Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

QIYAS DAN PEMBAGIANNYA


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Jurusan : Pengatar filsafat B
Dosen Pengampu : Muslih, MH

Disusun Oleh Kelompok 11 (kelas B)


Wahyu Rangga Putra (2282110063)
Meysha Dwi andiyani (2282110062)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjat-kan kepada Allah S.W.T serta shalawat dan
salamn kita sampaikan hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi Muhamad S.A.W.
Di Antara sekian banyak nikmat Allah S.W.T yang membawa kita dari kegelapan
ke dimensi terang yangmemberi hikmah yang paling bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, sehingga oleh karenanyakami dapat menyelesaikan tugas Bahasa
Indonesia ini dengan baik, dan tepat waktu.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
salahsatu tugas yang diberikan oleh bapak muslih MH selaku dosen matakuliah
Pengantar Filsafat. Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai hambatan,
namun berkat dukungan materil dan segala bentukdukungan lainnya dari berbagai
pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengancukup baik, oleh
karena itu melalui kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih
sebagai penghargaan kepada semua pihak terkait yang telah membantu
terselesaikannya tugas ini.

Segala sesuatu yang salah datangnya hanya dari manusia dan seluruh hal yang
benardatangnya hanya dari dari Allah SWT dan Agama kita, meski begitu, tentu
tugas ini masih jauhdari kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik
yang membangun dari semua pihaksangat kami harapkan demi perbaikan pada
tugas selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi
kami dan bagi pembaca lain pada umumnya.

Cirebon, 2 September 2022

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………3
A.Latar Belakang…………………………………………………………………………..3
B.Rumusan Masalah………………………………………………………………………..3
C.Tujuan……………………………………………………………………………………3

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………..4
A.Pengertian Qiyas…………………………………………………………………………4
B.Rukun Qiyas……………………………………………………………………………...6
C.Pembagian Qiyas………………………………………………………………………...10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
A.Kesimpulan………………………………………………………………………………12
B.Saran……………………………………………………………………………………...12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Sumber-sumber hukum islam tidak terbatas hanya pada al-qur’an dan sunnah saja. Meski
pun kita sepakat bahwa al-qur’an adalah wahyu dan as-sunnah juga bersumber dari wahyu,
namun dalam kenyataannya ketika kita menarik keimpulan hukum, masih banyak sumber-
sumber hukum diluar al-qur’an dan as-sunnah.
Sebenarnya masih ada dua sumber utama lagi, yaitu ijma’ dan qiyas. Dan sebenarnya masih
banyak lagi sumber hukum lainnya seperti al-mashalih, al-mursalah, al-istihhab, saddu adz-
dzari’ah, al-‘urf, qoul shahabi atau mazhabu ash-shashabah, amalu ahlil madinah, syar’u man
qoblana, al-istihsan, al-‘urf dan lainnya.
Tetapi yang empat yaitu al-qur’an, as-sunnah, ijma dan qiyas adalah sumber hukum yang
telah di sepakati secara bulat oleh semua ulama dan semua muzhab. Walaupun dalam
menerapkan bisa aja mereka berbeda-beda.

B.RUMUSAN MASALAH
1.Apa yang dimaksud dengan qiyas?
2. Sebutkan rukun qiyas?
3.Apa saja pembagian qiyas?

C.TUJUAN
1.Untuk mengetahui apa itu qiyas
2.Untuk memahami apa saja rukun qiyas
3.Untuk mengetahui pembagian qiyas

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN QIYAS

Pengartian qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits, dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang
di tetapkan hukumnya nash. Mereka juga membuat definisi lain : “Qiyas adalah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena
adanya persamaan illat”.1
Dengan cara qiyas itu bererti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hokum sesuatu
kepada sumber al-Qur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash
al–Qur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut.
Mengenai qiyas ini Imam Syafi’I mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum
dan ummat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya
yang pasti, maka harus di cari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihat. Dan ijtihat itu adalah
Qiyas”.
Jadi hukum islam itu adakalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni hukum-hukum
yang jelas tersurat dalam al-Qur’an dan Hadits, ada kalanya harus digali melalui kejelian
memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu dapat diperoleh melalui
pendekatan Qiyas.
Sebagaimana diterangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tak ada
nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada
persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hokum analogi terhadap
hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hokum yang
sama pula. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan di tetapkan berdasarkan penelaran
yang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis
berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis
itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara masalah tersebut,
maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.

