Dosen Pengampu
Disusun Oleh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga saya bisa menyelesaikan makalah
“Shalat Jama’, Shalat Qashar, Shalat Jama’-Qashar Dalam Safar dan Kemacetan Lalu
Lintas”. Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan
umat di dunia. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer di
program studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah pada Institut Agama Islam
Negeri. Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen pembimbing mata kuliah kami yaitu Dr. Iim Fahimah, Lc., MA yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini. Saya menyadari
bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat adalah ibadah ritual yang telah ditetapkan tata cara dan waktu pelaksanaannya
oleh Allah, Swt. Oleh karena itu shalat tidak sah bila dilakukan tidak sesuai dengan tata cara
dan waktu yang ditentukan. Namun demikian dalam kondisi-kondisi tertentu Allah
memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk
mengerjakan shalat sesuai dengan ketentuan dasar tersebut. Tujuan Allah memberikan
keringanan adalah untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Bentuk keringan itu adalah
dibolehkannya menjamak dan mengqashar shalat. Dalam kitab-kitab fikih klasik dijelaskan
bahwa alasan dibolehkannya menjamak dan mengqashar shalat adalah perjalanan jauh.
Namun dalam kenyataan kehidupan sekarang banyak ditemukan keadaan-keadaan yang lebih
menyulitkan dibandingkan perjalanan jauh. Untuk memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf
dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja
sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan
co pilot, dokter dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan
mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban shalat pada waktunya. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengkajian untuk merespon realitas yang terjadi di zaman modern
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat jama’ dan qashar?
2. Apa saja hal-hal yang diperbolehkan jama’ dan qashar?
3. Jelaskan qashar shalat dengan alasan macet dan kesibukan?
4. Jelaskan menjama’ shalat dengan alasan macet dan kesibukan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian shalat jama’ dan qashar
1
2. Untuk mengetahui hal-hal yang diperbolehkan jama’ dan qashar
3. Untuk mengetahui qashar shalat dengan alasan macet dan kesibukan
4. Untuk mengetahui menjama’ shalat dengan alasan macet dan kessibukan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah, ( Jakarta: amzah, 2009), hlm. 288.
2
Drs. M. Thalib, Fiqih Tsanawiyah, (Kota Kembang, Yogyakarta, 1994), hlm: 72.
3
syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul
SAW :3
ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُّ َ َ ََ َ َ ُ ُ ه َ ْ َ ُ َ ْ ن
ْص ِإذا كان عَل ظه ِر س ٍي
ِ اَّلل يجمع بي صَل ِة الظه ِر والع ِ كان رسول
َ ْ ْ ْ ََ َ ْ َ ُ َ ْ ن
ي ال َمغ ِر ِب َوال ِعش ِاء ويجمع ب
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di
tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’. (HR. Bukhari).
b. Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat
lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar.
“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat m ghrib dan isya pada suatu malam yang
diguyur hujan lebat.” (HR. Bukhari).
c. Sakit
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar
dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah
dan Rasul- Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-
dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’.4
d. Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang
akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar
Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an taqshuru
minashalahin khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru".Padahal sesungguhnya orang-
orang dalamkeadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana
anda heranterhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah
saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu
sekalian, makaterimalah pemberian-Nya.” (HR. Muslim).
3
Muhammad Baghir al-Habsy, Fikih Praktis :Menurut Al Qur’an, As-Sunnah Dan Pedapat Para Ulama’,
(Bandung: Mizan Media utama, 2002), hlm. 208.
4
Ibid., hlm. 209.
4
e. Keperluan Mendesak
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan
beberapa keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi
kewajiban bagi setiap muslim beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang yang
tidak dalam safar, jika ada kepentingan yang mendesak, asal hal itu tidak dijadikan
kebiasaan dalam hidupnya.
5
Beni Firdaus, “KEMACETAN DAN KESIBUKAN SEBAGAI ALASAN QASHAR DAN JAMA’ SHALAT”,
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam, Vol. 02, No. 02., Juli-Desember 2017, hlm. 170.
6
Ibid., hlm. 170.
5
f. Hendaknya orang yang mengqashar shalat tidak bermakmum kepada orang yang
bermukim atau kepada musafir yang menyempurnakan shalatnya.
g. Hendaknya berniat untuk mengqashar shalat ketika bertakhbiratul ihram.
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat, apakah mengqashar shalat dalam
safar itu wajib, sunnah atau pilihan.
1. Wajib7
Mazhab Abu hanifah mewajibkan qashar bagi orang yang melakukan
perjalanan yang telah terpenuhi syaratnya. Istilah lain yang sering digunakan
adalah azimah. Dan tidak boleh shalat dengan itmam, yaitu menyempurnakan
dengan 4 rakaat dalam keadaan tersebut. Bila dilakukan hukumnya dosa.
Dalil yang mereka gunakan adalah salah satu hadits di atas, dimana
mereka menarik kesimpulan hukum menjadi wajib, bukan sunnah atau pilihan.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ”Awal mula diwajibkan shalat itu 2
rakaat kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi
shalat hadhar (tidak safar)”. (HR Bukhari Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu‘anhu berkata:”Allah SWT telah mewajibkan di atas
lidah Nabi kalian bahwa shalat dalam hadhar (tidak safar) sebanyak 4 rakaat,
dalam safar 2 rakaat dan dalam keadaan kahuf (takut) satu rakaat”. (HR.
Muslim)
Dua hadits di atas memang tegas menyebut istilah 'mewajibkan', sehingga
barangkali inilah adalan mazhab Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam
perjalanan.
