Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH STUDI HADIS

DEFINISI HADIS,SUNNAH,KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIST DALAM


ISLAM

Disusun oleh:
Azhara Zafitrahani
azharazafitrahani@gmail.com
NIM. 12380313119

1
Abstrak

Jumhur Ulama menyepakati bahwa Hadis merupakan sumber ajaran Islam


kedua. Dengan demikian, untuk memahami ajaran Islam secara holistik, maka
pemahaman terhadap Hadis adalah keniscayaan. Kendatipun ada segelintir umat
Islam yang tidak mengakui kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam, hal ini
terjadi, antara lain, boleh jadi karena mereka tidak memahami secara
komprehensif bagaimana sejarah Islam dan lahirnya Islam yang disampaikan oleh
Rasulullah saw itu sendiri. atau karena kurang memahami teks Alquran yang
memang memerintahkan untuk mentaati Rasul serta berpegang teguh dengan apa
yang disampaikannya berkaitan dengan syariat Islam. Artikel ini, mengupas
tentang bagaimana urgensi kedudukan Hadis terhaadap Alquran dan
kehujjahannya dalam ajaran Islam.

Abstract

Most Ulama agree that Hadith is a source of Islamic teachings


second. Thus, to understand Islamic teachings holistically, then
understanding the Hadith is a necessity. Even though there are a handful of people
Islam does not recognize the position of Hadith as a source of Islamic teachings,
this is the case This happens, among other things, because they don't understand it
properly Comprehensive how the history of Islam and the birth of Islam is
presented by The Prophet himself. or because they don't understand the text of the
Koran indeed ordered to obey the Messenger and stick to what he said what he
conveyed was related to Islamic law. This article explores about the urgency of the
position of Hadith in relation to the Koran and his proof in Islamic teachings

KATA PENGANTAR

2
Segala puji bagi Allah SWT, hanya dengan Izin Allah terlaksana segala
macam kebajikan dan diraih segala macam kesuksesan. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. kepada beliau agama Islam
disempurnakan hingga beliau menjadi teladan dalam pelaksanaannya. Semoga
keberkahan juga tercurah kepada keluarga dan sahabat beliau serta seluruh manusia
yang taat dan setia kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Alhamdulillah, dengan berbagai bantuan dari banyak pihak dan berkat
karunia Allah Swt, akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Definisi Hadis, Sunnah, Kedudukan dan fungsi hadis dengan al-Quran dalam
islam.
Namun dikarenakan penulis makalah adalah manusia biasa maka mungkin
terdapat kesalahan penulisan atau isi dari makalah kami ini. Saran dan kritikan sangat
dibutuhkan sebagai bahan untuk memperbaiki diri dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Lebih dan kurang saya mohon maaf dan kepada Allah kami mohon
ampun. Terima kasih.

Pekanbaru,9 September 2023

azhara Zafitrahani

BAB I
PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah swt., yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., Sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar
memproleh kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak. Konsep-konsep yang dibawa
Alquran selalu relevan dengan problem yang dihadapi manusia, karena ia turun
untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan
pemecahan terhadap problem tersebut, kapan dan di manapun mereka berada.
Sebagai sumber utama ajaran Islam, Alquran dalam membicarakan suatu
masalah sangat unik, tidak tersusun secara sistematis sebagaimana buku-buku ilmiah
yang dikarang manusia. Alquran jarang sekali membicarakan suatu masalah secara
rinci, kecuali menyangkut masalah akidah, pidana dan beberapa masalah tentang
hukum keluarga. Umumnya Alquran lebih banyak mengungkapkan suatu persoalan
secara global, parsial dan sering kali menampilkan suatu masalah dalam prinsip-
prinsip dasar dan garis besar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1. definisi hadis,sunnah 2. Bagaimana kedudukan dan fungsi hadist
dengan alquran dalam islam

C. Tujuan
Ada pun tujuan dari rumusan masalah adalah:
1. Untuk mengetahui definisi hadis dan sunnah
2. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi hadis dengan alquran dalam
islam

