Anda di halaman 1dari 13

FIQH IBADAH

(SHALAT ‘IED)

Makalah

Nama Peserta Kelompok:


1. Sayyidah Karimah (210203110005)
2. Rian (210203110013)

Dosen Pengampu:

Khoirul Anwar, S.HI., M.HI.

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Makalah tentang Shalat ‘Id ini disusun sebagai tugas mata kuliah
Fiqh Ibadah.
Demikian pula kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini kami masih
banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam segi substansi maupun tata bahasa.
Namun, kami tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat kami harapkan dengan
harapan sebagai masukan dalam perbaikan dan penyempurnaan pada makalah kami
berikutnya. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Malang, 18 November 2021

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………..……… 1

KATA PENGANTAR …………………..……………………… 2

DAFTAR ISI……………………………..……………………… 3

BAB I PENDAHULUAN……………….……….……………… 4

A. Latar Belakang………………….……………….……….. 4
B. Rumusan Masalah…………….…………………….……. 4

BAB II PEMBAHASAN………….……………………………. 5

A. Pengertian shalat Ied………………….…………….……… 5


B. Tata cara shalat Ied…………………….……………….….. 6
C. Landasan hukum shalat Ied………………………..…….… 7
D. Perbedaan yang ada dalam penentuan tanggal shalat Ied..… 7

BAB III PENUTUP…………………………...………..….….. 11

A. Kesimpulan…………………………….………...…...… 11
B. Saran……………………………….………...………….. 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………..……………… 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Shalat Ied merupakan shalat sunah yang sangat akrab di telinga kaum muslimin,
selain karena pelaksanaannya setahun hanya dua kali, shalat Ied juga selalu dilakukan secara
berjama’ah dan sangat ramai. Shalat Ied biasa dilaksankan di lapangan terbuka, dimana para
kaum muslimin akan saling bertemu satu sama lain dengan sanak saudara setelah sekian lama
focus pada kehidupan pribadi ataupun dunia kerja.

Shalat Ied, yaitu shalat shalat sunah yang terdiri dari shalat Idul Fitri dan Idul Adha
ini merupakan agenda yang cukup urgent bagi masyarakat Islam. Jauh sebelum Islam datang,
masyarakat jahiliyah Arab telah memiliki dua hari raya, yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan
yang dirayakan dengan sambutan pesta pora yang tidak bermanfaat. Minum-minuman
memabukkan, menari, adu ketangkasan termasuk salah satu ritual dalam perayaan kedua hari
raya tersebut. Berdasarkan buku Ensiklopedi Islam, kedua hari raya tersebut sejatinya berasal
dari zaman Persia Kuno. Di kemudian hari, Rasulullah SAW mengganti kedua perayaan
masyarakat Arab itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha.

B. Rumusan Masalah

Setelah menguraikan pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
makalah ini sebagai berikut:

1. Apa pengertian shalat Ied?


2. Bagaimana tata cara shalat Ied?
3. Apa landasan hukum shalat Ied?
4. Apa saja perbedaan yang ada dalam penentuan tanggal shalat Ied?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat Ied


Kata id adalah diambil dari kata al-Audu (kembali), sebab pada hari itu orang-orang
kembali menikmati tahun, atau kembalinya kebahagiaansebab kembalinya hari itu atau
karena banyaknya anugerah Allah SWT
kepada hamba-Nya di hari itu.1
Sesungguhnya pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri setelah usainya kaum muslimin dari
mengerjakan kewajiban puasa adalah faktor terbesar penyebab tumbuhnya ikatan bathin
diantara umat Islam. karena pada saat itu, orang-orang yang diberi Allah SWT kelebihan
harta telah memberikan sebagian hartanya untuk si fakir sehingga terbebas dari rasa lapar
dan himpitan kebutuhan hidupnya. Hikmah dari shalat id adalah untuk memperlihatkan
kekuatan umat Islam kepada musuh-musuhnya dan kepada pemerintahan dan penguasa
yang zalim. untuk itu, dianjurkan kepada kaum muslimin untuk datang dan pulang dari
mesjid dengan menelusuri jalan yang berbeda untuk menciptakan persepsi dikalangan
musuh-musuh Islam akan kebesaran jumlah kaum muslimin dan supaya terlihat suatu
kesatuan yang kokoh.
Sudah menjadi satu kenyataan yang hidup sepanjang tuntutan agama Islam, bahwa
tidak ada hari raya dalam Islam dan bukan idain namanya, kalau tidak dilaksanakan di
dalamnya shalat idnya. karena shalat id nya itu justru yang mewarnai dan menjiwai
wujud kongkret dari hari raya dalam Islam itu.
Shalat id merupakan gambaran yang agung dari kegiatan-kegiatan spiritual yang hakiki,
yaitu suatu kegiatan amal taqarrub yang dibina diatas landasan keyakinan tauhid, yang
menjadi sumber pokok dari ajaran Islam. 2

1
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin M. Alhusaini, Kifayatul. Akhyar , (CV. Bina
Iman,Th), juz 1, h, 341. 14 Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta: Gema Insani Prees,
2006), cet ke-4, h, 142-143
2
Mamak Moh Zein, Kedudukan Bilangan Takbir Shalat Idain, (Bandung: PT, Alma’arif,
1981), cet ke-1, h, 32.

5
B. Tata Cara Shalat Ied
Adapun tata cara pelaksanaan shalat Ied ialah sebagai berikut: 3
1. Membaca niat ushalli sunnata li 'idil adha rak'ataini imaaman/makmuuman lillaahi
ta'ala. Artinya:"Aku berniat shalat sunnah Idul Adha dua rakaat (menjadi
makmum/imam) karena Allah ta'ala."
2. Takbiratul ihram
3. Membaca Doa Iftitah
4. Takbir sebanyak tujuh kali dan boleh mengangkat tangan ketika takbir. Lalu,
membaca kalimat tasbih seperti Subhanalloh wal hamdulillah wa laa ilaha illalloh
wallohu akbar. Selain bacaan tersebut, Anda juga bisa membaca bacaan lainnya tentang
pujian yang ditujukan pada Allah SWT.
5. Setelah akhir takbir ke tujuh, membaca surat Al Fatihah
6. Kemudian membaca surat lainnya
7. Ruku' dengan tuma'ninah
8. I'tidal dengan tuma'ninah
9. Sujud dengan tuma'ninah
10. Duduk di antara dua sujud dengan tuma'ninah
11. Sujud kedua dengan tuma'ninah
12. Bangkit dari sujud dan bertakbir
13. Takbir lagi sebanyak lima kali, di antara takbir membaca kalimat tasbih sama seperti
sebelumnya
14. Membaca surat Al Fatihah
15. Dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Apabila Anda menjadi seorang
makmum, cukup menyimak surat lainnya pada imam membacakan suratannya.
16. Ruku' dengan tuma'ninah
17. I'tidal dengan tuma'ninah
18. Sujud dengan tuma'ninah
19. Duduk di antara dua sujud dengan tuma'ninah
20. Sujud kedua dengan tuma'ninah
21. Duduk tasyahud dengan tuma'ninah
3
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet ke-1,
h, 41.

6
22. Salam
23. Mendengarkan khotbah
C. Landasan Hukum Shalat Ied
‫ وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى‬، ‫أمرنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن نخرج في العيدين العواتق وذوات الخدور‬
‫المسلمين‬
"Nabi SAW memerintahkan kepada kami pada saat sholat ‘id (Idul Fithri ataupun Idul
Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang
dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada
wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat sholat" (HR. Muslim).

‫ كا ن لكم يومان‬:‫ قال‬،‫ يلعبون فيهما فلما قدم ا لنبي صلى هللا ليه و سلم المدينة‬.‫كان ٓ هل الجاهلية يومان في كل سنة‬
‫ يو م الفطر ويوم ضحى‬:‫ وقد ٔبد كم هللا بهما يرا منهما‬،‫تلعبون فيهما‬

Artinya: “orang-orang Jahiliyah mempunyai dua hari dalam setiap tahun untuk
bermain-main. Setelah Rasulullah SAW datang ke Madinah, Beliau bersabda, “kalian
dulu mempunyai dua hari untuk bermain-main, sungguh Allah telah mengantinya
dengan yang lebih baik dari keduanya, yakni hari (raya) Fitri dan hari (raya) Adha
(kurban).”

D. Perbedaan dalam Penentuan Tanggal Shalat Ied


Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah
semakin jelas bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan
rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria (Ruskanda, 1994) . Saat ini sudah ada
kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Kriteria harus
memperhatikan dalil-dalil syar’i yang disepakati para ulama serta didasarkan pada
kemudahan aplikasinya dan kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa
benar-benar sejajar dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat (Sakirman, 2013).
Perbedaan hari raya dan puasa yang sering terjadi lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria
yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka
menggunakan kriteria penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada
perbedaan: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk)
dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh
wilayah hukum di seluruh Indonesia) (Tarjih & Muhammadiyah, 2009) , sedangkan

7
Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya
menggunakan kriteria imkanur rukyat 2o) (JUNIZAR-NIM, 2010) . Di kalangan ormas
penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang
melaporkan hasil rukyat padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat
yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat. Kriteria visibilitas hilal merupakan
kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal
bulan qamariyah (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan
saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat
iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya
matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon). Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat
terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon yang berdasarkan ekstrapolasi data
pengamatan menyatakan bahwa pada jarak bulan- matahari < 7o hilal tak mungkin terlihat.
Batas 7o tersebut dikenal sebagai limit Danjon(Fatoohi, Stephenson, & Al-Dargazelli, 1998).
Dengan model, Schaefer menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas
sensitivitas mata manusia yang tidak bias melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada jarak
5o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada
posisi 50o kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata manusia, sekitar
magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak sekitar 7,5o. Pada jarak tersebut hanya
titik bagian tengah sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur sabit
yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10o busur sabit sampai sekitar 50o dari pusat
sabit ke ujung tanduk sabit (Odeh, 2004). Thierry Legault, astrofotografer asal Perancis yang
berhasil memotret bulan sabit tertipis dalam sejarah manusia (Damanhuri, 2015). Ia memotret
bulan sabit itu pada tanggal 8 Juli 2013 baru lalu, persis saat bulan sedang beralih dari
Syakban menuju Ramadan. Yakni, pada pukul 07:14 GMT. Sedangkan astrofotografer
lainnya adalah Martin Elsässer dari Jerman

Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000) mengusulkan kriteria visibilitas
hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak
sudut bulan-matahari harus > 5,6 derajat. (3). Beda tinggi > 3derajat (tinggi hilal > 2 derajat)
untuk beda azimut ~ 6 derajat, tetapi bila beda azimutnya < 6 derajat perlu beda tinggi yang
lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0 derajat, beda tingginya harus > 9 derajat (Amri, 2012).
Kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian

8
minimal 2 derajat, tanpa memperhitungkan beda azimut. Kriteria tersebut sebenarnya lebih
rendah dari kriteria visibilitas hilal internasional.

Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia

setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau


gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu disempurnakan dengan
menggunakan data yang lebih banyak sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan
terpencil secara statistik sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan,
maka kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di sekitar
Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) menunjukkan sebaran data beda
tinggi bulan-matahari > 6o Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi
rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu
diusulkan kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria
berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok karena
telah dikenal oleh para pelaksana hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan
dan matahari pada saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.
Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar
depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisabrukyat yang
membantu menganalisis mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu
masuknya awal bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas bawah.
Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya
saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4o dari Odeh
dapat kita pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006) tampaknya
kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk
digunakan. Aspek kontras latar depan di ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda
tinggi bulan-matahari dari Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo(2009),
yaitu minimal 4o.

Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) dapat disempurnakan


menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut:

a. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o

b. Beda tinggi bulan-matahari > 4o

9
c. Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal bisa disebut Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia
diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya
sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di
ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan
kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan
kriteria hisab yang selama ini dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria
semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar
kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat
dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan
sekadar rukyat sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang
bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh
“rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.

d. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS


yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul
Ulama (NU), kriteria wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria
tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilaldi seluruh
Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis). Penyempurnaan pada Kriteria
Hisab-Rukyat Indonesia dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab
dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab
mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi
operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria
bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang
saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus
dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan
data pengamatan terbaru.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di dalam hadis, pensyariatan shalat Ied disebutkan perwajiban umat Islam untuk
melaksanakan shalat Ied sebagai bagian dari sunah muakkad atas tiap-tiap muslim yang
memenuhi syarat.

Tidak tertutup kemungkinan shalat Ied Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat
dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa
lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka
jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat
'Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan
madzhab Hanbali. Ada juga yang berpendapat Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala),
artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah
serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Hikmah dari shalat id adalah untuk memperlihatkan kekuatan umat Islam kepada musuh-
musuhnya dan kepada pemerintahan dan penguasa yang zalim. Untuk itu, dianjurkan kepada
kaum muslimin untuk datang dan pulang dari mesjid dengan menelusuri jalan yang berbeda
untuk menciptakan persepsi dikalangan musuh-musuh Islam akan kebesaran jumlah kaum
muslimin dan supaya terlihat suatu kesatuan yang kokoh.

B. Saran

Kami sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki kekurangan
yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan

11
mengacu kepada sumber yang bisa dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet ke-1

Mamak Moh Zein, Kedudukan Bilangan Takbir Shalat Idain, (Bandung: PT, Alma’arif,
1981)

Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin M. Alhusaini, Kifayatul. Akhyar , (CV. Bina
Iman,Th), juz 1,

13

Anda mungkin juga menyukai