Anda di halaman 1dari 25

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

Diajukan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu:
Dr. H. Hambali, M. Pd. I

Disusun oleh:

Nunung Nur Aisyah


NIM. 2286030017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

2022
A. Pendahuluan
Mempelajari hadits tentu tidak terlepas dari peran Nabi Muhammad Saw sebagai
contoh dan suri tauladan bagi umatnya. Hadits diketahui telah ada sejak awal
perkembangan Islam yang sudah pasti merupakan realitas yang tidak dapat diragukan lagi.
Sesungguhnya wajar sekali jika kaum muslimin (terutama para sahabat r.a.)
memperhatikan apa saja yang dilakukan ataupun yang diucapkan oleh beliau, terutama
sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka
menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal
mereka, dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk
mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka
akui sebagai seorang Rasul Allah.

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat.
Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima
perang, kepala rumah tanggal, maupun teman), maka tingkah laku, ucapan dan
petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama
yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara konkret dalam kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu dalam setiap kesempatan, Nabi berupaya berdialog maupun
berdiskusi dengan para sahabat dalam memenuhi haknya untuk lebih mendalami ajaran
Islam.

Oleh karena itu, melalui makalah ini dipandang perlu untuk mengkaji dan
menelaah bagaimana sejarah perkembangan hadits mulai dari masa Rasulullah Saw, para
sahabat, para tabi’in, hingga masa sekarang. Karena keberadaan hadits bagi umat Islam
akan menjadi sebuah pedoman hidup yang utama dalam agama Islam setelah Kalamullah
(Al-Qur’an).

B. Pembahasan

1. Pengertian Hadits

Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan hadits dari periode pertama


hingga terakhir, terlebih dahulu diulas pengertian dan kedudukan hadits dalam agama
Islam. Menurut bahasa, Hadits berarti ‫الجديد‬, yaitu sesuatu yang baru, menunjukan
sesuatu yang dekat dan waktu yang singkat1. Hadits juga berarti ‫بر‬4‫ الخ‬, yang berarti
“berita”, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari

1
Dzafar Ahmad Utsmani al-Tahawuni, Qowa’id al-Ulum al-Hadits, cet III (Beirut: Maktabah al Mathba’ah al
Islamiyah, 1972), hlm. 24.
seseorang kepada orang lain. Disamping itu, Hadits juga berarti ‫القريب‬, yang berarti
”dekat”, dan tidak lama lagi terjadi2.

Sedangkan hadits menurut istilah terdapat perbedaan antara beberapa ulama


terutama antara ulama muhadditsun, ushuliyyun, dan fuqaha.

1. Menurut ahli hadits atau muhadditsun, pengertian hadits ialah:

‫ كل ما آثرر عن‬: ‫آقوال النبي ﷺ و آفعاله وحواله وقال االخر‬


‫النبي ﷺ من قول آو فعل آو اقرار‬
Artinya:
“Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi
Muhammad Saw. Sedangkan menurut yang lainnya adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya.”
2. Menurut ahli Ushul atau ushuliyyun, pengertian hadits adalah: “Semua perkataan,
perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hukum syara
dan ketetapannya”. Atau juga diistilahkan dengan:

‫اقواله ﷺ وافعاله وتقاريره ممايتعلق به حكم بنا‬


Artinya:
“Segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi yang bersangkutan
dengan hukum
3. Sedangkan menurut ulama’ Fiqih (fuqaha), pengertian hadits adalah suatu
ketetapan yang datang dari Rasulullah Saw dan tidak termasuk kategori fardhu
dan wajib, namun adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib
dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah,
puasa sunnah dan lain-lain3.

Jadi singkatnya, hadits ialah semua yang datang dari Rasul Saw, baik berupa
perkataan, tindakan, ataupun ketetapan beliau. Setelah berlalu masa Rasul Saw
dimasukkan ke dalam hadits apa yang datang dari para sahabat, sebab sahabat adalah
mereka yang selalu bergaul dengan Nabi Saw, mulai mendengar perkataan beliau hingga
menyaksikan perbuatannya, kemudian mereka menceritakan apa yang mereka lihat dan

2
Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin (Beirut: Darul Fikr, 1971), hlm. 20.
3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 5-7.
3
yang mereka dengar. Lalu datang kemudian para tabi’in yang bergaul dengan para
sahabat mendengar dari mereka dan melihat perbuatan mereka4.