Pendekatan rasional sesuai dengan prinsip-prinsip syillogisme, yakni dalam upaya mencari
sesuatu kesimpulan dari dua macam premis itu harus berpegang pada prinsip analogi tersebut,
bahwa persamaan illat akan melahirkan persamaan hukum.

1
Ahmad Sarwat, LC., MA. Qiyas Sumber Hukum Syariah Keempat. Hal 12 Katalog dalam terbit (KDT)

4
Kita menjumpai bahwa al-Qur’anjuga mempergunakan sifat dan perbuatan. Demikian
juga al-Qur’an menjelaskan perbedaan hokum karna tidak adanya persamaan sifat dan
perbuatan. Untuk yang disebut pertama, Contohnya adalah firman ALLAH :

َ‫ض أَ ْم نَجْ َع ُل ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫ت َك ْال ُم ْف ِسدِينَ فِي ْاْل َ ْر‬ َّ ‫أَ ْم نَجْ َع ُل الَّذِينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬
]٣٨:٢٨[ ‫ار‬ ِ ‫َك ْالفُ َّج‬
Artinya : Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh
sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami
menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?

Dengan penjelasan di atas kita mengetahui, bahwa al-Qur’an itu sesuai sekali dengan
prinsip berfikir rasional: menyamakan sesuatu karna adanya faktor persamaan dan
membedakan sesuatu karna adanya faktor persamaan dan membedakan sesuatu karna adanya
faktor prbedaan. Hadits Rasulullah memberikan pembenaran terhadap prinsip pengambilan
hukum semacam itu, malah pernah di ajukan kepada para sahabat sebagai pedoman
pengambilan hukum. Seperti Hadits di bawah ini yang artinya:
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab pernah berkata kepada nabi SAW: “Hai Rasulullah, aku
melakukan perbuatan yang besar, mencium (istri) dan saya dalam keadaan berpuasa”. Lantas
Rasulullah berkata kepadanya : berikan jawaban kepadaku, bagaimana seandainya kamu
berkumur dengan air, sedang kamau dalam keadaan berpuasa ?” Umar menjawab: “Tidak
mengapa” Kemudian rasulullah bersabda: “Lanjutkan puasamu”

Dari Hadits tersebut, kita melihat bahwa, Rasulullah menghubungkan antara berkumur
(dengan air dan dalam keadaan berpuasa) dengan mencium istri dengan cara membandingkan
keduannya. Dua hal tersebut mengandung dua kemungkinan: antara membatalkan dan tidak
membatalkan puasa. Memang berkumur dan mencium itu sendiri tidaklah termasuk katagori
membatalkan puasa, tetapi boleh jadi hal yang membatalkan puasa. Dengan cara
membandingkan dua hal tadi, akan melahirkannkesamaan hukum. Apabila berkumur tidak
membatalkan puasa (dan Umar mengetahui hal itu), maka demikian halnya dengan mencium,
tidaklah membatalkan puasa.

Imam al-Muzani, salah seorang sahabat Imam Syafi’I menyimpulkan pandangannya


tentang qiyas dan sikap sahabat mempergunakan qiyas dengan ungkapan yang indah, sebagai
berikut:
Para ahli hukum dari masa Rasulullah hingga sekarang selalu mempergunakan qiyas dalam
setiap masalah hokum agama. Dan mereka sepakat bahwa, sesuatu yang setara dengan hak
adalah hak, dan setara dengan bathil, bathil pula. Maka tidak di benarkan seseorang
mengingkari kebenaran qiyas, sebab iya berupaya mempersamakan (menganalogikakan)
masalah dan membandingkannya.

5
Sejalan dengan pendapat diatas, Ibnul Qayim mengatakan, bahwa lintas pengambilan
hukum itu seluruhnya bertitik tolak pada prisip persamaan antara dua hal serupa dan pada
prinsip dua hal yang berbeda. Apabila dibalik prinsip tersebut tidak mempersamakan antara
dua halserupa, niscaya pengambilan hukum akan menjadi tertutup.

Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada beberapa ulama yang berselisih
paham dengan ulama jumhur, yakni mereka tidak mempergunakan qiyas. Di dalam ahli fiqih
terdapat tiga kelompok dalam hal qiyas ini seabagai berikut:

1. Kelompok jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hokum pada hal-hal yang tidak
jelas nasnya baik dalam al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. Hal itu
dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.

2. Madzhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, yang sama sekali tidak mempergunakan qiyas.
Mazdhab Zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuannya nash, termasuk menyingkap alasana-alasannya guna menetapkan
sesuatu kepastian hokum yang sesuai dengan ‘illat. Mereka membuang itu jauh-jauh dan
sebaliknya, mereka menetapkan suatu hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian
mereka mempersempit kandungan lafadz; tidak mau memperluas wawasan untuk mengenali
tujuan legeslasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karna
persamaan ‘illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas
sebagai pentakhsish dari keumuman dalil al-Qur’an dan hadits.

B. RUKUN QIYAS
Bedasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum satu peristiwa yang tidak
ada naashnya dengan hukum satu peristiwa yang ada nashnya karena “illat serupa”, maka
pembagian rukun qiyas ada 4 macam, yaitu:

1. Al-Ashl
Kami berpendapat bahwa pengertian al-Ashl ialah sumber yang menjelaskan hukum yang
di pergunakan sebagai qiyas dan far’ (cabang) atau yang mempunyai sasaran hukum.
Sebagaimana kalau kita berbicara tentang sasaran hukum, temtu tidak terlepas dari sumber
hukum itu sendiri, jadi dua pengertian di atas saling menguatkan.

6
Menurut sebagian besar ualama fiqh, sumber hukum yang di pergunakan sebagai dasar
qiyas harus berupa nash, baik nash al-Qur’an, Hadits maupun ijma’. Jadi, tidak boleh
mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang di tetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasrkan:
1. Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segal hukum. Sedang sumber hukum
yang lain apapun bentuknya berdasrkan nash tersebut. Dengan begitu nash hukum itu harus
dijadikan sebagai dasar bangunan qiyas.
2. Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat
adanya ‘illat. Dengan menggunakan pahaman isyarat kita dapat menemukan ‘illat.
3. Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang pada al-Qur’an dan Hadits.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum
yang di tetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas
menunjukan hukum. Hukum ijma’ menetapkan adanya kewalian terhaadap harta milik anak
kecil, baik laki-laki maupun perempuan. Melalui qiyas hak paksa wali dalam perkawinan dapat
di persamakan dengan hukum ijma’ tersebut. Demikian juga hukum ijma’ menetapkan seorang
gadis dewasa berhak mengugatnya. Berdasarkan hukum ijma’ tersebut, melalui qiyas tak
seorangpun berhak memaksa gadis dewasa kawin dengan calon suami yang tak
dikehandakinya..
Sebagaimana kajian logika murni, begitu pula kajiam fiqh islam. Kebenaran dharuriy
dalam logika murni, induk dari cabang-cabang ilmu aqli sama dengan sumber-sumber hukum
asal, yaitu al-Quran Sunnah dan ijma’ dalam hukum islam. Para ulama sudah sepakat
menetapkannya sebagai sumber asal hukum islam. Melalui kaidah methodologis, ketetapan
hukum asal itu dijadikan sebagai dasar qiyasdari kasus hukum pertama it di jadikan sebagai
dasar qiyas bagi kasus hukum berikutnya yang berdekatan. Maka yang lebih baik tentunya
mengembalikan qiyas kepada sumber
asal yang pertama yaitu nash-nash hukum apabila tidak sesuai dengan ‘illat hukum pada
sumber asal yang pertama, maka qiyas bagi kasus-kasus berikutnya tentu batal, tidak sah,
sebab ‘illat bukan berupa sifat yang mempengaruhi ketetapan hukum.
Sebagai contoh ialalah pengqiyasan “beras” dengan “gandum” sebagaimana tertera dalam
hadits tentang riba yang artinya sebagai berikut:
Artinya: “(Jual beli) gandum dengan gandum harus sepadan dan spontan, demikian juga
(jual beli) gandum dengan biji gandum harus sepadan dan spontan”.

Maka jual beli beras hasrus sesuai pula dengan peraturan jual beli gandum; sepadan dan
spontan. Kemudian apabila ada komsumsi lain, minyak misalnya diqiyaskan dengan “beras”
(bukan kepada aasal gandum) dengan pertimbangan bahwa keduanya sama-sama barang
konsumsi dan barang tahan timbun, maka yang lebih utama ialah mengqiyaskan “minyak”
dengan “gandum”, bukan kepada “beras”, yang sesama hukum far’(cabang) karena ternyata
tidak di temukan titik persamaan ‘illat antara hukum far’ (cabang) da nasal, maka upaya
menyamakan hukuk kembar dari ‘illat yang berbeda tersebut dinyatakan batal, tidak sah.

7
2. Al-Hukm
Salah satu rukun qiyas ialah al-Hukm ialah hukum ketetapan nash, baik al-Qur’an maupun
Hadits, atau hukum ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggap sebagai sumber hukum
asal) yang hendak di transfer pada kasus-kasus hukum baru karna adanya usnur-unsur
persamaan.
Penentapan hukum asal kepada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara
keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
1. Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena
itulah yang menjadfi sasaran atau obyek fiqh Islam, dalam karangka luas.
2. Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na).
Hukum rasional ialah suatu hukum yang dapat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau
setidak-tidaknya mengandung isyarat sebab-sebab itu. Sebagai contoh ialah: diharamkannya
minuman khamar dan judi; memakan bangkai dan harta atau hak milik orang lain: penggelapan
dan suap-menyuap. Semua ketetapan hukum diatas dapat di tangkap alasan-alasnnya oleh akal.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal,
Seperti hukum tentang tayamum dan jumlah rakaat shalat. Oleh karnna itu, disini tidak berlaku
hukum qiyas.

3. Al-Far’
Rukun qiyas ketiga adalah al-far’ (cabang). Al-Far’ kasus yang hendak diketahui
hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-Far’ atau kasus baru itu harus memenuhi
dua persyartan:
1. Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sebab, qiyas tidak
berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan
kasus hukum baru yang belum ada nashnya kepada hukum yang sudah ada nashnya. Oleh
sebab itu tidak logis menetapkan hukum 1qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada
nashnya. Dalam hal ini, para ulama menunjuk kekeliruan yang dilakukan salah seorang ulama
Andalusia ketika memberi jawabn atas seorang khalifah tentang kafarat jima’ siang hari
Ramadhan. Dia menjawab: kafaratnya ialah berpuasa 60 hari. Padahal telah ada ketetapan
hukum dari hadits Rasulullah bahwa kafarat jima’ pada siang hari Ramadahan ialah
memerdekakan seorang budak, dan apabila tidak ia temukan barulah berpuasa 60 hari. Ulama

Ahmad Sarwat, LC., MA. Qiyas Sumber Hukum Syariah Keempat. Hal 51 Katalog dalam terbit (KDT)

8
Andalusia tersebut mendahulukan kafarat puasa dari memerdekakan budak, berdasarkan qiyas
kemaslahatan.
Demikanlah, oleh karena ia memiliki banyak budak yang tak terhitung banyaknya,
sang ulama tadi khawatir, khalifah terus tidak pernah berpuasa dan cukup dengan
memerdekakan seorang budakuntuk setiap hari. Hal demikian merupakan qiyas dalam hukum
yang sudah jelas nashnya.
Menurut hemat kami, ulama Andalusia itu telah melakukan kekeliruan, bukan hanya
menentang ketegasan nash, tetapi cara menerapkan qiyas dalam menentukan ‘illatnya. Bahkan
alasan maslahat dalam menetapkan hukum kafarat berpuas 60 hari menurut sang ulama lebih
kuat di banding kemaslahatan kafarat memerdekan budak, sebab ‘illat berupa mendidik agar
kapok itu lebih kuat dalam hukuman berpuas 60 hari. Kami berpendapat bahwa membebaskan
30 orang budak dari status perbudakan lebih bermamfaat menurut umum di banding dengan
berpuas 60 hari. Oleh sebab itu, tujuan syr’I (Allah) membebaskan perbudakan lebih penting
dibandimg dengan mendidik melalui puasa.

2. Syarat kedua, ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya
dengan ‘illat hukum asal. Apabila ‘illat dilarang meminum minuman khamar itu
‘memabukan’, maka setiap minuman atau makanan yang memabukka sama hukumnya dengan
khamar, yaitu haram. Sebaliknya, apabila minuman ataupun makanan itu tidak memabukkan,
misalnya sekedar membuat orang pusing, baik factor orang yang meminum atau factor
makanan atau minuman yang bersifat sementara selam tidak memabukkan, maka makanan dan
minuman tersebut tidak haram, seperti khamar, Alasannya: tidak adanya kesamaan ‘illat.
Mkanan dan minuman jenis ini memeng tidaklah memabukkan, berbeda dengan khamar yang
mempunyai sifat yang tetap memabukkan.

