Anda di halaman 1dari 15

SUMBER HUKUM ISLAM

HADIST DAN IJTIHAD

Disusun oleh:

Kelompok 3

1. Indah Rahmawaty (A1C019018)


2. Natasya Anggraini Fierda (A1C019042)
3. Kartika Ayu Lestari (A1C019056)

Dosen pengampu:

Ririn Gusti, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber Hukum Islam (Hadist
dan Ijtihad)”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan Agama.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk mengenalkan dan membahas
sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh umat Islam. Dengan makalah
ini diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat memilki pengetahuan yang lebih luas
mengenai sumber hukum Islam.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan. Hal itu
disebabkan karena terbatasnya ilmu pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak terutama dari pihakpihak yang lebih
kompeten. Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Bengkulu, Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian As-Sunnah dan Pembagiannya ............................................................. 2
B. Kedudukan As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam .......................................... 3
C. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an................................................................... 5
D. Pengertian Ijtihad .................................................................................................... 6
E. Fungsi dan Kedudukan Ijtihad ................................................................................ 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 10
B. Saran......................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk
agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial,
menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter,
kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak
mulia dan bersikap positif lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan As-sunnah dan pembagiannya?
2. Bagaimana kedudukan as-sunnah sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja fungsi as-sunnah terhadap Al-Qur’an?
4. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
5. Bagaimana fungsi dan kedudukan Ijtihad?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian As-sunnah dan pembagiannya.
2. Untuk mengetahui kedudukan as-sunnah sebagai sumber hukum Islam.
3. Untuk mengetahui fungsi as-sunnah terhadap Al-Qur’an.
4. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
5. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan Ijtihad.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian As-Sunnah dan Pembagiannya


1) Pengertian
As-Sunnah secara bahasa (etimologi) adalah jalan, peraturan, cara yang dibiasakan
atau cara yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut dengan hadits yang mempunyai
beberapa arti secara etimologis, yaitu: Qorib artinya dekat, Jadid artinya baru, dan
Khobar yang artinya berita atau warta. Seperti dalam surah At-Tur: 34.
‫َﻓﻠْ َﻴﺄْﺗُ ْﻮا ِﺑ َﺤ ِﺪﻳْ ٍﺚ ﱢﻣ ْﺜﻠِ ٓ ٖﻪ اِنْ ﻛَﺎﻧُ ْﻮا ٰﺻ ِﺪ ِﻗ ْ َني‬

Artinya: “maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika


mereka orang-orang yang benar” (QS. At Thur; 34).

Sedangkan Sunnah menurut istilah syara’ adalah:

َ ‫ـﺈﻟﯩامأُ ِﺿ ْﻴ‬
‫ﻒ‬ َ ‫أ ْوﺗَ ْﻘ ِﺮﻳْ ًﺮاا َِﺻ َﻔ ًﺔأو ِﻓ ْﻌﻼًأو َﻗﻮﻻًﻣﺼﺎﻟﻨﺒﻴ‬

Artinya: “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik yang berupa
perkataan, perbuatan, sifat atau pengakuan”.

Pengertian As-Sunnah secara terminologi juga bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu:

a. Menurut ulama ahli hadits, sunnah identik dengan hadits yaitu semua yang
disandarkan kepada nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan atau ketetapannya
sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau sesudah menjadi
Rasul.
b. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah diartikan semua yang lahir dari Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan.
c. Sunnah menurut para ahli fiqh, disamping mempunyai arti seperti yang dikemukakan
para ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang
mengandung pengertian, “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
bila ditinggalkan tidak berdosa”.

2
2) Pembagian Sunnah
Sunnah atau hadits berdasarkan definisi menurut para ahli di atas, dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:
a. Sunnah Qauliyah, yaitu khabar berupa perkataan Nabi SAW yang didengar dan
disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang
diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Seperti tata cara
menunaikan shalat lima waktu yang dipraktekkan Nabi, cara berwudlu’ dan cara haji.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah SAW yang
telah diakui oleh beliau, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Sedangkan As-Sunnah ditinjau dari perawi-perawinya dari Rasulullah SAW dibagi


menjadi tiga macam:
a. Sunnah Mutawatirah, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh
sekumpulan perawi yang menurut kebiasaannya, individu-individunya itu tidak
mungkin sepakat untuk berbohong.
b. Sunnah Masyhurah, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang,
atau dua orang, atau tiga orang sahabat yang tidak mencapai jumlah tawatur (perawi
hadits mutawatir).
c. Sunnah Ahad, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh perseorangan
yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran.

