Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HADIS DAN KEDUDUKANNYA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadis

Dosen Pengampu:
Drs. Achmad Hasmi Hashona, M. A.

Disusun Oleh
Kelompok 1
Muhammad Faqih Firman NIM. 2108056049
Miftahul Mu’minin NIM. 2108056034
Hadziq Isomuddin NIM. 21080560

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Hadits didefinisikan pada umunya oleh ulama seperti definisi Al-Sunnah yaitu
sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik ucapan,
perbuatan maupun taqrir (ketetapan), Sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi
nabi atau sudah menjadi nabi. Ulama ushul fiqih membatasi pengertian hadits hanya pada
ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila
mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini
mereka namai dengan sunnah. Pengertian hadits seperti yang dikemukakan oleh ulama
ushul fiqih tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak
berbeda dari segi kewajiban menaatinya dan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber
dari wahyu Al-Quran. (Quraisy Shihab, Membumikan AlQuran, (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 21.)
Hadits merupakan sumber ajaran agama Islam, pedoman hidup kaum muslimin
yang kedua setelah Al-quran, Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-quran sebagai
sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa hadits sebagai sumber hukum
islam juga. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin
akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal cara shalat, kadar dan ketentuan zakat,
cara haji dan lain sebagainya. sebab ayat-ayat Al-quran dalam hal itu hanya berbicara
secara global dan umum, yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah,
selain itu juga akan mendapat kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat
yang musytarak, dan muhtamal, dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan hadits
atau sunnah untuk menafsirkannya atau menjelaskanya. (H. A. Sadali Dkk, Dasar-dasar
Agama Islam, Universitas terbuka, Jakarta, Tahun 1999, Hal 315)

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis perlu untuk merumuskan
masalah mengenai Hadis dan Kedudukannya sebagai berikut:
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan hadits.
2. Menjelaskan tentang macam-macam hadits.
3. Menjelaskan perbedaan hadits sunnah, asar, khabar.
4. Menjelaskan kedudukan hadits dalam syari’at islam.
5. Menjelaskan fungsi hadis

C. TUJUAN
Sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah maka tujuan dari
penulisannya ini adalah:
1. Untuk memahami tentang hadis.
2. Untuk memahami macam-macam hadis.
3. Untuk mengidentifikasi perbedaan hadits sunnah, asar, khabar.
4. Untuk mengetahui kedudukan hadits dalam syari’at islam.
5. Untuk mengetahui fungsi hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits
Hadits menurut Bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat
atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits secara bahasa
juga bisa diartikan ucapan, perkataan, khabar, cerita dan wawancara. Bentuk jama’nya
adalah ahaadits. Hadits menurut istilah ahli hadits adalah: “Segala yang disandarkan
kepada Nabi saw, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (diam/persetujuan) atau sifat
beliau.” (Thahhan, 1996: 15). Contoh perkataan Nabi adalah sabda beliau:
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu didasari oleh niat, dan bagi setiap orang apa yang dia
niatkan” (HR. Bukhari Muslim). Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu, shalat,
manasik haji dan lain sebagainya yang beliau kerjakan. (Muhammad hambal Shafwan,
“Studi Ilmu Hadits”, (Malang: Pustaka Learning Center 2020), hlm. 20)
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik
itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).

2. Macam-Macam Hadits
a. Hadits Qauliyah (ucapan)
Hadits Qauliyah adalah hadits Rasulullah SAW, yang diucapkan dalam berbagai
tujuan dan persuaian (situasi).
b. Hadits Fi’liyah (perbuatan)
Hadits Fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti
pekerjaan melakukan shalat 5 waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya,
pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi
dan sumpah dari pihak penuduh.
c. Hadits Taqririyah (perkataan)
Hadits Taqririyah adalah perbuatan sebagian para sahabat nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan,
sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan
anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan
itu. Bila sesesorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan
dihadapan nabi atau pada masa nabi, nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu
dan mampu menyanggahnya, namun nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal
itu merupakan pengakuan dari nabi.