4. ‘ILLAT
‘Illat ialah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah
menegaskan bahwa ‘illat merupakan rukun qiyas dan ladasan dari bangunan qiyas. Sebagian
ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan sesuai dengan hukum.
Sebagai contoh ‘memabukkan’sebagai ‘illat minum khamar, atau pembunuhan sengaja dengan
pedang sebagai ‘illat qishash, sebab tindak pidana yang di ancam dengan hukuman qishash
(hukuman setara) ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.
Karena pembunuhan sengaja dengan senjata api bisa di qiyaskan dengan pembunuhan
memakai pedang, maka kedua-duanya sama-sama di ancam dengan hukuman qishash.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa asas qiyas mencari ‘illat yang terkandung dalam nash.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami
berpendapat, dalam memandang maslah ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
1. Golongan pertama (madzhab Hnafiah dan jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti
memiliki ‘illat. Selanjutnya merka mengatakan: “sesungguhmya sumber hukum asal adala
‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.

9
2. Golongan kedua beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali
ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
3. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) tidak adanya ‘illat hukum. 1
Golongan pertama (ulama yang beranggapan bahwa nash hukum pastiber’illat) terbagi lagi
dalam dua kelompok: kelompok yang menetapkan ‘illat nash dengan sifat lahir yang sesuai
sekaligus mundhabith (tepat); dan kelompok yang menetapkan ‘illat nash hanya dengan sifat
yang sesuai saja, tampa me0mperhatikan unsur mundhabith. Sifat sesuai adalah hikmah
pensyari ‘atan nash. Kelompok pertama ialah dari golongan jumhur ulama ushul, dan
kelompok kedua adalah suatu kelompok dari golongan Malikiyah dan hambaliah, dengan
tokohnya Ibnu Taimiyah dan muridnya. Ibnu Qayim dan Ibnu Taimiyah menjelaskan
pendapatnya itu dalam kitapnya Risalah-al Qiyas.

C. PEMBAGIAN QIYAS
Qiyas, dilihat dari segi tingkatannya ada tiga yaitu:

1. Qiyas Aulawi
Yaitu tujuan penetapan yang menjadi ‘illat hukum terwujut dalam kasus furu’ lebih kuat
dari ‘illat hukum dalam hukun asal. Sebagai contoh ialah sabda Rasulullah : “Sesungguhnya
Allah mengharamkan darah orang mukmin dan berprasngka kepadanya kecuali dengan
prasangka baik”. Dari hadits ini dapat di ketahui, bagaimana hukumnya berprasangka tidak
baik kapeda orang mukmin. Kemudian apabila hanya hal yg baik-baik saja yang boleh
disangkakan terhadap orang mukmin, maka bagaimana hukum memperbincangkan hal-hal
yang tidak baik terhadapnya. Tentu lebih dilarang. Inilah yang di namakan qiyas Aualawi.

2. Qiyas Setara
Yaitu sifat hukum yang dianggap sebagai ‘illat dalam kasus hukum furu’
sama kuatnyadengan ‘illat dalam hukum asal, sebagaimana mengqiyaskan budak (laki-laki)
terhadap amat (budak perempuan) dalam separuh hukuman dari hukuman orang merdeka,
berdasarkan firman Allah yang artinya: “Dan apabila telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mereka mengerjakan perbuataang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”.
Berdasarkan qiyas, budak-budak yang mengerjakan perbuatan zina diancam dengan
separoh hukuman dari hukuman laki-laki merdeka yang beristri.
Namun demikan, sebagaian besar ulam berpendapat bahwa ketetapan hukum tersebut
bukanlah hasil pendekatan qiyas, tetapi pendekatan pemahaman ibarat nash langsung.
Pandangan ini di ambil oleh aliran kontra qiyas (nufatul qiyas) yang mengatakan: “Ketetapan
hukum tersebut, sesungguhnya merupakan sisi persamaan pria dan wanita dalam tanggung
jawab hukum, kecuali ada dalil nash hukum yang menetukan berbeda”

Ahmad Sarwat, LC., MA. Qiyas Sumber Hukum Syariah Keempat. Hal 52 Katalog dalam terbit (KDT)

10
3. Qiyas Naqish

Iyalah dimana wujud ‘illat dalam hukum furu’ kurang tegas, sebagaimana dalam
hukum asal, seperti ‘illat ‘memabukan’ bagi minum-minuman yang di buat dari anggur.
Alasan memabukan pada minuman tersebut tidak sekuat pada khamar, sebab sebab untuk
memahami nash hukum secara tepat, harus mengetahui ‘illat hukumnya pula. Dan untuk itu
‘illat harus di buktikan secara nyata.

