Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

USHUL AL-HADITS

Pembagian Hadits dilihat dari beberapa segi

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1. Ahmad Sarkawi Lubis

2. Fitrah Ahmad Zaki

Dosen Pembimbing :

Onrico Candra, Lc., M. Ud.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IQT)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN

ILMU AL-QUR’AN (STAI-PIQ)

2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bias menyelesaikan tugas makalah yang baik. Shalawat beriring salam tidak
lupa kita kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena beliau telah menghantarkan kita
dari zaman jahiliyah menujuh zaman yang berilmu pengetahuan.
Adapun judul makalah kami adalah “Pembagian Hadits dilihat dari beberapa segi”, dan
kami berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit gambaran dan
menambah ilmu yang kita miliki. Kemudian kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah mendukung kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
terdapat kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari
makalah ini supaya nantinya makalah kami ini menjadi lebih baik lagi. Saran dan kritik tetap
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Padang, 25 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………..

B. Perumusan Masalah…………………………………………………………..

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits……………………………………………………………

B. Pembagian Hadits Dilihat dari Sumber Aslinya……………………………

C. Pembagian Hadits dilihat dari Penisbahannya………………………………

D. Pembagian Hadits dilihat dari Bentuk Asalnya…………………………….

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………….

B. Saran…………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an merupakan pedoman dan
tuntunan bagi umat Islam dalam menjalankan seluruh aktifitasnya, baik masalah ibadah, budi
pekerti, sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan lain sebagainya. Hadits merupakan
sikap dan perilaku Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak terlepas dari
tuntunan Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang
kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits
yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu
hadits. Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.
Tetapi kemudian kebingungan itu menjad hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagi segi.
Untuk itu pada pembahasan makalah ini maka kami menyoroti hal-hal yang berkaitan
dengan pembagian hadits dilihat dari beberapa segi

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan membahas :
1. Apa perbedaan Hadits Nabawiy dan Hadits Qudsiy.
2. Apa perbedaan Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’.
3. Apa perbedaan Hadits Qauliy, Fi’liy, dan Taqririy.

C. Tujuan
1. Mengetahui perbedaan Hadits Nabawiy dan Hadits Qudsiy.
2. Mengetahui perbedaan Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’.
3. Mengetahui perbedaan Hadits Qauliy, Fi’liy, dan Taqririy.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Dalam bahasa Arab hadith (‫ )ح>>ديث‬berarti "laporan", "akun", atau "naratif". Kata
Hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain. Bentuk pluralnya adalah al-ahadits.
Dalam terminologi Islam pengertian hadith berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan
dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Para ulama hadits mengartikan Hadits sebagai segala
ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi. Keterangan ini mengindikasikan bahwa segala yang
berasal dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun berupa hal keadaan termasuk
dalam kategori Hadits.
Sedangkan menurut ulama usul fikih memandang pengertian hadits hanya yang terkait
dengan hukum syara`, yakni segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang terkait dengan
hukum.
“Hadis” atau al-hadits menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan
kata dari al-qadim. Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk pluralnya adalah
al-ahadits. Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadis lalu
mereka menggunakannya sebagai lawan kata qadim (lama), dengan memaksudkan qadim
sebagai kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Dalam Sharah al-Bukhari, Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata, bahwa dimaksud dengan hadits
menurut pengertian shara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan hal itu
seakan-akan dimaksudkan sebagai bandingan Alquran yang qadim.
Ulama ushul memberikan definisi yang terbatas, yaitu “Segala perkataan Nabi SAW
yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum shara’.” Dari pengertian di atas bahwa
segala perkataan atau aqwal Nabi, yang tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak
mengandung misi kerasulannya, seperti tentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan,
minum, atau segala yang menyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk hadis. Ulama Ahli
Hadis memberi definisi yang saling berbeda. Perbedaan tersebut mengakibatkan dua macam
ta’rif hadis. Pertama, ta’rif hadis yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur al-
muhaddisin, “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.
Pengertian yang luas, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian muhaddisin, tidak
hanya mencakup sesuatu yang di-marfu’-kan kepada Nabi SAW saja, tetapi juga perkatan,
perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’i pun disebut hadis.
Pemberian terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
disebut berita yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang
disandarkan kepada tabi’i disebut maqthu’. Sebagaimana dikatakan oleh Mahfudh,
“Sesungguhnya hadis itu bukan hanya yang di-marfu’-kan kepada Nabi SAW saja, melainkan
dapat pula disebutkan pada apa yang mauquf dan maqthu’. Begitu juga dikatakan oleh al-
Tirmisi.
Dari beberapa pengertian di atas, baik dari ulama ushul maupun dari ulama hadis,
dapat ditarik benang merah bahwa hadis adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW, sahabat, dan tabiin yang dapat dijadikan hukum syara’. Maka pemikir
kontemporer membagi hadis menjadi dua, yaitu hadis tasyri’ dan hadis ghair tasyri.

B. Pembagian Hadits Dilihat dari Sumber Aslinya


1. Hadits Nabawiy
Hadits nabawiy adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Yang berupa perkataan seperti
perkataan Nabi SAW : Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat dan setiap
orang bergantung pada niatnya. Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti
ajarannya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia
mengatakan : Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat. Juga mengenai
bagaimana ia melakukan haji, dalam hal ini Nabi SAW berkata : Ambillah dari padaku
manasik hajimu. Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliau menyetujui suatu
perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan, baik
dilakukan dihadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya
mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, dimana beliau dalam sebuah
riwayat telah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu
tidak haram dimakan.
Hadits Nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW
dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri.
Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi
pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu
dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna
yang diterima dari pihak lain.

b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut
pemahamannya terhadap Al-Qur’an, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Al-
Qur’an atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihaf. Bagian
kesimpulan yang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika
terdapat kesalahan di dalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini jelaslah bahwa hadits
nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang
diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah
tentang Rasul kita Muhammad SAW: Dan tiadalah yang diucapkannya itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan. (Q.S. An-Najm: 3-4)

2. Hadits Qudsiy
Secara etimologi : Al-Qudsi berasal dari kata quds, yang berarti Ath-Thuhr (suci),
seperti yang disebutkan dalam Al-Qamus. Maksudnya adalah hadits yang dinisbatkan
kepada Dzat yang Maha Suci, yaitu Allah SWT.
Secara terminologi, hadits qudsi adalah hadits yang dinukilkan kepada kita dari
Nabi SAW dengan sanadnya dari Rabbnya.
Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds. Hadits qudsi adalah
firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak termasuk
Al-Qur’an. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW
menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu
diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri. Bila
seseorang meriwayatkan hadits qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW
dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan: Rasulullah SAW mengatakan
mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya, atau ia mengatakan: Rasulullah
SAW mengatakan: Allah Ta’ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta’ala.
Contoh hadits qudsi antara lain: Dari Abu Hurairah ra. Dari Rasulullah SAW
yang meriwayatkan dari Allah azza wajalla: Tangan Allah penuh,tidak dikurangi
lantaranmemberi nafkah, baik di waktu siang maupun malam. Contoh yang lainnya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW berkata: “Allah Ta’ala berfirman: Aku
menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku. Bila
menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila
ia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di dalam
kalangan orang banyak lebih dari itu.
Hadits qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW
melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW,
inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadits qudsi kepada Allah SWT adalah
nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadits
qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadits qudsi
dengan Al-Qur’an. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta
membacanya pun dianggap ibadah.
Jumlah Hadits Qudsiy tidak banyak, jika dibandingkan dengan jumlah hadits
nabawiy, jumlahnya melebihi dua ratus hadits.

