Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AGAMA ISLAM

TATA CARA SHALAT NABI MUHAMMAD SAW


DOSEN :RADIAL,M.Pdi

KELOMPOK 7 :

NABILA CAHYA RANI (2201011058) B

NOVITA SARI SARAGIH (2201011062) B

NURATUS SYIFA (2201011064) B

FITRI MAHIROH (2201011142) D

MAGHFIRAH IZZAMI (2201011150) D

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN

INSTITUT KESEHATAN HELVETIA

MEDAN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan
kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tata Cara Sholat
Nabi”.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan petunjuk dari berbagai
pihak, oleh karena itu dengan kerendahan hati kami ucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Radial,M.Pdi. selaku pembimbing mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang
telah membimbing dengan penuh kecermatan dan ketelitian.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan bimbingan dan do’a restunya.
3. Teman-teman kelas 1B dan 1D yang selalu memotivasi dan memberikan saran.
Segala daya telah kami curahkan untuk sempurnanya makalah ini. Namun penulis
sadar, masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya,
dan pemerhati pendidikan pada umumnya, serta merupakan sebuah pengabdian kita kepada
Allah SWT.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Medan, November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
BAB I...........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..........................................................................................................................5
A. LATAR BELAKANG....................................................................................................5
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................5
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH.............................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
BAB III.....................................................................................................................................16
PENUTUP................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN.............................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ibadah merupakan suatu kewaajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan
dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di Dunia dan di
Akhirat nanti. Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti shalat, puasa,
haji, membaca Al-Qur’an, jihad dan lainnya.

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah baligh,
berakal, dan harus dikerjakan bagi seorang mukmin dalam keadaan bagaimanapun.

Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas
lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat. Sehingga barang siapa yang mendirikan
agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama(Islam).

Shalat yang wajib harus didirikan dalam sehari semalam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 raka’at. Shalat tersebut wajib dilaksanakan oleh muslim baligh tanpa
terkecuali baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan susah maupun senang,
lapang ataupun sempit. Selain shalat wajib yang lima ada juga shalat sunah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian Shalat?
2. Bagaimana tata cara Shalat Nabi SAW?

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH


1. Untuk mengetahui apa itu pengertian dari Shalat.
2. Untuk mengetahui bagaimana tata cara Shalat Nabi SAW.

4 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat
Menurut bahasa, shalat berarti (do’a) atau rahmat. Shalat dalam arti doa bisa
ditemukan dalam QS.At-Taubah/9:103. Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka,
guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.”
Sedangkan shalat dalam arti rahmat bisa ditemukan dalam QS.Al-Ahzab/33:43.
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan para malaikat-Nya (memohonkan
ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang
terang). Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”
Adapun pengertian shalat menurut istilah adalah:...
“Suatu ibadah yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu yang dibuka dengan
takbir dan ditutup dengan salam.”
Di dalam islam, shalat mempunyai arti penting dan kedudukan yang sangat istimewa,
antara lain:
1. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibakan oleh Allah SWT yang
perintahnya langsumg di terima oleh Rasulullah SAW pada malam Isra-Mi’raj
(QS.Al-Asra’/17:1).
2. Sholat merupakan tiang agama. Nabi SAW bersabda:....
“Pokok perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.”
3. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat. Nabi SAW
bersabda:...
“Yang pertama kali dihisab (amalan) seorang hamba pada hari kiamat adalah
shalat...”(HHR.Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, Ibn Majah, Ahmad dan Al-Thabrani.)

B. Tata Cara Shalat Nabi Muhammad saw.


Tata cara shalat haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh junjungan kita, Nabi
Muhammad saw. Sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah bersabda: Shalat lah kamu
5 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya
sekalian sebagaimana melihatku shalat.  Cara Shalat yang benar telah banyak dibahas
dalam berbagai macam buku baik buku fiqih maupun buku yang secara khusus
membahas cara shalat.