BAB II
PEMBAHASAN

4
A. Pengertian hadits
Dari segi bahasa, hadis (arab : hadits) bila di gunakan sebagai kata sifat
memiliki arti “ yang baru”, ia merupakan kebalikan dari kata Qadim yang berarti
dahulu. Namun kaang kata hadis di pakai pula untuk makna ikhbar (pemberitaan).
Sejumlah ulama mensinyalir bahwa arti “baru” bagi makna hadits di atas, di
kehendaki sebagai bandingan dari kitab allah SWT yang Qadim. Dalam Syarah
Shohib Bukhori Ibnu Haar mengatakan : “ yang di maksud dengan hadits menurut
pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada nabi Saw. Dan hal itu seakan-
akan di maksudkan sebagai bandingan dari Al-Qur’an, sebab ia bersifat Qadim.
Kata hadits – dalam tinjauan Abul Baqo’ – adalah isim dari kata tahdits yang
berarti ikhbar (pemberitaan), kemudian didefinisikan sebagai sabda, perbuatan atau
penetapanyang di nisbatkankepada Nabi SAW. Bentuk jamak dari
kata hadits adalahahadits dengan tidak mengikuti prosedur qiyasi. Hal senada di
ungkapkan oleh Al-Farro’, yang menilai bahwa : “mufrod (bentuk tunggal) dari
kata ahadits adalah utdutsah(bahan pembicaraan) kemudian orang-orang
menjadikannya sebagai jamak dari kata hadits. Mereka tidak mengatakan uhdutsatun
Nabi SAW (tetapi ahadisun Nabi SAW)
Devinisi hadis versi jumhur muhaddisin (para ahli hadits) ialah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, atau yang
lain, misalnya berkenaan demngan sifat fisik budi pekerti dan sebagainya
Hadits dalam terminology mahaddisin berbeda debgab pengertian hadits
menurut ahli hokum (fuqoha’ atau ushuliyyin). Ini karena tinjauan serta objek kajian
mereka berbeda dangandisiplin ilmu masing-masing. Ulama ushul fiqh misalnya
tidak memasukan sifat-sifat nabi SAW atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan
hokum kedalam definisi hadits.[1]
Hadits memiliki beberapa makna misalnya:
1. Al-jiddah = baru, dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada. Lawan
dari kata al-qadim = terdahulu
2. Ath-thari = lunak, lembut dan baru.
3. Al-khabar = berita pembicaraan dan perkataan, oleh karena itu ungkapan
pemberitaan hadits yang di ungkapkan oleh para perowi yang menyampaikan

5
periwayatanya jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan =
memberitakan kepada kami atau sesamanya seperti mengkhabarkan kepada kami
yang menceritakan kepada kami. Hadits disini diartikan sama dengan al-khabar dan
an-naba’.
Secara etimologis hadits adalah berita yang datang dari nabi , sedang makna
pertama dalam konteks teologis bukan kontek hadits. Dari segi terminology, banyak
para ahli hadits memberikan definisi yang berbeda redaksi tetapi maknanya sama, di
antaranya Mahmud Ath-Thahan ( guru besar hadits di fakultas Syari’ah dan dirasah
islamiah di Universitas Kuwait) mendefinisikan sesuatu yang dating dari nabi saw
baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.[2]
Adapun menurut hadits yang komprehensif menurut istilah yaitu:
Segala sesuatu yang dinisbuhkan kepada Nabi SAW baik ucapan perbuatan
ketetapan sifat diri atau sifat pribadi atau yang di nisbahkan kepada sahabat atau
tabi’in ( Nuruddin Itr ; Uluml Haditss I, 1994;90)[3]

1. pengertian sunnah
Pengertian Sunnah
Arti bahasa : Jalan yang di tempuh
Arti istilah : Ada tiga versi yakni :
 Sama dengan pengertian hadits di atas (murodif). Demikian versi
mayoritas ahli hadits
 Berbeda dengan pengertian hadits di atas, yakni istilah sunnah
penggunaanya khusus untuk aktifitas Nabi SAW yang di laksanakan terus menerus
dan di lestarikan oleh para sahabat / generasi berikutnya (ma’tsur)[4]
Sunnah menurut etimologi berarti cara yang bias di tempuh (inisiatif) baik
ataupun buruk, sebagaimana sabda Nabi SAW :
‫ ومن‬,‫َم ْن َس َّن ِفي ْا ال ْس َال ِم ُسَنًة َح َس َنًة َفَلُه آ ْخ ُر َم ْن َع ِمَل َبْع َد ُه ِم ْن َغْيِر َآ ْن َيْنُقَص ِم ْن ُآ خورهم شيء‬
‫يئ ( رواه‬qq‫ا من بعده من غيران ينقص من اوزارهم ش‬qq‫ان عليه وزره ووزر من عمل به‬qq‫سَن سَنة سيئة ك‬
) ‫مسلم‬
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang ; dan