3. Perbedaan Hadits Sunnah, Ashar, Khabar


a. Sunnah
Pengertian As-Sunnah
- Menurut Asy-syaukani, Sunnah berarti jalan, walaupun tidak diridlai. (Drs.M.
Syuhudi Ismail,Opcit,hal.11)
- Dr Mustafa As-Siba'iy dalam kitabnya As-Sunnah wa Makana tuha fit Tasyril
Islamy mengatakan bahwa arti Sunnah menurut bahasa ialah: jalan, baik terpuji
maupun tercela.
Hal ini sesuai dengan hadits-hadits rasul yang menyatakan:
"Barang siapa mengadakan sesuatu Sunnah (jalan) yang baik, maka baginya
pahala tas perbuatannya itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga
hari kiamat. Dan barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang buruk,
maka ia berdosa atas perbuatannya itu dan menanggung dosa orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat".
"Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang
yang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga
sekiranya mereka memasuki sarang biawak, sungguh kamu memasukinya juga".
b. Khabar
Menurut Bahasa, khabar berarti berita. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat :
- Sebahagian ulama mengatakan, bahwa khabar itu sama/sinonim dengan hadits.
Oleh karena itu mereka menyatakan, bahwa khabar adalah apa yang dating dari
nabi, baik yang marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi), yang mauquf (yang
disandarkan kepada sahabat), maupun yang maqthu’ (yang disandarkan kepada
tabi’in). dengan kata lain, bahwa khabar itu, mencakup apa yang dating dari
Rasul, dari sahabat dan dari tabi’in.
Menurut Dr. Subhi Shalih dalam bukunya Ulumul Hadits wa
Musthalahuhu (hal. 10), para Ulama Hadits yang berpendapat demikian ini
beralasan selain dari segi Bahasa (yakni bahwa arti Hadits dan Khabar adalah :
berita), juga beralasan bahwa yang disebut para perawi itu, tidaklah terbatas bagi
orang yang meriwayatkan/ menukilkan berita dari Nabi semata tetapi juga yang
menukilkan berita dari Sahabat dan Tabi’in. sebab kenyataannya, para perawi itu
telah meriwayatkan apa yang dating dari Nabi dan yang dating dari selainnya.
(Drs.M. Syuhudi Ismail,Opcit,hal.9) Oleh karena itu, tidaklah ada keberatan untuk
menyamakan Hadits dengan Khabar.
- Sebahagian Ulama Hadits membedakan pengertian Khabar dengan Hadits. Dr.
Muhammad Ajaj Al-khatib dalam kitabnya Ushulul Hadits menjelaskan :
 Sebahagian pendapat menyatakan, bahwa hadits adalah apa yang berasal dari
Nabi, sedang Khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Oleh karena itu
dikatakan, orang yang tekun (menyibukkan diri) pada Hadits disebut dengan
“Muhaddits”, sedang orang yang tekun pada sejarah atau semacamnya disebut
dengan “Akhbary”.
 Sebahagian pendapat menyatakan, bahwa Hadits bersifat khusus sedang
Khabar bersifat umum. Oleh karena itu tiap-tiap Hadits adalah Khabar dan
tidak setiap Khabar adalah Hadits.
c. Atsar
Menurut bahasa, Atsar berarti: bekas atau sisa sesuatu; dapat juga berarti nukilan tau
yang dinukilkan. Karena itu, doa yang dinukilkan dari nabi dinamai "Doa ma'tsur".
Adapun menurut pengertian istilah, dapat disimpulkan pada dua pendapat:
- Atsar sama atau sinonim dengan hadits. Karena itu, ahli hadits disebut juga
dengan atsary. At-Thabary, memakai kata-kata atsar untuk apa yang datang dari
nabi. At-Thahawi, memasukkan juga yang dari ahabar.
- Atsar, tidak sama artinya dengan istilah Hadits.
 Menurut fuqaha, atsar adalah perkataan-perkataan Ulama Salaf, Sahabat,
Tabi'in dan lain-lain.
 Menurut fuqaha Khurasan, Atsar adalah perkataan Sahabat. Khabar, adalah
Hadits Nabi. Az-Zarkasyi, memakai istilah Atsar untuk Hadits Mauquf, tetapi
membolehkan juga untuk memakai istilah Atsar untuk Hadits Marfu'. (Drs.M.
Syuhudi Ismail,Opcit,hal.10)

4. Kedudukan Hadits Dalam Syariat Islam


Kedudukan hadits berkaitan langsung dengan kedudukan kenabian. Karena itu,
mengetahui kedudukan Nabi SAW dan sunnahnya, terutama dari keterangan yang dapat
diperoleh dari Al-Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an dijumpai sejumlah keterangan bahwa Nabi SAW mempunyai
tugas dan peran. Misalnya, disebutkan sebagai penjelas Al-Qur’an, sebagai teladan yang
wajib di contoh, sebagai Rasul yang wajib ditaati, dan sebagai pembjat aturan selain Al-
Qur’an. Keterangan mengenai kedudukan di atas akan dilihat berikut ini.
(Prof.DR.H.M.Erfan Soebahar,M.Ag.Opcit, hal. 14)

a. Sebagai Penjelas Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44, Allah Swt berfirman
َ‫م يَتَفَ َّكرُوْ ن‬Pُْ‫اس َما نُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّه‬ َ ‫ ُِر َواَ ْن َز ْلنَٓا اِلَ ْي‬Pۗ ‫الزب‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ ِ ‫بِ ْالبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬
Artinya :
“(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-
kitab. Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka
memikirkan (Q.S. An-Nahl : 44).
Di antara tugas Rasul SAW, menurut ayat di atas adalah menjelaskan baik dengan
lisan maupun perbuatan hal-hal yang masih global dan masih umum sifatnya atas apa-
apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tugas menjelaskan ini tentu turun dari Allah
SWT, tugas ini jelas bukan sekedar membacakan, melainkan ditujukan untuk
memperjelas isi Al-Qur’an, utamanya hal-hal yang meemerlukan penjelasan praktis
dari Nabi melalui hadits-hadits yang disampaikannya.
Dari kedudukan Rasul SAW demikian, maka kedudukan hadits terhadap Al-
Qur’an yang pertama ini dapat disebut untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan sebutan lain, hadits berkedudukan sebagai penafsir
Al-Qur’an.

b. Sebagai Teladan yang wajib dicontoh


Allah SAW berfirman dalam Al-Qur’an Surah al-Ahzab ayat 21
‫ هّٰللا َ َو ْاليَوْ َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْير ًۗا‬P‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َرسُوْ ِل هّٰللا ِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكانَ يَرْ جُوا‬

Artinya :
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah (Q.S.Al-Ahzab:21).
Dari ayat diatas jelas bahwa Rasul SAW adalah Rasulullah memiliki kedudukan
penting di tengah-tengah kaumnya, terutama menghadapi problema mereka
berkenaan dengan figure atau profil tokoh riil yang baik untuk dicontoh.
Menurut keterangan Al-Qur’an itu sendiri jelas, bahwa Muhammad SAW adalah
Rasulullah yang diutus untuk menjadi teladan bagi umat manusia. Menjadi teladan
disini, bukan hanya sekadar sebagai profil yang tampil untuk waktu-waktu tertentu,
melainkan untuk waktu-waktu tertentu melainkan untuk sepanjang kehidupan.
Dengan menjadi teladan dalam kehidupan, maka ada tokoh yang mudah ditiru untuk
dijadikan sebagai profil ideal untuk dicontoh dalam kehidupan.
Dari kedudukan rasul SAW di atas, maka kedudukan hadits dalam islam adalah
sebagai contoh nyata untuk diteladani oleh segenap umat manusia. Prof.DR.H.M.Erfan
Soebahar,M.Ag.Opcit, hal. 16

c. Sebagai Rasul yang wajib ditaati


Dalam Surah al-Anfal ayat 20, Allah SWT berfirman:
َ‫ هّٰللا َ َو َرسُوْ لَهٗ َواَل تَ َولَّوْ ا َع ْنهُ َواَ ْنتُ ْم تَ ْس َمعُوْ ن‬P‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا‬
Artinya :
“Hai orang-orang yang berfirman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya , dan
janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-
Nya) (Q.S. Al-Anfal: 20).
Dalam ayat lain pada surat an-Nisa’ ayat 80, Allah SWT berfirman :
‫ۗ َم ْن ي ُِّط ِع ال َّرسُوْ َل فَقَ ْد اَطَا َع هّٰللا َ ۚ َو َم ْن ت ََو ٰلّى فَ َمٓا اَرْ َس ْل ٰنكَ َعلَ ْي ِه ْم َحفِ ْيظًا‬
Artinya :
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati
Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka”. (Q.S. An-Nisa’:20)
Selanjutnya, dalam surat an-Nisa’ ayat 69, Allah SWT juga berfirman :
ٰۤ ُ
ِّ ‫ك َم َع الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع َم هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِّمنَ النَّبِ ٖيّنَ َوال‬
‫ص ِّد ْيقِ ْينَ َوال ُّشهَد َۤا ِء‬ Pَ ‫ول ِٕى‬ ‫َو َم ْن ي ُِّط ِع هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل فَا‬
ٰۤ ُ
‫ول ِٕىكَ َرفِ ْيقًا‬ ‫صلِ ِح ْينَ ۚ َو َحسُنَ ا‬ ّ ٰ ‫َوال‬
Artinya :
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan
bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para
pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Q.S. An-Nisa’ : 69)
Kemudian, dalam surat al-Nisa’ juga Allah SWT berfirman :
ُ‫ازعْ ُت ْم فِيْ َشيْ ٍء َف ُر ُّد ْوه‬ َ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْٓوا اَطِ ْيعُوا هّٰللا َ َواَطِ ْيعُوا الرَّ س ُْو َل َواُولِى ااْل َم ِْر ِم ْن ُك ۚ ْم َفاِنْ َت َن‬
‫ࣖ ِالَى هّٰللا ِ َوالرَّ س ُْو ِل اِنْ ُك ْن ُت ْم ُتْؤ ِم ُن ْو َن ِباهّٰلل ِ َو ْال َي ْوم ااْل ٰ خ ۗ ِِر ٰذل َِك َخ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ َتْأ ِو ْياًل‬
ِ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’: 59)
(Prof.DR.H.M.Erfan Soebahar,M.Ag.Opcit, hal. 17)

Ayat-ayat yang dipaparkan di atas menunujukkan dengan cukup jelas bahwa


Rasul SAW diutus oleh Allah SWT hanyalah untuk dipatuhi perintah-perintahnya
atas izin Allah SWT. dari situ, manusia belum dikatakan beriman jika belum mau
menerima system dab hukum Allah yang telah dicontohkan oleh Rasul SAW sewaktu
beliau masih hidup. Sedang sesudah beliau wafat, menerima system dan hukum Allah
itu dilaksanakan dalam bentuk menjadikan al-Qur’an dan sunnah Rasulnya secara riil
sebagai sunnah hukum dan system yang diterapkan di dalam kehidupan.
Dari keterangan di atas jelas bahwa kedudukan hadits di dalam Islam adalah
sebagai ketentuan yang harus dipatuhi, seiring dengan dipatuhi al-Qur’an. Keduanya
merupakan sistem dari hukum Allah SWT yang diturunkan ke tengah-tengah
kehidupan umat manusia sebagai sunnah hukum dan sistem kehidupan.

d. Sebagai pembuat aturan selain Al-Qur’an


Rasul SAW oleh Allah diberi kekuasaan menjadi pembuat hukum yang
diberlakukan di tengah-tengah kehidupan, yang tentu saja sesuai dengan prinsip-
prinsip yang diterangkan oleh Allah SWT Allah SWT berfirman sebagai berikut :
(Prof.DR.H.M.Erfan Soebahar,M.Ag.Opcit, hal. 18)
‫ ِع ْن َدهُ ْم فِى التَّوْ ٰرى ِة َوااْل ِ ْن ِجي ِْل يَْأ ُم ُرهُ ْم‬P‫ي الَّ ِذيْ يَ ِج ُدوْ نَهٗ َم ْكتُوْ بًا‬ َّ ِ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَتَّبِعُوْ نَ ال َّرسُوْ َل النَّب‬
َّ ‫ي ااْل ُ ِّم‬
‫ض ُع َع ْنهُ ْم اِصْ َرهُ ْم‬ َ َ‫ث َوي‬ َ ‫م َعلَ ْي ِه ُم ْالخ َٰۤب ِٕى‬Pُ ‫ت َويُ َح ِّر‬
ِ ‫ف َويَ ْن ٰهىهُ ْم َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َويُ ِحلُّ لَهُ ُم الطَّيِّ ٰب‬ Pِ ْ‫بِ ْال َم ْعرُو‬
ٰۤ ُ ٓ
َ‫ول ِٕىك‬ ‫ي اُ ْن ِز َل َم َعهٗ ۙا‬ ْٓ ‫صرُوْ هُ َواتَّبَعُوا النُّوْ َر الَّ ِذ‬ َ َ‫َت َعلَ ْي ِه ۗ ْم فَالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا بِ ٖه َو َع َّزرُوْ هُ َون‬
ْ ‫َوااْل َ ْغ ٰل َل الَّتِ ْي َكان‬
َ‫ࣖ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن‬
Artinya :
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (Namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka , yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung
(157)”.
‫ض ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل ه َُو يُحْ ٖي‬ ِ ۚ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫ك السَّمٰ ٰو‬ ُ ‫قُلْ ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّ ْي َرسُوْ ُل هّٰللا ِ اِلَ ْي ُك ْم َج ِم ْيعًا ۨالَّ ِذيْ لَهٗ ُم ْل‬
ُ ۖ ‫َويُ ِمي‬
َ‫ْت فَ ٰا ِمنُوْ ا بِاهّٰلل ِ َو َرسُوْ لِ ِه النَّبِ ِّي ااْل ُ ِّم ِّي الَّ ِذيْ يُْؤ ِمنُ بِاهّٰلل ِ َو َكلِمٰ تِ ٖه َواتَّبِعُوْ هُ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَ ُدوْ ن‬
Artinya :
Katanlah : “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,
yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat Nya (kitab-kitab Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu
mendapatkan petunjuk,” (Q.S Al-A’raf : 157-158). (Prof.DR.H.M.Erfan
Soebahar,M.Ag.Opcit, hal. 19)
Dua ayat di atas secara cukup jelas memaparkan perintah kepada umat manusia
untuk beriman kepada Allah dan Rasul Nya dengan mematuhi perintahperintah,
aturan-aturan, dan sunnah-sunnahnya. Karena manusia tidak mungkin memperoleh
petunjuk dari Rasul tanpa mengikuti ajaran-ajaran Rasul itu secara konsekuen. Jika
sekadar percaya atau beriman, tanpa dibarengi dengan pengalaman yang sempurna,
hal itu jelas tidak sempurna. Selanjutnya, dua ayat diatas juga mengandung
penjelasan tentang wewenang dan kekuasaan Nabi SAW untuk membuat suatu aturan
hukum, jelas ini adalah suatu anugerah Allah SWT, sebagaimana ditegaskan di dalam
potongan firman Nya yang artinya :
“Dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk (Q.S Al-A’raf : 157)”. (Prof.DR.H.M.Erfan
Soebahar,M.Ag.Opcit, hal. 20)

5. Fungsi Hadits
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wayu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

H. A. Sadali Dkk, Dasar-dasar Agama Islam, Universitas terbuka, Jakarta, Tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai