Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Tentang
Konsep Hadits, Sunnah, Khobar, dan Atsar

Oleh:
Gian Firadi (2316050011)
Febi Marta Zona (2316050017)
Al Abid Islam Mahmudi (2316050018)
Muhammad Soufi Zacky (2316050025)

Dosen pengampu:
Syilvia Yani, S. Fil. I, M.A

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1445H/2023M
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho ALLAH SWT,
karena tanpa ramat dan ridho-Nya pemakalah tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan selesai tepat waktu.

Tidak lupa pemakalah ucapkan terima kasih kepada ibu Syilvia Yani, S. Fil. I, M.A
selaku dosen pengampu mata kuliah pengantar studi Al-Qur’an dan hadits yang membimbing
kami dalam mengerjakan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam
pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang konsep hadits, Sunnah,
Khobar dan atsar.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui
maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya
makalah yang sempurna.

Padang, 19 Oktober 2023

Pemakalah
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
B. Perbedaan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
C. Unsur-unsur Pokok Hadits
1. Sanad
2. Matan
3. Rawiy/Mukharrijj
D. Sunnah
E. Khobar
F. Atsar

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

A.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. “Hadits
atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau
didasarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir-nya.
Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak
terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih
banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebahnya adalah Nabi
sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits nya, dan menurut penulis karakter
orang orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran
bercampur dengan al- Qur’an. Dengan kenyataan ini sangat logis sekali bahwa tidak
seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.
Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara
kuantitatif cukup banyak sekali. Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga
banyak istilah- istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah
Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan
Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyoroti : (1)
pengertian Hadits, dan perbedaan Hadits dengan al-Khabar, dan al-Atsar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru -
lawan dari al-Qodim (lama) - artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang
dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama
Islam). Hadis juga sering disebut al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya
dengan hadis.
Sedangkan menurut istilah (terminology), para ahli memberikan definisi (tarif)
yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian
Hadits menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli
hadis. Menurut ahli hadis, pengertian hadis adalah:

‫اقوال النبي صلى هنال عليه وسلم وافعاله واحواله‬

“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”

Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW. Yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan
kebiasaannya. Ada juga yang memberikan pengertian lain:

‫صلى هلال عليه وي لم اقوال او فعال أو تقريرا أوصفة يما أضيف إلى الرب‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,


perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”

Sebagian muhadditsin berpendapat bahwa pengertian hadis diatas merupakan


pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang
lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. (hadis marfu)
saja. Melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadis mauquf),
dan tabi’in (hadis maqta’), sebagaimana disebutkan oleh Al-Tirmisi:

‫يف فين‬ee‫ا أض‬ee‫و م‬ee‫الموزوف وه‬ee‫اء ب‬ee‫ل ج‬ee‫ه ومن ثم ب‬ee‫ا الى فال علي‬ee‫وع الرهم‬ee‫المير ن‬ee‫ع ب‬ee‫أن الحديث الري‬
‫الصحابي ولم يطوع وهو ما أضيف ال داعى‬

“Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW., melainkan bisa juga untuk sesuatu yang
mauquf, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in

Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik ucapan, perbuatan maupun
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentua-ketentuan Allah yang
disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti ahli
ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang
dikatakan hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang
diemban oleh Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah. Inipun, menurut mereka harus
berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan
kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.
Dengan demikian, pengertian hadis menurut ahli ushul lebih sempit disbanding
dengan hadis menurut ahli hadis.
Definisi di atas memberikan kesimpulan, bahwa hadis mempunyai 3
komponen, yaitu sebagai berikut:
a. Hadis perkataan yang disebut dengan hadis quuli, misalnya sabda
beliau:
‫إذا التقى المسلمان بستقيما فالقاتل والمقتول في النار‬

“Jika dua orang muslim bertemu dengan pedangnya, maka pembunuh


dan yang terbunuh di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari)
b. Hadis perbuatan, disebut hadis fili misalnya shalatnya beliau, haji,
perang, dan lain-lain.
c. Hadis persetujuan, disebut hadis taqriri, yaitu suatu perbuatan atau
perkataan di antara para sahabat yang disetujui Nabi. Misalnya, Nabi
diam ketika melihat bahwa bibi Ibnu Abbas menyuguhi beliau dalam
satu nampan berisikan minyak samin, mentega, dan daging binatang
dhabb (semacam biawak tetapi bukan biawak). Beliau makan sebagian
dari mentega dan minyak samin itu dan tidak mengambil daging
binatang dhabb karena jijik. Seandainya haram, tentunya daging
tersebut tidak disuguhkan kepada beliau. (HR. Al-Bukhari)

B. Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi


Perbedaan antara hadis qudsi dan nabawi terletak pada sumber berita dan
proses pemberitaannya. Hadis qudsi maknanya dari Allah yang disampaikan melalui
suatu wahyu, dan redaksinya dari Nabi yang disandarkan kepada Allah. Sedangkan
hadis nabawi pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad Nabi sendiri.
Dalam hadis qudsi Rasul menjelaskan kandungan atau yang tersirat pada wahyu
sebagaimana yang diterima dari Allah dengan ungkapan beliau sendiri. Pembagian ini
sekalipun kandungannya dari Allah, tetapi ungkapan itu disandarkan kepada Nabi
sendiri karena tentunya ungkapan kata itu disandarkan kepada yang mengatakannya
sekalipun maknanya diterima dari yang lain. Oleh karena itu, selalu disandarkan
kepada Allah. Pemberitaan yang seperti ini disebut taufiqi. Pada hadis nabawi kajian
Rasul melalui ijtihad yang dipahami dari Alquran karena beliau bertugas sebagai
penjelas terhadap Alquran. Kajian ini didiamkan wahyu jika benar dan dibetulkan
dengan wahyu jika salah. Kajian seperti ini disebut tawqîfi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis nabawi dengan kedua
bagiannya merujuk kepada wahyu, baik yang dipahami dari kandungan wahyu secara
tersirat yang disebut dengan tawfiqi maupun yang dipahami dari Alquran secara
tersurat yang disebut dengan tawifi dan inilah makna firman Allah dalam Surah An-
Najm (53) ayat 3-4:
‫َو َم ا َينِط ُق َع ِن الَهَو ى ِإْن ُهَو ِإاَّل َو َعى ُيوَح ى‬

“Dan tidaklah yang diucapkannya (Alquran) itu menurut kemauan hawa


nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
Pada ayat ini ijtihad tidak merupakan lawan kata dari wahyu dan tidak ada
alasan untuk melarangnya. Lawan kata wahyu pada ayat tersebut adalah hawa. Nabi
tidak berkata dari hawa nafsu, tetapi dari wahyu. Secara umum dari beberapa uraian
di atas dapat dikembangkan menjadi beberapa perbedaan antara hadis qudsi dan hadis
nabawi, di antaranya sebagai berikut.
a. Pada hadis nabawi, Rasul menjadi sandaran sumber pemberitaan,
sedangkan pada hadis qudsi beliau menyandarkannya kepada Allah.
Pada hadis qudsi, Nabi memberitakan apa yang disandarkan kepada
Allah dengan menggunakan redaksinya sendiri.
b. Pada hadis qudsi, Nabi hanya memberitakan perkataan atau qawli,
sedangkan pada hadis nabawi pemberitaannya meliputi perkataan
(qawli), perbuatan (fili), dan persetujuan (taqrîrî).
c. Hadis nabawi merupakan penjelasan dari kandungan wahyu,’ baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Maksud wahyu yang tidak
secara langsung, Nabi berijtihad terlebih dahulu dalam menjawab suatu
masalah. Jawaban itu terkadang sesuai dengan wahyu dan adakalanya
tidak sesuai dengan wahyu. Jika tidak sesuai dengan wahyu, maka
datanglah wahyu untuk meluruskannya. Hadis qudsi wahyu langsung
dari Allah SWT.
d. Hadis nabawi lafal dan maknanya dari Nabi menurut sebagian
pendapat, sedangkan hadis qudsi maknanya dari Allah redaksinya
disusun oleh Nabi.
e. Hadis qudsi selalu menggunakan ungkapan orang pertama (dhamir
mutakallim): Aku (Allah)... Hai hamba-Ku... sedangkan hadis nabawi
tidak menggunakan ungkapan tersebut.

C. Unsur-unsur Pokok Hadits


1. Sanad
Sanad menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran,
pegangan, dan pedoman. Menurut istilah ahli hadis ialah:
‫سلسلة الرجال المؤصلة إلى الفتن‬
“Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada
matan hadis.”

Dalam hal ini dikatakan bahwa sabda Nabi tersebut sampai kepada kita
melalui periwayatan Al-Bukhari. Al-Bukhari dari Ibnu Al-Mutsanna dari
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dari Nabi.
Hubungan mereka secara bermata rantai dan sandar-menyandar dari si A ke B
dan dari B ke C dan seterusnya disebut samad dan Al-Bukhari sebagai perawi
atau mukharrij, artinya dialah yang menyebutkan dalam kitab karyanya Al-
Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari. Demikian juga hadis kedua sampai kepada
kita melalui periwayatan Al-Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari
Ibnu Syihab dari Muhammad dari Jubair dari Nabi. Mereka itu disebut Sanad
dan Al-Bukhari disebut Mukharrij atau Perawi.
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang
menimbang shahih atau dha'if-nya suatu hadis. Andaikata salah seorang dalam
sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa
berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muuttashil), maka
hadis tersebut dha'if sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Demikian
sebaliknya jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan
cukup persyaratan, yaitu adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri
(muri'ah), dan memiliki daya ingat yang kredibel, sanad-nya bersambung dari
satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama,
maka hadisnya dinilai shahih.
Sanad ini sangat penting dalam hadis, karena hadis itu terdiri dari dua
unsur yang secara integral tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu:
matan dan sanad. Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad karena mayoritas
hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana Alquran dan diterima secara
individu (âhâd) tidak secara mutawatir. Hadis hanya disampaikan dan
diriwayatkan secara ingat-ingatan dan hafalan para sahabat yang andal, di
samping hiruk-pikuk para pemalsu hadis yang tidak bertanggung jawab. Oleh
karena itu, tidak semua hadis dapat diterima oleh para ulama, kecuali telah
memenuhi kriteria yang ditetapkan, di antaranya disertai sanad yang dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya.

2. Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti; kerus, kuat, sesuatu
yang tampak dan yang asli. Dalam bahasa Arab dikatakan:

‫( َم ا اْر َتَفَع َو َص َلَب ِم َن اَأْلْر ِض‬Tanah tinggi dam keras)


‫( من الكتاب‬Kitab asal (yang diberikan syarah/penjelasan))

Dalam perkembangan karya penulisan, ada matan dan ada syarah.


Matan di sini dimaksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada
umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat, sedangkan
syarah- nya dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci.
Dimaksudkan dalam konteks hadis, hadis sebagai matan, kemudian diberikan
syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Al-Bukhârî
di-syarah- kan oleh Al-Asqalani dengan nama Fath Al-Bâri dan lain-lain.

Menurut istilah, matan adalah:


‫ما ينتهي إليه الَّسنُد ِم ن الكالم‬

“Sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad.”

Definisi lain menyebutkan:


‫الفاظ الحديث التي تقوم بها معانيه‬

“Beberapa lafal hadis yang membentuk beberapa makna.”

Berbagai redaksi definisi matan yang diberikan para ulama, tetapi


intinya sama, yaitu materi atau isi berita hadis itu sendiri yang datang dari
Nabi. Mattan hadis ini sangat penting karena yang menjadi topik kajian dan
kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.

3. Rawiy/Mukharrijj
Kata mukharrij merupakan isim fa'il (bentuk pelaku) dari kata takhrij
atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan,
mengeluarkan, dan menarik. Maksud mukharrij adalah seorang yang
menyebutkan suatu hadis dalam kitabnya dengan sanad-nya. Dr. Al-Muhdi
menyebutkan:
‫فالمخرج هو ذاكر الرواية كالبخاري‬

“Mukharrij adalah penyebut periwayatan seperti Al-Bukhari”

Misalnya jika suatu hadis mukharrij-nya Al-Bukhari, berarti hadis


tersebut dituturkan Al-Bukhari dalam kitabnya dengan sanad-nya. Oleh karena
itu, biasanya pada akhir periwayatan suatu hadis disebutkan (hadis di-takhrij
oleh Al-Bukhari) dan seterusnya.
Kata perawi atau Ar-Rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata
riwayah, yang berarti memindahkan dan menukilkan. Yaitu memindahkan atau
menukil suatu berita dari seseorang kepada orang lain. Adapun secara istilah,
Ar-Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang menyampaikan
periwayatan hadis (ada’ al-hadits) dari seorang guru kepada orang lain yang
ter- himpun ke dalam buku hadis. Untuk menyatakan perawi suatu hadis
dikatakan dengan kata:, berarti hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Sebenarnya antara sanad dan para perawi merupakan dua istilah yang
tidak dapat dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi (thabaqât)
terdiri dari para perawi. Mereka adalah orang-orang yang menerima dan
meriwayatkan atau memindahkan hadis dari seorang guru kepada murid-
muridnya atau teman-temannya. Kemudian bagi perawi yang menghimpun
hadis ke dalam suatu kitab tadwin disebut dengan perawi dan disebut dengan
muddawin (orang yang menghimpun dan membukukan hadis). Demikian juga
ia disebut mukharrij, karena ia yang menerangkan para perawi dalam sanad
dan derajat hadis itu ke dalam bukunya.

