Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FIKIH

“PERBEDAAN SUNNAH DAN BID’AH”

Dosen Pengampu:
Dr. Kamaruddin S. Ag, SH. M,

DISUSUN OLEH:
Nama: Deswita Putri Salsabil
Nim: 2020010108027
Prodi: Tadris Biologi

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
IAIN KENDARI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan perkenaan-Nya,


akhirnya penulisan makalah yang berjudul “Perbedaan Sunnah dan Bid’ah”
dapat diselesaikan. Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih prodi Tadris Biologi semester IV,
Fakultas Tarabiyah dan Ilmu Keguruaan, IAIN.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan penulisan
makalah ini.

Penulis juga menyadari bahwa pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan dan do’a restu dari berbagai pihak. Maka, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada pihak yang sudah membantu dalam penulisan
makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat khususnya


bagi pribadi penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Kendari, 3 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL………………………………………………..…i
KATA PENGANTAR………………………………………………..…ii
DAFTAR ISI…………………………………………………...………iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................
A. Latar Belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................
C. Tujuan Penulisan........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Sunnah 1. Pengertian Sunnah ......................
a) Menurut Ulama Ushul Fiqih..........................................................3
b) Menurut Ulama Fiqih....................................................................4
c) Menurut Ulama Hadis....................................................................5
2. Macam-macam Sunnah a) Qauliyah....................................................5
b) Fi’liyah..........................................................................................6
c) Taqririyah......................................................................................7
B. Konsep Bid’ah 1. Pengertian Bid’ah a) Menurut Bahasa.........................7
b) Menurut Empat Madzhab..............................................................8
2. Klasifikasi Bid’ah..............................................................................13
3. Hukum Bid’ah....................................................................................15
BAB III PENUTUP ..................................................................................................
A. Kesimpulan.............................................................................................17
B. Saran........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia modern, sering kali terdengar perdebatan seputar hal bid’ah dan
sunnah, bahkan perdebatan ini menjurus pada perpecahan. Karena tidak
sepaham mengenai suatu hal, terutama masalah yang berkaitan dengan agama
membuat seseorang terbagi menjadi beberapa faham menurut keyakinan
mereka masing-masing. Padahal tidak demikian, justru sebenarnya perbedaan
itu adalah rahmat, asalkan mau menerima dan berlapang dada menjalankan
kehidupan dengan banyak pebedaan.
Sunnah merupakan hal yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW baik dari segi
perkataan, perbuatan, dan taqrir/ketetapan Nabi. Sedangkan bid’ah adalah hal
yang tidak disyariatkan/tidak dilakukan pada zaman Nabi, sehingga dalam
kata lain bid’ah merupakan lawan dari sunnah. Persoalan bid’ah adalah
persoalan khilafiyah, meskipun demikian dalam realitasnya perbedaan paham
mengenai bid’ah secara langsung maupun tidak langsung ternyata telah
melahirkan banyak konflik1, antara satu kelompok dengan kelompok lain
sehingga menimbulkan perpecahan dan lain sebagainya.
Salah satu alasan yang digunakan dalam menilai bid’ah adalah praktek
keagamaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh nabi. Disamping itu juga
didasarkan pada hadis nabi yang mengatakan bahwa:

‫قال رسول ال ّل صلى ال ّل عليه وسلم من‬, ‫عن عائشة رضي ال ّل عنها قالت‬
‫احدث‬
‫في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬
Artinya: “Dari Aisyah berkata, Rasulullah SAW, telah bersabda: barang
siapa mengada-ngadakan dalam urusan agama kami, sesuatu yang bukan
bagian darinya, maka ia tertolak”2
Hal ini tentu saja banyak menimbulkan interpretasi. Akan tetapi dapat
dipahami bahwa bid’ah yang dikecam dalam hadis ini adalah bid’ah

1
2

1
(praktekpraktek agama maupun adat) yang sengaja dimasukkan dalam agama
dengan tidak ada asal sama sekali dari al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qias 3.
Beberapa ulama salaf juga mempunyai perbedaan pendapat mengenai konsep
bid’ah ini. Diantaranya Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua
macam, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dlalalah. Ada juga ulama yang
menyetujui pembagian bid’ah kepada lima macam hukum, yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. Selain itu, terdapat juga pendapat ulama
bahwa tidak boleh ada bid’ah dalam agama dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, perbedaan perspektif antara beberapa
ulama salaf mengenai bid’ah dan sunnah, maka penulis merasa tertarik untuk
mengkaji dan membahas lebih mendalam mengenai bid’ah dan sunnah dengan
judul Sunnah Dan Bid’ah Menurut Ulama Salaf.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1) Bagaimana Konsep Sunnah Menurut Beberapa Ulama Salaf?
2) Bagaimana Konsep Bid’ah Menurut Beberapa Ulama Salaf?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dituliskannya makalah ini adalah untuk:

1) Mengetahui konsep sunnah menurut beberapa ulama salaf.


2) Mengetahui konsep bid’ah menurut beberapa ulama salaf 3)
Memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqif Ekonomi.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji.
Sedangkan secara istilah agama yaitu perkataan Nabi, perbuatannya dan
taqrirnya (ketetapan). Dengan demikian, sunnah Nabi dapat berupa: Sunnah
Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), dan Sunnah Taqririyah
(ketetapan)4. Definisi sunnah ini oleh para ulama dibagi menjadi tiga
pengertian, yaitu pengertian sunnah menurut ulama ushul fiqih, pengertian
sunnah menurut ulama fiqih, dan pengertian sunnah menurut ulama hadis.
a) Menurut Ulama Ushul Fiqih
Al-Kafrawi mendefinisikan sunnah Rasul menurut ulama ushuliyun
adalah5 :

‫يطلقون السنة على ما صدر عن النبي صلى ال ّل عليه و سلم من قول او فعل‬
‫او تقرير‬
Artinya: Sunnah adalah sesuatu yang berasal daripada Nabi SAW baik
perkataan atau perbuatan atau pengakuan.
Sedangkan pendapat Ajjaj Al-Khatib dalam kitab Ushul Al-Hadis
menjelaskan sunnah menurut ulama ushul fiqih adalah6:

‫هي كل صدر ما عن النبي صلى ال ّل عليه وسلم غير القران الكريم من‬
‫قول او فعل او تقرير مما يصلح أن يكون دليال لحكم شرعي‬
Sunnah adalah seluruh yang datang dari Rasul SAW selain Al-
Qur’anulKarim, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang
dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara’.

4
5
6

3
Yusuf Qardhawi mendefinisikan Sunnah menurut ushuliyun 7 adalah
sesuatu yang datang dari Nabi SAW daripada perkataan, perbuatan, dan
pengakuan, dan Ianya menunjuk jalan dalam memahami agama dan
beramal dengannya.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi
sunnah menurut ulama ushul fiqih (ushuliyun) adalah segala hal yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan
taqrir Nabi. Hal itu dikarenakan ulama ushul fiqih hanya melihat sunnah
dari sisi pendalilan, dan dalil itu hanya mencakup perkataan, perbuatan
dan ketetapan Nabi. Adapun yang berupa sifat fisik maupun akhlak, maka
itu tidak termasuk sunnah. Begitu pula yang terjadi sebelum diutusnya
Nabi menjadi Rasul, atau dari para Nabi sebelumnya, maupun generasi
setelahnya yaitu sahabat, tabi’in, dan sebagainya tidak disebut sunnah
berdasarkan definisi ulama ushuliyun ini.
b) Menurut Ulama Fiqih
Berdasarkan ulama fiqih, sunnah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah
yang mempunyai hukum syara’ yang bersangkutan dengan mukallaf 8.
Menurut mereka, sunnah merupakan suatu amal yang dianjurkan oleh
syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau sunnah. Seperti yang
dijelaskan oleh Al-Kafrawi 9yaitu:

‫يعرفون السنة ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه‬


Dikenal sunnah itu dengan bahwa sesuatu yang diberi pahala jika
melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya.
Dalam buku Ulumul Hadis10 Ajjaj Al-Khatib menjelaskan sunnah menurut
ulama fiqih (fuqaha) adalah setiap yang datang dari Rasul SAW yang
belum fardhu dan tidak pula wajib.

7
8
9
10

4
c) Menurut Ulama Hadis
Sunnah dalam definisi ulama ini memiliki arti yang lebih luas. Yaitu
bukan hanya menghimpun amal ibadah yang hukumnya sunnah, tetapi
juga hal-hal yang dihukumi wajib oleh ulama fiqih. Oleh sebab itu,
pernyataan sunnah atau disunnahkan memiliki makna yang berbeda. Jika
sunnah berarti bahwa sesuatu tersebut ada nilai pahala menurut ulama
fiqih, sedangkan jika disunnahkan belum tentu bernilai pahala berdasarkan
ulama fiqih, tetapi pernyataan itu disebut sunnah oleh ulama hadis.
Dalam pengertian ini, sunnah terbagi menjadi tiga yaitu sunnah Qauliyah,
sunnah Fi’liyah dan sunnah Taqririyah. Terdapat juga sifat khuluqiyah
yaitu sesuatu yang disampaikan para sahabat berkaitan dengan bagaiman
akhlak, perilaku, perangai, dan sifat fisik Rasulullah SAW, hal itu
termasuk dalam pengertian sunnah menurut ulama hadis ini. Seperti yang
dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah yaitu11:

‫السنة في كالم السلف يتناول السنة في العبادة و في االعتقادات‬


Sunnah yang mempunyai makna yang luas ini dikemukakan oleh golongan
salaf as-Shaleh, yang mana menurut mereka pengertiannya mencakupi al-
Sunnah dalam perkara-perkara ibadah dan juga dalam perkara I’tiqad.
2. Macam-macam Sunnah
a) Qauliyah
Sunnah qauliyah sering disebut juga dengan kabar atau berita yang
diucapkan oleh Nabi berupa sabda-sabdanya di hadapan para sahabat
(yakni orang Islam yang hidup di masa Nabi dan pernah mendengar
ucapan Beliau serta mempercayainya)12. Sunnah qauliyah dapat dibedakan
menjadi 3 bagian:
1) Diyakini benarnya seperti kabar yang datang dari Allah dan Rasulnya
yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercayai dan
kabarkabar mutawatir.

11
12

5
2) Diyakini dustanya seperti kabar yang berhimpun antara dua yang
berlawanan dan kabar yang menyalahi dari ketentuan-ketentuan syara’
seperti bid’ah-bid’ah sayyiah.
3) Yang tidak diyakini benarnya dan dustanya yang terdiri dari 3 macam,
diantaranya: tidak kuat benarnya dan tidak pula dustanya (seperti berita
yang disampaikan oleh orang yang bodoh), kabar yang kuat dustanya
dari benarnya (seperti berita yang disampaikan oleh orang fasik, yakni
orang yang mengakui peraturan-peraturan Islam tetapi kurang
mengindahkannya), dan kabar yang kuat benarnya dari dustanya
(seperti kabar yang disampaikan oleh orang yang adil).
b) Fi’liyah
Sunnah fi’liyah adalah tiap-tiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh
Nabi. Sunnah fi’liyah terbagi kepada 5 bentuk10, yaitu:
1) Nafsu yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan,
seperti gerakan anggota badan dan gerak badan. Sunnah fi’liyah yang
seperti ini menunjukkan kepada mubah (boleh).
2) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan ibadah seperti duduk, berdiri,
dan lain sebagainya.
3) Perangai yang membawa kepada syara’ menurut kebiasaan yang baik,
seperti makan, minum,berpakaian dan tidur.
4) Sesuatu yang tertentu kepada Nabi saja, seperti beristri lebih dari
empat orang.
5) Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samar-samar),
seperti menjelaskan perbuatan haji dan umrah, perbuatan-perbuatan
sholat lima waktu, dan sholat khusuf (gerhana).
c) Taqririyah
Sunnah taqririyah adalah sunnah Nabi dari mencegah apa yang dikatakan
seseorang atau apa yang diperbuat oleh seseorang di hadapannya atau di
masanya. Dengan arti perkataan atau perbuatan yang dilakukan di hadapan
beliau tidak dicegahnya dan tidak dilarangnya. Jadi ketetapan Nabi atas
sebuah perkataan sama dengan perkataannya, begitu juga dengan

6
ketetapan atas sebuah perbuatan sama dengan perbuatannya. Begitu juga
dengan perkataan dan perbuatan yang tidak di hadapan beliau, sedangkan
dia mengetahui hal-hal tersebut, tetapi tidak dibantahnya, maka hukumnya
sama dengan hukum perkataan atau perbuatan yang dihadapannya. Contoh
sunnah taqririyah adalah:
1) Taqriri Nabi atas harta-harta yang ada di tangan orang musyrik yang
diperoleh sebelum Islam dengan cara riba atau cara lain dan Nabi tidak
menyuruh untuk mengembalikannya, tetapi Nabi menjadikan mereka
bertobat terlebih dahulu.
2) Taqrirnya Nabi terhadap perempuan keluar dari rumahnya dan berjalan
di jalanan serta datang ke masjid.
3) Taqrirnya Nabi terhadap mereka yang mengerjakan sholat sunnah
antara adzan maghrib dengan sholat maghrib, sedangkan nabi melihat
dan tidak melarangnya.
B. Konsep Bid’ah
1. Pengertian Bid’ah
a) Menurut Bahasa

Secara bahasa, kata bid’ah berasal dari bahasa Arab ( ‫– بدعا – بدعة‬

– ‫ ) بدع – يبدع‬bada’a-yabda’u-bad’an-bid’atan yang bermakna ansya’a


(membuat) dan bada’a (memulai). Ibnu Mansyur menjelaskan bahwa
orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) secara bahasa bermakna bahwa
orang tersebut melakukan atau membuat sesuatu yang tidak ada contoh
atau perbuatan yang sama dan semisal sebelum perbuatan (bid’ah) itu
dilakukan. Dan di antara nama Allah SWT di dalam al-Qur’an adalah al-
Badi’ (QS. Al-Baqarah:117), yang bermakna Allah membuat sesuatu yang
baru, tidak ada sesuatu tersebut sebelumnya 13. Dalam kitab Risalah
Ahulussunnah Wal Jama’ah karya Hadrotusy Syeikh Hasyim Asy’ari
menjelaskan bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam

13

7
agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal
bukan bagian darinya baik formal maupun hakikatnya14.
b) Menurut Empat Madzhab
1) Madzhab Syafi’i
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I seorang mujtahid
agung pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas
Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam mengatakan
“Perkaraperkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama:
perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, atau
menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat
tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru
semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: perkara baru yang
baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka
sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-
Baihaqi dengan sanad yang shahih dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’I
juz 1/469)15 .
Dalam riwayat lain Imam Syafi’I bekata:

‫ فما واقف السنة فهو‬,‫ بدعة محمودة وبدعة مذمومة‬: ‫البدعة بدعتان‬
‫محمود وما خالفها فهو مذموم‬
“Bid’ah ada dua macam. Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah
yang menyalahi sunnah adalah bid’ah tercela.” (Dituturkan oleh
alHafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari)16.
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafii ini disepakati oleh
para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat
madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti Izzuddin bin

14
15
16

8
Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu `Arofah, al Hathab al Maliki, Ibnu
Abidin dan lainnya. Dari kalangan ahlul hadits ada Ibnul Arobi al
Maliki, Ibnul Atsir, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz as Sakhawi, al
Hafidz as Suyuthi dan lainnya. Termasuk dari kalangan ahli bahasa
sendiri, seperti al Fayyumi, al Fairuzabadi, az Zabidi dan lainnya17.
Imam Mujtahid, Izzuddin bin Abdis Salam mempelopori pembagian
bid’ah menjadi lima. Dalam hal ini beliau mengatakan: “Bid’ah
adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi)
pada masa
Rasulullah. Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah
muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah
mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan
membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah
itu masuk pada kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila
masuk pada kaidah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila
masuk pada kaidah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila
masuk pada kaidah mubah, maka bid’ah mubahah. Bid’ah wajibah
memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu
sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Hal ini
hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak
mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu.
Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib,
maka hukumnya wajib. Contoh kedua, pembahasan mengenai jarh
dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah
ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan
Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bidah-bid’ah tersebut
termasuk hukumnya wajib. Bid’ah mandubah memiliki banyak
contoh, diantaranya mendirikan sekolahsekolah dan setiap kebaikan
yang tidak pernah dikenal pada abad pertama, dan diantaranya
17

9
shalat Tarawih (berjamaah dalam satu imam). Bid’ah makruhah
memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid
dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya menjamah
makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat
tinggal yang mewah, memakai songkok thaylasan, memperlebar
lengan baju dan lain-lain.” (Qawa’id AlAhkam fi Mashalih Al-
Anam, 2/133)18. Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini
yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai
pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka
dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
Hujjatul Islam, al-Imam Muhammad bin Muhammad al Ghazali
dalam masterpiece-nya Ihya Ulumiddin menyatakan: “Hakikat bahwa
ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya
untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti
sembahyang Tarawih berjamaah, ia adalah Bid’ah yang dilakukan
oleh Sayyidina Umar ra, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik
(Bid’ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah
segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW
atau yang bisa merubah Sunnah itu. (Ihya Ulumiddin, I : 276)19
2) Madzhab Maliki
Imam al Qadhi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi al Maliki, seorang ahli hadits,
pakar tafsir dan ahli fiqih madzhab Maliki, juga membagi bid’ah
menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’
at-Tirmidzi, 10/146-147, beliau berkata: “Ketahuilah, semoga Allah
memberikan pengajaran kepada kalian, bahwa Bid’ah (al-muhdatsah)
itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan
yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu
sesuka hati, ini adalah batil secara pasti. Kedua, perkara baru yang

18
19

10
diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, ini
(bukan batil melainkan adalah) jalan para Khulafa’urrasyidin dan
para Imam
besar.20”
Imam Muhammad az-Zarqoni al-Maliki dalam kitabnya Syarah
Muwatho’ (1/238) menjelaskan ucapan sayyidina Umar yaitu: “Beliau
(Sayyidina Umar) menamakan tarawih (20 rakaat dengan 1 imam)
dengan bid’ah karena tidak pernah dibuat di zaman Nabi SAW dan
Sayidina Abu Bakar ra. Adapun bid’ah secara bahasa : perkara baru
yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Bid’ah menurut istilah
syariat adalah lawan dari sunnah, yaitu yang tidak ada di zaman Nabi
SAW, kemudian bid’ah itu terbagi menjadi hukum yang lima (wajib,
sunnah, makruh, haram dan mubah)21”.
3) Madzhab Hanafi
Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad al Aini, ahli hadits dan
pakar fiqih bermadzhab Hanafi membagi bid’ah menjadi dua bagian22.
Beliau mengatakan:

ْ
ِ ‫ث أ ْم ٍر ل ْم ي َك ْن‬
‫ف ي َز َم ِن ر َس ْو ِل هللاِ ث ُم‬ ِْ ‫ف ْالصْ ِل‬
ُ َ‫إحدا‬ ِ ُ‫والبِ ْد َعة‬

َِ َ‫ك نت ِمما ين‬


َْ ْ‫در ُج ت َحت ُمس‬
‫تح َس ٍن‬ َ ‫إن‬ ْ ‫ب ْد َعةُ َع َل‬
ِ ْ ‫نو َع يِن‬ ِ ‫ال‬
‫في‬
ِ
‫تحت‬ َ ‫در ُج‬
َ ‫ين‬
َ ‫ك انت ِمما‬ ْ ‫الشرع فَهي بد َعةٌ َح َسنةٌَ َو‬
َ ‫ان‬ ِ
َ ْ
‫ُمسْتقبح‬
ٌ‫ف هي ِ بد َعةٌ ُمسْت ْقَب َحة‬
َ ‫الشرع‬
ِ ‫فِي‬

20
21
22

11
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum
pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua
macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik
oleh syariat, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila masuk di
bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syariat, maka

disebut bid’ah tercela.” (‘Umdat Al-Qari, 11/126)

Ibnu Abidin dalam kitabnya yang menjadi acuan madzhab Hanafi


mengatakan: Bid’ah itu ada lima macam (ucapan beliau Pelaku
Bidah) yang dimaksud adalah pelaku bid’ah yang haram. Karena
terkadang bid’ah hukumnya wajib seperti menegakkan dalil-dalil
untuk menolak golongan sesat, mempelajari nahwu yang tujuannya
untuk memahami al Quran dan Hadits, madrasah, dan setiap kebaikan
yang belum dilakukan di zaman Nabi. Terkadang bid’ah makruh
seperti menghias masjid. Terkadang bid’ah mubahah seperti:
berlebihan dalam hal makanan, minuman enak, dan pakaian yang

bagus. (Hasyiah Ibnu Abidin juz 4/242)23.

4) Madzhab Hambali
Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abil Fath al Ba'li al Hambali
berkata di dalam kitabnya al-Mathla` `Ala Abwabil Muqni dalam bab
Talak : “Bid’ah adalah termasuk perkara yang diamalkan tanpa
contoh sebelumnya. Bid’ah ada dua, bid’ah petunjuk dan bid’ah
sesat.
Dan bid’ah terbagi sesuai pembagian hukum taklif yang lima”. (al
Mathla Ala Abwabil Muqni` hal 334)22.
Al Hafidz Ibnu Rajab al Hanbali Dalam Jamiul ulum wal Hikam juz
1 hal 266 menyebutkan: Adapun sabda Nabi SAW: “Hati-hatilah
kalian dari perkara-perkara baru karena setiap bid’ah adalah
sesat.” Ini adalah peringatan kepada umat dari mengikuti perkara-

23

12
perkara bid’ah dan ditekankan lagi dengan ucapan setiap bid’ah
adalah sesat.
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang dibuat tanpa memiliki
asal dari syariat yang menunjukkan kepadanya. Adapun hal baru
yang dibuat namun memiliki asal dari syariat maka ia tidak
dinamakan bid’ah secara syariat walaupun itu disebut bid’ah secara
bahasa.
2. Klasifikasi Bid’ah
Syekh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam24, yaitu bid’ah sharihah
(yang jelas dan terang), bid’ah idhlafiyah (relasional), dan bid’ah khilafi
(yang diperselisihkan).
Bid’ah Sharihah adalah bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i,
seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini
berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini
merupakan bid’ah paling buruk. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran
dari hukum-hukum asal ataupun furu’,tetapi tetap tidak ada pengaruhnya.
Bid’ah Idhlafiyah adalah bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik
tertentu. Seandainya pun praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah, maka
tidak boleh memperdebatkan penggolongan praktik tersebut sebagai sunnah
atau bukan bid’ah.
Bid’ah Khilafi adalah bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang
samasama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama
tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka
bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu
termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah. Seperti soal dzikir
berjama’ah atau soal administrasi.
Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah dan
bid’ah madzmumah sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
alAshbahani25 yaitu:
24
25

13
‫ فما وافق السنة فهو‬.‫ وبدعة مذمومة‬,‫البدعة بدعتان بدعة محمودة‬
‫ واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام‬,‫وما خالف السنة فهو مذموم‬,‫محمود‬
: ‫رمضان‬
‫نعمت البدعة هي‬
Bid’ah terbagi dua: bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Dimana
bid’ah yang sejalan dengan sunnah, maka termasuk bid’ah mahmudah.
Dan jika menyelisihi sunnah, maka termasuk bid’ah madzmumah. Dan
beliau mendasarkannya kepada perkataan Umar Bin Khattab tentang
qiyam
Ramadhan (shalat tarawih), “sebaik-baiknya bid’ah, amalan ini”.
a) Bid’ah Mahmudah (Hasanah)
Bid’ah hasanah atau mahmudah menurut para ulama adalah bid’ah yang
sesuai dengan al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah dari perspektif lebih
mengutamakan kemaslahatan dan perbaikan, seperti mengumpulkan al-
Qur’an dalam satu mushaf, shalat tarawih, Rubath, madrasah, seluruh
kebaikan yang tidak ada pada masa awal, sebagaimana disebutkan dalam
hadis26: “Barang siapa membuat sunnah yang baik, baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkan dengannya setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa membuat
sunnah yang jelek dalam Islam, baginya dosanya serta dosa orang yang
beramal dengannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun”.
b) Bid’ah Sayyi’ah (Madzmumah)
Bid’ah Sayyi’ah atau madzmumah adalah bid’ah yang menyelisihi nash-
nash al-Qur’an dan al-Sunah, atau melanggar Ijma’ umat Islam, maka
bid’ah ini masuk dalam hadis: “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah sesat”. Yakni yang dimaksud hadis tersebut
adalah perkara baru yang batil dan bid’ah yang tercela (Madzmumah).

26

14
Sedangkan pembagian bid’ah secara umum berdasarkan penggolongan
yang dibuat oleh para ahli ushul dan ahli fiqih antara lain 27: a) Fi’liyah
(melakukan suatu perbuatan).
b) Tarkiyah (meninggalkan suatu perbuatan) yaitu meninggalkan suatu
tuntunan agama, baik wajib maupun sunnah dengan memandang bahwa
meninggalkan itu, agama. Jika lantaran malas tidak disebut bid’ah,
hanya menyalahi perintah saja.
c) Amaliyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang dikerjakan dengan anggota panca
indra yang lima, baik di luar maupun dalam. Seperti mengerjakan
sesuatu yang tidak dikerjakan oleh nabi Muhammad SAW.
d) I’tiqodiyah, yaitu memegang suatu kepercayaan/ I’tikad yang
berlawanan dengan yang diterima dari Rasulullah SAW dan para
sahabatnya. Baik yang bersangkutan ataupun tidak.
e) Zamaniyah, yaitu melakukan ibadah di masa tertentu.
f) Makaniyah, yaitu melakukan suatu ibadah di tempat tertentu.
g) Haliyah, yaitu meletakkan suatu ibadah di masa tertentu atau di tempat
tertentu dalam keadaan tertentu.
h) Haqiqiyah, yaitu suatu pekerjaan yang semata-mata bid’ah tidak ada
sedikit kaitannya dengan syara’.
i) Idafiyah, yaitu sesuatu bid’ah yang terdapat padanya dua aspek, apabila
ditinjau dari aspek pertama ia bukan bid’ah, apabila ditinjau dari aspek
kedua nyatalah kebid’ahannya.
j) Kuliyyah, yaitu yang mendatangkan kecederaan yang umum.
k) Juz’iyah, yaitu merasakan sebagian pekerjaan saja.
l) ‘Ibadiyah, yaitu yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
m) ‘Adiyah, yaitu yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah. Bid’ah
yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yakni yang
dijadikan ibadah dinamakan id’ah ‘ibadiyah. Bid’ah yang dikerjakan
bukan dengan maksud ibadah dinamakan bid’ah ‘adiyah.

27

15
3. Hukum Bid’ah
Al-Qarafi telah menjelaskan dengan penjelasan yang baik, dan dasar dari
pendapatnya tersebut adalah pendapat syaikhnya Izzudin Ibnu Abdus Salam
mejelaskan bid’ah ke dalam lima hukum. Yaitu Wajibah, muharramah,
mandhubah, makruhah, dan mubahah28.
a) Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang diwajibkan. Contohnya belajar ilmu
nahwu, memperindah cetakan al-Qur’an dan hadis, belajar ilmu
kedokteran, biologi, strategi perang, kepemimpinan, dan ilmu-ilmu serta
sarana yang sifatnya mendukung pada perkembangan dan kejayaan
Islam.
b) Bid’ah muharramah, yakni bid’ah yang diharamkan. Contohnya
mengikuti faham-faham sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, atau
Mujassimah, serta berbuat syirik kepada Allah. Bid’ah ini disebut bid’ah
Dlalalah (sesat).
c) Bid’ah mandhubah, yakni bid’ah yang diperbolehkan jika dipandang
baik untuk kemaslahatan umat meski tidak terdapat pada masa
Rasulullah. Contohnya membangun pesantren, sekolah, rumah sakit,
atau penelitianpenelitian ilmiah, penemuan-penemuan modern yang
sifatnya memperjelas kebenaran isi ayat al-Qur’an.
d) Bid’ah Makruhah, yakni bid’ah yang dimakruhkan. Contohnya
memperindah atau menghiasi masjid, tempat beribadah, mushaf yang
berlebihan.
e) Bid’ah mubahah, yakni bid’ah yang dimubahkan. Contohnya berjabat
tangan setelah sholat shubuh dan isya’, membuat hidangan (makanan
dan minuman), serta bersolek untuk ibadah.

28

16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (ketetapan).
Dengan kata lain sunnah adalah sesuatu yang berada atau dilakukan pada
zaman Rasulullah. Pengertian sunnah oleh para ulama digolongkan menjadi
tiga bagian, yaitu sunnah menurut ulama ushul fiqih, sunnah menurut ulama
fiqih, serta sunnah menurut ulama hadis. Macam-macam sunnah ada tiga,
yaitu sunnah qauliyah yang berupa perkataan Nabi, sunnah fi’liyah yang
berupa perbuatan Nabi dan sunnah taqririyah yang berupa ketetapan Nabi.
Bid’ah adalah munculnya perkara baru dalam agama atau sesuatu yang tidak
dicontohkan atau tidak ada pada zaman Raslullah SAW. Konsep bid’ah
menurut empat madzhab mempunyai kesamaan yaitu bid’ah ada yang baik
(hasanah/mahmudah) dan ada juga yang tercela (sayyi’ah/madzmumah).
Klasifikasi bid’ah menurut syekh Zaruq ada tiga macam, yaitu bid’ah
sharihah, bid’ah idhlafiyah dan bid’ah khilafi. Imam Syafi’I membagi bid’ah
menjadi dua macam, yaitu bid’ah hasanah/mahmudah dan bid’ah
dlalalah/madzmumah. Sedangkan penggolongan bid’ah secara umum
diantaranya: bid’ah fi’liyah, bid’ah tarkiyah, bid’ah amaliyah, bid’ah
I’tiqodiyah, bid’ah zamaniyah, bid’ah makaniyah, bid’ah haliyah, bid’ah
haqiqiyah, bid’ah idlafiyah, bid’ah kuliyyah, bid’ah juz’iyah, bid’ah ‘ibadiyah
dan bid’ah ‘adiyah. Hukum bid’ah menurut al-Qarafi membagi menjadi lima,
yaitu bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandhubah, bid’ah
makruhah dan bid’ah mubahah.
B. Saran
Semakin berkembangnya zaman, maka perselisian manusia akan semakin
bertambah di segala bidang kehidupan. Sebagai umat yang moderat (prinsip
Aswaja), sebaiknya menilai dan memikirkan dengan dalam segala
pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam masyarakat adalah hal yang
harus dilakukan. Seperti contoh perbedaan pendapat antara konsep bid’ah
yang menjadikan beberapa umat harus terpecah keyakinannya. Maka harus

17
samasama disadari dan difahami karena pada dasarnya perbedaan itu adalah
rahmat.

18
DAFTAR PUSTAKA
https://shanshare.blogspot.com
https://kebi4-online.blogspot.com/2016/05/pengertian-hadis-dan-sunnah-
menurut.html
https://islamiceducation001.blogspot.com/2015/05/sunnah-dan-macam-
macamnya_79.html
https://www.academia.edu/28383498/Bidah_menurut_Imam_Madzhab

19

Anda mungkin juga menyukai