat khusus, artinya
tidak dapat dikembangkan.

b. Al-far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Tetapi hukumnya
dapat dihubungkan dengan al-ashlu. Al-far’u disebut juga al-maqis (yang diukur)
atau al-mahmul (yang dibawa) atau al-musyabbah (yang diserupakan). Contohnya
minuman wiski. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh far’u :

1. Illat-nya sama dengan illat yang ada pada ashal, baik zatnya maupun
pada jenisnya.
2. Hukum far’u tidak mendahului hokum ashal, maksudnya hokum far’u
itu harus datang kemudian setelah hokum ashal.
3. Tidak ada nash atau ijma yag menjelaskan hokum far’u itu
bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian maka status qiyas
bisa bertentangan dengan nash atau ijma, disebut oleh ulama ushul
sebagai qiyas fasid (qiyas yang rusak).

c. Hukum ashal, yaitu hukum syara' yang ada nasnya sebagai pangkal hukum
bagi cabang contohnya keharaman khamar. Menurut Abu Zahra sebagaimana
dikutip oleh Satria Effendi," ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
menetapkan hukum ashal:
3

1. Hukum ashal itu adalah hukum syara' dan hukum yang akan ditetapkan
kepada cabang itu juga harus berupa hukum syara' yang berhubungan
dengan perbuatan, karena yang menjadi objek kajian ushul fiqh adalah
amal perbuatan. Maka jika terjadi perbedaan seperti hukum ashal-nya
hukum syara' tetapi hukum yang akan ditetapkan kepada cabang itu
bukan hukum syara' maka qiyas seperti ini tidak sah.
2. Hukum ashal itu dapat ditelusuri illat hukumnya. Misalnya, hukum
khamar itu haram. Maka keharaman khamar dapat ditelusuri, yaitu
karena memabukkan dan dapat merusak akal pikiran. Hukum ashal
bukan hukum yang tidak diketahui illat hukumnya seperti jumlah
bilangan shalat,
3. Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad
SAW, seperti kebolehan Nabi menikahi lebih dari empat istri sekaligus.
4. Illat (sebab), illat atau sifat yang ada pada hukum ashal.

C. Macam-macam Qiyas

Ulama ushul di antaranya al-Amidi dan al-Syaukani," mengemu kakan


bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi yaitu:

a. Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu:

1. Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum. Dan
hukum yang disamakan (cabang) mempunyai kekuatan hukum yang lebih utama
dari tempat menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata kepada kedua orang tua
dengan mengatakan "uh", "eh", "buset", atau kata-kata lain yang menyakitkan ini
hukumnya haram. Sesuai dengan firman Allah QS. al-Isra/17 ayat 23

‫ك ْال ِكبَ َر اَ َح ُدهُ َمآ اَوْ ِكلٰهُ َما فَاَل تَقُلْ لَّهُ َم ٓا اُفٍّ َّواَل‬
َ ‫ك اَاَّل تَ ْعبُ ُدوْ ٓا ِااَّل ٓ اِيَّاهُ َوبِ ْال َوالِ َد ْي ِن اِحْ سٰنًاۗ اِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِع ْن َد‬ ٰ َ‫َوق‬
َ ُّ‫ضى َرب‬
‫تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُلْ لَّهُ َما قَوْ اًل َك ِر ْي ًما‬

Artinya : “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain


Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
4

sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan


janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik”. Dengan demikian, berkata "uh" saja tidak boleh apalagi
memukulnya karena memukul tentu lebih menyakitkan.

2. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum


yang sama antara hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada furu"
(cabang). Contohnya keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman
Allah dalam surat an-Nisa/4 ayat 10.

‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ اَ ْم َوا َل ْاليَتٰٰمى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا ۗ َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


aniaya, maka sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam perutnya
dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala.”

3. Qiyas Adna, yaitu illat yang ada pada far'u (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan illat yang ada pada ashal (pokok). Misalnya sifat
memabukkan yang terdapat dalam minuman keras seperti bir itu lebih rendah dari
sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang di- haramkan
oleh al-Qur'an

b. Dilihat dari segi kejelasan illat hukum.

Dari segi ini qiyas terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Qiyas jaly, yaitu qiyas yang illat-nya ditegaskan oleh nash bersamaan
dengan penetapan hukum ashal, atau illat-nya itu tidak ditegaskan oleh nas, tetapi
dapat dipastikan bahwa tidak ada pengaruh dari perbedaan antara ashal dan furu'.
Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi musafir laki-laki dan perempuan
untuk mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun di antara keduanya terdapat
perbedaan (kelamin). Tetapi perbedaan ini tidak memengaruhi terhadap kebolehan
wanita mengqashar shalat. Illat-nya adalah sama-sama dalam perjala- nan. Dan
meng-qiyas-kan memukul kedua orang tua kepada larangan berkata "ah" seperti
pada contoh qiyas aulawi di atas.
5

2. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nas.
Contohnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan menggunakan benda berat
kepada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam pemberlakuan
hukum qiyas, ka- rena illat-nya sama-sama yaitu pembunuhan dengan sengaja.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya
dengan hukum perkara lain yang sudah ditetapkan oleh nash, karena adanya
persamaan dan illat (alasan) hukum, yang tidak bisa diketahui dengan semata-
mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui dillah-dilalah bahasanya. Dengan
demikian qiyas bisa dipandang sebagai proses berfikir dalam rangka
mengeluarkan hukum (istimbath), disamping itu qiyas juga sebagai salah satu
dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum oleh suatu kaidah kekuatan dan
kebenarannya.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak


kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
agar penyusunan makalah di kemudian hari dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga
apa yang telah dituliskan dalam makalah ini bisa menambah pengetahuan dan
wawasan para pembaca.

1
DAFTAR PUSTAKA

SUMBER :

Dinata, M. F. (2020). Qiyas sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-


Ilmu, 5(2), 168-181.

Shidiq, S. (2017). Ushul fiqh. Kencana.

Naya, F. (2017). Membincang Qiyas sebagai metode penetapan hukum


Islam. Jurnal Syariah dan ekonomi Islam, 11, 175-177.

Syarifudin, H. A. (2014). Ushul Fiqih Jilid I (Vol. 1). Prenada Media.

Al-Qur’an dan Terjemahannya Kementerian Agama Republik Indonesia

10
10

Anda mungkin juga menyukai