C. Pembagian Hadits dilihat dari Penisbahannya

1. Hadits Marfu’

Secara etimologi, Al-Marfu’ merupakan ism maf’ul dari rafa’a (mengangkat),


lawan kata dari wadha’a (menaruh), dinamakan demikian karena ia disandarkan kepada
pemilik kedudukan yang tinggi, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Secara terminologi, Al-Marfu’ adalah apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju), dan
sifat.

Apa saja yang dinisbatkan atau disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju), atau sifat yang dinisbatkan kepada
Nabi SAW. Baik sahabat yang menisbatkannya, atau mereka yang tingkatannya di
bawah sahabat, baik bersambung sanadnya atau terputus. Maka hadits maushul, mursal,
muttashil, munqathi termasuk dari hadits marfu’. Ini adalah pendapat yang masyhur
mengenai hakikat hadits marfu’, dan ada juga pendapat-pendapat yang lain mengenai
hakikat dan definisinya.

Dilihat dari definisi yang ada, hadits marfu’ terbagi menjadi empat, yaitu:
a. Marfu’qouli (perkataan).

b. Marfu’ fi’li (perbuatan).

c. Marfu’ taqriri.

d. Marfu’ washfi (sifat).

Contoh-contoh :

a. Contoh hadits marfu’ yang berupa perkataan : Perkataan shahabat atau yang lainnya,
“Rasulullah SAW bersabda seperti ini…”

b. Contoh hadis marfu’ fi’li yang berupa perbuatan : Perkataan shahabat atau yang
lainnya, “Rasulullah SAW melakukan seperti ini…”

c. Contoh hadits marfu’ yang berupa taqrir : Perkataan shahabat atau yang lainnya,
“Dikerjakan di hadapan Nabi Rasulullah SAW melakukan seperti ini…” dan tidak
terdapat riwayat bahwa Nabi SAW mengingkari perbuatan tersebut.

d. Contoh hadits marfu’ yang berupa sifat: Perkataan shahabat atau yang lainnya,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW adala manusia yang paling baik akhlaknya.”

2. Hadits Mauquf

Secara etimologi, Al-Mauquf merupakan ism maf’ul dari Al-Waqfu (berhenti),


seakan-akan rawi memberhentikan hadits tersebut pada shahabat,dan tidak meneruskan
penyebutan sisa rangkaian sanad.

Secara terminologi, Hadits yang dinisbatkan kepada shahabat, baik berupa


perkataan, perbuatan, atau taqrir.

Hadits mauquf adalah hadits yang dinisbatkan atau disandarkan kepada seorang
shahabat atau sejumlah shahabat, baik hal yang dinisbatkan tersebut perkataan,
perbuatan, atau taqrir, baik sanad kepada mereka bersambung atau terputus.

Contoh-contoh:

1. Contoh mauquf yang berupa perkataan: Perkataan seorang rawi,”Ali bin Abi Thalib
r.a. berkata :

‫حدث‬
“Berbicaralah kalian kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah
kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustai?”

2. Contoh mauquf yang berupa perbuatan: Perkataan Imam Al-Bukhari, “Ibnu Abbas
menjadi imam sedangkan dia bertayammum.”
3. Contoh mauquf yang berupa taqrir. Seperti perkataan sebagai tabi’in, “Saya
melakukan hal ini dihadapan salah seorang shahabat, dan dia tidak mengingkarinya.”

Pada dasarnya hadits mauquf tidak bias dijadikan hujjah, sebab ia adalah
perkataan dan perbuatan shahabat. Akan tetapi, jika kepastian akan keshahihannya, ia
menguatkan sebagian hadits dhaif seperti yang telah lewat dalam pembahasan mursal,
karena shahabat selalu mengamalkan sunah Nabi. Hal ini jika hadits mauquf tersebut
tidak termasuk marfu’ secara hukum, namun jika ia termasuk dari yang mempunyai
hukum marfu’ maka ia bias dijadikan hujjah, seperti halnya hadits marfu’.

3. Hadits Maqthu’

Secara etimologi, Al-Maqhtu’ merupakan ism maf’ul dari qatha’a (memotong),


yang berarti lawan kata dari washala (menyambung).

Secara terminologi: Apa saja yang dinisbatkan kepada tabi’in atau yang setelah
mereka dari perkataan atau perbuatan.

Hadits maqhtu’ yaitu apa saja yang dinisbatkan atau disandarkan kepada tabi’in
atau tabi’ut tabi’in atau yang di bawah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan.
Hadits maqhtu’ berbeda dengan munqathi’, sebab maqhtu’ adalah sifat dalam matan,
dan munqathi’ adalah sifat dalam sanad. Maksudnya, hadits maqhtu’ adalah perkataan
tabi’in atau yang setelah mereka, dan terkadang sanadnya bersambung kepada tabi’in
tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan munqathi’ adalah sanad perkataan tersebut
tidak bersambung, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan matan.

Contoh-contoh:

1. Contoh maqhtu’ yang berupa perkataan: Perkataan Hasan Al-Bashri mengenai shalat
di belakang ahli bid’ah, “Shalatlah (di belakang mereka), dan bid’ah mereka atas
mereka.

2. Contoh maqhtu’ yang berupa perbuatan: Perbuatan Ibrahim bin Muhammad bin Al-
Muntasyir, “Bahwasannya Masruq menjulurkan tirai antara dia dan keluarganya,
kemudian menuju shalatnya, dan meninggalkan mereka dan dunia mereka.”

D. Pembagian Hadits dilihat dari Bentuk Asalnya

Ulama hadits mendefinisikan hadits secara bahasa dengan ‫( الجديد‬yang baru) dengan
lawannya ‫( الق>>ديم‬lama) dan secara umum yang dimaksud dengannya adalah segala
perkataan Nabi SAW yang dinukilkan dan disampaikan oleh manusia baik dari segi
mendengar atau segi wahyu dalam keadaan terjaga atau pun tidur.
Sedangkan menurut istilah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat. Didalam buku Manhaj Naqd fi ulumil
hadits, Nuruddin Ithr mendefinisikan bahwa hadits segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
sifat kholqiyyah (penciptaan), Khuluqiyyah (Akhlak) atau apa saja yang disandarkan
kepada para sahabat dan tabi’in.[1]
Diantara contoh hadits yang menggambarkan akhlak Nabi adalah
‫رمضان فى لناساأجود كان رسول كان و لناسا جود أ وسلم عليه هللا صلى هللا‬
“Adalah Rasulullah itu manusia yang penyantun dan lebih penyantun lagi dibulan
ramadhan”
dan contoh yang menggambarkan Nabi seorang manusia ciptaan Allah SWT
‫وجها كان الناس حسنأ وسلم عليه هللا صلى اللهرسول‬, ‫خلقا وأحسنه‬,‫ لبائن ا بالطويل ليس‬,‫بالقصير وال‬
“Adalah Rasulullah manusia yang paling baik/indah wajahnya, paling mulia
akhlaknya, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek”.

1. Hadits Qouli
Hadits Qouli adalah semua ucapan Nabi SAW yang disampaikan dalam berbagai
macam tempat dan kesempatan, dan ulama ushul fiqh juga mendefinisikan hadits Qouli
dengan defenisi yang sama.[2]
Contoh hadits yang menggambarkan perkataan Nabi SAW:
... ‫إنما‬.‫نوى ما امرء لكل وإنما بالنيات ألعمال ا‬
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap seseorang
akan mendapatkan sesuatu ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkan…"
...‫والضرارالضرر‬
“Janganlah membahayakan diri dan membahayakan bagi orang lain…”

2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah semua perbuatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh para
sahabat seperti wudhu nabi, tatacara pelaksanaan sholat, pelaksanaan haji, dan lain
sebagainya.[3]
Contoh hadits yang menggambarkan perbuatan Nabi SAW :
‫مناسككم عنى خذوا‬
“Ambillah olehmu tatacara manasik haji dariku”

Para ulama ushul fiqh juga mengelompokkan perbuatan Nabi SAW kepada
beberapa bagian :
a. Jibilli/Jiblah (perangai/tabiat), yaitu perbuatan atau pekerjaan Nabi SAW yang
termasuk dalam urusan tabiat seperti makannya nabi, minum, duduk, dsb.
b. Qurb (pendekatan/dekat), seperti ibadah sholat, puasa, shodaqoh, dsb.
c. Mu’amalah (hukum syar’i yang mengatur kepentingan individu dengan lainnya),
seperti jual beli, perkawinan, pertanian, dsb.[4]

Adapun kandungan hukum yang terdapat dalam perbuatan Rasulullah SAW


tersebut, bahwasanya fi’liyah Rasulullah SAW adalah pekerjaan-pekerjaan Nabi yang
menjadi penerang bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah SWT seperti beliau
mengerjakan sholat Zuhur empat rakaat, Maghrib tiga rakaat, Isya empat rakaat, Ashar
empat rakaat, dan Subuh dua rakaat. Kesemuanya itu merupakan perbuatan Nabi yang
berkedudukan sebagai hukum asal, andaikata hukum asal yang dikerjakan Nabi itu
wajib maka perkerjaan yang menerangkan cara melaksanakan perintah yang wajib itu
juga wajib.

3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri (penetapan, pengukuhan atau isbat) adalah semua yang diakui oleh
Nabi terhadap yang bersumber dari salah satu sahabat beliau, baik berupa perkataan dan
perbuatan, meskipun perbuatan tersebut dihadapannya atau tidak.[5]
Contoh pertama
Taqrir dari Nabi SAW terhadap kisah dua orang sahabat yang berada dalam
perjalanan, ketika telah masuk waktu sholat mereka tidak menemukan air untuk
berwhudu, lalu mereka bertayamum dan melakukan sholat, setelah beberapa saat dalam
perjalanan mereka menemukan air sebelum waktu sholat tersebut habis, kemudian salah
seorang diantara keduanya berwhudu dan mengulang sholatnya sedangkan yang lain
tidak mengulang sholatnya, kemudian sampailah hal ini kepada Rasulullah SAW, dan
Nabi membenarkan perbuatan keduanya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa :

1. Pembagian Hadits dilihat dari sumber aslinya: Hadits Nabawiy dan Hadits Qudsiy

2. Pembagian Hadits dilihat dari penisbahannya: Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqhtu’

3. Pembagian Hadits dilihat dari bentuk asalnya: Hadits Qauli, Fi’liy, dan Taqririy

B. Saran

Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami dengan
adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya mata kuliah Ushul Al-
Hadits kita bias membedakan “Pembagian Hadits dilihat dari sumber aslinya,
penisbahannya, dan bentuk asalnya”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya. Semoga
makalah ini bias bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Mahmud Ath-Thahhan.2017 Dasar-dasar Ilmu Hadits.Jakarta : Ummul Qura

2. https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/pembagian-hadits-ulumul-hadits.html

3. https://hot.liputan6.com/read/4473192/ Judul : pengertian-hadits-dalam-hukum-islam-


sejarah-dan-jenis-jenisnya

4. http://digilib.uinsby.ac.id/953/5/Bab%202.pdf Judul : Hadits dan Pemimpin

5. https://www.academia.edu/36749637/Hadits_Nabawi_dan_Hadits_Qudsi, judul makalah :


hadits nabawi, hadits qudsi dan Al-Qur’an, oleh : Salma Febylia dan Rika

6. http://juniskaefendi.blogspot.com/2019/11/makalah-ulumul-hadits-tantang.html Judul :
Klasifikasi Hadits ditinjau dari Berbagai Aspeknya

Anda mungkin juga menyukai