D. Sunnah
Sunnah menurut bahasa banyak artinya, di antaranya: suatu perjalanan yang
diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk. Misalnya sabda Nabi:

‫َم ْن َس َّن ُس َّنَة َخْيٍر َفاَّتِبَع َع َلْيَها َفَلُه َأْج ُر ُه َوِم ْثُل ُأُجوٍر َم ْن اَّتَبَع ُه َغْيَر َم ْنُقوٍص‬

‫من أجورهم شيئا ومن من سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل أوزار‬

‫من البغة غير منقوص من أوزارهم شيئا‬

“Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah) kebaikan, kemudian di- ikuti orang
maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat suatu jalan
(sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun. “(HR. At-Tirmidzi)

Sunnah baik seperti yang dicontohkan Nabi memang harus diikuti, tetapi
sunnah orang-orang yang tidak bertanggung jawab harus dijauhi. Hadis di atas
memberikan motivasi sunnah yang baik dan mengancam sunnah yang buruk.
Sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di
antaranya sebagai berikut.
a. Menurut ulama ahli hadis (muhadditsin), sunnah sinonim hadis sama
dengan definisi hadis di atas. Di antara ulama ada yang mendefinisikan
dengan ungkapan yang singkat:
‫أقوال النبي صلى هللا عليه وسلم وأفعاله وأخواله‬

“Segala perkataan Nabi, perbuatannya, dan segala tingkah lakunya”

b. Menurut ulama ushul fiqh (ushuliyun):

‫كل ما ُر وي عن النبي صلى هللا عليه وسلم منا ليس قرآنًا من أقوال أو أفعال أو تقريرات مما‬
‫يضلح أن يكون دليال لحكم شرعي‬

“Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi yang bukan Alquran, baik
berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut
dijadikan dalil hukum syara’.”

Sunnah menurut ulama ushul fiqh hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar
hukum Islam. Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan,
minum, tidur, berjalan, meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka
pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunnah.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sunnah menurut ulama
hadis lebih bersifat umum, yaitu meliputi segala sesuatu yang datang dari Nabi dalam
bentuk apa pun, baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan sunnah menurut
ulama ushul fiqh dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum saja dan yang
tidak berkaitan dengan hukum seperti amal mubahat seperti makan, minum, duduk,
berdiri, jongkok, dan lain-lain tidak termasuk sunnah.
Menurut ulama fiqh hanya melihat sepihak maksud hukum sunnah yang
merupakan antonim dari wajib. Demikian juga sunnah di mata ulama maw'izhah yang
hanya melihat pada sisi lawan sunnah tanpa melihat substansi dan makna yang tersirat
dalam sunnah tersebut. Perbedaan hadis dan sunnah, yaitu jika penyandaran sesuatu
kepada Nabi walaupun baru sekali dikerjakan atau bahkan masih berupa azam (hadis
hammi) menurut sebagian ulama disebut hadis bukan sunnah. Sunnah harus sudah
berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rasul. Perbedaan lain,
hadis menurut sebagian ushûliyin identik dengan sunnah qawliyah saja, karena
mereka melihat hadis hanya berbentuk perkataan, sedangkan sunnah berbentuk
tindakan atau perbuatan yang telah mentradisi secara kontinu.
Perbedaan para ulama dalam mendefinisikan sunnah, lebih disebabkan karena
perbedaan disiplin ilmu yang mereka miliki atau yang mereka kuasai dan ini
menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia yang dibatasi pada bidang-bidang
tertentu. Ulama hadis melihat Nabi sebagai figur keteladanan yang baik (uswatun
hasanah), maka semua yang datang dari Nabi adalah sunnah. Ulama ushul melihat
pribadi Nabi sebagai pembuat syariat (syari’), penjelas kaidah-kaidah kehidupan
masyarakat, dan pembuat dasar-dasar ijtihad. Ahli fiqh memandang segala perilaku
Nabi mengandung hukum lima, yaitu wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Adapun ulama maw’izhah melihatnya sebagai sesuatu yang datang dari Nabi wajib
dipatuhi dan diikuti.
E. Khobar
Menurut bahasa khabar diartikan an-naba’ = berita. Dari segi istilah
muhadditsin, khabar identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi (baik secara marfa, mauquf, dan maqthu), baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, dan sifat. Di antara ulama memberikan definisi sebagai
berikut.
‫جاء عن النبي صلى هللا عليه وسلم وغيره من أصحابه أو التابعين أو تابعم‬
‫التابعين أو من دونم‬

“Sesuatu yang datang dari Nabi dan dari yang lain seperti dari para sahabat,
tabi'in dan pengikut tabi'in atau orang-orang setelahnya.”

