SHALAT DI KENDARAAN
JAKARTA
2021
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis ucapkan kepada Alah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Selanjutnya, Sholawat dan salam
tidak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah mengubah tatanan
kehidupan dari jahiliyah ke kehidupan yang dipenuhi oleh ilmu pengetahuan ini.
Penulis menyadari akan kekurangan makalah ini. Oleh karena itu, penulis meminta maaf dan
berharap semoga pengetahuan ini dapat memberikan manfaat bagi saya dan teman-teman
sekalian. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Dosen pengampu pada mata
kuliah “Fiqih Ibadah”, yaitu: DRS. H. DJEDEJEN ZAINUDDIN, M.PD. yang telah banyak
menyampaikan ilmunya, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini berdasarkan rujukan
dan pengetahuan yang ada. Selanjutnya, penulis juga mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaa makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................7
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak. Shalat
juga dapat dijadikan barometer amal-amal lain seperti diungkapkan dalam sebuah
hadits:
“Hal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat”. Maka shalat tidak
boleh ditinggalkan walau bagaimanapun keadaannya kecuali orang yang haid atau
nifas atau keadaan bahaya. Namun ada beberapa keringanan bagi orang yang ada
dalam perjalanan dalam tata cara pelaksanaan shalat, yaitu dengan cara shalat jama
dan shalat qashar. Namun hal itu juga bukan berarti boleh meninggalkan shalat begitu
saja, hanya berpindah pelaksanaan pada waktu tertentu (yang telah diisyaratkan) dan
syarat-syarat tertentu pula.
Begitu pentingnya shalat, karena shalat merupakan penentu amal yang lain.
Jika shalatnya baik, maka baik pula amalnya yang lain. Ada juga para ulama yang
mengibaratkan bahwa shalat itu diibaratkan sebagai angka I (satu) sedangkan amal
selain shalat itu diibaratkan angka 0, sehingga jika shalatnya rusak atau bahkan tidak
melakukan shalat maka nilai sama dengan nol walaupun amalnya banyak. Akan tetapi
jika shalatnya baik dan selalu dikerjakan maka semua amalnya itu bernilai.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat diajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian shalat jama’ dan qashar?
2. Bagaimana hukum shalat jama’ dan qashar, shalat ketika sakit, shalat dalam
kendaraan?
3. Bagaimana cara shalat jama’ dan qashar, shalat ketika sakit, shalat dalam
kendaraan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusalan masalah di atas, maka tujuan yang ingin di capai yaitu:
1. Menjelaskan shalat jama’ dan qashar
2. Menjelaskan shalat jama’ dan qashar, shalat ketika sakit, shalat dalam kendaraan
3. Menjelaskan shalat jama’ dan qashar, shalat ketika sakit, shalat dalam kendaraan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Yang artinya :” Apabila kamu mengadakan perjalanan diatas bumi (di darat maupun
di laut) maka tidak ada tidak ada halangan bagi mu untuk memendekkan shalat”.
Menurut madzhab Syafi’i dinyatakan lebih baik mengqashar bagi orang yang
musafir yang cukup syarat-syaratnya. Berdasarkan hadits tersebut :
ِاْن: َقاَل َر ُسْو ُل اللة َص لى اللة َع َلىِه َو َس َلم: َع ْن ِاْبِن ُع َم َر َر ِض ْى اللة َتَع الى َع ْنُه َقاَل
)رواه احمد وصحىة خزعه وابن حبان (. اللة َتَع الى ُىِح ُب َاْن ُتؤتى ُر َخ ُصُه َك َم ا َىْك َرُه َاْن ُتؤتى َم ْع ِص َىَتُه
Artinya : Dari ibn Umar r.a. ia berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya
Allah Ta’ala suka (senang) apabila segala kelonggarannya diterima (dilaksanakan
oleh kamu), Sebagaimana ia sangat benci apabila kemaksiatannya dikerjakan oleh
kamu” (H.R. Ahmad).
2
c. Shalat yang boleh diqashar hanya shalat empat rakaat saja, dan bukan shalat shalat
qadla. Shalat yang empat rakaat ialah shalat dzuhur, ‘asar dan ‘isya. Adapun
shalat maghrib dan shubuh tidak boleh diqashar.
d. Niat mengqashar pada waktu takbiratul ikhram.
e. Tidak ma’mum kepada orang shalat yang bukan musafir.
a. Jika shalat Dzuhur dangan’Asar dikerjakan pada waktu dzuhur, atau Maghrib
dengan ‘Isya dilakukan pada waktu Maghrib, maka jama’ semacam itu dinamakan
Jama; Taqdim.
b. Jika dilakukan sebaliknya, disebut Jama’ Ta’khir (mengakhirkan), misalnya
Dzuhur dan ‘Asar dikerjakan pada waktu asar, atau Maghrib dengan ‘Isya
dikerjakan pada waktu ‘Isya
4. Syarat Jama Taqdim
a. Dikerjakan dengan tertib; yakni dengan shalat yang pertama misalnya Dzuhur
dahulu, kemudia ‘Asar. Dan Maghrib dahulu kemudian ‘Isya.
b. Niat jama’ dilakukan pada shalat pertama
c. Berurutan antara keduanya; yakni tidak boleh disela dengan shalat Sunnah atau
lain-lain.
5. Syarat Jama’ Ta’khir
a. Niat jama’ ta’khir dilakukan pada shalat yang pertama.
b. Masih dalam perjalanan tempat datangnya waktu yang kedua.
3
1. Selama bepergian, kita boleh menjamak shalat yang waktunya berdekatan yaitu,
dzuhur dengan ‘asar atau maghrib dengan ‘isya, baik dengan jama’ taqdim
maupun jama’ tak’hir, baik di Arafah maupun di tempat lainnya.
2. Menjamak shalat ketika tidak bepergian. Disyariatkan juga menjamak shalat
ketika tidak dalam bepergian, merujuk pada perkataan Ibnu Abbas. Dari perkataan
Ibnu Abbas, jelaslah bahwa shalat jamak dzuhur dan ‘asar atau maghrib dan ‘isya
pada saat tidak dalam perjalanan adalah disyariatkan. Hal ini untuk
menghilangkan kesulitan. Sebagaimana jawaban Ibnu Abbas kepada orang yang
bertanya kepadanya, ketika Nabi s.a.w. sengaja menjamak dua shalat.
7. Cara Melaksanakannya
Jika hendak mengerjaka shalat Dhuzur dan ‘Asar, lebih dahulu mengerjakan
shalat Dzuhur seperti biasa sampai selesai, kemudian setelah memberi salam, terus
berdiri lagi untuk mengerjakan shalat ‘Asar. Demekian pula Maghrib dan ‘Isya,
terlebih dahulu terlebih dahulu mengerjakan Maghrib seperti biasa, sesudah salam
terus berdiri lagi mengerjaka shalat ‘Isya.
Shalat jama’ taqdim, hendaknya dikerjakan berturut-turut, beriring-iringan
antara keduanya, ketika hendak memulai shalat yang kedua disunnah kan iqamah.
Cara mengerjakan jama’ ta’khir tidak berbeda dengan jama’ taqdim, kecuali
waktuny, artinya jama’ taqdim dikerjakan di waktu Dzuhur dan Maghrib sedang
jama’ ta’khir dikerjakan pada waktu ‘Asar dan ‘Isya, sedang waktu jama’ taqdim
wajib didahulukan Dzuhur dari pada ‘Asar,, Maghrib dari ‘Isya. Jika jama’ ta’khir
maka boleh mana saja yang hendak dilakukan tetapi mendahulukan shalat pada waktu
itu adalah Sunnah.
Cara melakukan shalat jama’ dan qashar sekaligus tidaklah berbeda seperti
mengerjakan jama’, kecuali berbeda rakaatnya saja, yaitu pada shalat qashar dikerjaka
dua-dua rakaat saja.
Orang yang bukan musafir, boleh juga mengerjakan shalat jama’ kalua dalam
keadaan darurat. Misalnya orang yang sedang mengerjakan shalat berjamaah di
4
masjid kemudian turun hujan lebat yang menghalangi orang untuk pulang dan
kembali lagi untuk berjamaah.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk, Orang
yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada
posisi berdirinya. Kalau tidak bisa berdiri, boleh mengerjakan sambil duduk.
5
1. Jika tidak bisa duduk, boleh mengerjakannya dengan cara dua belah kakinya
diarahkan kea rah kiblat, kepalanya ditinggikan dengan alas bantal dan mukanya
diarahkan ke kiblat.
a. Cara mengerjakan ruku’nya, cukup menggerakkan kepala ke muka
b. Sujudnya menggerakkan kepala ke muka dan lebih ditundukkan
2. Jika duduk seperti biasa tidak bisa dan berbaring juga tidak bisa, maka boleh
berbaring dengan seluruh anggota badan dihadapkan kea rah kiblat. Ruku’ dan
sujudnya cukup dengan menggerakkan kepala, dan menurut kemampuannya.
3. Jika tidak bisa mengerjaka dengan cara berbaring seperti diatas maka cukup dengan
isyarat, baik dengan kepala maupun dengan mata. Dan jika semuanya tidak bisa
dikerjakan maka boleh dengan hati selama akal dan jiwa masih ada.
Bagi orang yang sakit dan shalatnya tidak dapat berdiri atau duduk ialah
dengan cara berbaring, sesuai dengan hadist Nabi s.a.w. :
Yang artinya : “Orang yang sedang sakit shalatnya boleh berdiri jika bisa, maka jika
tidak bisa boleh juga shalat dengan cara duduk, jika tidak bisa sujud hendaklah ia
memberi isyarat dengan kepala dan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya, jika tidak
bisa shalat yang demikian (duduk), maka hendaklah shalat dengan berbaring diatas
lambung kanan sambil menghadap kiblat dan kalua masih tidak bisa dengan berbaring
itu, hendaklah bersembahyang dengan telentang sedang kaki dijuruskan ke arah
kiblat”.
shalat wajib harus dilakukan dengan cara sempurna, yaitu dengan berdiri, bisa
rukuk, bisa sujud, dan menghadap kiblat. Jika di atas sebuah kendaraan seseorang bisa
shalat sambil berdiri, bisa rukuk, bisa sujud, dan menghadap kiblat maka dia boleh
shalat wajib di atas kendaraan tersebut. Seperti orang yang shalat di kapal.
6
Mengerjakan dalam kapal laut, kereta dan pesawat terbang hukumnya sah dan
tidak dihukumi makhruh. Dalam kondisi seperti ini, shalat boleh dilakukan
semampunya (tidak harus dilakukan secara sempurna seperti dalam keadaan normal).
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. ditanya perihal shalat diatas kapal laut,
Beliau bersabda :
Abdullah bin Abi Utbah meriwayatkan, “Saya pergi bersama Jabir bin
Abdullah, Abu Said al- Khudri, dan Abu Hurairah dalam sebuah kapal, mereka shalat
sambil berdiri dengan berjamaah yang diimami oleh sala seorang diantara mereka,
padahal mereka sanggup untuk mencapai pantai (sebelum waktu habis)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan diatas kami mengambil kesimpulan :
7
1. Shalat jama’ dan qashar adalah keringanan yang diberikan Allah swt kepada
hambanya, yang harus diterima oleh umat muslim sebagai shodaqoh dari Allah
swt. Shalat yang dapat dijama’ adalah semua shalat fardhu kecuali shalat shubuh.
Dan shalat yang dapat di qashar adalah semua shalat fardhu yang empat rakaat
yaitu shalat ‘isya, ‘asar, dan dzuhur.
2. Hal-hal yang membolehkan jama’ dan qashar ada beberapa hal yaitu : Safar,
Hujan, Sakit, keperluan (kepentingan) mendesak.
3. Dalam persoalan jarak safar, para ulama’ berpendapat tidak ada jarak dan waktu
yang pasti karena sangat tergantung pada kondisi fisik, psikis serta keadaan
sosiologis dan lingkungan masyarakat.
4. Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk,
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk
bersila pada posisi berdirinya
5. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat
6. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan
terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat
kepada cara berdiri.
DAFTAR PUSTAKA
H.Moh.Rifai, ilmu fiqih islam lengkap : semarang,1978
https://konsultasisyariah.com/14796-tata-cara-shalat-di-atas-kendaraan.html
https://id.scribd.com/document/331613002/Makalah-Shalat-Jama-Dan-Qashar
Ahmad Sarwat, Lc.,MA, shalat di kendaraan : Jakarta, 2018
8
9