Dalam hukum Islam, hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-
Qur’an5. Artinya, hadits merupakan referensi kedua yang menjadi rujukan dalam segala
amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin setelah al-Qur’an. Hadits juga bisa
dijadikan sebuah penjelas dan nalar dari kitab Al-Qur’an. Hadits diibaratkan sebuah
tonggak penggerak dari pondasi yang bernama Al-Qur’an, dan Al-Qur’an berjalan
beriringan dengan hadits dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain6. Maka sudah
seharusnya selain beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya (Al-Qur’an), kaum
muslimin juga beriman kepada Rasul-Nya, serta apa yang diucapkan dan dilakukan oleh
beliau dalam kehidupan sehari-hari. Firman Allah Swt:

Artinya:

Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah


kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu
mendapat petunjuk" (QS. Al-A’raf: 158)

A. Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui
oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan
pengamalan umat dari generasi ke generasi7. Terhitung dimulai pada masa
kemunculannya di zaman Nabi Saw, maka T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy membagi sejarah
perkembangan hadits dalam tujuh periode, antara lain: Masa Rasulullah Saw, masa

4
Ahmad Amin, Fajar Islam, terj. Zaini Dahlan (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 267-268.
5
A. Hasimy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 86.
6
Syaikh Muhammad Abdul ‘Aziz, Tarikh Fununul Hadits an-Nabawiyah (Madinah: Darul Ibnu Katsir, 1984)
hlm. 16
7
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), hlm. 29.
Khulafaur Rasyidin, masa pasca era Khulafaur Rasyidin hingga abad pertama hijriyah,
masa abad kedua Hijriyah, masa abad ketiga Hijriyah, masa abad keempat hingga tahun
656 Hijriyah, dan masa tahun 656 H hingga Sekarang 8. Ketujuh periode tersebut akan
dijelaskan lebih detail berikut ini.

1. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW

Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-taqwin’ (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam)9. Pada masa ini, hadits belum mendapat pelayanan
dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Seperti yang telah diketahui, Rasul Saw
mengharapkan para sahabatnya untuk menghafalkan Al-Qur’an dan menuliskannya di
tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan
sebagainya. Untuk itulah para sahabat, terutama yang mempunyai tugas istimewa,
selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Al-Qur’an di
atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya10.

Tetapi tidak demikian halnya terhadap hadits. Pada saat itu para sahabat
menyampaikan sesuatu dari hadits Nabi SAW hanya melalui lisan dan pendengaran
saja. Karena terdapat sabda Rasul Saw yang berbunyi,
ُ َْ ْ َ َ َ ‫َال َت ْك ُت ُب‬
‫واع َّني َو َم ْن ك َت َب َع َّني غ ْي َر ل ُق ْر ِآن فل َي ْم ُح ُه َو َح َّدث ْوا‬
َّ َ ُ َ َ ْ َ ‫َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َّ ُ َ َ ّ ً َ ْ َ َ َ َّ ْأ‬
‫ مقع ده ِمن الن ِار (رواه‬  ‫حرج ومن ك ذ ب علي متع ِم دا فليتب و‬
)‫مسلم‬
Artinya:

“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain
Al-Qur’an. Barang siapa menulis dariku selain al-Qur’an, maka
hapuslah. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa.
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah
ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain, Sa’id al-Khudri mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:

8
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 14-15.
9
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits:Sejarah Perkembangan Hadits, cet.1 (Bandung: Pustaka
Setia, 2011), hlm. 34
10
Saeful Hadi, Ulumul Hadits: Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif (Yogyakarta: Sabda
Media, tt), hlm. 1.
5
ّ ‫التكتب و‬
‫اعنى ش يئا غ ير الق رآن فمن كتب ع ّنى ش يئا غ ير‬
)‫القرآن فليمحه (رواه مسلم‬
Artinya:

”Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang


siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah
menghapusnya”. (HR. Muslim) 11.

Kemudian Rasulullah memberikan izin secara umum ketika sebagian besar


wahyu telah turun dan sudah banyak orang menghafalnya, serta aman dari kerancuan
dari yang lainnya, sebagaimana yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw.
bersabda:

‫ فو الذى نفسى بيده ما خرج منه اال الحق‬،‫اكتب‬


Artinya:

”Tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak


keluar dariku kecuali yang hak”. (Sunan al-Darimi)12.
a. Cara Rasul Saw Menyampaikan Hadits

Ada beberapa cara Rasulullah Saw dalam menyampaikan hadits, antara


lain:

1) Melalui jama’ah dalam majelis ta’lim.

2) Melalui sahabat dan disampaikan ke orang lain.

3) Cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Fathul Makkah13.

Adapun dalam mengajar hadits, Syeikh Muhammad at-Thahhan


menjelaskan, bahwa Rasul Saw menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan
peragaan praktis.

1) Metode Ucapan (Lisan)

Sebagai seorang guru untuk seluruh umat manusia, tentu Nabi Saw
berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan dapat dipahami,
dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah disampaikan
11
Hadits Masa Rasulullah, dikutip dari situs http://kickylover.blogspot.com/2010/06/-hadits-masa-rasulullah,
diakses pada tanggal 05 Oktober 2022.
12
Subhi As-Shalih, Membahas  Ilmu-Ilmu Hadits: Sebab-Sebab Sedikitnya Penulisan Di Masa Rasulullah, Cet 8
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 34
13
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet.1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 73
itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa
mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran
yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka
beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan
ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya14. Hal ini
dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan
memperoleh hadits.

2) Metode Tulisan

Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk


menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah
pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur
muslim dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadits melalui
media tulis. Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung
berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah, dan cara-cara ibadah
lainya.

Dalam melakukan misi tersebut, Nabi Saw mengangkat 42 juru


tulis yang siap bekerja pada saat diperlukan. Masuk dalam kategori ini
yaitu kegiatan imla’ Nabi, para Sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan
Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash. Rasul juga  pernah memerintahkan agar
transkrip khutbahnya dikirim kepada seorang warga Yaman bernama Abu
Syadi15.

3) Metode Peragaan Praktis

Sepanjang hidup Rasul Saw terhitung sejak menerima wahyu


senantiasa memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk
mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya
mempraktikkan shalat” dan juga beliau bersabda: “Ambillah cara-cara
haji anda (manasik) dari cara aku melaksanakan haji”.

Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab langsung


secara lisan (sunnah qawliyah), beliau selalu meminta si penanya untuk

14
Safar ‘Azmillah, Maqabisi An-Naqd Mutuni As-Sunnah (Riyadh: Mamlakah Arabiah As-Su’udiyah, 1984),
hlm. 11
15
Mahmud at-Tahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya: Diantama,
2007), hlm. 25
7
tinggal bersama beliau dan belajar melalui pengamatan terhadap perilaku
dan praktik ibadah beliau sehari.

Tataran kenyataan ini dalam metodologi penelitian modern masuk


dalam kategori pendekatan campuran antara penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Suatu model penelitian yang jika dilakukan secara sungguh-
sungguh validitasnya sangat meyakinkah dan komprehensif16.

b. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits

Kadar penguasaan tentang hadits, para sahabat memiliki beberapa


perbedaan yang disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, kesempatan bersama
Rasulullah; kedua, kesanggupan bertanya pada sahabat lain; dan ketiga, waktu
masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul Saw. Adapun beberapa
sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits Rasul Saw
antara lain disebabkan:

1) Para sahabat yang tergolong kelompok sahabat Al-Sabuqun Al-Awwalun


(yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak
menerima hadits dari Rasulullah Saw, karena lebih awal masuk Islam dari
sahabat-sahabat lainnya.

2) Ummahatul Mukminin (istri-istri Rasul Saw), seperti Siti Aisyah r.ha. dan
Ummu Salamah r.ha. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasulullah
dari pada sahabat-sahabat lainnya. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak
yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.

3) Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul Saw, juga menulis
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin al-‘Ash.

4) Para sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi
banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh,
seperti Abu Hurairah.

5) Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul Saw


banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup
lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah bin Umar, Anas
bin malik dan Abdullah bin abbas17.

16
Ibid, hlm. 25-26
17
Ibid., hlm. 74.
c. Menghafal dan Menulis Hadits

1) Menghafal Hadits

Pada masa Nabi Saw., kepandaian baca tulis dikalangan para


sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan
baca tulis para sahabat masih kurang. Maka Nabi Saw menekankan untuk
menghafal, memahami, mematerikan, dan mengamalkan hadits dalam
amalan sehari-hari, serta menyampaikannya kepada orang lain18.

Rasul Saw sendiri melarang hadits itu ditulis sebagaimana yang


telah dijelaskan pada hadits sebelumnya. Abu Said al-Khudri pernah
melaporkan bahwa Rasul Saw bersabda, “Janganlah anda menulis
(sesuatu) dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka
hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya. Demikian tidak apa-
apa”. Menurut Mahmud at-Tahhan, larangan tersebut dimaksudkan
kepada larangan penulisan hadits yang tidak professional. Sebab saat itu
dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an19.

Maka dari itu, segala hadits yang diterima dari Rasulullah kepada
sahabat diingatnya dengan sungguh-sungguh dan hati-hati, dari sinilah
para sahabat termotivasi untuk menghafal hadits beliau. Hal ini disebabkan
karena beberapa alasan: pertama, kegiatan menghafal merupakan budaya
bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra-Islam dan mereka terkenal
kuat hafalannya; kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui
doa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada
mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.

2) Perintah Menulis Al-Hadits

Bagaimanapun juga pengetahuan orang Arab tentang baca-tulis di


Mekah lebih banyak dari pada di Madinah. Hal ini Rasulullah
memerintahkan kaum kafir Mekah yang tertawan dalam perang Badar
untukk meenebus dirinya dengan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh
orang anak di Madinah. Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah, orang yang
bisa menulis semakin bertambah. Seorang penulis indah bernama

18
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, loc.cit.
19
Mahmud at-Tahhan, op.cit., hlm. 27
9
Abdullah bin Sa’id bin Al-Ash mengajarkan tulis-menulis kepada para
peminat di Madinah20. Ada dugaan kuat bahwa sembilan masjid pada masa
Rasulullah digunakan untuk sebagai tempat menyebarkan ilmu. Setelah
diketahui berdasarkan sensus, tercatat ada 1500 orang pria menyatakan
dirinya Islam21.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terkait larangan menulis


hadits, Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada beberapa orang
sahabat tertentu untuk menulis hadits. Misalnya, hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah ra menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah
dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW beliau berdiri berpidato di hadapan
para manusia.  Pada waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki
yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya
kepada Rasulullah saw., ujarnya, “Ya Rasulullah! Tulislah untukku!”
Jawab Rasul, “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”22

d. Beberapa Sahabat Yang Memiliki Naskah Hadits

Para sahabat dan tabi’in yang mempunyai naskah hadits pada masa
Rasulullah Saw antara lain sebagai berikut.

1) Abdullah bin Amr bin Ash r.a. (65 H)

Abdullah bin Amr bin Ash r.a. adalah salah seorang sahabat yang
selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad SAW.
Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka
mengatakan, “Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari
Nabi? Sedang beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam
suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?” Atas
teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada
Rasulullah SAW. Maka, jawab Rasulullah SAW, “Tulislah! Demi Zat
yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain
hak.” (HR Abu Dawud), dan Abu Hurairah pernah mengatakan: “Tidak
ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah
bin Amru, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul Baari:
1/217).

20
Subhi As-Shalih, loc.cit.
21
Ibid.
22
Hadits Masa Rasulullah, loc.cit.
Rasulullah SAW mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash untuk
menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah
seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah ash-
Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW.

Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000


hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal
penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan
hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini
tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan
secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-
Nasai, Sunan At-Tirmizi, dan Sunan Ibnu Majah23.

2)  Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a. (78 H)

Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-


Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini
lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah24.”

3) Human bin Munabbih r.a. (131 H)

Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu


Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang
dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak
138 hadits25.

Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam


bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil
hadits-hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa
bab.

Perlu diketahui, nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan
yang mengizinkan di pihak lain bukanlah nas-nas yang saling bertentangan satu
sama lain, akan tetapi nas-nas itu dapat dikompromikan sebagai berikut.

23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid.
11
1) Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam
untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan Al-Qur’an.
Tetapi, setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak
yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum melarang menulisnya telah
dihapus dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian,
hukum menulisnya adalah boleh.

2) Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan


menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-
menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak
dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.

3) Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat
menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya
diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.

4) Penjelasan di atas sekaligus sebagai bantahan kepada pengusung orientalis


yang memiliki anggapan bahwa hadits baru ditulis pada abad kedua, atau
hadits tidak pernah ditulis pada masa Nabi SAW26.

2. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat (Khulafa' Ar-Rasyidin)

Sahabat dalam arti etimologi adalah pecahan dari kata ‘shubhah’ yang berarti
orang yang menemani27. Secara arti terminologi Muhammad Mahmud Abu Zahwu
menjelaskan dalam al-Hadits wa al-Muhaditsun-nya, menjelaskan bahwa Sahabat
adalah orang yang bertemu Nabi, beriman kepada ajaran Nabi, dan meninggal dalam
keadaan Islam28. Ada juga pendapat lain mengatakan bisa dinamakan Sahabat jika dia
berguru langsung kepada Nabi ataupun mendapatkan pelajaran dari Sahabat yang
mendengarnya. Akan tetapi pembahasan sahabat disini lebih dikhususkan pada
kepemimpinan sahabat yang lima (Khulafaur Rasyidin) sepeninggal Rasulullah Saw.

Periode ini disebut ‘Ash-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa


membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Saw. wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang harus dipegang dalam seluruh aspek kehidupan umat 29.
Karakteristik yang nampak pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki
26
Ibid.
27
al-Ajjaj al-Khatib, op.cit., hlm. 197.
28
Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Maktabah al-Misriyah, 1987), hlm. 129.
29
Endang Soetari, op.cit., hlm. 41-46; Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm. 59-69; Barmawie Umarie, Status
Hadits sebagai Dasar Tasjri (Solo: AB. Siti Sjamsijah, 1965), hlm. 17-18.
komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-
lembaran mushaf, dan dalam hati mereka30.

Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasul SAW. Yang
pertama ialah dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasul Saw), dan yang kedua ialah dengan jalan periwayatan maknawi
(maknanya saja)31. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, sebenarnya seluruh sahabat
menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Dalam hal
ini Umar bin Khatab berkata, “Barang siapa yang mendengar hadits Rasulullah
kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, maka orang itu akan
selamat.”32

Diantara sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan lafzhi adalah


Ibnu Umar.  Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda
(walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul SAW., seperti yang
dilakukan terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits
tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan
ketiga. Ibnu Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat,
sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW33.

Jadi, periwayatan hadits dengan cara maknawi akan mengakibatkan munculnya


hadits-hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits yang lainnya berbeda-
beda, meskipun maksud dan tujuannya sama. Hal ini sangat tergantung kepada para
sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut.

Pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar, periwayatan tersebar secara terbatas.
Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan pada
masa itu Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan Hadits, dan
sebaliknya, umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk 
menyebarluaskan Al-Qur’an34.

Sebenarnya ketika Umar bin Khattab r.a. menjabat sebagai khalifah, sempat
terbesit gagasan untuk membukukan hadits. Namun beliau terus-menerus
mempertimbangkan gagasan ini, padahal sebelumnya ia berniat mencatatnya.
30
Munzier Suparta, op.cit., hlm. 84.
31
Ibid, hlm. 83.
32
Ibid.
33
Ibid, hlm. 84.
34
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, loc.cit
13
Diriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwa Umar bin Khatab ingin menulis hadits.
Ia lalu meminta pendapat kepada para sahabat Rasulullah dan umumnya mereka
menyetujui. Tetapi keraguan Umar selama sebulan akhirnya melakukan istikharah,
memohon petunjuk Allah tentang rencana tersebut. Suatu pagi, setelah mendapat
kepastian dari Allah, Umar berkata, ”Aku telah menuturkan kepada kalian tentang
penulisan kitab hadits, dan kalian tahu itu. Kemudian aku teringat bahwa para ahli
kitab sebelum kalian telah menulis beberapa kitab disamping Kitab Allah, namun
ternyata mereka malah lengah dan meninggalkan kitab Allah. Dan Aku demi Allah,
tidak akan mengaburkan Kitab Allah dengan sesuatu apapun untuk selama-
lamanya.”35

Penting untuk diketahui pula, bahwa para sahabat dianggap telah


banyak meriwayatkan hadits bila ia sudah meriwayatkan lebih dari 1000 hadits.
Mereka itu adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Sayyidah
Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abu Said al-Khudri36.

a. Abu Hurairah

 Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits


di antara tujuh orang tersebut. Baqi bin Mikhlad mentahrijkan hadits Abu
Hurairah sebanyak 5374 Hadits. Di antara jumlah tersebut 352 hadits
disepakati oleh Bukhari Muslim, 93 hadits diriwayatkan oleh Bukhari sendiri
dan 189 hadits diriwayatkan oleh Muslim sendiri. Menurut keterangan bin
Jauzi dalam Talqih Fuhumi al Atsar bahwa hadits yang diriwayatkannya
sebanyak 5374, tapi menurut al-Kirmani berjumlah 5364 dan barada dalam
Musnad Ahmad terdapat 3848 buah hadits.

b. Abdullah bin Umar

Hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 2630 hadits. Di antara jumlah


tersebut yang muttafaq alaihi sebanyak 170 hadits, yang dari Bukhari sebanyak
80 hadits dan yang dari Muslim sebanyak 31 hadits. Abdullah bin Umar adalah
putra khalifah ke dua yaitu khalifah Umar  bin Khattab dan saudara kandung
Sayyidah Hafsah Ummul Mukminin.

c. Anas bin Malik 

35
Subhi As-Shalih, op.cit., hlm. 36.
36
Hadits Masa Rasulullah, loc.cit.
Hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 2286 hadits. Di antara jumlah
tersebut yang muttafaq alaihi sebanyak 168 hadits yang diriwayatkan Bukhari
sebanyak 8 hadits dan yang diriwayatkan Muslim sebanyak 70 hadits.

Nama lengkap Anas bin Malik adalah Anas ibn Malik bin an Nadzar
bin Damdam bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Addi
bin an-Najar al-Anshari. Ia dikenal juga dengan sebutan Abu Hamzah. Anas
bin Malik lahir pada tahun 10 sebelum Hijrah dan wafat pada tahun 93 H di
Basrah. Beliau adalah sahabat yang paling akhir meninggal di Basrah.

d. Aisyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq (w. 58 H.)

Hadits yang beliau riwayatkan 2.210 Hadits.

e. Abdullah Ibn Abbas (3 SH – 68 H.)

Hadits yang beliau riwayatkan 1.660 Hadits.

f. Jabir Ibn Abdullah (16 SH – 78 H)

Hadits yang beliau riwayatkan 1.540 Hadits.

g. Abu Sa’id Al-Khudri (w. 74 H.)

Hadits yang beliau riwayatkan 1.170 Hadits.

3. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in (Akhir Era Khulafa'
Ar-Rasyidin hingga Akhir Abad Pertama Hijriyah)

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah’ (masa berkembang dan


meluasnya periwayatan hadits)37. Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke
negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke
Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah
tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan
penyebaran ilmu hadits38.

Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi Saw
diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk
menanyakan hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah

37
Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 43.
38
Subhi As-Shalih, op.cit., hlm. 53
15
tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadits
ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadits pun menjadi
ramai39.

Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan


lembaga-lembaga hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Adapun lembaga-
lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan
pengembangan hadits terdapat di Madinah, Mekah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghribi
dan Andalus, Yaman dan Khurasan 40.

Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat
Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama ialah golongan ‘Ali
bin Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah; kedua ialah golongan
Khawarij yang menentang ‘Ali dan golongan Mu'awiyah; dan ketiga ialah golongan
jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak


bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari
Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka
membuat hadits palsu dan  menyebarkannya kepada masyarakat.

4. Perkembangan Hadits Pada Abad II Hijriah (Masa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz)

Periode ini disebut ‘Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin’ (masa penulisan dan


pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin,
sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw41.

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz pada tahun 101 H. Sebagai khalifah,
Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadits dalam hafalannya
semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan
mengumpulkan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, ada kemungkinan

39
Ibid, hlm. 53-54
40
Munzier Suparta, op.cit, hlm. 85
41
Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 70.
hadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian
para penghapalnya ke alam barzakh42.

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta


kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazmin (120 H)
yang menjadi guru Ma'mar. Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi
Dzi'bin untuk membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang
terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman bin Sa'ad bin Zurarah bin `Ades, seorang
ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan
hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq
(107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang
tujuh43.

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di


bawah kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di
wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas
kemauan Khalifah adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim bin Ubaidillah bin
Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah
ulama yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran Khalifah44.

Pembukuan seluruh hadits yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam


Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang
ulama besar dari ulama-ulama hadits pada masanya. Setelah itu, para ulama besar
berlomba-lomba membukukan hadits atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-
anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah45.

Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits, antara lain:

a. Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)


b. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
c. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
d. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
e. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
f. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)

42
Endang Soetari, op.cit., hlm. 54
43
Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 71.
44
Ibid.
45
Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1973), hlm. 134.
17
g. Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
h. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
i. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
j. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H)

Semua ulama yang membukukan hadits ini terdiri dari ahli-ahli pada abad
kedua Hijriah.

Kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua
ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang termasyhur di kalangan ahli hadits
adalah:

a. Al-Muwaththa', susunan Imam Malik (95 H-179 H);


b. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
c. Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
d. Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
e. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
f. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
g. Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
h. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
i. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
j. A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
l. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
m. Mukhtalif Al-Hadits, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.

Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn
Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah
Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan
Asy-Syafi'i.46

5. Perkembangan Hadits Pada Abad III Hijriah

Abad ketiga Hijriah disebut dengan Asrut Tajridi wat Tashhili wat Tanqihi atau
puncak usaha pembukuan hadits47. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa'
Imam Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
menghafal hadits, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah

46
Ibid, hlm. 71-82.
47
Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 83.
ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadits.

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di


kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota
lain untuk kepentingan pengumpulan hadits. Keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari.
Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari
hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah,
Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani, dan Himsh. Imam Bukhari membuat
terebosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun
lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.

Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke
dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya
upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan
hal-hal berikut.

a. Membahas keadaan para perawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan,
tempat kediaman, masa, dan lain-lain.

b. Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadits yang dha'if yakni dengan
men-tashih-kan hadits

Ulama hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang


sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam
hadits yang sangat termasyhur. Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan
dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya
yang terkenal dengan nama Al-Jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya
membukukan hadits-hadits yang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini
diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.

Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang
mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan An-
Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadits yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa'i. Kitab-
kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-
Khamsah.
19
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian
digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk
itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.

Tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini antara lain48:

1. Ali Ibnul Madany 8. Imam Muslim

2. Abu Hatim Ar-Razy 9. An-Nasa'i

3. Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari 10. Abu Dawud

4. Muhammad Ibn Sa'ad 11. At-Tirmidzi

5. Ishaq Ibnu Rahawaih 12. Ibnu Majah

6. Ahmad bin Hanbal 13. Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri

7. Imam Al-Bukhari

6. Perkembangan Hadits Pada Abad IV hingga Tahun 656 H

Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa
`Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa
Al-Istidraqi wa Al-jam’i Al-Khash (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan
penghimpunan).49

Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari
Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada
usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang
tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad
keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadits yang mereka
kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit
yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.

Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab
sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:

a. Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah

b. At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban


48
Ibid, hlm. 91-106.
49
Ibid, hlm. 107
c. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim

d. Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah

e. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud

f. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.50

Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:

a. Mengumpulkan Hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.

Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim


adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang
terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-
Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily
(582 H).

b. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam.

Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits kitab enam, adalah Tajridu


As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-
Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).

c. Mengumpukan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.

Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab


adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-
Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali
Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-
Samarqandy (49I H).

d. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf51.

7. Perkembangan Hadits Pada Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke XVII


Al-Mu'tashim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ashru Asy-Sarhi
wa Al-Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi ‘an Az-Zawaaid, yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan52. Usaha-usaha yang dilakukan oleh

50
Ibid, hlm. 107-108
51
Ibid, hlm. 109-112
52
Umarie, op.cit., hlm. 2; dan Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 113.
21
ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan
menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab syarh dan mukhtashar.

Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan


hadits yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di
antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.

Di samping itu, para ulama hadits pada periode ini mengumpulkan hadits-
hadits yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya
adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-
Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).

Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadits-hadits yang tidak
disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha
menerangkan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits itu dan nilai-nilainya dalam
sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadits Tafsir Al-Kasysyaf karangan
Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-
`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama


hadits yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al-
Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-
Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah: Adz-Dzahaby (748 H),
Ibnu Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-`Ied, Muglathai (862 H), Al-Asqalany (852
H), Ad-Dimyaty (705 H), Al-`Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794
H), Al-Mizzy (742 H), Al-`Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H), Ibnu
Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-`Iraqy (w. 806 H), Al-
Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).53

C. Kesimpulan
Hadits menurut bahasa berarti sesuatu yang baru, berita, dan dekat. Secara istilah
memiliki beberapa pengertian menurut ulama muhadditsun, ushuliyyun, dan fuqaha,
namun secara garis besar berarti semua yang datang dari Rasul Saw, baik berupa
perkataan, tindakan, ataupun ketetapan beliau.

53
Ibid, hlm. 132.
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui
oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan
pengamalan umat dari generasi ke generasi. Adapun T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy membagi
sejarah perkembangan hadits dalam tujuh periode, antara lain:

1. Masa Rasulullah Saw.

Masa ini disebut dengan ‘Ashr Al-Wahyi wa At-taqwin’ (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam). Pada masa ini, hadits belum mendapat pelayanan dan
perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Rasulullah Saw hanya mengizinkan untuk
menghafalkan saja, tidak diperkenankan ditulis seperti halnya Al-Qur’an.

2. Masa Khulafaur Rasyidin

Masa ini disebut dengan ‘Ash-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa


membatasi dan menyedikitkan riwayat). Pada masa ini, para sahabat memfokuskan
kepada kitab Allah (Al-Qur’an) dan memeliharanya dalam lembaran-lembaran
mushaf, dan dalam hati mereka. Sedangkan hadits hanya sebatas melalui jalan
periwayatan, baik periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan
Rasul Saw) dan maknawi (maknanya saja).

3. Masa pasca era Khulafaur Rasyidin hingga abad pertama Hijriyah

Masa ini disebut dengan ‘Ashr Intisyar al-Riwayah’ (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadits). Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadits-
hadits Nabi Saw diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah
untuk menanyakan hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di
wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya
periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari
hadits pun menjadi ramai. Pada periode ini pula mulai muncul usaha pemalsuan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena motif politik.

4. Masa abad kedua Hijriyah

Masa ini disebut dengan ‘Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin’ (masa penulisan dan
pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Pemerintah yang dimaksud ialah
pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz pada tahun 101 H. Pada masa
ini pula muncul para ulama yang membukukan hadits pertama kali, seperti Imam

23
Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, kemudian Imam Malik dengan kitab
Al-Muwaththa'-nya, dan lain-lain.

5. Masa abad ketiga Hijriyah

Masa ini disebut dengan ‘Asrut Tajridi wat Tashhili wat Tanqihi’ (puncak usaha
pembukuan hadits). Pada masa ini banyak bermunculan para ulama yang pergi ke kota
lain untuk kepentingan pencarian dan pengumpulan hadits. Para ahli hadits yang
dimaksud ialah seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i,
dan Ibnu Majah, yang mereka semua dijuluki Al-Ushul Al-Khamsah. Mereka tidak
hanya membukukan hadits, tapi juga melakukan upaya-upaya seperti menyeleksi
hadits dengan memerhatikan sahih-tidaknya hadits, dan membahas keadaan para
perawi hadits.

6. Masa abad keempat hingga tahun 656 Hijriyah

Masa ini disebut dengan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jam’i


Al-Khash (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan). Beberapa
usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah mengumpulkan hadits
Bukhari Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam,
dan mengumpulkan hadits-hadits hukum.

7. Masa tahun 656 H hingga Sekarang

Masa ini disebut dengan Ashru Asy-Sarhi wa Al-Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi ‘an
Az-Zawaaid, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan pada masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits
dan menyaringnya dalam enam kitab tahrij, kitab-kitab mukhtashar, dan syarh.
DAFTAR RUJUKAN

Al-Khatib, Al-Ajjaj. 1981. as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr.


Al-Tahawuni, Dzafar Ahmad Utsmani. 1972. Qowa’id al-Ulum al-Hadits. Beirut: Maktabah
al-Mathba’ah al-Islamiyah.
Amin, Ahmad, 1968. Fajar Islam. Terj. Zaini Dahlan. Jakarta: Bulan Bintang.
As-Shalih, Subhi, Cet. 2009. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits: Sebab-Sebab Sedikitnya Penulisan
Di Masa Rasulullah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1973. Sejarah Perkembangan Hadits. Jakarta: Bulan Bintang,
At-Tahhan, Mahmud. 2007. Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Terj. Imam Ghazali
Sa’id. Surabaya: Diantama.
Aziz, Syaikh Muhammad Abdul. 1984. Tarikh Fununul Hadits an-Nabawiyah. Madinah:
Darul Ibnu Katsir.
Azmillah, Safar. 1984. Maqabisi An-Naqd Mutuni As-Sunnah. Riyadh: Mamlakah Arabiah
As-Su’udiyah.
Hadi, Saeful. Tt. Ulumul Hadits: Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif.
Yogyakarta: Sabda Media.
Hasimy, A. 1972. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Razak, Nasruddin. 1973. Dienul Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar
Pustaka.
Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2011. Ulumul Hadits: Sejarah Perkembangan Hadits.
Bandung: Pustaka Setia.
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Umarie, Barmawie. 1965. Status Hadits Sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah.
Zahwu, Muhammad Abu. 1987. al-Hadits wa al-Muhadditsun. Mesir: Maktabah al-Misriyah.
Hadits Masa Rasulullah. Dikutip dari situs http://kickylover.blogspot.com/2022/06/-hadits-
masa-rasulullah. Diakses pada tanggal 05 Oktober 2022.

25

Anda mungkin juga menyukai