Anda di halaman 1dari 19

PENGERTIAN HADIST, KEDUDUKAN HADIST DAN

HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Usul Fiqhi pada Program Studi
Akuntansi Syariah Semester 1

OLEH:

KELOMPOK IV (EMPAT)

ANUGRAH SYAHRANI
NIM. 622022021059

IHLAS SULAMAN
NIM. 622022021060

DOSEN PENGAMPU

WIWIN APRIADI S.Sy., M.H.


NIP.

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN BONE
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena


atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul: ”Pengertian Hadist, Kedudukan Hadist dan Hubungannya
dengan Al-Qur’an”. Salawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya
sampai hari penghabisan.

Atas bimbingan kekompakan dan saran dari teman-teman maka disusunlah


Makalah ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami
semua dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Usul Fiqhi dan semoga segala
yang tertuang dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para
pembaca dalam rangka membangun khasanah keilmuan.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan
saran yang bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-
langkah selanjutnya.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena


kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.

Watampone, 31 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Tujuan Masalah..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A.Pengertian Hadist.............................................................................................2

B.Kedudukan Hadist............................................................................................4

C.Hubungan Hadist dengan Al-Qur’an................................................................9

BAB III PENUTUP.............................................................................................12

A. Simpulan.......................................................................................12

B. Saran.............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam merupakan agama yang dibawa Muhammad yang menggunakan Al-
Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan menjadi tuntunan bagi
seluruh umat manusia khususnya umat Islam. Sedangkan sumber hukum Islam
yang kedua adalah Hadis. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan apabila seseorang
membacanya maka mendapat pahala. Sedangkan Hadist adalah perkataan,
perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW.

Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua pedoman umat muslim yang saling
berhubungan satu sama lain. Al-Qur’an tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya
Hadist sebagai penjelas Al-Qur’an yang masih bersifat global. Hubungan antara
Hadis dan Al-Qur’an merupakan bahasan dari Ulumul Hadist yang sangat
penting, untuk itu di bawah ini akan dipaparkan penjelasan mengenai Pengertian
Hadist, Kedudukannya dan Hubungan Hadist dengan Al-Qur’an.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dapat kami rumuskan permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut:

1. Apa pengertian Hadist?


2. Bagaimana kedudukan Hadist?
3. Apa hubungan antara Hadist dengan Al-Qur’an?

1.3 Tujuan Masalah


Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian Hadist


2. Mengetahui kedudukan Hadist
3. Mengetahui hubungan antara Hadist dengan Al-Qur’an

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist
Hadis secara bahasa adalah kata yang berasal dari bahasa Arab; yaitu ‘al-
hadis, jama’nya al-ahadis, al- hidsan, dan al-hudsan’, dan memiliki banyak arti
diantaranya adalah “al-jadid” (yang baru) lawan dari ”al-qodim” (yang lama)
dan “al-khabar” (kabar atau berita).
 Menurut Jumhurul Muhaddisin ialah:
‫ما اضيف للنبي صلى هللا عليه وسلم قوال او فعال او تقريرا او نحوها‬

“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik


berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”.

Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW,
baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.

Hadits Qauliyah (ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang


diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).

Hadits Fi’liyah, yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti


pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tata caranya dan rukun-rukunnya,
pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu
saksi dan sumpah dari pihak penuduh.

Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah


diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan,
sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan
anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan
persetujuan itu, bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan
suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang
dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak
menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.

2
3

Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad SAW ialah perkataan


yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang
hukum (syari’at), akhlaq, aqidah, pendidikan, dan sebagainya. Sebagai contoh
perkataan beliau yang mengandung hukum syari’at misalnya sabda beliau:
‫انما االعمال بالنياة وانما لكل امرئ ما نوى‬

“bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap
orang itu memperoleh apa yang ia niatkan…” (Riwayat Bukhori Muslim)

Sedangkan perbuatan Nabi Muhammad merupakan penjelasan praktis


terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksanaannya.
Misalnya cara bersembahyang dan cara menghadap kiblat dalam sembahyang
sunnat di atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh Nabi
dengan perbuatan beliau dihadapan para sahabat.

Arti taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan


sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para
sahabat dihadapan beliau. Contohnya ialah tindakan salah seorang sahabat yang
bernama Khalid bin Walid. Dalam salah satu jamuan makan, dia menyajikan
masakan daging biawak dan mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmatinya
bersama para undangan.

Beliau menjawab:

.‫ م‬.‫ول هللا ص‬jj‫ل ورس‬,‫ه‬jj‫ فاكلت‬,‫ه‬jj‫ فاجتززت‬:‫د‬jj‫ال خال‬jj‫د! ق‬jj‫دني اعاف‬jj‫فاج‬, ‫ومي‬jj‫ولكن لم يكن بارض ق‬,‫ال‬
)‫ينظر الي (متفق عليه‬

“Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku,


aku jijik padanya! Kata Khalid: segera aku memotongnya dan
memakannya, sedang Rasulullah melihat kepadaku”. (Riwayat Bukhori,
Muslim)
4

Khalid dan para sahabat menikmati daging biawak tersebut sedangkan Nabi
tidak menyanggahnya. Keengganan beliau memakannya itu disebabkan karena
jijik.

B. Kedudukan Hadist
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas
hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang
ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan


hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak,
karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam
kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua
setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan
ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa
Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi
ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau


dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta
mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya
dengan beberapa dalil, di antaranya :

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada
rasul sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut
dalam surat An-Nisa : 59

 artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya),

Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati
Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah


mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
5

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah


mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana
tercakup dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bila wahyu
mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan
hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh
dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan
penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits
mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad sebagaimana dijelaskan diatas.

Hadist Mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada
setiap tingkat senadanya, yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta dan karena itu diyakini kebenarannya. Khabar mutawatir ditinjau dari
segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang
meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits
mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil
sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan
tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang
diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil
pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir
menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan
cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau
memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu
kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-
syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat
yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

Hadist masyhur adalah hadist yang awalnya ahad, kemudian menjadi terkenal
pada abad kedua dan ketiga, yaitu ketika banyak manusia dengan jumlah
mutawatir menerima dan mengamalkan hadist tersebut sehingga hadist tersebut
menjadi seperti mutawatir.
6

Hadist ahad merupakan hadist yang tidak memenuhi syarat sebagai hadist
mutawatir.

Fungsi Hadits

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-
ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara
amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan
demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini
telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu.

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya
sebagai bayani  dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi
senagai berikut :

 Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-


Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda
Nabi yang artinya :

“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat.

 Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-


Qur’an dalam hal :

a) Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an


b) Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
7

c) Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum


d) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata
shalat yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a
sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi
melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan
secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam.
Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana
kamu melihat saya mengerjakan shalat.

Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak


terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits
menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi
hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan
dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an
atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas.
Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan
daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai
hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang
diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi
kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan
terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

 Hadist memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur`an yang


bersifat umum

Hubungan hadist dengan al-qur’an – Misalnya Al-qur`an mengharamkan


memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging
yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula
6

bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S
Al Maidah /5:3).
8

Hadist memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis


bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa)
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua
bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua
darah adalah hati dan limpa.”(HR. Ahmad, Syafii, Ibn Majah, Baihaqi dan
Daruqutni).
 Hadith menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an

Hubungan hadis dengan al-qur’an – Al-qur`an bersifat global,


banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti. Dalam hal ini,
hadith berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-
qur`an, misalnya hadith dibawah ini:

Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang
bercakar. (HR. Muslim dari Ibn Abbas).
Juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas
bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadith-hadith yang
shahih.

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-


Qur’an dengan As-Sunnah.

Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam


bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah
atau Hadith mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan
fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk
kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah
yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara
ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar
menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam
Al-Qur’an, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan
membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.
6

Imam Syafi’i berkata: “Apa-apa yang telah disunahkan Rasulullah saw.


yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga.
9

Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya.


“Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus, (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada  di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali
semua urusan”. [Asy-Syuura: 52-53].
Rasulullah saw telah menerangkan hukum yang terdapat dalam
Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang
tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti
Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan
barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan
barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat
kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh seorang mahlukpun
melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapapun
untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah saw.[7]

Ibnul Qayyim berkata: “Adapun hukum-hukum tambahan selain yang


terdapat di dalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi saw. yang
wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang
demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai perwujudan
pelaksanaan perintah Allah supaya kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya
Rasulullah saw. tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai
arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan
Al-Qur’an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur’an.[8] Allah berfirman:
“Artinya: Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah”. [An-
Nisaa: 80].

C. Hubungan Hadist dengan Al-Qur’an


Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
sangatlah berkaitan. karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan
hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana
disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan
6

yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah diberi penjelasan oleh


Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-
10

hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat


dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa


sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis
besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan
dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang
utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian
bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai
berikut :

Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-


Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam


hal :

 Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.


Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar.

 Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.


Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar,
umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar
disebutkan dalam surat An-Nisa : 103

Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan


waktunya atas orang-orang yang beriman.

Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang


dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak
perempuan dalam surat An-Nisa :11:
11

 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan.

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab
kematian ayahnya.

Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya


firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang
bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :

“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang


bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-
Nisa :23)
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hadis secara bahasa adalah kata yang berasal dari bahasa Arab; yaitu ‘al-
hadis, jama’nya al-ahadis, al- hidsan, dan al-hudsan’, dan memiliki banyak arti
diantaranya adalah “al-jadid” (yang baru) lawan dari ”al-qodim” (yang lama)
dan “al-khabar” (kabar atau berita).
Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan
mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam
alasannya dengan beberapa dalil banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat
mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasul sering dirangkaikan dengan keharusan
mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59  artinya : Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya).

Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan karena pada


dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam
segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum
dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah
terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah diberi penjelasan
oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

B. Saran
Dalam kehidupan sehari-hari atau dalam melakukan suatu hal ada baiknya
dilakukan sesuai ketentuan Al-Qur’an dan hadist agar kita tidak tersesat dalam
melakukannya. Al-Qur’an dan hadist merupakan sumber hukum dan contoh yang
bisa kita jadikan sebagai pedoman dalam hidup agar bisa menjadi muslim yang
baik taat kepada Allah SWT.

12
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2002
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-
hadits.html

13

Anda mungkin juga menyukai