Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah : Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu : Dra. Hj. Darrotul Jannah, M.Ag

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Yusi Nursyamsiah (2008101013)
Siti Likhayaati Saicho (2008101001)
Sephia Nisaul Hikmah (2008101010)
Muhammad Iqbal (2008101034)
Arip Syarifudin (1708101190)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) A/II


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan Perjuangan By Pass Sunyaragi Kesambi Cirebon Telp. (0231) 4891642
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Shalat Bagi Orang yang Sakit ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Fiqih
Ibadah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN ..................................................................... 3
A. Shalat dalam keadaan sakit ............................................... 3
B. Shalat dengan duduk ......................................................... 4
C. Shalat dengan terbaring ..................................................... 6
D. Shalat dengan terlentang ................................................... 7
E. Tata cara shalat orang sakit ............................................... 8
BAB III : PENUTUP ............................................................................... 11
A. Kesimpulan ....................................................................... 11
B. Saran .................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
“Shalat dalam keadaan darurat ialah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan
yang menyulitkan seseorang untuk melaksanakannya sesuai dengan rukun-
rukun shalat yang lengkap.” Dalam keadaan bagaimana pun, apapun, dimana
pun, dan kapan pun sebagai umat islam kita harus slalu mendirikan shalat.
Begitu pun dengan Orang yang sakit tetap diwajibkan melaksanakan sholat
fardu. Selama akal dan ingatan orang yang sakit masih sadar. Namun, kaum
muslim yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau
memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang
sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai
beban yang menyusahkannya.
Tentang bagaimana orang yang terbaring lemah itu shalat,
sesungguhnya telah jelas bahwa tidak ada satu pun beban syari‟at yang
diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Karena syari‟at islam
dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Allah
Ta‟ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
‫ّللاُ وَ ْفسا ً إِالَّ ُو ْسعَ َها‬
ّ ‫ف‬ ُ ّ‫الَ يُ َك ِه‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya,” (Qs. Al-Baqarah: 286).
Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha
melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Sehingga
nampaklah keindahan syari‟at dan kemudahannya. Allah Ta‟ala juga
memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ketakwaan menurut
kemampuan mereka dalam firman-Nya:
َ َ‫ّللاَ َما ا ْسر‬
‫ط ْعر ُ ْم‬ َّ ‫فَاذَّقُىا‬
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-
Taghaabun/64:16)

1
Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh
setiap kaum muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah terhukum
wajib untuk melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan,
meskipun itu dalam kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat sakit dan tidak
bisa berdiri atau tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan untuk sholat
dengan duduk, begitu juga jika tidak mampu dengan duduk, maka boleh
dilaksanakan dengan berbaring dan jika bebaring tak mampu untuk
melaksanakan maka diperbolehkan dengan berbaring.karna agama islam
adalah agama yang mudah dan tidak pernah mempersulit pemeluknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Shalat dalam keadaan sakit?
2. Apa yang dimaksud dengan Shalat dengan duduk?
3. Apa yang dimaksud dengan Sholat dengan berbaring?
4. Apa yang dimaksud dengan Sholat dengan terlentang?
5. Sebutkan tata cara sholat bagi orang sakit?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan shalat dalam keadaan
sakit.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Shalat dengan duduk.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sholat dengan berbaring.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sholat dengan terlentang.
5. Untuk mengetahui tata cara sholat bagi orang sakit.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Shalat Dalam Keadaan Sakit


“Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Ketika kita sakit pun
kita wajib mendirikan sholat”. Orang yang sakit tetap wajib sholat
diwaktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana
diperintahkan Allah Ta‟ala dalam firman-Nya:
َ َ‫ّللاَ َما ا ْسر‬
‫ط ْعر ُ ْم‬ َّ ‫فَاذَّقُىا‬
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-
Taghâbûn/ 64:16) dan perintah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
dalam hadits „Imrân bin Hushain:
‫ص ِّم قَائِ ًما فَإ ِ ْن نَ ْم ذَ ْسر َِط ْع فَقَا ِعدًا فَإ ِ ْن نَ ْم‬ َّ ‫سهَّ َم َع ْه ان‬
َ ‫ص ََلجِ فَقَا َل‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ‫ّللاُ َعهَ ْي ًِ َو‬ َّ ِ‫سأ َ ْندُ انىَّث‬
َ ‫ي‬ َ َ‫ير ف‬ ْ ‫كَاو‬
ُ ‫َد تِي تَ َىا ِس‬
‫ذ َ ْسر َِط ْع فَعَهَى َج ْىة‬
Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau
shallallahu „alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila
tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka
berbaringlah.” (HR al-Bukhari no. 1117)
Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka
diperbolehkan menjamâ‟ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan „Isya` baik dengan jamâ‟ taqdîm atau ta‟khîr, dengan cara
memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh
dijama‟ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Di
antara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhuma
yang berbunyi :
‫َاء ِت ْان َمدِيىَ ِح فِي َغ ْي ِر خ َْىف َو َال‬
ِ ‫ب َو ْان ِعش‬ ِ ‫ص ِر َو ْان َم ْغ ِر‬
ْ ‫ظ ْه ِر َو ْان َع‬
ُّ ‫س َّه َم تَيْهَ ان‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ‫ّللاُ َع َه ْي ًِ َو‬ َّ ‫سى ُل‬
َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫َج َم َع َر‬
ًَُ‫طر قَا َل (أَت ُْى ُك َريْة) قُ ْهدُ ِالت ِْه َعثَّاس ِن َم فَ َع َم ذَنِكَ قَا َل َك ْي َال يُحْ ِر َج أ ُ َّمر‬ َ ‫َم‬
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjama‟ antara
Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya‟ di kota Madinah tanpa sebab takut
dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Ibnu

3
Abas Radhiyallahu 'anhu : Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau
Radhiyallahu 'anhu menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya." [HR
Muslim no. 705]
Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membolehkan kita menjamâ‟ shalat karena adanya rasa berat yang
menyusahkan (Masyaqqah) dan sakit adalah Masyaqqah. Ini juga dikuatkan
dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihâdhoh
yang diperintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk mengakhirkan
shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta
mempercepat Isya‟.
Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila
mampu dan tak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam
shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah Azza wa Jalla
berfirman: "Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu" [al-
Baqarah/ 2:238]. Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun
dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan pada
tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ع ُوىدًا فِي ُهص َََّّلهُ يَ ْعتَ ِو ُذ‬ َ َ ‫س َّل َن لَ َّوا أ‬
َ َ‫سيَّ َو َح َو َل اللَّحْ َن ات َّ َخذ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أَىَّ َر‬
َّ ‫سى َل‬
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya
sebagai sandaran". [HR Abu Dawud & dishahihkan al-Albani dlm Silsilah
Ash-Shohihah 319].
Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun
keadaannya seperti orang rukuk. Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah
berkata, "Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun
menyerupai orang ruku' atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang
ataupun manusia".

B. Sholat Dengan Duduk


Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku' atau sujud,
dia tetap wajib berdiri. Dia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk

4
dengan menundukkan badannya. Bila dia tak mampu membungkukkan
punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya,
kemudian duduk, lalu menundukkan badannya untuk sujud dalam keadaan
duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan
shalat dengan duduk, kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang
mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah
mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

‫ّللاُ ِت ُك ُم ْانيُس َْر َو َال ي ُِريد ُ تِ ُك ُم ْانعُس َْر‬


َّ ُ ‫ي ُِريد‬
"Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu" [al-Baqarah/ 2:185].
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit,
walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak
berpuasa; demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh
mengerjakan shalat dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya
duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts „Aisyah Radhiyallahu
'anha yang berbunyi:
‫ص ِهّي ُمر ََر ِتّ ًعا‬
َ ُ‫سهَّ َم ي‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ‫ّللاُ َعهَ ْي ًِ َو‬ َّ ‫َرأَيْدُ انىَّ ِث‬
َ ‫ي‬
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila"
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih
tuma‟ninah (tenang) daripada duduk iftirâsy”. Apabila rukuk, maka
lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku‟ dilakukan dengan berdiri.
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah
dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
َ ‫ظم ْان َج ْث َه ِح َوأَش‬
‫َار تِيَ ِد ِي‬ َ ‫سهَّ َم قَا َل أ ُ ِم ْرخُ أ َ ْن أ َ ْس ُجدَ َعهَى‬
ُ ‫س ْثعَ ِح أ َ ْع‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ‫ّللاُ َعهَ ْي ًِ َو‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َّ ‫سى َل‬
َ ِ‫ّللا‬
‫اف ْانقَدَ َمي ِْه‬ ْ َ ‫انرجْ هَي ِْه َوأ‬
ِ ‫ط َر‬ ّ ِ ‫َعهَى أ َ ْو ِف ًِ َو ْانيَدَي ِْه َو‬

5
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-
kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki"
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua
telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu,
hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya
lebih rendah dari pada ketika ruku‟.

C. Shalat Dengan Berbaring


Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk,
cara melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan
atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan
sabda Rasulullah dalam hadits „Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu :
‫ص ِّم قَائِ ًما فَإ ِ ْن نَ ْم ذَ ْسر َِط ْع فَقَا ِعدًا فَإ ِ ْن نَ ْم ذَ ْسر َِط ْع فَعَهَى َج ْىة‬
َ
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan
bila tidak mampu juga maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskan
pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga
yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan
lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang
termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama
mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman
hadits „Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
‫ىر ِي‬ ُ ‫سهَّ َم ي ُِحةُّ انرَّيَ ُّمهَ فِي شَأْوِ ًِ ُك ِهّ ًِ فِي وَ ْعهَ ْي ًِ َوذ ََر ُّج ِه ًِ َو‬
ِ ‫ط ُه‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ‫ّللاُ َعهَ ْي ًِ َو‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َّ ‫سى ُل‬
َ ِ‫ّللا‬
"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai
mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai
sandal, menyisir dan bersucinya" [HR Muslim no 396].
Melakukan ruku‟ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke
dada, ketentuannya , sujud lebih rendah dari ruku‟. Apabila tidak mampu

6
menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga
pendapat:
 Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila rukû‟ maka ia
memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata ( ‫س ِم َع هللاُ ِن َم ْه‬
َ
ُ‫ ) َح ِمدَي‬lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya
lebih dalam.
 Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
 Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, “yang rajih dari tiga
pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang
tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia
mampu melakukannya dan Allah berfirman :
َ َ‫ّللاَ َما ا ْسر‬
‫ط ْعر ُ ْم‬ َّ ‫فَاذَّقُىا‬
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut
kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16].

D. Sholat Dengan Terlentang


Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat
dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini
lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak
kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat. Apabila tidak mampu
menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu
mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‫سا إِ َّال ُو ْسعَ َها‬
ً ‫ّللاُ وَ ْف‬
َّ ‫ف‬ُ ّ‫َال يُك َِه‬
"Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya" [al-Baqarah/ 2:286]
Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka
shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
:

7
َ َ‫ّللاَ َما ا ْسر‬
‫ط ْعر ُ ْم‬ َّ ‫فَاذَّقُىا‬
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut
kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]
Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua
gerakan di atas (Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak
mampu juga dengan matanya), hendaknya ia melakukan shalat dengan
hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat. Dan
Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang
sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku‟ atau sujud, maka ia
wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan
menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu,
karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah,
hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu
sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang
berbunyi:
َ ُ‫ فَأ َ َخذَ ع ُْىدًا ِلي‬،‫سا َد ٍة فَأ َ َخذَ َها فَ َز َهى ِبهَا‬
‫ص ِّلي‬ َ ‫علَى ِو‬
َ ‫ص ِ ّلي‬ ُ ‫أَىَّ َر‬
َ ‫س ْى َل هللا عَا َد َه ِز ْيضًا فَ َزآ ُه ُي‬
َ ‫س ُج ْى َدكَ أَ ْخ َف‬
‫ط ِه ْي‬ ُ ‫ست َ َط ْعتَ َوإِالَّ فَأ َ ْو ِم إِ ْي َوا ًء َواجْ عَ ْل‬ ِ ‫علَى األ َ ْر‬
ْ ‫ض إِ ِى ا‬ َ :َ‫ قَال‬،‫علَ ْي ِه فَأ َ َخذَهُ َف َز َهى بِ ِه‬
َ ‫ص ِ ّل‬ َ
َ‫ُرك ُْى ِعك‬
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk orang sakit,
beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (beralaskan) bantal,
beliau pun mengambil dan melemparnya, kemudian mengambil kayu untuk
dijadikan alas shalatnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan
isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari
ruku'mu".

E. Tata Cara Shalat Orang Sakit


Mengutip buku panduan fiqih tarapan Madrasah Ibtida‟iya
menyebutkan tata cara sholat orang sakit adalah :

8
1. Kalau tidak dapat berdiri boleh mengerjakannya sambil duduk. Yaitu
telapak kaki kiri diduduki dan telapak kaki kanan diberdirikan (seperti
saat duduk tasyahud awal atau duduk iftirasy).
2. Membaca niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan
setinggi bahu (seperti shalat saat berdiri).
3. Membaca surat al fatihah dan surat pendek atau surat lainnya yang ada
didalam al qur‟an yang di hafal (dilalukan seperti dalam shalat sambil
berdiri).
4. Rukuk dan tumaknina dengan duduk membungkuk sedikit dan membaca
doa ruku‟.
5. Iktidal dan tumakninah dengan kembali ke posisi semulam yaitu duduk
tegak dan membaca doa iktidal.
6. Dua sujud, duduk diantara dua sujud tasyahud awal (duduk iftisary) dan
tasyahud akhir sama seperti kita mengerjakannya sambil berdiri.
Cara mengerjakannya :
1. Apabila seseorang yang sakit mengerjakan shalat dengan berbaring,
hendaklah ia menghadap kiblat, yaini kepada berada disebelah utara dan
kaki sebelah selat
2. Membaca niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan
setinggi bahu.
3. Bersedekap dan membaca surat al fatihah dan surat pendek lainnya yang
ada didalam al-qur‟an yang sudah dihafal
4. Rukuk dan sujud menggerakkan kepada kemuka. Pada saat sujud, kepala
lebih ditundudukkan.
5. Untuk iktidal dan duduk diantara dua sujud, cukup kembali ke posisi
semula dan membaca doanya sama seperti bacaan dalam shalat berdiri.
6. Begitu juga dengan tasyahud awal dan tasyahud akhir, cukup kembali ke
posisi semula dengan membaca doanya sama seperti ketika shalat berdiri.
Cara mengerjakannya :

9
1. Kedua kaki diarahkan kekiblat. Jika memugkinkan, kepada diberi bantal
agar mukanya dapa menghadap kekiblat.dengan demikian kepada berada
disebalah timur dan kaki sebelah barat.
2. Bacaan dalam shalat telentang sama dengan bacaan dalam shalat sambil
berdiri.
3. Gerakan dalam shalatnya sama dengan gerakan shalat sambil berbaring.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan
oleh setiap kaum muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah
terhukum I wajib untuk melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus
dilaksanakan, meskipun itu dalam kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat
sakit dan tidak bisa berdiri atau tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan
untuk sholat dengan duduk, begitu juga jika tidak mampu dengan duduk,
maka boleh dilaksanakan dengan berbaring dan jika bebaring tak mampu
untuk melaksanakan maka diperbolehkan dengan berbaring.karna agama
islam adalah agama yang mudah dan tidak pernah mempersulit pemeluknya.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan
shalat dengan duduk, Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan
duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts
„Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
‫ص ِهّي ُمر ََرتِّعًا‬
َ ُ‫سهَّ َم ي‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ‫ّللاُ َعهَ ْي ًِ َو‬ َّ ِ‫َرأَيْدُ انىَّث‬
َ ‫ي‬
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila"
Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk,
cara melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan
atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat
Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat
dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini
lebih dekat kepada cara berdiri.

B. Saran
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
sehingga wawasan pengetahuan dapat lebih terbuka mengenai tata cara sholat
dalam keadaan sakit. Penulis sadar bahwasannya dalam penulisan makalah ini

11
tidak cukup sempurna, untuk itu penulis berharap akan kritikan dan saran dari
para pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amir Abyan, Zainal Muttaqim. (2004). Fiqih. Semarang: PT Karya Thoha Putra.
Andres Anwarudin, DKK. (2007). Fiqih. Jakarta: Yudhi Tira.
http.majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183

13

Anda mungkin juga menyukai