B. Kedudukan As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam


1) As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Sunnah dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah
konsensus dasar hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Dari segi urutan tingkatan
dasar Islam ini Sunnah menjadi dasar hukum Islam (Tashri’iyyah) kedua setelah al-
Qur’an.5Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut:

3
a. Fungsi Sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap al-Qur’an. tentunya
pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks al-
Qur’an sebagai pokok asal, sedang sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun
karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam Sunnah berasal dari al- Qur’an. Al-
Qur’an mengandung segala permasalahan secara paripurna dan lengkap, baik
menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah yang
tertinggal. Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Surat al-An’am (6): 38.

Artinya: “Tidak ada sesuatu yang kami tinggalkan dalam al-Kitab…”.


Keterangan al-Qur’an sangat sempurna tidak meninggalkan sesuatu, tetapi
penjelasannya secara global maka perlu dijelaskan rinci dengan Sunnah.

b. Mayoritas Sunnah relatif kebenarannya (zanniy ath-thubut).


Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa al-Qur’an seluruhnya
diriwayatkan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala
tingkatan). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian
diantaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti (qat‘i
addilalah) dan secara relatif petunjuknya (zanni ad-dilalah).

2) Kehujahan Hadist
Umat islam telah sepakat bahwa apa yang keluar dari Rasulullah SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, atau taqriri, dan hal itu dimaksudkan sebagai pembentukan
hukum-hukum islam dan sebagai tuntunan, serta diriwayatkan kepada kita dengan sanad
yang shahih yang menunjukkan kepastian tentang kebenarannya maka ia menjadi hujjah
atas kaum muslimin.
Bukti-bukti atas kehujjahan As-Sunnah antara lain:
a. Nash-nash Al-Qur’an. Firman Allah dalam Al-Qur’an telah memerintahkan untuk
menaati Rasul-Nya sebagai suatu ketaatan kepada-Nya.

4
b. Ijma’ para sahabat, baik pada masa hidup Rasulullah SAW maupun sesudah
wafatnya.

Allah dalam Al-Qur’an telah mewajibkan kepada manusia sejumlah kewajiban


secara global, tanpa penjelasan, hukum-hukumnya dan cara pelaksanaannyatidak
diterangkan dalam Al-Qur’an.

C. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an


1) Menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada di dalam Al-Qur’an.Contoh
firman Allah Swt dalam surat Hud: 102.

Artinya: “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-
negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih
lagi keras.”

Ayat ini diperkuat dengan hadits riwayat Abu Musa yang maknanya hampir sama.
Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menangguhkan siksaannya
bagi orang yang berbuat zhalim, apabila Allah telah menghukumnya maka dia tidak akan
pernah melepaskannya. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat surat Huud: 102 (H.R
Muslim)

2) Memberikan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti firman Allah dalam surah Al-
Maidah: 3.

Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi...” Qs.al-
maidah:3)
Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk
dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai

5
tertentu. Sabda Rasululah SAW yang artinya “Telah dihalalkan kepada kita dua macam
bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai
ikan dan bangkai belalang. sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah ati
dan limpa.” (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.)

3) Menetapkan hukum-hukum yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Contoh tentang


larangan memadu istri dengan saudaranya. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat
23, dalam ayat tersebut hanya dijelaskan larangan terhadap suami untuk memadu istrinya
dengan saudara perempuan si istri. Sedangkan dalam hadits Nabi juga dijelaskan yaitu
larangan seorang seorang suami memadu istrinya dengan bibinya, baik dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah. Sebagaimana dalam sabda Rosulullah:
‫ﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﳌﺮأة ﻋﲆ ﻋﻤﺘﻬﺎ وﻻ ﺧﺎﻟﺘﻬﺎ وﻻ اﺑﻨﺔ أﺧﺘﻬﺎ وﻻ اﺑﻨﺘﻪ أﺧﻴﻬﺎ‬

Artinya: “Seorang wanita tidak boleh dikawini bersamaan (dimadu) dengan bibinya
atau bersamaan dengan putrid saudara perempuan atau putri saudara laki-
laki istri (keponakan istri).” (HR. Muslim)

D. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya
bersungguh-sungguh dalm mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan
suatu hukum (yang sulit), dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan
memayahkan. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di
dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap
kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” sebagaiman dalam Q.S 16:38, 24:53, 35:42.
Semuanyan mengandung arti “Badzlu Al-Wus’I Wa Al-Thoqoti” (pengarahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “Al-Mubalaghah fil al-yamin” (berlebih-lebih
dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan segal kesanggupan dan
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.

