Anda di halaman 1dari 24

Praktek Ibadah Kemasyarakatan

Macam-macam Shalat I

Disusun Oleh Kelompok 2:

Abdulloh Yahya (1811210313)

Intan Mardaleta (1811210208)

Riska Hardianti (1811210202)

Sekar Larassati (1811210200)

Dosen Pengampu: Sutrian Efendi, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

TAHUN AJARAN 2020


Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah Macam-macam Shalat I.

 Makalah Macam-macam Shalat I ini disusun guna memenuhi tugas mata


kuliah Praktek Ibadah Kemasyarakatan. Tidak lupa pada kesempatan ini kami
mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang dapat membangun sangat kami harapkan demi
menyempurnakan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dengan baik bagi kami dan juga pembacanya.

Bengkulu, Juni 2020

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................

Daftar Isi .....................................................................................................

BAB I Pendahuluan ....................................................................................

A. Latar Belakang ..............................................................................


B. Rumusan Masalah ........................................................................
C. Tujuan Makalah ............................................................................

BAB II Pembahasan ...................................................................................

A. Shalat ‘Ied/ Shalat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha)...............
B. Shalat Tarawih dan Shalah Witir...................................................
C. Shalat Tahajud dan Shalat Dhuha..................................................
D. Shalat Sunnah Rawatib Qabliyah dan Shalat Sunnah Rawatib
Ba’diyah
.......................................................................................................
E. Shalat Gerhana Matahari dan Shalat Gerhana Bulan ....................

BAB III Penutup..........................................................................................

A. Kesimpulan....................................................................................
B. Saran..............................................................................................

Daftar Pustaka..............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai umat muslim diwajibkan untuk shalat, karena shalat merupakan


tiang agama. Shalat itu sendiri terbagi menjadi dua macam, yang pertama shalat
wajib yaitu shalat yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mendirikannya.
Yang kedua shalat sunnah yaitu shalat yang hukumnya sunnah. Shalat sunnah
juga dibagi menjadi dua macam yakni shalat sunnah mu'akad dan ghairu mu'akad.
Mu'akad artinya dianjurkan, jadi shalat sunnah itu ada yang dianjurkan untuk
ummat muslim melaksanakannya, ada juga shalat sunnah yang tidak dianjurkan
melaksanakannya, tapi sebagaimana hukumnya sunnah bila dikerjakan berpahala
ditinggalkan tidak apa-apa. Walau seperti itu sebagai ummat muslim tentu ingin
meningkatkan amalan ibadah dan ketakwaannya. 

Dengan semakin banyak mengerjakan shalat sunnah tanpa melihat


dianjurkan atau tidaknya akan menambah amalan kita di hadapan Allah SWT.
Dan disini ingin membahas tentang bebepara shalat sunnah. 

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana shalat ‘ied/ shalat hari raya (idul fitri dan idul adha)?
2. Bagaimana shalat tarawih dan shalah witir?
3. Bagaimana shalat tahajud dan shalat dhuha?
4. Bagaimana shalat sunnah rawatib qabliyah dan shalat sunnah rawatib
ba’diyah?
5. Bagaimana shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan?
C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan shalat ‘ied/ shalat hari raya (idul fitri dan idul adha).
2. Menjelaskan shalat tarawih dan shalah witir.
3. Menjelaskan shalat tahajud dan shalat dhuha.
4. Menjelaskan shalat sunnah rawatib qabliyah dan shalat sunnah rawatib
ba’diyah.
5. Menjelaskan shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Shalat ‘Ied/ Shalat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha)
a. Pengertian Shalat ‘Ied

Sedangkan menurut Zaenal Arifin Jamaris mengatakan bahwa, kata


“'Ied” berasal dari kata ‫ عودة‬- ‫يعود‬- ‫ عاد‬yang berarti mengulang kembali

suatu pekerjaan atau perbuatan. Jamaknya ‫ عيد‬adalah ‫ عياد‬yang artinya


tiap-tiap hari untuk berkumpul dalam memperingati suatu peristiwa atau
kejadian yang penting. Atau juga dinamakan ‫ عيد‬karena kembali
berulang-ulang setiap tahun dengan kegembiraan baru".

b. Dasar Hukum Shalat ‘Ied

Mengenai dasar hukum shalat ‘Ied (Idul Fitri maupun Idul Adha),
sudah jelas disebutkan dalam Al-Qur'an dan Al Hadist.

١٥ ‫صلَّ ٰ^ى‬ ۡ ‫ َو َذ َك َ^ر‬١٤ ‫قَ ۡد أَ ۡفلَ َح َمن تَزَ َّك ٰى‬


َ َ‫ٱس َم َربِّ ِهۦ ف‬

14. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri


(dengan beriman).
15. Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS.
al-A’la: 14-15)

Dalil yang dipergunakan dalam Hadits Nabi:

“Dari Abas r.a. berkata: “Saya menyaksikan hari Idul Fitri


bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar Umar dan Usman r.a. Mereka
menjalankan shalat sebelum khutbah, kemudian baru berkhutbah
sesudahnya ”. (HR. Bukhari).
Sedangkan menurut pendapat ulama fiqh, sebagaimana pendapat
Wahbah al Zuhaily ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied ada tiga
yaitu: 1) Fardhu kifayah, 2) Wajib, 3) Sunnah.

Pertama, menurut pendapat ulama Hanbali, sholat 'Ied memiliki


hukum fardhu kifayah dikarenakan sholat ‘Ied cukup dilaksanakan oleh
beberapa orang saja. Sesuai dengan QS. al-Kautsar ayat 2:

٢ ‫ك َو ۡٱن َح ۡ^ر‬ َ َ‫ف‬


َ ِّ‫صلِّ لِ َرب‬

2. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”


(QS. al-Kautsar: 2).

Kedua, menurut pendapat ulama Hanafiyah, sholat ‘Ied memiliki


hukum wajib diperuntukkan bagi mereka-mereka yang memiliki
kewajiban untuk melaksanakan sholat Jum’at.

Ketiga, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, sholat ‘Ied


memiliki hukum sunnah muakad sebab senantiasa dilakukan oleh
Rasulullah setiap tahunnya.

Hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

َ ِ‫ – أَ ْن نُ ْخ ِر َج فِى ْال ِعي َد ْي ِن ْال َع َوات‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬


ِ ‫ق َو َذ َوا‬
‫ت‬ َّ ِ‫أَ َم َرنَا – تَ ْعنِى النَّب‬
َ‫صلَّى ْال ُم ْسلِ ِمين‬
َ ‫َّض أَ ْن يَ ْعت َِز ْلنَ ُم‬
َ ‫ُور َوأَ َم َر ْال ُحي‬ ْ
ِ ‫ال ُخد‬.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami


pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan
para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu
pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada
wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.”

c. Waktu Pelaksanaan Shalat Idul Fitri

Menurut Syaikh Kamil Muhammad pelaksanaan shalat ‘Ied dimulai


sejak mulai terbit sampai tergelincir secara sempurna. Untuk shalat Idul
Fitri lebih diutamakan untuk mengakhirkan waktu pelaksanaan shalat,
sehingga para kaum muslimin dapat mengeluarkan zakat fitrah mereka,
sebagaimana hadist dari Jandib r.a:

,‫^ يصلي بنا الفطر والشمس على قيد رمحين‬,‫كان انّب ّي صلي هللا عليه وسلّم‬
‫واألضحى على قيد رمح (رواه ابن هجر‬

“Nabi pernah mengerjakan sholat Idul Fitri bersama kami dan pada
saat itu matahari setinggi dua tombak. Sedangkan pada shalat Idul Adha,
matahari baru setinggi satu tombak.” (HR. Ibnu Hajar).

Sedangkan untuk shalat Idul Adha lebih dianjurkan untuk


mengerjakan diawal waktu sehingga memungkinkan jamaah untuk
menyegerakan menyembelih hewan kurban setelah melaksanakan shalat.
Sebagaimana hadist dari Al-Barra’:

ّ
‫ فمن فعل فقد أصاب سنتنا (رواه‬,‫ ث ّم نرجع فننحر‬,‫ان أوّل ما نبدأ من يومنا^ هذا ان نصلي‬
‫البخاري‬

“Sesungguhnya sesuatu kami awali pada hari ini adalah


mengerjakan sholat, kemudian kembali pulang dan menyembelih qurban.
Barang siapa mengerjakan hal itu, maka ia telah menjalankan sunnat
kami”(HR. Bukhari).

d. Praktek Shalat dan Khutbah Shalat ‘Ied


1. Tata Cara Melaksanakan Sholat ‘Ied/ Hari Raya:
a) Niat, untuk shalat Idul Fitri yaitu,

‫ط ِر ( َمأْ ُموْ ًما\إِ َما ًما) هلِل ِ تَ َعــــالَى‬ َ ُ‫أ‬


ْ ِ‫صلِّي َر ْك َعتَي ِْن ُسنَّةً ِلع ْي ِد ْالف‬

“Aku berniat shalat sunnah idul fitri dua rakaat


(menjadi makmum/imam) karena Allah ta’ala.”

Sedangkan untuk sholat idul adha, yaitu,


‫صلِّ ْي ُسنَّةً لِ ِع ْي ِد اأْل َضْ َحى َر ْك َعتَ ْي ِن ُم ْستَ ْقبِ َل ْالقِ ْبلَ ِة ( َمأْ ُموْ ًما\إِ َما ًما) هللِ تَ َعالَى‬
َ

“Aku niat melaksanakan shalat sunnah Idul Adha dua


rakaat, menghadap kiblat (sebagai makmum/imam) karena
Allah Ta‘ala.”

b) Pada rakaat pertama setelah membaca iftitah, disunnahkan


membaca takbir sebanyak tujuh kali selain takbiratul ihram.
Sedangkan pada rakaat kedua sebelum membaca Al-Fatihah
disunnatkan takbir sebanyak lima kali selain takbir karena
berdiri.
c) Mengangkat kedua tangan lurus dengan bahu pada tiap-tiap
takbir.
d) Bagi imam dan ma’mum disunnatkan mengeraskan bacaan
takbir.
e) Setelah membaca Al-Fatihah, membaca Al-A’la pada rakaat
pertama dan Al-Ghasiyah pada rakaat kedua.
f) Bagi imam disunnatkan mengeraskan bacaannya.
g) Setelah sholat, disunnatkan khutbah dua kali, sebagaimana
khutbah jumat baik rukun maupun sunnahnya, pada saat
khutbah pertama disunnahkan membaca takbir sembilan kali
sedangkan untuk khutbah kedua disunnahkan membaca takbir
tujuh kali.
h) Dalam khutbah hari raya fitri hendaknya khatib menyampaikan
hal-hal yang berkaitan dengan zakat fitrah sedangkan dalam
khutbah hari raya adhla menyampaikan tentang qurban.

e. Khutbah ‘Ied

Menurut jumhur ulama Malikiyah khutbah ‘Ied disampaikan


sebanyak dua kali sebagaimana dua kali khutbah Jum’at dalam masalah
rukun, syarat, sunnah dan makruhnya, setelah melaksanakan shalat ‘Ied itu
sendiri. Dalam shalat Idul Fitri khutbah sebaiknya berisi tentang materi
yang berhubungan dengan zakat fitrah sedangkan dalam sholat Idul Adha
sebaiknya berhubungan dengan materi berkorban maupun berhubungan
dengan wukuf di Arafah maupun tentang haji yang lainnya.

Shalat ‘Ied tetap boleh dilaksanakan sekalipun khutbahnya tidak


dilaksanakan. Sebab khutbah dalam shalat ‘ied merupakan sunnah. Alasan
disunnahkannya demi menghormati Nabi saw. dan para khalifahnya.
Dalam khutbah shalat ‘Ied khatib memulai dengan takbir, sebanyak
sembilan kali dalam khutbah pertama dan tujuh kali pada khutbah kedua.

B. Shalat Tarawih dan Shalah Witir


a. Shalat Tarawih

Shalat tarawih merupakan salah satu praktik untuk menghidupkan


malam Ramadhan (qiyamu Ramadhan). Ibadah ini memiliki keutamaan-
keutamaan yang memang ditemukan landasannya dari hadits Rasulullah.
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

‫ضانَ إي َمانًا َواحْ تِ َسابًا^ ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
َ ‫َم ْن قَا َم َر َم‬

“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman


dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR al-
Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Shalat tarawih dilaksanakan dua rakaat-dua rakaat sedangkan bacaan


dan rukun lainnya sama seperti shalat pada umumnya.

1. Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih adalah shalat khusus pada malam bulan Ramadhan


yang dilaksanakan setelah shalat Isya’ dan sebelum shalat witir. Hukum
melaksanakan shalat tarawih adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan
perempuan, di antaranya berdasarkan hadits yang disebutkan di atas.
Anjuran shalat tarawih juga tertuang dalam hadits lain dengan
redaksi yang berbeda:

‫ضانَ ِم ْن َغي ِْر أَ ْن‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يُ َر ِّغبُ فِي قِيَ ِام َر َم‬ َ ِ ‫ َكانَ َرسُو ُ^ل هَّللا‬:‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل‬
َ ‫يَأْ ُم َرهُ ْم فِي ِه بِ َع ِزي َم ٍة فَيَقُو ُل َم ْن قَا َم َر َم‬
‫ضانَ إِي َمانًا َواحْ تِ َسابًا^ ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬

“Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anh Rasulullah gemar


menghidupkan bulan Ramadhan dengan anjuran yang tidak keras.
Beliau berkata: ‘Barangsiapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih)
di bulan Ramadhan hanya karena iman dan mengharapkan ridha dari
Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR
Muslim).

Ulama sepakat bahwa redaksi “qâma ramadlâna” di dalam hadits


tersebut mengacu pada makna shalat tarawih. Meskipun, ulama berbeda
pendapat mengenai dosa jenis apakah yang diampuni dalam hadits
tersebut. Ikhtilaf di antara mereka juga terjadi dalam hadits-hadits
serupa. Menurut al-Imam al-Haramain, yang diampuni hanya dosa-dosa
kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara bertobat.
Sementara menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “mâ” (dosa) dalam
hadits tersebut termasuk kategori lafadh ‘âm (kata umum) yang berarti
mencakup segala dosa, baik kecil atau besar.

2. Waktu dan Jumlah Rakaat

Shalat tarawih disyariatkan pada malam bulan Ramadhan,


waktunya mulai setelah shalat isya’ sampai akhir malam. Ia dikerjakan
setelah shalat isya’ sebelum shalat witir. Boleh dikerjakan setelah witir
namun tidak afdhal.

Lama shalat witir perlu dipertimbangkan sesuai kondisi jamaah.


Meskipun Rasulullah mengerjakan sangat panjang waktunya, namun
perlu dipertimbangkan agar tidak memberatkan jamaah, khususnya di
zaman sekarang.
Rasulullah mengerjakan shalat tarawih delapan rakaat lalu witir
tiga rakaat. Namun waktunya lama karena bacaan beliau panjang-
panjang. Di zaman Umar bin Khattab, shalat tarawih dikerjakan dua
puluh rakaat, ditambah witir tiga rakaat. Syaikh Wahbah Az Zuhaili
menjelaskan bahwa jumlah rakaat tersebut merupakan ijma’ sahabat
pada waktu itu.

Jadi, masalah jumlah rakaat shalat tarawih ini merupakan masalah


furu’iyah yang para ulama memiliki hujjah sendiri-sendiri. Sebagian
ulama shalat tarawih delapan rakaat karena berpegang pada hadits
Aisyah yang menyebutkan shalat malam Rasulullah baik di bulan
Ramadhan atau bulan lainnya tidak pernah lebih dari 11 rakaat.

Sebagian ulama shalat tarawih 20 rakaat karena mengikuti kaum


Muhajirin dan Anshar yang juga dilakukan pada masa khalifah Umar.
Sebagian ulama lainnya shalat tarawih 36 rakaat karena mencontoh
masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Menurut Ibnu Taimiyah, seluruh pendapat di atas bagus. Imam


Ahmad juga berpendapat jumlah rakaat shalat tarawih tidak dibatasi;
delapan rakaat boleh, 20 rakaat boleh, 36 rakaat juga boleh.

b. Shalat Witir

Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita
lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫إِ َّن هَّللا َ ِو ْت ٌر ي ُِحبُّ ْال ِو ْت َر‬

“Sesungguhnya Allah itu witir (tunggal) dan menyukai yang witrr


(ganjil).” (HR. Bukhari, no. 6410 dan Muslim, no. 2677)

Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang
dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu
Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam. Disebut witir karena
dikerjakan dengan rakaat yang ganjil, yaitu mulai dari 1 rakaat, 3 rakaat, 5
rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat, dan yang paling banyak adalah 11 rakaat.

1. Pelaksanaan Shalat Witir

Dari Abu Ayyub al-Anshari ra. Pernah berkata :

ْ‫س فَ ْليَ ْف َعل‬


ٍ ‫ق َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم فَ َم ْن اَ َحبَّ اَ ْن يُوْ تِ َر بِخَ ْم‬ ٌّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَ ْل ِو ْت ُر َح‬ َ ِ‫قَا َل َرسُو ُ^ل هللا‬
ْ‫اح َد ٍة فَ ْليَ ْف َعل‬
ِ ‫ث فَ ْليَ ْف َعلْ َو َم ْن اَ َجبَّ اَ ْن يُوْ تِ َ^ر بِ َو‬ ٍ ‫َو َم ْن اَ َحبَّ اَ ْن يُوْ تِ َر بِثَاَل‬

“Rasulullah SAW, bersabda: “witir itu adalah hak setiap muslim,


siapa yang lebih suka witir lima rakaat, maka kerjakanlah, dan barang
siapa yang lebih suka witir satu rakaat, maka kerjakanlah”. (HR. Abu
Dawud dan Nasa’i)

Kita tahu bahwa shalat witir memiliki jumlah raka’at yang ganjil,
mulai dari yang terkecil adalah 1 raka’at dan yang paling banyak adalah
11 raka’at. Untuk pelaksanaan shalat witir dengan jumlah raka’at lebih
dari 1 raka’at adalah :

a) Dikerjakan secara terpisah

Sama seperti tata cara pelaksanaan shalat sunnah lainnya,


yaitu dua raka’at satu kali salam, lalu melanjutkan dengan raka’at
berikutnya.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan :

‫ص ُل ال َّش ْف َع َو ْال ِو ْت َر بِتَ ْسلِي ٍْم يُ ْس ِم ُعنَا‬


ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْف‬
َ ِ‫َكنَ َرسُوْ ُل هللا‬

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah


memisahkan antara dua rakaat dan yang satu (dalam witir)
dengan salam yang bisa kami dengar.”

‫ص ُل بَ ْينَ ال َّش ْف ِع‬ ِ ‫ُصلِّى فِى ْالحُجْ َر ِة َوأَنَا فِى ْالبَ ْي‬
ِ ‫ت فَيَ ْف‬ َ ‫ ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
ُ‫َو ْال ِو ْت ِر بِتَ ْسلِ ٍ^يم يُ ْس ِم ُعنَاه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam
kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir
(ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad)

b) Dikerjakan secara langsung

Shalat witir dikerjakan secara langsung, misalnya tiga raka’at


satu kali salam. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata :

َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ِز ْي ُد فـِي َر َم‬


‫ضانَ َو الَ فـِي َغي ِْر ِه‬ َ ِ‫َما َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬

‫صلِّى أَرْ بَ ًع فَاَل تَسْأَلْ ع َْن ُح ْسنِ ِه َّن َو طُوْ لِـ ِه َّن‬ ً ‫َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َع‬
َ ُ‫ت ي‬

َ ‫ُصلِّى أَرْ بَ ًع فَاَل تَسْأَلْ ع َْن ُح ْسنِ ِه َّن َو طُوْ لِـ ِه َّن ثُـ َّم ي‬
ً َ‫ُصلِّى ثَال‬
‫ث‬ َ ‫ثُـ َّم ي‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan


Ramadhan dan diluar Ramadhan tidak pernah shalat lebih dari
sebelas rakaat, Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam shalat empat
rakaat, jangan tanya tentang bagus dan panjangnya shalat beliau.
Kemudian shalat lagi empat rakaat, jangan tanya tentang bagus
dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shallallâhu ‘alaihi
wasallam shalat tiga raka’at. (Muttafaqun ‘alaihi)

ٍ َ‫ يُوتِ ُ^ر بِثَال‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬


ِ ‫ث الَ يَ ْق ُع ُد إِالَّ فِى‬
‫آخ ِر ِه َّن‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga


raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada
raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)

َ َ‫ُصلِّى ِمنَ اللَّ ْي ِل ثَال‬


َ‫ث َع ْش َرةَ َر ْك َعةً يُوتِ ُ^ر ِم ْن َذلِك‬ َ ‫ ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫س الَ يَجْ لِسُ فِى َش ْى ٍء إِالَّ فِى‬
‫آخ ِرهَا‬ ٍ ‫بِ َخ ْم‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu
beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima raka’at.
Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada
raka’at terakhir.” (HR. Muslim)

Untuk shalat witir yang berjumlah 7 raka’at, dianjurkan untuk


dikerjakan tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at keenam,
demikian pula dengan shalat witir yang berjumlah sembilan
raka’at, yaitu tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan.

Dan setelah tasyahud pada raka’at kedelapan, maka tidak


langsung dilanjutkan dengan salam, akan tetapi dilanjutkan dengan
berdiri kembali untuk melakukan raka’at yang kesembilan. Setelah
itu tasyahud kembali dan dilanjutkan dengan salam.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :

َ ‫ك َويَتَ َوضَّأ ُ َوي‬


‫ُصلِّى^ تِ ْس َع‬ ُ ‫ُكنَّا نُ ِع ُّد لَهُ ِس َوا َكهُ َوطَهُو َرهُ فَيَ ْب َعثُهُ هَّللا ُ َما َشا َء أَ ْن يَ ْب َعثَهُ ِمنَ اللَّي ِْل فَيَتَ َس َّو‬
‫ت الَ يَجْ لِسُ فِيهَا إِالَّ فِى الثَّا ِمنَ ِة فَيَ ْذ ُك ُ^ر هَّللا َ َويَحْ َم ُدهُ َويَ ْدعُوهُ ثُ َّم يَ ْنهَضُ َوالَ يُ َسلِّ ُم ثُ َّم يَقُو ُم‬ٍ ‫َر َك َعا‬
َ ‫اس َعةَ ثُ َّم يَ ْق ُع ُد فَيَ ْذ ُك ُ^ر هَّللا َ َويَحْ َم ُدهُ َويَ ْدعُوهُ ثُ َّم يُ َسلِّ ُم تَ ْسلِي ًما يُ ْس ِم ُعنَا ثُ َّم ي‬
‫ُصلِّى َر ْك َعتَ ْي ِن‬ ِ َّ‫ُصلِّى الت‬
َ ‫فَي‬
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ى فَلَ َّما أَ َس َّن نَبِ ُّى هَّللا‬ َّ َ‫بَ ْع َد َما يُ َسلِّ ُم َوه َُو قَا ِع ٌد فَتِ ْلكَ إِحْ دَى َع ْش َرةَ َر ْك َعةً يَا بُن‬
َّ َ‫صنِي ِع ِه األَ َّو ِل فَتِ ْلكَ تِ ْس ٌع يَا بُن‬
‫ى‬ َ ‫صنَ َع فِى ال َّر ْك َعتَ ْي ِن ِم ْث َل‬
َ ‫َوأَ َخ َذ اللَّحْ َم أَوْ تَ َر بِ َسب ٍْع َو‬

“Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya,


setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun
malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan
rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain
pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya
dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak
mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk
rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah,
memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan
salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau
shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas
rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau
telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan
beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau
lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai
anakku.” (HR. Muslim)

C. Shalat Tahajud dan Shalat Dhuha


a. Shalat Tahajud

Tahajud artinya bangun dari tidur. Dalam terminologi al-Qur an,


tahajud adalah ibadah tambahan (nafilah) yang dilakukan pada malam hari,
baik di awal, tengah, atau akhir malam.

Shalat tahajud artinya shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu


malam hari setelah tidur lebih dahulu walaupun tidurnya hanya sebentar.
Syafi’i berkata: “Shalat malam dan witir baik sebelum atau sesudah tidur
dinamai tahajud. Orang yang melaksanakan shalat tahajud disebut
mutahajjid.
Mengenai hal ini, Allah Swt, berfirman:
٣ ‫ص ِم ۡنهُ قَلِياًل‬ ۡ ِّ‫ ن‬٢ ‫ قُ ِم ٱلَّ ۡي َل إِاَّل قَلِياٗل‬١ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ۡٱل ُم َّز ِّم ُل‬
ۡ ُ‫صفَ ٓۥهُ أَ ِو ٱنق‬
1. “Hai orang yang berselimut (Muhammad)
2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya)
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu
sedikit.” (QS. al-Muzzamil: 1-3).
Hukum shalat tahajud adalah sunnah muakkadah yaitu sunnah yang
dianjurkan bagi umat Islam.

1. Waktu Salat Tahajud

Salat tahajud ialah salat sunnah yang dikerjakan pada waktu


malam, minimal dua rakaat dan sebanyak-banyaknya tidak terbatas.
Waktu salat tahajud sejak setelah salat Isya hingga terbit fajar. Waktu
salat tahajud terbagi menjadi tiga, sesuai keutamaannya, yakni :

a) Waktu utama : sepertiga malam pertama, kira-kira dari jam 7


malam atau sesudah salat Isya sampai dengan jam 10 malam.
b) Waktu lebih utama : sepertiga malam kedua, kira-kira dari
jam 10 malam sampai jam 1 pagi.
c) Waktu yang paling utama : sepertiga malam yang ketiga,
kira-kira dari jam 1 pagi hingga masuk waktu salat Shubuh.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda,

“Rabb kami -Tabaroka wa Taala- akan turun setiap malamnya ke


langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah
berfirman, Siapa yang memanjatkan doa pada-Ku, maka Aku akan
mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan
memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan
memberikan ampunan untuknya.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim
no. 758, dari Abu Hurairah)

2. Jumlah Rakaat Salat Tahajud

Menunaikan salat Tahajud jumlah rakaat minimalnya ialah dua


rakaat dengan sekali salam. Sesuai dengan riwayat Aisyah yang
mengatakan,

“Rasulullah saw. jika hendak melaksanakan salat malam, beliau


buka terlebih dahulu dengan melaksanakan salat dua rakaat yang
ringan.” (HR. Muslim no. 767)

Dalam pendapat hadis lain menunjukkan bahwa jumlah rakaat


Tahajud ialah 11 hingga 13 rakaat. Jumlah 11 rakaat seperti yang
diriwayatkan oleh istri Nabi Muhammad, Aisyah mengatakan :

“Rasulullah saw. tidak pernah menambah salat malam di bulan


Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau melakukan
salat empat rakaat, maka jangan tanyakan mengenai bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau melakukan salat empat rakaat lagi dan
jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau
melakukan salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no.
738)

Selanjutnya berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Ibnu Abbas


mengatakan,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa melaksanakan salat malam
13 rakaat. (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764)

3. Tata Cara Sholat Tahajud

Mengenai tata cara sholat tahajud, sholat sunnah ini dikerjakan 2


rakaat, 2 rakaat dengan jumlah rakaat tak terbatas.

Walaupun begitu menurut hadits HR Bukhari dan Muslim,


Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakan sholat tahajud lebih dari 11
atau 13 rakaat (jumlah rakaat dengan witir). Jadi tak ada salahnya jika
kita mengikuti kebiasaan Rasulullah SAW.

Sebelum mengerjakan sholat tahajud, bacalah niat seperti berikut


ini:

َ ُ‫أ‬
‫صلِّ ْي ُسنَّةَ التَّهَجُّ ِد َر ْك َعتَ ْي ِن هَّلِل ِ تَ َعالَى‬
"Aku niat sholat tahajud dua rakaat sunnah karena Allah
Ta’ala."

Setelah membaca niat sholat tahajud, lakukan shalat seperti pada


umumnya dengan 2 rakaat dengan 2 kali sujud dan 1 kali salam.
b. Shalat Dhuha
Shalat dhuha merupakan shalat pada siang hari yang dianjurkan.
Pahalannya di sisi Allah cukup besar. Nabi Saw biasa melakukannya, dan
mendorong umat muslimin untuk melakukannya juga. Beliau menjelaskan
barangsiapa yang shalat empat rakaat pada awal siang hari, niscaya Allah
mencukupkan pada sore harinya. Sebagaimana beliau juga menjelaskan
bahwa shalat dhuha itu sama dengan tiga ratus enam puluh sedekah.

Adapun pendapat yang lain bahwa shalat dhuha ialah shalat sunah
yang dikerjakan pada waktu matahari sedang naik. Sekurang-kurangya
shalat ini dua raka’at, boleh empat raka’at, enam, delapan atau dua belas
raka’at.

1. Hukum Shalat Dhuha


Shalat dhuha hukumnya sunah. Karena itu barangsiapa yang
menginginkan pahalanya, kerjakanlah sekehendakmu, dan kalau
tidak, tidak ada larangan pula meninggalkannya.

Dari Abu Sa’id r.a berkata:

.‫ُصلِّيهَا‬ َ ُ‫ َويَ َد ُعهَا َحتَّى نَق‬،‫ُصلِّى الضُّ َحى َحتَّى نَقُو ُل اَل يَ َد ُعهَا‬
َ ‫ول اَل ي‬ َ ‫َكانَ صلى هللا عليه وسلم ي‬
‫(رواه الترمذي‬

“Rasulullah Saw selalu melaksanakan shalat dhuha sampai-


sampai kita mengira bahwa tidak pernah meninggalkannya, tetapi
jika meninggalkannya sampai-sampai kita mengira, bahwa beliau
tidak pernah meninggalkannya.” (H.R Tirmidzi)

2. Waktu Shalat Dhuha

Shalat dhuha dimulai setelah matahari naik kira-kira setinggi


tiga tombak, dan berakhir ketika posisi matahari tepat berada di
tengah-tengah langit (istiwa) dan pada saat itu makruh hukumnya
untuk melakukan shalat. Menurut pandangan yang lain, shalat dhuha
dimulai ketika matahari naik setinggi 7 hasta dan berakhir ketika
matahari tergelincir (istiwa).

Disunahkan juga melaksanakan pada waktu naik agak tinggi


dan panas agak terik. Dari Zaid bin Arqam r.a berkata:

‫صاَل ةُ ااْل َ َّوابِ ْينَ اِ َذا‬ َ َ‫صلُّوْ نَ الضُّ َحىى فَق‬


َ ‫ال‬ َ ُ‫هل قُبَا ِء َوهُ ْم ي‬
ِ َ‫خَر َج النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم َعلَى ا‬
َ
^‫ (رواه احمد ومسلم^ وترمذى‬.‫ال ِمنَ الضُّ َحى‬
ِ ‫فص‬
َ ِ‫ت ال‬
ِ ‫ض‬
َ ‫َر َم‬

“Nabi Saw keluar menuju tempat ahli quba, dikala itu mereka
sedang mengerjakan shalat dhuha. Beliau lalu bersabda: “inilah
shalat orang-orang yang kembali kepada Allah, yakni di waktu
anak-anak unta telah bangkit karena kepanasan waktu dhuha.” (H.R
Ahmad dan Muslim)
3. Bilangan Raka’at Shalat Dhuha

Bilangan shalat dhuha sekurang-kurangnya ialah dua raka’at,


dan maksimalnya delapan raka’at, ada pula yang mengatakan dua
belas raka’at. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa shalat
dhuha tidak ada batasannya, tetapi pendapat kedua tadilah yang
kuat. Berikut dalil tentang bilangan raka’at shalat dhuha.

a) Dua raka’at

‫صيَ ِام ثَالَثَ ِة اَي َِّام ِم ْن‬ َ ْ‫اَو‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ِ‫صانِي^ خَ لِ ْيلِي صلى هللا عليه وسلم^ ب‬ ِ ‫ع َْن اَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫ (رواه متفق عليه‬.َ‫ُك ِّل َشه‍ ٍْر َو َر ْك َعتَى^ الضُّ َحى َواَ ْن اُوْ تِ َر قَ ْب َل اَ ْن اَرْ قُد‬

“Abu Hurairah r.a berkata: “Kekasihku Rosulullah Saw


berpesan kepadaku, supaya berpuasa tiga hari di tiap-tiap bulan,
dan shalat dhuha dua raka’at, dan shalat witir sebelum tidur.” (H.R
Muttafaqun ‘Alaih)

b) Empat raka’at

ٍ ‫صلِّى الضُّ َحى اَرْ بَ َع َر َك َعا‬


‫ (رواه مسلم‬.ُ‫ت َويَ ِز ْي ُد َما َشا َء هللا‬ َ ُ‫َكانَ النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم^ ي‬

“Aisyah r.a berkata: “ Rosuluullah Saw biasa melaksanakan


shalat dhuha empat raka’at, dan kadang-kadang melebihi dari itu
sekehendak Allah.” (H.R Muslim)

c) Delapan raka’at

ٍ ‫صلَّى ُسب َْحةَ الضُّ َحى ثَ َمانِ َي َر َك َعا‬


‫ (رواه‬.‫ت يُ َسلِّ ُم ِم ْن ُكلِّ َر ْك َعتَي ِْن‬ َّ ِ‫اَ َّن النَب‬
َ ‫ي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ابو داود‬

“Bahwa Nabi Saw mengerjakan shalat dhuha sebanyak


delapan raka’at dan tiap-tiap dua raka’at beliau salam.” (H.R Abu
Daud)

d) Dua belas raka’at


‫صلَّى الضُّ َحى اِ ْثنَتَى‬
َ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َم ْن‬:‫ض َى هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ع َْن اَنَسْ َر‬
‫ (رواه الترمذى‬.‫َع ْش َرةَ َر َك َعةً بَنَى هللاُ لَهُ قَصْ رًا فِ ْي ال َجنَّ ِة‬

“Dari Anas r.a berkata: Rosulullah Saw bersabda,


“Barangsiapa yang shalat dhuha dua belas raka’at. Niscaya Allah
dirikan gedung baginya di surga.” (H.R Tirmidzi)

D. Shalat Sunnah Rawatib Qabliyah dan Shalat Sunnah Rawatib Ba’diyah

Salat sunnah rawatib adalah salat yang dikerjakan menyertai salat fardhu,
baik dikerjakan sebelum maupun sesudahnya. Salat Sunnah Rawatib ini dibagi
menjadi dua, yaitu salat Sunnah Rawatib Qabliyah dan Salat Sunnah Rawatib
Ba’diyah. Salat Sunnah Rawatib Qabliyah adalah shalat sunnah rawatib yang
dikerjakan sebelum shalat wajib. Sedangkan Salat Sunnah Rawatib
Ba’diyah adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu.
Adapun hukum melaksanakannya ada yang sunnah muakkad, ada pula yang
sunnah gairu muakkad. Salat sunnah rawatib yang sunnah muakkad ada 10,
masing-masing adalah sebagai berikut :
a. 2 rakaat sebelum dzuhur.
b. 2 rakaat sesudah dzuhur.
c. 2 rakaat sesudah magrib.
d. 2 rakaat sesudah isya.
e. 2 rakaat sebelum subuh.

Sedangkan salat sunnah yang gairu muakkad adalah sebagai berikut :


a. 2 rakaat sebelum dzuhur, dengan yang muakkad menjadi 4.
b. 2 rakaat sesudah dzuhur, dengan yang muakkad menjadi 4.
c. 4 rakaat sebelum ashar.
d. 2 rakaat sebelum magrib.
e. 2 rakaat sebelum isya.
Sesuai dengan hadis nabi sebagai berikut :
:‫ت‬^ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم َع َش َر َر َك َعا‬ َ ‫ت ِمنَ النَّبِ ِّي‬ ُ َّ‫ َحفِظ‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما قَا َل‬ ِ ‫ع َِن اب ِْن ُع َم َر َر‬
‫ َو َر ْك َعتَ ْي ِن بَ ْعد َْال ِع َشا ِء فِ ْي‬,‫ب فِ ْي بَ ْيتِ ِه‬
ِ ‫ َو َر ْك َعتَي ِْن بَ ْعد َْال َم ْغ ِر‬,‫الظه ِْر َو َر ْك َعتَ ْي ِن بَ ْع َدهَا‬
ُّ ‫َر ْك َعتَ ْي ِن قَب َْل‬

َ ‫ َو َر ْك َعتَ ْي ِن قَب َل‬,‫بِ ْيتِ ِه‬


ِ ‫صاَل ِة الصُّ ب‬
‫ْح * رواه البخارى^ ومسلم‬
Dari Umar r.a berkata :”dari nabi SAW telah solat 10 rakaat yaitu
dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat
setelah magrib dirumahnya, dan dua rakaat setelah isya dirumahnya, dan
dua rakaat sbelum solat subuh.” (H.R Bukhori dan Muslim)

E. Shalat Gerhana Matahari dan Shalat Gerhana Bulan Shalat Sunnah Rawatib
Qabliyah dan Shalat Sunnah Rawatib Ba’diyah Shalat Tahajud dan Shalat Dhuha

Salat ini dilakukan apabila terjadi gerhana, baik gerhana bulan maupun
gerhana matahari. Salat gehana bulan dinamakan salat khusuf, sedangkan salat
gerhana matahari dinamakan salat kusuf. Hukumnya adalah sunnah muakkad ada
yang mengatakan “sunnah istimewa” dan boleh dilaksanakan
seara munfarid,  namun yang lebih utama dengan berjamaah. Apabila
dilaksanakan dengan berjamaah, maka disunnahkan berkhotbah sesudah salat.
Tata cara dalam melaksanakan salat gerhana adalah sebagai berikut :
a. Sekurang-kurangnya dua rakaat
b. Niat, dilanjutkan dengan takbiratul ihram (setiap rakaat
terdiri dari dua ruku’)
c. Membaca Fatihah, rukuk pertama, berdiri kembali, dan
membaca Fatihah
d. Dilanjutkan rukuk kedua, i’tidal, lalu sujud dua kali. Ini
terhitung satu rakaat.
e. Lalu dilanjutkan rakaat kedua sama seperti rakaat pertama
f. Dilanjutkan dengan duduk serta membaca tasyahud dan
diakhiri dengan salam
Sesudah salat gerhana disunnahkan berkhotbah memberi nasihat kepada
umum tentang apa-apa yang menjadi kepentingan pada waktu itu, menyuruh
mereka tobat (menyesal) dari segala pekerjaan yang salah, serta menyuruh kepada
amal kebaikan, seperti bersedekah, bedoa (meminta apa yang diingini), dan
meminta ampun dari segala dosa.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis memberikan beberapa saran, yaitu


untuk materi macam-macam shalat I ini sebaiknya para pembaca mencari lebih
banyak lagi sumber yang membahas materi macam-macam shalat I. Karena pada
makalah ini hanya membahas poin-poin pentingnya saja.
Daftar Pustaka

Al-Zuhaily. Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Terj. Masdar Helmy. 2004.


Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: CV. Pustaka Media
Utama.
Assayuthi, Imam Bashori. 1998. Bimbingan Ibadah Sholat Lengkap. Surabaya:
Mitra Ummat.
Jamaris, Zaenal Arifin. 1996. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan
Kaifiyat dan Latar Filosofinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ma’ruf, Tolhah. Et. Al. Fiqh Ibadah. Kediri: PP. Al Falah Ploso Mojo.
Muhammad, Syaikh Kamil. Al-Jami’ Fii Fiqhi An-Nisa’. Terj. Abdul Ghoffar.
2005. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Soleh, Ach. Khudlori. 1998. Fiqh Kontekstual Perspektif Sufi Falsafi. Jakarta: PT.
Pertja.
Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Jakarta: CV Sinar Baru Bandung.
https://dalamislam.com/shalat/shalat-witir

Anda mungkin juga menyukai