Mayoritas ulama melihat hadis lebih khusus yang datang dari Nabi, sedangkan
khabar sesuatu yang datang darinya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat
dahulu, para Nabi, dan lain-lain. Misalnya, Nabi Isa berkata:..., Nabi Ibrahim berkata:
dan lain-lain, termasuk khabar bukan hadis. Bahkan pergaulan di antara sesama kita
sering terjadi menanyakan khabar. Apa khabar? Dengan demikian, khabar lebih umum
daripada hadis dan dapat dikatakan bahwa setiap hadis adalah khabar dan tidak
sebaliknya, khabar tidak mesti hadis.

F. Atsar
Dari segi bahasa, atsar diartikan sebagai peninggalan atau bekas sesuatu,
maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadis itu peninggalan beliau. Atau
diartikan (yang dipindahkan dari Nabi), seperti kalimat: dari kata arsar, artinya doa
yang disumberkan dari Nabi.
Menurut istilah ada dua pendapat; Pertama, atsar sinonim hadis; Kedua, atsar
adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (mawqûf) dan tabi’in (maqthi),
baik perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama mendefinisikan::
‫ما جاه عن غير النبي صلى هللا عليه وسَّلم من الصحابة أو الَّتاِبِع يَن َأو َم ْن‬
“Sesuatu yang datang dari selain Nabi dan dari para sahabat, tabi’in, dan atau
orang-orang setelahnya.”
Sesuatu yang disadarkan pada sahabat disebut berita mawqaf dan sesuatu yang
datang dari tabi’in disebut berita maqthi. Menurut ahli hadis, atsar adalah sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi (marfu”), para sahabat (mawquf), dan ulama salaf.
Sementara fuqaha Khurrasan membedakannya; atsar adalah berita mawquf,
sedangkan khabar adalah berita marfa. Dengan demikian, atsar lebih umum daripada
khabar, karena atsar adakalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain,
sedangkan khabar adalah berita yang datang dari Nabi atau dari sahabat, sedangkan
atsar adalah yang datang dari Nabi, sahabat, dan yang lain. Sebutan seorang ahli hadis
= Muhaddits, seorang ahli sunnah = Sunni, seorang ahli khabar = Khabari, dan ahli
atsar = Atsari. Untuk memudahkan pemahaman berikut ini dipaparkan resume
pembahasan mengenai perbedaan antara hadis, sunnah, khabar, dan atsar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik ucapan,
perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentua-
ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
Sunnah menurut ulama hadis lebih bersifat umum, yaitu meliputi segala
sesuatu yang datang dari Nabi dalam bentuk apa pun, baik berkaitan dengan hukum
atau tidak. Sedangkan sunnah menurut ulama ushul fiqh dibatasi pada hal-hal yang
berkaitan dengan hukum saja dan yang tidak berkaitan dengan hukum seperti amal
mubahat seperti makan, minum, duduk, berdiri, jongkok, dan lain-lain tidak termasuk
sunnah.
Menurut bahasa khabar diartikan an-naba’ = berita. Dari segi istilah
muhadditsin, khabar identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi (baik secara marfa, mauquf, dan maqthu), baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, dan sifat.
Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (marfu”), para sahabat
(mawquf), dan ulama salaf. Sementara fuqaha Khurrasan membedakannya; atsar
adalah berita mawquf, sedangkan khabar adalah berita marfa. Dengan demikian, atsar
lebih umum daripada khabar, karena atsar adakalanya berita yang datang dari Nabi
dan dari yang lain, sedangkan khabar adalah berita yang datang dari Nabi atau dari
sahabat, sedangkan atsar adalah yang datang dari Nabi, sahabat, dan yang lain.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak mudah, banyak halangan dan
rintangan yang pemakalah lalui dalam proses pembuatan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat membantu pembaca dalam mempelajari ilmu tentang konsep hadits,
Sunnah, Khobar, dan atsar.
Pemakalah juga berharap adanya kritikan dan saran agar kedepannya makalah
ini dapat di tulis dengan sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Hadits


Abdul Majid Khon. 2012. ULUMUL HADIS. Jakarta: AMZAH
Ali Mustafa Ya’kub, 1995. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Suparta, Munzier, 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai