Anda di halaman 1dari 24

MUTLAQ, MUQAYYAD, MUJMAL, DAN MUBAYYAN

OLEH :

KELOMPOK XI

ANDI FATIMAH ZAHRA


NIM. 622022021073

NINA RANDINA
NIM. 622022021074

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN BONE
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tanpa ridha dan petunjuk dari-
Nya mustahil makalah ini dapat kami rampungkan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
bapak selaku dosen pengajar mata kuliah Usul Fiqhi sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “MUTLAQ, MUQAYYAD,
MUJMAL, DAN MUBAYYAN”.
Kami berharap isi makalah yang berjudul “MUTLAQ,
MUQAYYAD, MUJMAL, DAN MUBAYYAN” bisa bermanfaat bagi
pembaca. Mohon untuk memaklumi jika terdapat penjelasan yang sulit
untuk dimengerti. Untuk itu penulis mengharapkan kritik maupun saran,
sehingga penulis bisa memperbaikinya dikemudian hari.
Terimakasih atas ketertarikan Anda untuk segan membaca makalah
yang penulis buat.

Watampone, 20 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

D. Manfaat Penulisan.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad................................................................3

B. Bentuk-bentuk Relasi Mutlaq dan Muqayyad..............................................4

C. Status Hukum Mutlaq Muqayyad.................................................................7

D. Pengertian Mujmal dan Mubayyan...............................................................8

E. Penyebab Mujmal.......................................................................................10

F. Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal dan Mubayyan..........................................12

G. Implikasi Hukum dan Kaidah Mujmal Mubayyan.....................................15

BAB III PENUTUP...............................................................................................19

A. Kesimpulan.................................................................................................19

B. Saran............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan pedoman asas bagi umat  islam.
Setiap tindakan orang muslim haruslah sesuai dengan tuntutannya atau
setidaknya tidak bertentangan dengan keduanya. Akan tetapi untuk
memahami maksud yang terkandung dalam kedua sumber asas tersebut
tidaklah semudah yang kita pikirkan, tetapi memerlukan ilmu dalam
membantu menjelaskan kesamaran dan menyingkap maksud al-Qur’an dan
al-Hadits. Salah satu ilmu tersebut adalah ilmu ushul fiqh.

Di dalam pembahasan usul fiqhi terdapat kaidah yang penting untuk


dipelajari seperti mutlaq, muqayyad, mujmal, dan mubayyan. Di dalam
pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal penting untuk
dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari mutlak
dan muqayyad akan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan sebuah ayat
atau kitab lainnya. Begitu pula dengan mujmal dan mubayyan, pembahasan
mengenai ini sangat penting karena untuk mendapatkan pemahaman yang
mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu makna perkataan
yang diteliti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mutlaq dan muqayyad ?
2. Apa bentuk-bentuk relasi mutlaq dan muqayyad ?
3. Apa status hukum mutlaq-muqayyad ?
4. Apa pengertian mujmal dan mubayyan ?
5. Apa saja penyebab mujmal ?
6. Apa bentuk-bentul lafadz mujmal dan mubayyan ?
7. Implikasi hukum dan kaidah mujmal-mubayyan ?

1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian mutlaq dan muqayyad.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk relasi mutlaq dan muqayyad.
3. Untuk mengetahui status hukum mutlaq-muqayyad.
4. Untuk mengetahui pengertian mujmal dan mubayyan.
5. Untuk mengetahui penyebab mujmal.
6. Untuk mengetahui bentuk-bentuk lafadz mujmal dan mubayyan.
7. Untuk mengetahui implikasi hukum dan kaidah mujmal-mubayyan.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari makalah ini adalah dapat menambah wawasan terhadap
kajian usul fiqhi seperti mutlaq, muqayyad, mujmal, dan mubayyan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad


Mutlaq secara etimologi bermakna bebas, dalam artian tidak ada
ikatan dengan sesuatu yang lainnya, sedangkan secara terminologi mutlaq
adalah lafadz yang datang dalam bentuk umum, tanpa mempunyai
sebarang keterbatasan atau had tertentu (taqyiid). Muqayyad secara
etimologi bermakna terikat dengan dalil-dalil sesuatu, sedangkan secara
terminologi Muqayyad adalah lafadz yang memiliki ikatan hukum atau
ketentuan yang menunjukan kepada sesuatu dengan keterbatasan dan
ikatan-ikatan tertentu.
Menurut Qattan, mutlaq adalah bacaan yang menunjukkan suatu
hakikat tanpa suatu qayid atau (pembatas) . Jadi mutlaq hanya mengacu
pada individu atau nomenlatur yang tak tertentu. Misalnya lafalz roqobah
dalam fatahriru roqobatin. ‫ فتحرير رقبة‬Artinya, maka wajib membebaskan
budak (Al Mujadalah, 58: 3). Pernyataan ini meliputi pembebasan seorang
budak tanpa terbatas mukmin atau kafir. Sementara itu, Muqayyad adalah
lafaz yang menunjukkan suatu nomenkaltur dengan batasan (qoyyid).
Seperi roqobah yang dibatasi dengan mukminah: fatahriru roqobatin
mu’minatin. ‫ فتحرير رقبة مؤمنة‬Artinya, maka hendaklah membebaskan budak
yang beriman (An Nisa, 4: 92).
Muhammad Alwi Maliki Al Husni, dalam bukunya, Zubdatul Itqon
fil Ulumil Quraan, menerangkan mutlaq adalah penunjuk tanpa batasan.
Al Husni merujuk pada pendapat banyak ulama bahwa ketika ditemukan
dalil dengan pembatasan, maka yang mutlaq disandarkan pada pembatas
itu, tetapi jika tidak ditemukan maka tidak berlaku pembatasan tersebut.
Maka posisi mutlaq dibiarkan dalam kebebasannya. Muqayyad, sementara
itu apa yang dibatasi atau disandarkan pada sesuatu. Semisal, kata aidiy
dalam perintah wudlu mendapat qoyyid ilal marofiqi. Begini definisi yang

3
diuraikan oleh Al Husni dalam kitabnya tersebut: ‫ على الدال قيد بال الماهية‬Segala
yang umum tanpa pembatas.
Dengan demikian pengertian muqayyad adalah segala sesuatu yang
memiliki pembatas. Contoh pada surat Albaqoroh dalam dialog Nabi Musa
dengan Bani Israil tentang perintah penyembelihan sapi.
‫ ان هلال يأمركم ان تذبحوا بقرة‬mereka diminta untuk menyembelih sapi
tanpa kualifikasi, tanpa spesifikasi tanpa atribut dan tanpa pembatas.
Namun kemudian mereka menanyakan spesifikasi sapi itu. Lalu,
dijelaskan spesifikasi sapi itu ‫ انها بقرة ال فارض وال بكر‬.

B. Bentuk-bentuk Relasi Mutlaq dan Muqayyad


Lima bentuk relasi mutlaq dan muqayyad menurut Rachmat Syafe’i
adalah sebagai berikut.
 Pertama, suatu lafaz diungkapkan dengan bentuk mutlaq dalam
suatu nash, tetapi di nash lain berbentuk muqayyad. Kondisi itlaq
dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum. Bentuk ini terjadi,
misalnya, dalam kasus adanya saksi dalam berwasiat, yaitu adil.
Adil menjadi syarat dalam saksi wasiat Tetapi dalam kasus jual beli
saksi tersebut di-mutlaq-kan. Sebab hukum wasiat dan jual beli
berbeda dalam dua nash ini.
 Kedua, lafah mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan
sebabnya. Bentuk ini seperti dalam kafarah atau penebus dosa
untuk sumpah yang tidak terlaksana. Lafaz ini dalam qiroah
mutawatir yang terdapat dalam mushaf Ustmani diungkapkan
secara mutlaq.
‫فمن لم يجد فصيا م ثالثة ايام ذالك كفارة ايمانكم اذا حلفتم‬
Artinya, barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu,
maka kafarahnya adalah puasa tiga hari jika kamu bersumpah
(Maidah, 5:89). Dalam mushaf Ibnu Mas’ud lafaz ‫ ايام‬dibatasi
dengan ‫ متتابعات‬Dalam hal seperti ini lafaz mutlaq dibawa ke

4
muqayyad. Pengertian lafal mutlaq dan muqayyad sama sebab yang
satu tidak akan menjadikan pertentangan yang lain.
Contoh lain yang bisa mempertegas bentuk relasi baik sebab
maupun hukum sama sebagaimana diuraikan di poin kedua iani
adalah pengharaman terhadap darah.
‫حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير وما اهل لغير هلال به‬

Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih bukan untuk Allah (Al Maidah: 3). Ayat tentang halal
haram konsumsi ini juga ditegaskan ulang di surat Al An’Am:
145):
‫قل ال اجد فيما احى الى محرما على طاعم يطعمه اال ان يكون ميتة او دما‬
‫مسفوحا او لحم حنزير‬...
Artinya, saya tidak menemukan di dalam apa yang saya dapatkan
dari wahyu tentang makanan diharamkan untuk dimakan kecuali
bangkai, darah yang mengalir, daging babi. Jika yang dimaksud,
dalam ayat di atas adalah darah. Maka darah yang mengucur adalah
haram. Dengan demikian darah yang berasal dari pembuluh vein
yaitu sisa-sisa yang masih menempel di daging hewan sembelihan
menjadi tidak haram.
 Ketiga, lafaz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash
berbeda baik dalam hukumnya maupun sebab hukumnya. Bentuk
ini bisa didapat dalam kasus tangan di nash hukuman bagi pencuri
dan nash dalam berwudlu. Dalam bermudlu. Lafaz ‫ ايدي‬dibatasi
dengan ‫ المرافق‬.
‫يا ايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصىالة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق‬
...
Artinya, wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menunaikan
sholat basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai ke siku (Al
Maidah: 6). Sementara dalam kasus hukuman mencuri berbentuk
mutlaq ‫ايديهما ف‬

5
‫ والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزائا بما كسبا نكاال من هللا‬...
Artinya, dan pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah
tangan keduanya sebagai balasan atas perbutan kedunaya sebagai
pelajaran dari Allah (Al Maidah: 38). Dalam kondisi ini mutlaq
tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena baik sebab maupun
hukumnya berbeda.
 Keempat, mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedang
sebabnya sama. Kasus atau bentuk ini terjadi dalam tangan dalam hal
wudlu dan tayamum. Dalam wudlu redaksi nash adalah.
‫فاغسلوا وجوهكم وايدىكم الى المرافق‬
Artinya Basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku (Al Maidah,
5:6). Sementara dalam nash untuk tayamum tidak dibatasi atau diberi
qoyyid.
‫فامسحوا بوجوهكم وايد يكم منه‬
Artinya sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu (Al
maidah, 5: 6). Karena sebabnya sama sebagian ulama terutama dari
kalangan Syafi’ yang membawa mutlaq ke muqayyad, tetapi
sebagian yang lain tidak. Mutlaq tetap mutlaq dan yang muqayyad
tetap muqayyad sehingga hukumnya menjadi berbeda.
 Kelima, mutlaq dan muqayyad sama hukumnya, tetapi berbeda
dalam sebabnya. Bentuk ini terdaat dalam kasus kasus kafarah
pembunuhan dan kafarah dzihar. Mutlaq dalam kasus dzihar dibawa
pada muqyaad pada kasus kafarah pembunuhan tidak sengaja.
Sebabnya berebeda tetapi hukumnya sama. Dalam kafarah
pembunuhan ada nash.
‫ومن قتل مؤمنا خطا فتحرىر رقبة مؤمنة‬
Artinya, Barangsiapa membunuh seorang mukmin tanpa terencana,
maka baginya membebaskan budak sahaya yang beriman (Annisa,
4:93). Dalam kasus kafarah dzihar sementara itu, tidak ada
muqayyadnya.

6
‫والذ ين يظاهرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل ان‬
‫يتماس‬
Artinya, dan mereka yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka
ingin menarik apa yang mereka ucapkan, maka wajib atas mereka
membebaskan hamba sahaya (Al Mujadilah, 58:3).

C. Status Hukum Mutlaq Muqayyad


Berdasarkan lima bentuk relasi menurut Rachmat Syafe’I
dikalangan ulama ada yang bersepakat dan tidak bersepakat.
1. Jika hukum dan sebabnya sama, seperti dalam kasus kafarah
puasa bagi seorang muslim yang mengingkari sumpahnya,
atau dalam pengharaman darah, maka para ulama sepakat
membawa lafazh mutlaq dibawa ke muqayyad.
2. Jika hukum dan sebabnya berbeda, seperti dalam kasus
tangan dalam batasan berwudlu dan batasan tangan yang
dipotong dalam kasus pencurian, maka para ulama sepakat
untuk tidak membawa mutlaq ke muqayyad. Ijmak ulama
memberlakukan mutlaq pada kemutlaq-annya dan muqayyad
pada ke-muqoyaad-annya.
3. Sebagaimana, pada hukumnya berbeda tetapi sebabnya sama,
seperti dalam kasus batasan tangan yang dibasuh wudlu
dengan batasan tangan yang diusap untuk tayamum, maka
para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafaz
mutlaq ke muqayyad. Masing-masing tetap pada ke-mutlaq-
annya dan ke-muqoyaad-annya.

Namun dalam kasus hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda,


seperti dalam kafarah dzihar dan pembunuhan tidak terenacana, masalah
ini juga diperselisihkan antara sebagian besar ulama dan Ulama hanafiah.
Menurut ulama Hanafiah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad.
Masing-masing berdiri sendiri. Konsekuensi hukumnya pada kasus zihar,
tidak mensyaratkan pembebasan hamba sahaya mukmin. Sebaliknya pada

7
jumhur ulama, disepakati wajib hukumnya membawa mutlaq pada
muqayyad. Dalam kasus ini ulama Syafiiayah memberi catatan, mutlaq
dibawa ke muqayyad apabila ada illah (alasan) atau hukum yang sama.
Caranya yaitu ditempuh dengan jalan qiyas.

Sebab terjadinya perselisihan atau cara memandang ayat-ayat yang


berbeda sehingga menghasilkan hukum yang berbeda. Bagi kalangan
Hanafiah, ayat demi ayat dan nash-nash itu berdiri sendiri dan masing-
⁵masing bisa menjadi hujjah. Maka pembatasan yang mutlak tanpa dalil itu
sendiri justru mempersempit yang tidak diperintah. Sedangkan jumhur
berpendapat bahwa ayat-demi ayat dalam satu Al Quran adalah satu
kesatuan yang saling berkaitan. Maka apabila ada satu kata yang
menjelaskan berarti hukum itu sama di setiap tempat kata itu berada.

D. Pengertian Mujmal dan Mubayyan


1. Pengertian Mujmal
Secara etimologi, al-Mujmal berarti global atau tidak terperinci,
secara umum dan keseluruhan atau bisa juga sekumpulan sesuatu tanpa
memperhatikan satu persatunya. Sedangkan menurut istilah, terdapat
beberapa redaksi yang diberikan beberapa ahli Ushul berikut ini.
Menurut Hanafiyah, mujmal adalah lafal yang mengandung makna
secara global dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat
diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, melainkan melalui
penjelasan dari pembuat syari’at yakni Allah SWT dan Rasulullah saw.
Sedangkan menurut Jumhur ulama ushul fiqh, mujmal adalah
perkataan atau perbuatan yang tidak jelas petunjuknya. Abu Ishaq al-
Syirazi (w.476 H) ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah, mujmal
adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau bila ada penafsiran
dari pembuat mujmal (Syari’). Selain itu, al-Bazdawi dalam kitab
ushul fiqhnya, mengajukan definisi mujmal yaitu ungkapan yang di-

8
dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang
dimaksud di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur).
Sementara itu, ada juga pengertian mujmal yang dikemukakan
Zakiuddin Sya’ban (guru besar dalam bidang syari’ah pada fakultas
hukum Universitas ‘Ayn Syams Mesir), yaitu lafal yang tidak bisa
dipahami maknanya kecuali dengan penafsiran dan penjelasan dari
penyampai atau pembuat lafal mujmal itu sendiri. Berdasarkan
beberapa pengertian mujmal secara istilah di atas, dapat dipahami
bahwa meskipun masing-masing ahli ushul berbeda dalam
memberikan redaksinya, namun secara substansi, semuanya saling
melengkapi dan mengarah pada makna yang sama yaitu suatu lafal
atau ungkapan yang belum jelas dan tidak dapat dipahami maksudnya
dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya.
Penjelasan inilah disebut dengan al-bayan, baik penjelasan itu dari
Allah langsung atau pun penjelasan melalui Rasulullah Saw.Dengan
demikian, dapat pula dikatakan bahwa mujmal adalah lafal yang
kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian atau
penjelasan dari pembuat mujmal atau syara’ itu sendiri.
2. Pengertian Mubayyan
Secara etimologi, al-Mubayyan berarti ‘yang menjelaskan atau
yang merinci. Sedangkan menurut istilah, terdapat dua redaksi yang
sama-sama dikemukakan Ulama Ushul Fiqh tentang pengertian al-
Mubayyan. Pertama, al-Mubayyan adalah upaya menyingkapkan
makna dari suatu pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara
terperinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada
orang-orang yang dibebani hukum (mukallaf). Kedua, al-Mubayyan
adalah mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.
Maksudnya , jika ada suatu ungkapan yang masih mujmal (samar),
maka dengan mubayyan ungkapan itu menjadi jelas.
Berdasarkan kedua definisi tentang al-Mubayyan di atas, dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-Mubayyan adalah suatu

9
lafal atau perkataan yang jelas maksudnya setelah mendapatkan
penjelasan dari lainnya,baik dari Allah langsung atau melalui
penjelasan sunnah Rasulullah SAW.
Dengan demikian, jika sunnah Rasulullah SAW. dikatakan sebagai
mubayyan terhadap al- Qur’an, berarti sunnah Rasulullah SAW.
tersebut berfungsi sebagai penyingkap hal-hal yang sulit (samar)
ditangkap dari ayat-ayat al-Qur’an, serta berfungsi untuk menjelaskan
kandungan ayat-ayat itu kepada umat Islam, baik melalui perkataan,
perbuatan maupun penetapan/pengakuan (taqrir) Rasulullah SAW.
terhadap perbuatan para sahabat.
Dalam Rangka memberikan penjelasan inilah, sebenarnya
merupakan tujuan Allah mengutus Rasulullah SAW. kepada umat
manusia, lebih-lebih umat Islam, sesuai dengan firman-Nya dalam
surat an-Nahl (16): 44 dan 64.
‘‘Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan.’’ (QS. An-Nahl:44)

‘‘Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,


melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.’’ (QS. An-Nahl:64)

E. Penyebab Mujmal
Lafal-lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh
indicator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna paling terkuat
diantaranya. Misalnya, lafal quru’ dalam firman Allah surah al-baqarah
ayat 228 :

ُ َ‫َو ْال ُمطلَّق‬


‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالَثَةَ قُرُو ِء‬

Artinya : wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru.

10
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I
berpendapat bahwa lafal quru’ berarti suci sedangkan imam Abu hanifa
berpendapat bahwa quru’ berarti haid.

 Suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil.


Misalnya, kata (‫ )الهلوع‬pada firman Allah surah al-maarij
ayat 19-20 :
‫ق هَلُوعًا اِ َذا َم َّسهُ ال َّشرُّ َج ُزوعًا َواِ َذا َم َّسهُ ال َخ ْي ُر َمنُوعًا‬
َ ِ‫اِ َّن ااْل ِ ْن َسانَ ُخل‬
Artinya :
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
Pada ayat 19 di atas terdapat lafal (‫ )الهلوع‬yang tidak dapat
dipahami karena termasuk lafal asing sehingga Allah
menjelaskan dengan ayat selanjutnya.
 Lafadz itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak
tertentu kualitasnya. Misalnya, surah al-an’am ayat 141 :
‫واتوا حقه يوم حصد‬
Artinya : dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya.
Lafadz ‘hak’ dalam ayat ini, sekalipun maknanya secara
umum bisa dimengerti, namun jenis dan kualitas hak
tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil lain
yang akan menjelaskannya.
 Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas
pengecualiannya tidak jelas ke dalam suatu kalimat.
Misalnya, surah al-maidah ayat 1 :
‫ت لَ ُك ْم بَ ِهي َمةُ• االَ ْن َع ِام اِالَّ َما يُ ْتلَى َعلَ ْي ُك ْم َغي َْر‬ ْ َّ‫يَااَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوا اَوْ فُوْ ا باِل ُعقُو ِد اُ ِحل‬
َ ‫ ُم ِحلِّي ال‬.
‫ص ْي ِد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم اِ َّن هللاَّ يَحْ ُك ُم َما ي ُِر ْي ُد‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-
aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang
akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan

11
berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan
yang Dia kehendaki.
Kalimat “kecuali yang akan disebutkan kepadamu”
merupakan kalimat yang mujmal yang tidak jelas
maksudnya. Akan tetapi, kalimat mujmal itu langsung
dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 3.
Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah SWT dengan
kalimat “kecuali yang akan disebutkan kepadamu” adalah
jenis binatang-binatang yang haram dimakan yang
dicantumkan dalam surah al-Maidah ayat 3 tersebut.
 Dalam suatu kalimat terdapat dhamir (kata ganti) yang
merujuk kepada kalimat sebelumnya yang mengandung dua
kemungkinan tanpa ada dalil kuat yang merujuk kepada
salah satu rujukan, atau dalam suatu kalimat sebutan yang
berbeda, tanpa ada dalil yang menunjukkan pada salah satu
dua kemungkinan itu. Contoh, masalah dhamir dalam hadist
Rasulullah SAW :
‫ال يمنع احدكم جاره ان يضع خشبة في جدره‬
Artinya : Janganlah salah seorang di antara kamu melarang
tentangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding
rumahnya.

F. Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal dan Mubayyan


1. Al-Mujmal
Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua
macam, pertama lafadz mufrad dan kedua lafadz murakkab.
a. Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu
kalimat. Lafadz mufrad juga dilihat dari segi jenis ada tiga
macam:

12
 Isim artinya nama atau nama benda. Contoh: ‫ ٍ ختاز‬boleh
sebagai pelaku (fa‟il), dalam hal ini diartikan dengan “orang
yang memilih”, dan boleh juga sebagai maf‟ul (tujuan) atau
penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang
dipilih”.
 Fi”il artinya kata kerja Contoh: ‫ عسعس‬boleh diartikan dengan
“datang” dan boleh juga dengan arti “kembali‟ atau
“pulang”. ‫ باع‬boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh
dengan “membeli”.
 Huruf ‫ حسف‬kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat
yang tidak akan berarti bila tidak disambung dengan yang
lainnya. Contoh ‫ و‬artinya ‘dan’ kedudukannya boleh sebagai
ataf ‫ عطف‬artinya penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-
Ibtida’ ‫ االبتداء‬artinya kata awal atau permulaan (Djalil, 2010:
110).
Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :
 Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara haqiqat, yakni
lafadz-lafadz yang musytarak, seperti lafadz ‫ القرء‬yang
diletakkan untuk menunjukkan makna “suci” dan makna
“haid”.
 Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan
sebab adanya musyabahah (keserupaan) dalam sebuah titik
persamaan. Seperti lafadz ‫النور‬yang layak untuk diarahkan
pada makna “akal” dan “cahaya matahari”.
 Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan
sebab adanya mumatsalah (kemiripan). Seperti lafadz ‫الجسم‬
yang layak diarahkan pada “langit‟ dan “bumi”, atau benda-
benda yang lain.
 Lafadz yang terkena imbas I‟lal, seperti lafadz ‫المختار‬yang
diarahkan pada bentuk isim fa‟il atau isim maf‟ul (Afandi dan
Huda, 2013: 157 - 158).

13
b. Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari
beberapa kalimat. Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:
٢٣٧ : ‫ البقرة‬...‫او يعفو الذى بيده عقدة النكاح‬Atau dimaafkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-Baqarah: 237) Yang
mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami,
karena maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti.
Oleh karena itu, tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau
al-Bayan (Saebani, 2009: 262).
2. Al-Mubayyan
Mubayyan dilihat dari segi jenisnya, terbagi beberapa macam:
a. Penjelasan dengan kata-kata ( ‫)بيان بالقول‬
Contoh, firman Allah yang berbunyi :
َ •‫ص• يَ• ا• ُم• ثَ• اَل ثَ• ِة• َأ ي•َّ• ا• ٍ•م• فِ• ي• ا• ْل• َح• ج•ِّ• َو• َس• ْب• َع• ٍة• ِإ َذ• ا• َ•ر• َج• ْع• تُ• ْم• ۗ• تِ• ْل‬
•ٌ‫ك• َع• َش• َر• ةٌ• َك• ا• ِم• لَ• ة‬ •ِ •َ‫ۗ ف‬
...
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh
hari setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.
(QS. Al-Baqarah: 196). Perkataan “sepuluh hari yang
sempurna‟ pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan dari
tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.
b. Penjelasan dengan perbuatan ( ‫)بيان بالفعل‬
Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana
yang diterangkan dengan perbuatan beliau sendiri, sebagaimana
sabdanya yang berbunyi:
‫ حديث‬.‫صلوا كما رايتمواني اصلي‬.

“Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan


sholat.” (hadis)
c. Penjelasan dengan tulisan ( ‫)بيان بالكتاب‬
Penjelasan dengan tulisan seperti penjelasan tentang ukuran
zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan cara

14
menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis
oleh para sahabat dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
d. Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (‫) بيان باالشارة‬
Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan
Ramadhan, dengan mengucapkan
‫ حديث‬,‫وهكذا‬,‫ وهكذا‬,‫الشهر هكذا‬
“Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian” (hadist).
Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua
adalah dengan mengangkat semua jari tangan, dan sedang
waktu mengucapkan “sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan
satu ibu jarinya. Hal tersebut merupakan isyarat yang
menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh
Sembilan hari. Yang demikianlah penjelasan dengan isyarat.
e. Penjelasan dengan meninggalkan (‫) بيان بالترك‬
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan contohnya seperti
qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah
SAW dalam waktu yang relative lama, yaitu kurang lebih satu
bulan kemudian beliau meninggalkannya.

G. Implikasi Hukum dan Kaidah Mujmal Mubayyan


1. Hukum dan kaidah mujmal

Tentang hukum mujmal pada umumnya ulama berkata :

‫حكم المجمل التوقف فيه الى ان يبين‬

“Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau


terdapat bayan (penjelasan).”

Maksudnya adalah apabila terdapat satu dalil yang bersifat mujmal,


sedang bayannya belum didapat atau belum ditemukan, maka dalil tersebut
tidak boleh diamalkan sebelum mendapatkan penjelasan atau bayan dari
dalil tersebut.

15
Tapi ada sebagian ulama yang tidak sependirian dengan ketentuan di
atas, antara lain Daud Adzahiri yang berpendapat bahwa boleh
mengamalkan dalil yang mujmal bila tidak terdapat bayan atau
penjelasannya. Alasan beliau antara lain adalah tidak mungkin terdapat
dalil yang mujmal setelah nabi wafat, karena sebelum nabi wafat, islam
telah disempurnakan terlebih dahulu (Djalil, 2010:109).

Seperti yang kita ketahui bahwa hukum mujmal yaitu kita bersikap
tawaquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut maka tidak boleh
mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syari’. Jika penjelasan
tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke
hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan
haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran
maka berpindah ke hukum musykil. Dalam hal ini, mujtahid berupaya kuat
untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut
dengan tidak bergantung pada penjelasan baru dari syari’ misalnya lafal
riba pada firman Allah surah Al-Baqarah ayat 275:

‫َواَ َح َّل هللا ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬

Artinya :

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Menurut Abu Hanifah, lafal riba di ayat ini mujmal karena riba
secara bahasa berarti tambahan. Sebagaimana yang kita ketahui tidak
semua tambahan termasuk riba. Jual beli yang disyariatkan islam bertujuan
untuk memperoleh keuntungan dan penambahan. Namun yang dilarang
dalam islam adalah tambahan dalam bentuk transaksi tanpa ada pengganti
yang diisyaratkan ketika transaksi berlangsung. Atau tidak didukung oleh
penjelasan syari’. Dalam hal ini nabi hanya menjelaskan enam jenis barang
yang termasuk riba, yaitu emas, perak, gandum, jelai, korma, dan garam
(HR. Bukhari). Untuk itu oleh para ulama melakukan berijtihad
menentukan riba dengan cara mengqiyaskan.

16
2. Hukum menangguhkan penjelasan

Hukum menangguhkan penjelasan yang dimaksudkan di sini adalah


misalnya seorang bertanya tentang suatu perkara yang berhubungan
dengan agama, dalam hal demikian apakah kita boleh menangguhkan
jawaban karena sesuatu hal, dan bagaimana bila saat itu si penanya sangat
memerlukan hukumnya.

Dilihat dari segi waktunya, maka penangguhan ada dua macam,


masing-masing terdapat ketentuan ulama :

‫تاءخيرالبيان عن وقت الحاجة ال يجوز‬.

“menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh”

Alasan ketentuan di atas adalah, bila dalam hal demikian kita


menangguhkan penjelasan, berarti kita membenarkan seseorang berijtihad
salah atau membenarkan seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak
sesuai dengan kehendak agama.

Di samping itu berlandaskan juga dengan hadist yang berasal dari


Aisyah, yang mana ketika Fatimah binti Abi Hubeisy bertanya pada Nabi
‘apakah boleh meninggalkan shalat, karena dirinya selalu istihadhah’,
yakni tidak pernah suci. Maka Nabi menjawab :

“Tidak, itu adalah cairan dan bukan darah haid, dan bila datang haid
maka tinggalkanlah shalat, dan bila telah habis (waktu haid) maka cucilah
darah itu dari dirimu dan shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadist ini tampak bahwa, tidak boleh ditangguhkan penjelasan


pada waktu yang diperlukan, karena bila Nabi menundanya berarti Nabi
telah membenarkan orang tersebut tidak shalat.

Oleh sebagian ulama, hadist Aisyah tersebut dipakai juga sebagai


alasan, bahwa wanita-wanita istihadhah tidak wajib bersuci setiap akan
shalat.

17
‫تاءخير البيان عن وقت الخطاب يجوز‬.

“Menangguhkan penjelasan dari waktu khitab (waktu berbicara)


adalah boleh.”

Mereka beralasan dengan firman Allah yang berbunyi :

110 ‫ البقرة‬... ‫اقيمواالصالة‬

Dirikanlah shalat… (QS. Al-Baqarah: 110)

Perintah shalat pada ayat tersebut tidaklah langsung diiringi dengan


penjelasannya. Adapun penjelasan mengenai bentuk atau tata caranya
adalah dengan cara-cara yang ditunjukkan oleh Nabi SAW sendiri. hal
tersebut menunjukkan bolehnya menunda penjelasan atau bayan (Djalil,
2010:111-113).

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mutlaq adalah
lafaz, individu atau nomenklatur yang tidak spesifik, belum berkualifikasi,
bebas tidak terikat. Muqayyad, sementara itu adalah lafadz, individu,
nomenklatur yang spesifik, memiliki kualifikasi, terikat dan dibatasi.

Dalam kajian mutlaq dan muqayyad, ada bentuk-bentuk relasi untuk


menarik kesimpulan dari nash-nash yang berbentuk mutlaq dan muqayyad.
Pertama, sebab dan hukumnya sama. Kedua, sebab dan hukumnya
berbeda. Ketiga, sebab berbeda tetapi hukum sama. Keempat, sebab sama
tetapi hukum berbeda.

Al-mujmal adalah suatu lafal atau ungkapan yang belum jelas dan
tidak dapat dipahami maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan
penjelasan dari lainnya. Penjelasan inilah disebut dengan Al-bayan, baik
penjelasan itu dari Allah langsung ataupun penjelasan melalui Rasulullah
SAW. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa mujmal adalah lafal
yang kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian atau
penjelasan dari pembuat mujmal atau syara’ itu sendiri. Sedangkan Al-
mubayyan atau Al-bayan adalah suatu lafal atau perkataan yang jelas
maksudnya setelah mendapatkan penjelasan dari lainnya, baik dari Allah,
langsung atau melalui penjelasan sunnah Rasulullah SAW.

B. Saran
Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat
mengetahui materi tentang mutlaq, muqayyad, mujmal, dan mubayyan.
Selain itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan karena kami
masih dalam proses pembelajaran. Dan yang kami harapkan dengan

19
adanya makalah ini, dapat menjadi wacana yang membuka pola pikir
pembaca dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Imam Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulumil Quran, Indiva Pustaka:Solo, 2009, hal. 255

Manna Khalil al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, terj., (Bogor: Litera Antar
Nusa, 2013), 350.

Muhammad Ali bin Khusni Al Maliki, Ha>syiah Al Atho>r ‘Ala> jam’i Al


Jawa>mi’, (Beirut: Darul Kutub Al ‘Alamiyaah, Tanpa Tahun), Jilid II, 79

Racmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cetakan
kesepuluh, 212.

Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.
166.

Abdul Aziz Dahlan (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Cet. 1, (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h.1214

H. Satria Efendi,Zein, Ushul Fiqh, (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2005), h. 228.

Abdul Aziz Dahlan, et al.(ed.), loc. cit.

Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta:Zikrul Hakim, 2004), Hlm.163

Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Hadits, tc., 2003),
hlm. 161

21

Anda mungkin juga menyukai