2. Sunnah8
Yang masyhur berpendapat bahwa mengqashar shalat hukumnya sunnah
adalah mazhab Malikiyah.
Dasarnya adalah tindakan Rasulullah SAW yang secara umum selalu
mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanan beliau. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu
7
Ahmad Sarawat, Shalat Qashar Jama’, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm. 13.
8
Ibid., hlm. 14.
6
Abdullah bin Umar berkata, "Aku menemani Rasulullah SAW, beliau tidak pernah
menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar, demikian pula Abu Bakar,
Umar dan Utsman”. (HR. Bukhari Muslim)
3. Pilihan9
Yang berpendapat bahwa mengqashar shalat atau tidak itu merupakan
pilihan adalah mazhab AsSyafi'iyah dan Al-Hanabilah. Namun bagi mereka,
mengqashar itu tetap lebih afdhal, karena merupakan sedekah dari Allah SWT
Umar radhiyallahuanhu berkata,"(Qashar) adalah sedekah yang Allah berikan
padamu, maka terimalah sedekah-Nya”. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Allah SWT menyukai bila kita
menerima sedekah-Nya
Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Allah suka bila sedekahnya diterima
sebagaimana Dia suka bila kewajibannya dijalankan”. (HR. Ahmad)
Mereka juga berdalil dari tindakan para shahabat Nabi SAW dalam
banyak perjalanan, kadang mereka mengqashar tapi kadang juga tidak
mengqasharnya. Sehingga mengqashar atau tidak merupakan pilihan. Mereka
tidak saling memandang aib atas apa yang dilakukan teman mereka.
Selain itu Aisyah dan Rasulullah SAW pernah mengadakan perjalanan,
dimana mereka saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar yang lain
tidak mengqashar.
Aku pernah melakukan umrah bersama Rasullah SAW di bulan Ramadhan, beliau
SAW berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak.
Maka Aku berkata, "Dengan ibu dan ayahku, Anda berbuka dan aku berpuasa,
Anda mengqashar dan Aku tidak". Beliau menjawab,"Kamu baik, wahai Aisyah".
(HR. AdDaruquthuny)
9
Ibid., hlm. 15.
7
dilakukan pada waktu yang pertama disebut jama’ taqdim dan bila dilakukan pada waktu
yang kedua disebut jama’ ta’khir. Dibolehkan seseorang itu menjama’ shalat Zuhur
dengan Ashar baik secara taqdim maupun ta’khir, begitupun dibolehkan menjamak
Maghrib dengan Isya bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut ini:10
a. Menjama’ di Arafah dan Mudzdalifah Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat
Zuhur dan Ashar secara taqdim pada waktu zuhur di Arafah begitu pun antara
Maghrib dan Isya secara ta’khir di Mudzdalifah hukumnya sunat, berpedoman kepada
apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
b. Menjama Dalam Bepergian Menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu
dari kedua waktu itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada
perbedaaan, apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam
perjalanan.
c. Menjama’ di waktu Hujan Dalam sunannya Al Atsram meriwayatkan dari Abu
Salamah bin Abdurrahman mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi saw. Menjama’
shalat Maghrib dengan Isya apabila hari hujan lebat
d. Menjama’ Sebab Sakit Atau Uzur Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al Khathabi dan Al
Mutawalli dari golongan Syafi’i membolehkan menjama’ baik takdim ataupun ta’khir
disebabkab sakit, dengan alasan karena kesukaran pada waktu itu lebih besar dari
kesukaran di waktu hujan. Ulama-ulama Hanbali memperluas keringan ini, hingga
mereka membolehkan pula menjama’ baik taqdim mapun ta’khir karena pelbagai
macam halangan dan juga ketakutan. Mereka membolehkan orang yang sedang
menyusui bila sukar baginya buat mencuci kain setiap hendak shalat. Juga untuk
wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang ditimpa silsalatul baul (kencing
berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci yang mengkhawatirkan bahaya bagi
dirinya pribadi, bagi harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut
mendapatkan rintangan dalam mata pencariannnya sekiranya ia meninggalkan jama’.
e. Menjama’ Sebab Ada Keperluan Dalam syarah Muslim Nawawi berkata: beberapa
imam membolehkan jama’ bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu
kepentingan asal saja hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Hal ini dikuatkan oleh
10
Ibid., hlm. 173-174.
8
lahirnya ucapan Ibnu Abbas bahwa jama’ itu dimaksudkan agar tidak menyukarkan
umat.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat jama’ dan qashar adalah keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah
kepada hambanya, yang harus diterima oleh umat muslim sebagai shadaqah dari Allah.
Shalat yang dapat di jama’ adalah semua shalat fardhu kecuali shalat subuh dan shalat
yang dapat di qashar adalah semua shalat fardhu yang empat rakaat yaitu shalat
isya’,dzuhur dan ashar. Hal-hal yang membolehkan jama’ dan qashar ada beberapa hal
yaitu Safar (Bepergian), Hujan, Sakit, Takut, Keperluan (kepentingan) Mendesak.
B. Saran
Semoga makalah ini bisa berguna bagi para pembaca. Sebagai seorang mahasiswa
saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu saya selalu
mengharap kritik dan saran dari para pembaca, agar saya bisa memperbaiki kesalahan
dari penulisan makalah ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
DAN JAMA’ SHALAT”. ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam, Vol. 02, No. 02.
Sarawat, Ahmad. 2018. Shalat Qashar Jama’. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.