6
barang siapa membuat inisiatif yang jelek ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-
orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang” (HR. Muslim)
Ulama’ hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang di
hubungkan kepada nabi SAW. Tetapi, menurut sebagian ahli hadits sunnah itu
termasuk segala sesuatu yang di hubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya.
Menurut ulama’ ushul fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber
dari nabi SAW, selain Al-qur’an, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, yang dapat
menjadi dalil-dalil hukum syara’.
Ulama’ fiqih sunnah mendefinisikan, sunnah adalah apa saja yang benar dari
nabi SAW dalam urusan agama, yang berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang di
dalamnya terkandung unsur memfardhukan atau mewajibkan.
Sedang ulama’ yang bergelut di bidang dakwah mendefinisikan sunnah ialah
apa saja yang bukan bid’ah[5]
Di katakan dalam buku lain Sunnah menurut bahasa banyak artinya di
antaranya suatu perjalanan yang di ikuti, baik di nilai perjalanan baik atau
perjalanan buruk. Missal sabda nabi: barang siapa yang membuat suatu jalan
(sunnah) kebaikan, kemudian di ikuti orang maka baginya pahalanya dan sama
dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk,
kemudian di ikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. At-tirmidzi)
Sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama’,
di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut ulama ahli hadits, sunnah sinonim hadits sama dengan definisi
hadits di atas. Di antara ulama’ ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang
singkat: segala perkataan nabi SAW, perbuatannya dan segala tingkah lakunya
b. Menurut ulama’ Ushul Fiqih ( ushuliyun) segala sesuatu yang di riwayat
kan dari Nabi SAW baik yang bukan Alquran baik berupa segala perkataan,
perbuatan, dan pengakuan yang patut di jadikan dalil hokum syara. Sunnah menurut
Ulama’ ushul fiqih hanya perbuatan yang dapat di jadikan dasar hokum islam. Jika
suatu perbuatan Nabi tida di jadikan dasar hokum seperti makan, minum, tidur,

7
berjalan, meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa
sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunnah.
c. Menurut ulama’ Fiqih (fuqaha) suatu ketetapan yang datang dari
Rasululloh dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka ia menurut mereka
adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak di siksa bagi
yang meninggalkannya. Menurut ulama’ fiqih, sunnah dilihat dari segi hokum
sesuatu yang dating dari nabi tetapi hukumnya tidak wajib, di beri pahala bagi yang
mengerjakannya dan tidak di siksa bagi yang ditinggalkannya. Contohnya seperti
shalat sunnah, puasa sunnah dan lain-lain.
d. Menurut ulama’ maw’izhah (‘Ulama Al-waz’hi wa al- irsyad) sesuatu
yang menjadi lawan dari bid’ah. Sebagaimana dalamhadits nabi yang artinya aku
wasiatkan kepadamu dengan takwa kepada Allah, mendengar, dan taat sekalipun di
pimpin seorang hamba yang hitam (etiopia). Maka sesungguhnya barang siapa di
antara kalian akan melihat berbagai perpecahan. Takutlah dari hal-hal yang baru,
sesungguhnya ia sesat. Barang siapa di antara kalian mendapati, maka hendaklah
berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang medapat petunjuk,
gigitlah dia degan gigi gerahammu. (HR- At-tirmidzi)[6]

B.Kedudukan Hadist dalam Islam


Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan
kitab-Nya kepada umat, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh
pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu sesudah Alquran, kaum
Muslim mayoritas menerima Sunah Rasul (jalan atau tradisi Rasul) sebagai pedoman
hidup. Sunah pada dasarnya sama dengan Hadis, namun dapat dibedakan dalam
pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M. M. Azami bahwa sunah berarti
model kehidupan Nabi saw., sedangkan Hadis adalah periwayatan dari model
kehidupan Nabi saw., tersebut.
Dalam pengertian ahli hadis. Hadis adalah semua yang diwariskan oleh Nabi
saw., berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan), atau sifat; baik sifat fisikal
maupun moral, ataupun sirah baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.
Pengertian ini dapat dijadikan acuan, bahwa demikianlah pemahaman mayoritas ahli
hadis dalam memaknai kata “Hadis” dalam dimensi terminologisnya. Pemaknaan ini

8
sesungguhnya didasari pada kenyataan sejarah. Pada masa awal pembukuan resmi
Hadis, semua yang tercakup dalam pengertian diatas memang begitulah adanya di
lapangan. Maksudnya pada masa itu kitab hadis tidak hanya memuat hadis Nabi
melainkan juga hadis yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. Dan sejarah
Rasulullah (sirah) pun digolongkan ke dalam pengertian Hadis.
Dengan demikian, ulama Hadis memandang Hadis dan sunah mengandung
makna yang sama, yaitu segala sesuatu yang lahir dari Nabi saw. Sementara ulama
uṣṵl fikih membedakan antara keduanya. Menurut mereka Hadis adalah segala
peristiwa yang disandarkan kepada Nabi saw., meskipun hanya sekali terjadi.
Sementara sunah adalah nama bagi amal yang mutawatir, atau cara Rasul melakukan
sesuatu ibadah yang diriwayatkan dengan jalan amal yang mutawatir pula. Karena,
hal itu diketahui secara mutawatir, maka menjadi praktek mapan umat Islam. Dengan
demikian, jelaslah menurut pendapat ini, sunah mempunyai arti yang sempit. Sunah
adalah praktek keagamaan yang bersumber dari Rasul yang kemudian diikuti oleh
sahabat dan generasi demi generasi selanjutnya hingga sampai kepada masa sekarang
dengan jalan periwayatan yang mutawatir.
Perlu diingat, sekalipun ada diantara ulama yang membedakan antara Hadis
dengan sunah, namun perbedaan itu tidak mutlak diikuti sebab, hal tersebut terjadi
hanyalah dikalangan ulama mutaqaddimin (ulama terdahulu). Sementara itu, bagi
ulama mutaakhirin (belakangan), sebagaimana yang dijelaskan oleh subhi as-Salih,
Hadis dan sunah merupakan dua istilah yang mempunyai makna yang identik dan
sama. Dalam pemakaiaannya kedua istilah ini jarang dibedakan.
Adapun mengenai sandaran seluruh hadis Rasulullah yang berisi risalah
adalah wahyu dan ijtihad di bawah bimbingan wahyu. Berdasarkan kenyataan ini,
ijtihad Rasulullah pada sisi substansinya, dalam pandangan ad-Dahlawi,
mengandung kebenaran wahyu. Sebab, Allah telah mengajarkannya al-hikmah
berupa tujuan-tujuan agama dan kaidah-kaidah penetapan hukum dalam rangkaian
penjabaran aturan dan tuntunan Allah dalam wahyu Alquran.
Perlu digaris bawahi bahwa wahyu Alquran adalah ayat-ayat Alquran atau
teks Alquran, sementara nilai-nilai yang ditarik dari sana adalah al-hikmah. Ini
memberi makna bahwa antara Alquran atau al-Kitab dan al-hikmah dapat dibedakan.
Melalui al-hikmah yang didapatkan Rasulullah dari ayat-ayat dimaksud, misalnya,

9
beliau mampu menjabarkan nilai-nilai ke dalam aksi dan ucapan; dan inilah yang
kemudian mengkristal menjadi sunah atau Hadis.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Hadis merupakan dalil atau hujah dan
sumber ajaran Islam dan wajib bagi umat Islam mengikutinya. Meskipun dalam
menempatkan kedudukan Hadis tersebut ulama berbeda pendapat. Dalam
menjelaskan kebenaran Hadis sebagai hujah atau dalil dan sumber ajaran Islam, para
ulama Hadis mengemukakan beberapa argumentasi dasar.

1.Dalil Alqur’an
Di dalam Alquran dijelaskan bahwa Nabi Muhammad memiliki peran sangat
penting dalam kaitan dengan agama.
Pertama, Nabi diberi tugas untuk menjelaskan Alquran sebagaimana firman
Allah dalam surah an-nahl (16) ayat 44 :
‫َو َأنَز ْلَنٓا ِإَلْيَك ٱلِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلْيِه ْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُروَن‬
“... dan kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”
Kedua, Nabi sebagai suri tauladan yang wajib diikuti oleh umat islam. Allah
berfirman pada surah al-Ahzab (33) ayat 21:
‫َّلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفى َر ُسوِل ٱِهَّلل ُأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِّلَم ن َك اَن َيْر ُجو۟ا ٱَهَّلل َو ٱْلَيْو َم ٱْل َء اِخَر‬
‫َو َذ َك َر ٱَهَّلل َك ِثيًرا‬
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan (uswatun
hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”
Ketiga, Nabi wajib ditaati oleh segenap umat Islam sebagaimana dijelaskan
pada surah al-Anfal (8) ayat 20:
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو َر ُسوَل ۥُه َو اَل َتَو َّلْو ۟ا َع ْنُه َو َأنُتْم َتْس َم ُعوَن‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-
perintah-Nya).”
Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat sejenis yang menjelaskan
tentang ketatan kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti surah alMaidah: 92 an-Nisa‟:

10
59 al-Hasyr: 7 an-Nur: 54 dan lainnya. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa
ketaatan kepada Allah. Demikian halnya ancaman atau peringatan bagi yang
durhaka; ancaman Allah sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada
Rasul-Nya.
Ketaatan kepada Rasulullah hanya dapat diwujudkan melalui ketaatan
terhadap segala yang dibawanya yaitu ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam
Alquran dan Hadis. Dengan demikian, ketaatan kepada ketentuan ketentuan Hadis
merupakan suatu keniscayaan.

2. Dalil Hadist
Kehujahan Hadis dapat diketahui pula melalui pernyataan Rasulullah sendiri
melalui Hadis-hadisnya. Banyak Hadis yang menggambarkan tentang perlunya taat
kepada Nabi Muhammad. Diantaranya pesan tentang keharusan menjadikan Hadis
sebagai pedoman hidup di samping Alquran agar manusia tidak tersesat. Nabi
bersabda 1:
‫ ِكَتاَب ِهللا َو ُس َّنَة َر ُسْو ِلِه‬: ‫َتَر ْكُت ِفْيُك ْم َأْمَر ْيِن َلْن َتِض ُّلْو ا َم ا َتَم َّسْكُتْم ِبِهَم ا‬
“ Telah Aku tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara hingga kalian
tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengannya. yaitu kitab Allah (Al-Quran)
dan sunah Rasul-Nya” (HR. Malik dan Hakim).
Hadist ini dengan tegas menyatakan bahwa Alquran dan sunah Nabi
merupakan pedoman hidup yang dapat menuntun manusia menjalani kehidupan yang
lurus dan benar, bukan jalan yang salah dan sesat. Keduanya merupakan peninggalan
Rasulullah yang diperuntukkan bagi umat Islam agar mempedomaninya.
“Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahkuu, sunah para khalifah yang
luruh dan mendapat petunjuk, berpegang teguhnlah denganya dan gigitlah dengan
gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama),
sebab setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (Hr.
Abu Dawud dari ‘Irbadh bin Sariyah)
Dari dua Hadis di atas, ditemukan bahwa Rasul dengan tegas menjadikan
sunah sebagai dasar hukum yang harus diikuti.
1
Ibid (Aan Supian)... hal 28

11
3. Dalil Ijma Ulama
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal
dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan dan takrirnya dijadikan sebagai
landasanuntuk menjalankan agama. Tidak seorang pun diantara mereka menolak
tentang kewajiban untuk menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah. Kewajiban
untuk menaati sunah rasul dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersuber dari Al-Qur’an
dan Hadist. Kesepakatan para sahabat selanjutnya diikuti oleh para tabi’in, tabi’in
dan generasi berikutnya hingga sampai saat ini.2

4. Dalil Akal (Rasio)


Kehujahan Hadis dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan teologis
sekaligus. Beriman kepada Rasul merupakan salah satu rukun iman yang harus
diyakini oleh setiap Muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam Alquran
agar manusia menaati Nabi saw.
Apabila tidak menerima Hadis sebagai hujah, maka sama halnya tidak
beriman kepada Rasul. Apabila tidak beriman kepada Rasul maka ia kafir karena
tidak memenuhi salah satu dari enam rukun iman. Sama halnya apabila diantara kita
tidak mungkin bisa mendirikan sholat tanpa berpedoman pada hadist karena dalam
Al-Qur’an hanya ditemukan perintah sholat, perintah rukuk dan sujud secara mejmal
tanpa disertai penjelasan teknis bagaimana cara melaksanakanya, berapa rakaat untuk
pelaksanaan sholat zuhur, apa yang dibca didalamnya dan sebagainya. Begitu pula
Al-Qur’an tidak menerangkan syarat dan rukun untuk sholat, puasa dan praktik
ibdah lainya kecuali perintah belaka.3
Oleh karena itu, para sahabat senantiasa kembali kepada rasul Allah untuk
mencari tahu mengenai hal-hal yang tercantum dalam Al-Qur’an tetapi sulit

2
Ibid (Aan Supian)... hal 29
3
Ibid (Aan Supian)... hal 30

12
dipahami. Apalagi ketika menjumpai beberapa peristiwa yang tidak didapati dal teks
(nash) Al-Qur’an, kecuali hanya melalui ketetapan (taqrir) dari nabi.
Hal ini tidak mengandung maksud untuk mengecilkan atau merendahkan
posisi Al-Qur’an, tetapi justru menjadikanya sebagai wahyu yang berstatus sebagai
sumber ajaran islam yang pertama dan utama.4

B. Fungsi Hadist terhadap Al-Qur’an


1. Sebagai Bayanul Taqrir
Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu memperkuat
keterangan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dimana hadits menjelaskan secara rinci apa
yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an, seperti hadits tentang sholat, zakat, puasa dan
haji, merupakan penjelasan dari ayat sholat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang
tertulis dalam Al-Qur'an.5 Bayan ini disebut juga bayan muwảfiq atau bayan ta‟kid
dan bayan iṣbat.
Hadist juga berfungsi sebagi penguat hukum-hukum yang ada di dalam Al-
Qur’an. Suatu ketetapan hukum tentang suatu masalah yang memiliki dua sumber
atau argumentas, yakni dari Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu sunah dalam konteks
ini melengkapi sebagian caban-cabang hukum yang berasal dari Al-Qur’an6.
Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang saling menguatkan dengan
sunah. Misalnya ayat Al-Qur’an tentang puasa Ramadhan. Allah berfirman dalam
QS Al-Baqarah: 15
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalmnya diturunkan Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasaan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan batil) karena itu, barang siap yang diantara kamu melihat
bulan, makahendaklah dia berpuasa pada bulan itu”
Ayat tersebut dikuatkan oleh hadist nabi yang berbunyi : “ Berpuasalah
kamu setelah melihat bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (HR.
Bukhari-Muslim).

4
Ibid (Aan Supian)... hal 30
5
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2012)hal: 18.
6
Ibid (Aan Supian)... hal 32

13
1. Sebagai Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai tafsir Al-Qur'an. Hadits sebagai
penafsir terhadap Al-Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:

a. Sebagai Tafshilul Mujmal


Dalam hal ini hadits memberikan penjelasan terperinci terhadap ayat-ayat
Al-Qur'an yang bersifat umum dalam penunjukanya, sering dikenal dengan
istilah sebagai bayanul tafshil atau bayanul tafsir. Contoh: ayat-ayat Al-Qur'an
tentang sholat, zakat, puasa dan haji diterangkan secara garis besar saja, maka
dalam hal ini hadits merincikan tata cara mengamalkan sholat, zakat, puasa dan
haji agat umat Muhammad dapat melaksanakannya seperti yang dilaksanakan
oleh Nabi.7

b. Sebagai Takhshishul 'Amm


Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat
umum, dalam ilmu hadits sering dikenal dengan istilah bayanul takhshish. ‘Amm
dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang menunjukan suatu makna yang
mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu 8.
Dengan kata lain, suatu lafaz yang mencakup semua makna yang pantas dengan
satu ucapan saja. Seperti dalam Q. S. An-Nisa': 11:

‫ُيوِص يُك ُم ُهَّللا ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ۖ ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُأْلْنَثَيْيِن‬

Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anak, yaitu: bagian


seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan".
Ayat ini tidak menjelaska syarat-syarat untuk dapat mewarisi keluarga.
Se;anjutnya, hal ini dijelaskan oleh hadist yang menerangkan persyaratan khusu
tentang kebiasaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan agama
dan tidak adanya tindakan pembunuhan diantara mereka, Rasulullah bersabda:
“Seorang pembunuh tidak memperoleh harta waris sedikit pun dari seseorang
yang dibunuh”. (HR. An-Nasai)

7
Ibid (Abdul Majid)....hal: 19
8
Ibid (Aan Supian)... hal 31

14
c. Sebagai Bayanul Muthlaq
Hadist juga memberikan batasan (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang
masih bersifat mutlak. Lafaz mutlaq artinya lafaz yang menunjukan sesuatu yang
masih bersifat umum (belum ada batasanya) pada suatu jenis tertentu. Dalam Al-
qur’an, banyak ayat-ayat yang berbicara dalam kinteks mutlaq ini. Hadist dalam
hal ini memberikan persyaratan atau pembatasan terhadap sesuatu yang mutlak
dalam Al-qur’an itu9.
Hukum yang ada dalam Al-Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum),
maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam Al-Qur'an.
Seperti dalam Q. S. Al-Maidah: 38:

‫َو الَّساِر ُق َو الَّساِرَقُة َفاْقَطُعوا َأْيِدَيُهَم ا‬

Artinya: "Pencuri laki-laki dan perempuan, maka potonglah tangan


mereka".
Difirmankan Allah tentang hukuman bagi pencuri adalah potong tangan,
tanpa membatasi batas tangan yang harus dipotong, maka hadits memberi
batasan batas tangan yang harus dipotong10.

2. Sebagai Bayanul Tasyri'


Dalam hal ini hadits menciptakan hukum syari'at yang belum dijelaskan
secara rinci dalam Al-Qur'an11. Contoh untuk bagian ini yaitu hadits Rasulullah SAW
tentang zakat fitrah:
‫فر ض زكاة الفطر من رمضان عل لناس‬:‫ أّن رسول هللا صّل هللا عليه وسّلم‬،‫عن ابن عمر‬
‫أو أنش من المسامين‬،‫أو صا عا من شعير عل كّل حّر‬،‫صاعا من تمر‬
“bahwasannya Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”
Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, firman Allah SWT:
‫خذ من أموالهم صد قة تطّهر هم وتزكيهم‬

9
Ibid (Aan Supian)... hal 31
10
Ibid (Abdul Majid) hal: 20-21
11
Ibid (Abdul Majid) hal: 22

15
“apabila zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka”(Q.S. al-Taubah: 103)
Bahwasannya hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap
Al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak
atau mengingkarinya dan ini bukanlah sikap mendahului Al-Qur’an melainkan
semata-mata karena perintah-Nya.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Quran adalah ayat-ayat Alquran atau teks Alquran, sementara nilai-nilai
yang ditarik dari sana adalah al-hikmah. Ini memberi makna bahwa antara Alquran
atau al-Kitab dan al-hikmah dapat dibedakan. Melalui al-hikmah yang didapatkan
Rasulullah dari ayat-ayat dimaksud, misalnya, beliau mampu menjabarkan nilai-nilai
ke dalam aksi dan ucapan; dan inilah yang kemudian mengkristal menjadi sunah atau
Hadis. Dengan demikian, jelaslah bahwa Hadis merupakan dalil atau hujah dan
sumber ajaran Islam dan wajib bagi umat Islam mengikutinya. Meskipun dalam
menempatkan kedudukan Hadis tersebut ulama berbeda pendapat. Dalam
menjelaskan kebenaran Hadis sebagai hujah atau dalil dan sumber ajaran Islam, para
ulama Hadis mengemukakan dalil yaitu Dalil Al-qur’an, Dalil Hadis, Dalil Ijma
Ulama dan Dalil Akal (Rasio).
Fungsi hadist dalam Al-Qur’an adalah sebagai Bayanul Taqrir (penguat) yaitu
memperkuat keterangan dari ayat-ayat Al-Qur'an, Sebagai Bayanul Tafsir yang
terdiri dari 3 Sebagai Tafshilul Mujmal yang memberikan penjelasan terperinci
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum dalam penunjukanya, Sebagai
Takhshishul 'Amm yaitu adalah suatu lafaz yang menunjukan suatu makna yang
mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu, Sebagai
Bayanul Muthlaq yaitu memberikan batasan (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang
masih bersifat mutlak, dan Sebagai Bayanul Tasyri' yaitu hadits menciptakan hukum
syari'at yang belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an.

17
DAFTAR PUSTAKA

Juned,Daniel, (2010) ,Ilmu Hadis, Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis,
Jakarta: Erlangga

Majid, Abdul (2012) Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH

Solahuddin, Agus, Suyadi, (2009) Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia.

Supian,Aan (2014) Ulumul Hadis. Bogor . PT. Penerbit IPB Press, Kampus IPB
Taman Kencana.

18

Anda mungkin juga menyukai