6
Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti hakim
dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash undang-undang ataupun
dengan mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash. Kemudian di
kalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-
sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum
syariat. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath hukum
syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. (Dr. Wahbah Az-
Zuhailiy, h. 529)
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah 591)
mendefinisikan ijtihad itu dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan
sungguh-sungguh didalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah.
Adapula yang mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-
mustashfa (II/4 pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu
lebih umu daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuan
dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam
Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.
Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang
dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat
kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad dengan:

ْ َ ‫اِ ْﺳ ِﺘ ْﻔ َﺮا ُغ اﻟْ َﻔ ِﻘ ْﻴ ِﻪ اﻟْ ُﻮ ْﺳ َﻊ ﻟِ َﺘ ْﺤ ِﺼ ْﻴﻞِ ﻇَ ﱟﻦ ِﺑ ُﺤﻜ ٍْﻢ‬


‫ﴍ ِﻋ ﱟﻲ‬
“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk
mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”.
Abdul Wahab Khalaf menerangkan bahwa ijtihad meliputi pengarahan segenap
kesanggupanuntuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada nasnya, disebabkan dengan
(al-ijtihad bi al-ra’yi).

Ijtihad bi al-ra’yi merupakan suatu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi:
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nash yang dhanni dalalahnya.
Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash Al-
Qur’an dan Hadis.

7
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syari’ amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan
qaidah syari’iyah kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “ijtihad bi al-ra’yi”.

E. Fungsi dan Kedudukan Ijitihad


Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang
hukum syari’ah , asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang mujtahid.
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat
Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Para
ulama’ membagi hukum melakukan ijtihad menjadi 3 bagian yaitu:
1. Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang
terjadi, dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumya.
Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui humnya.
2. Wajib kifayah, bagi orang yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap
peristiwa itu, sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila
kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua, tetapi bila
ada seorang dan mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad
atas diri mereka.
3. Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak
terjadi.

Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad,


karna dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan mengkoreksi kekeliruan dan
kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan upaya pembeharuan
hukum islam. Sebagaimana ungkapan Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap periode
memiliki ciri tersendiri sehingga menentukan peubahan hukum. Sedankan Ibnu Hajib
mengatakan bahwa ijtihad harus merujuk pada aspek-aspek pembeharuan terhadap
masalah yang belum pernah disinggung oleh ulama’ terdahulu, sedangkan masalah yang
sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu dipembaharui. Sabda Nabi SAW

8
:”Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini disetiap penghujung periode (seratus
tahun) seseorang yang mempebaruhi agamanya”.
Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembeharuan bagi
ijtihad yang lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad
yang lama, bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad
yang lama, hal itu seiring dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi al-ijtihadi”
(ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).

Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yaitu:
1. Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada Al-Qur’an
dan Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
semangat islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihad
oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman
dan kondisi yang dihadapi.

Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur Ulama’menunjukkan


ijtihad menjadi hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan Firman Allah surat an-
Nisa’:59

Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

9
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:
1. Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam
masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2. Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hal ijtihad yang cocok
jangkauanya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka
dikategorikan salah.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam selain
Al;Qur’an adalah As-Sunnah (Hadist) dan ijtihad. As-Sunnah atau Hadist itu sebagai
sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai dan
menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
Selain itu dalam hadist juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman pada hadist itu wajib,
bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist
sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai
sumber ajaran karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan
ketentuan hukumnya sumber ajaran islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu
hendaknya apabila kita melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan
menjadikan hal yang fatal.

B. Saran
Selain Alqur’an, sumber hukum islam yang lain adalah Al-hadist dan ijtihad. Oleh
karenanya diharapkan dan diharuskan agar semua umat Islam menjadikan ketiganya sebagai
pedoman hidup dan dasar hukum dalam Islam.

11
DAFTAR PUSTAKA

Uman, Chaerul. 1998. ushul fiqih I. Bandung: CV Pustaka Setia.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. ilmu ushul fikih. Semarang: Dina Utama.

Karim, Syafi’i. 1997. fiqih - ushul fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syafe’i, Rachmat. 2007. ilmu ushul fiqih untuk UIN, STAIN, dan PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.

Kamali, Muhammad Hasyim. 1996. Prinsip danTeori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.

Muhibbi, Husein. 2016. SUNNAH (DEFINISI, PEMBAGIAN, FUNGSI DAN KEHUJJAHAN).


http://huseinmuhibbi.blogspot.com/2016/10/definisi-sunnah-pembagian-dan-fungsi.html.
Diakses 15 Februari, 14.00 WIB.

12

Anda mungkin juga menyukai