Qiyas, dilihat dari segi unsur persamaan furu’ kepada hukum asal.
Imam Syafi’i membagi qiyas kedalam dua bagian antara lain:
1. Qiyas ma’na

Ialah qiyas di mana unsur persamaan yang menjadi sandaran qiyas antara hukum asal
dan furu’ itu tunggal. Hal ini disebabkan karena makana dan tujuan hukum furu’ sudah
tercakup dalam
kandungan hukum asal, sebagaimana tiga macam qiyas yang telah di jelaskan di atas.
Kandungan hukum furu’ sudah merupakan bagian dari pengertian hukum asal.

2. Qiyas Syabah

Ialah qiyas dimana kasus furu’ yang ketentuan hukumnya ditetapkan dengan cara
merujuk kepada hukum asal yang ada nashnya itu mempunyai beberapa unsur persamaan
dengan beberapa hukum asal. Dalam maslah ini, seorang mujtahid harus menentukan furu’
dan hukum asal yang lebih dekat serta lebih sesuai denagan tujuan pembuat hukum (Syar’i).
Sebagai contoh ialah minuman yang terbuat dari perasan tebu. Kalau ingin tahu hukumnya,
kita harus kembali kepada hukum asal. Dalam hal ini terdapat beberapa hukum asal yang bisa
menjadi sandaran: apakah kepada khamar dengan pertimbangan bahwa perasan tebu pada
tahab tertentu bisa memabukkan? Atau kepada minuman biasa yang mubah dengan
pertimbangan bahwa menurut tabiatnya,perasan tebu tidak memabukan?
Mengenai qiyas syabah ini, Imam Syafi’i menjelaskan: “Pada kasus hukum furu’ yang
memiliki banyak hukum asal yang serupa sebagai sandaran, maka harus di cari yang lebih
tepat dan lebih banyak unsur persamaannya. Pada proses ini, banyak terjadi perselisihan
pendapat di kalangan para ahli fiqh”. (ar-Risalah, tahqiq A. Syakir, hal. 479).
Untuk qiyas syabah ini, Imam Syafi’i telah mengemukakan beberapa contoh, antara
lain: Kasus jual beli budakyang cacatnya di sembunyikan kemudian cacat itu di ketahui oleh
pembelinya setelah beberapa saat dipekerjakan dan dipungut hasil kerjanya. Dalam kasus ini,
Rasulullah memutuskan bahwa bagi pihak pembeli berhak mengambalikan budak tersebut
karena cacatnya kepada pemiliknya semula dan ia berhak memiliki hasil kerja budak tersebut
sebagai tanggungan biaya perawatan. Bedasarkan ketetapan hukum diatas, Imam Syafi’i

11
mengqiyaskan setiap tambahan yang berkembang, misalnya buah korma, susu hewan, bulu
halusnya dan anak-anaknya, semua itu menjadi milik pembeli dengan catatan apabila
perkembangan tersebut terjadi setelah tranksaksi jual beli dan sebelum ada pembatalan karena
suatu cacat misalanya seaba barang-barang tersebut masih manjadi tanggung jawab pembeli.
Berbeda halnya dengan Imam Syafi’i, ulama lain tidak menyamakan nilai tambah
tersebut dengan kerja dan nilai kerja budak sebagaimana dinyatakan dalam hadits, sebab nilai
tambah tersebut sangat berkait dengan barang pokoknya (kalau barang pokok di kembalikan,
hasil pembiakan dan tambahannya juga disertakan). Oleh karna itu pendapat Syafi’i sesuai
dengan sumber asal yang menyatakan: “al-kharajad bil dhaman” (ha katas) suatu penghasilan
itu harus dengan hak milik.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara dalam hal yang
nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Ada dua macam cara
penggunaan ra’yu yakni penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan
ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana
disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dan sebab.

12
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan
kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak dijelaskan hukumnya
oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan
hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus lain tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah,maka setiap muslim
meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat
dilihat secara jelas dalam nash syara namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep
mumatsalahperistiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang
ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang menggunakan
metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi).

B.SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber
pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa
kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sarwat, LC., MA (2019,September 24) qiyas sumber hukum syariah keempat diambil
kembali dari
https://books.google.co.id/books?id=2QixDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gb
s_atb#v=onepage&q&f=false

Ahmad Masfuful Fuad. “Qiyas sebagai salah satu metode istinbat al-hukm” Mazahib. 1 juni
2016
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat hukum islam. Bandung: Pustaka Setia. 2010.

13

Anda mungkin juga menyukai