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah mendirikan shalat lima waktu
(fardhu). Sholat fardhu merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, sehingga
bagaimanapun keadaannya, seorang muslim tidak boleh meninggalkannya. Bahkan saat
seorang muslim tidak bisa menggerakan tangan dan kakinya, selama dia masih sadar,
shalat ini tetap tidak boleh ditinggalkan. Pada dasarnya semua shalat baik yang fardhu
maupun sunnah itu memiliki tata-gerakan yang sama, kecuali pada shalat jenazah dan
shalat gerhana.
Berikut ini adalah tata cara sholat Nabi Muhammad saw:
1. Niat di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata (QS.Al-Bayyinah/98:5). Niat
adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan.
Apalagi tidak ada satu pun hadis yang menjelaskan tentang adanya tuntunan
melafalkan niat ketika hendak memulai shalat. Niat secara bahasa berarti menyengaja
(al-qasdhu: maksud) sehingga siapapun yang menyengaja suatu perbuatan maka
sebenarnya ia telah mempunyai niat di dalam hatinya.
2. Berdiri sempurna menghadapp ke arah qiblat. Hal ini dipahami dari firman Allah
SWT: ....
“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha (yakni shalat
‘Ashr). Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu.”(QS.Al-Baqarah/2:238)
Demikian pula sabda Nabi saw ketika menjawab pertanyaan sahabat ‘Imran
binHushain yang sedang sakit ambeyen (wasir): ....
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka (shalatlah) dengan
duduk, dan jika tetap tidak mampu maka dengan berbaring!” (HSR.Al-Bukhari, dari
‘Imran bin Hushain).
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya shalat itu diperintahkan
dengan berdiri. Namun jika dalam keadaan darurat, sulit dan tidak memungkinkan

6 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


untuk berdiri misalnya karena sakit, berperang, musafir di atas kendaraan, maka
diperbolehkan duduk, bahkwan jika tidak mampu duduk.

3. Bertakbir dengan mengucapkan ...


Takbir pertama ini disebut takbiratul-ihram. Disebut demikian karena setelah takbir
ini diharamkan melakukan gerakan lain di luar gerakan yang dituntunkan dalam
shalat hingga salam.
Takbir ini disyari’atkan dengna berdasarkan beberapa hadis, antara lain hadis riwayat
Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:....
“Apabila kamu bangkit berdiri untuk shalat, maka sempurnakan dalam berwudlu,
kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah Al-Qur’an yang
paling mudah yang ada padamu!” (Muttafaq ‘alayh)
Cara melakukan takbiratul-ihram yaitu:
a. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan bahu sekaligus, sambil
bertakbir: Allahu Akbar. Dasarnya adalah hadis dari Abu Qilabah bahwa Malik
bin al-Huwayrits ra:
“Apalagi bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga keduanya
sejajar dengan kedua telinganya.” (HSR. Muslim, al-Bayhaqi dan Ibn Hibban.
Dalam redaksi yang lain riwayat Muslim, Abu Dawud, al-Nasai dan Ahmad, dari
Wa’il menyebutkan :... “sejajar dengan kedua telinganya” atau .... : “hingga
keduanya sejajar dengan kedua bahunya sedang kedua ibu jarinya sejajar
dengan kedua telinganya lalu bertakbir.” (Abu Dawud, 2/385:622)
Ibn ‘Umar ra juga menceritakan bahwa Nabi saw: ...
“Apabila (beliau saw) berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua tanganyya
hingga keduanya sejajar bahunya...” (HR.Jama’ah. dalam redaksi Musmil (juz
2/6:888), Abu Dawud, al-Nasa’I, dan al-Bayhaqimada tambahan: ... “kemudian
bertakbir”). Tapi redaksi muslim yang lain bahwa Malik bin al-
Huwayrits:... :”bertakbir kemudian mengangkat kedua tangannya”.
(HSR.Muslim 2/7:890, Malik, al-Bayhaqi).
Karena kedua cara ini sama-sama didasarkan pada hadis sahih, maka tidak
perlu dipertentangkan satu sama lain, apakah mau mengangkat kedua tangan
dahulu kemudian bertakbir, ataukah bertakbir dulu lalu mengangkat tangan. Bisa

7 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


jadi pula cara pelaksanaannya secara bersamaan karena umumnya redaksi yang
lebih kuat (seperti: al-Bukhari), tidak menyebutkan kata urutan: ... (kemudian),
tapi ketika kata penggabungan: .. (dan) seperti: ... atau ... (saat/ketika) yang tidak
mesti menunjukkan urutan, tapi bisa juga menunjukkan waktu
bersamaan/sekaligus. Redaksi al-Bukhari dan Ibn ‘Umar yang lain bahwa ia
melihat Nabi saw:...
“Beliau (Nabi saw) membuka takbir shalat dengan mengangkat kedua tangan
saat bertakbir hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, dan bila
bertakbir untuk ruku’ juga berbuat seperti itu, bila beliau berkat:”sami’a-llahu li
man hamidah” beliau juga berbuat seperti itu dan berdoa: “robbana walakal-
hamd”. Beliau tidak berbuat seperti itu (yakni tidak mengangkat kedua tangan)
saat sujud dan tidak pula saat mengangkat kepalanya dari sujud.” (HR.Al-
Bukhari I/258, no:705;al-Nasa’I 2/121:876
b. Meletakkan tangan kanan di atas punggung pergelangan dan lengan kiri, dan
mengencangkan keduanya dia atas dada.
Menurut Wa’il bin Hujr ra bahwa:...
“Beliau (Nabi saw) meletakkan tangannya yang kanan di atas punggung telapak
tangan kirinya, pergelangan dan lengan bawahnya.” (HSR.Abu Dawud, Ahmad,
al-Bayhaqi, Ibn Khuzaymah, Ibn Hibban)
Hadis senada berasal dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad ra. Bahwa:...
“Orang-orang diperintahkan (oleh Nabi saw) agar meletakkan tangan kanannya
dia atas lengan kirinya dalam shalat” (HSR.Al-Bukhari, Malik)
Dalam HR. Ibn Khuzaymah yang lain juga dari Wa’il ra. bahwa setelah
takbiratul-ihram, posisi tangan kanan Nabi saw diletakkan di atas tangan kiri
dalam keadaan memegang tangan kiri:...
“Ketika bertakkbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan
kedua telingannya kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya lalu memegangnya.” (HRR.Ibn Khuzaymah)
Hadis yang lain menyebutkan bahwa kedua tangan tersebut diletakkan dia atas
dada. Hal ini diriwayatkan bahwa saat Nabi saw bangkit menuju mihrab untuk
shalat:...

8 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


“Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dengan bertakbir, kemudian
meletakkan tangan kanannya dia atas tangan kirinya di atas dadanya.”
(HHR.Al-Bayhaqi dan al-Thabrani)
Sekiranya hadis yang menuntunkan untuk meletakkan tangan kanan di atas
pergelangan dan lengan tangan kiri dipraktekkan dengan benar maka letak kedua
tangan pasti akan berada di atas pusar (yakni: di dada), bukan di bawah pusar
apalagi hadisnya daif dan munkar.
c. Pandangan kea rah tempat sujud (HR.Al-Bayhaqi dan al-Hakim), tidak boleh
menutup mata (Jawa: merem), tidak boleh menengadah ke atas (HR. Al-Bukhari
dan Abu Dawud), dan tidak memalingkan pandangan (al-iltifat) ke kanan-kiri
(HR. Al-Bukhari).
d. Kemudian membaca salah satu do’a iftitah berikut:...
“Ya Allah jauhkanlah antara diriku dengan kesalahanku sebagaimana Engkau
jauhkan antara Timur dan Barat, Ya Allah bersihkanlah diriku dari segala
kesalahan sebagaimana bersihnya kain putih dari kotoran, Ya Allah cucilah
segala kesalahanku dengan air, salju dan embun.”(HSR.Jama’ah)
Atau membaca doa yang lebih panjang:
“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan
tunduk dan berserah diri, san tidaklah aku termasuk orang-orang musyrik.
Sungguh shalatku, pengabdianku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Tuhan
sekalin alam, tidak ada sekutu bagiNya dan untuk itulah aku diperintahkan, dan
saya termasuk orang yang berserah diri. Ya Allah Engkaulah Yang Maha Kuasa,
Tidak ada tuhan selain Engkau, Engkaulah Tuhanku, dan sayalah hambaMu, aku
telah berbuat aniaya terhadap diriku dan kuakui dosaku, maka ampunilah dosa-
dosaku seluruhnya, tidak ada yang mampu mengampuni dosa-dosa itu kecuali
hanya Engkau, dan tunjukilah aku akhlak yang terbaik kecuali hanya Engkau,
dan jauhkanlah aku dari akhlaq yang jelek, tidak ada yang dapat menjauhkannya
dari hamba kecuali hanya Engkau. Aku penuhi seruanMu, aku patuhi
perintahMu, dan semua kebaikan berada di tanganMu, sedang semua kejahatan
bukanlah dariMu. Aku dengan Engkau dan kembali kepadaMu, Engkaulah yang
Maha Memberkati dan Maha Mulia, aku mohon ampun dan bertobat
kepadaMu”. (HSR.Jamaah kecuali al-Bukhari, dari Ali bin bi Thalib)

9 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


4. Membaca Surat Al-Fatihah secara tartil (jelas dan perlahan) dengan sebelumnya
ta’awwudz tanpa dikeraskan, lalu membaca basmalah (yakni “Bimillahir-rahmanir-
rahim”).
Membaca al-Fatihah dalam shalat ini wajib berdasarkan hadis Nabi saw:..
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul-Kitab”.(HSR.Al-
Jama’ah kecuali Imam Malik, dari ‘Ubadah bin al-Shamit. Dalam HSR. Al-Jama’ah
selain al-Bukhari, dari Abu Hurayrah ra disebutkan bahwa:
“Siapa yang shalat tanpa membaca Ummul-Qur’an,...: maka shalatnya
kurang/bunting (diulang hingga 3x), tak sempurna.”)
Penekanan hadis di atas adalah pada ketidakabsahan shalat seseorang yang
tidak membaca al-Fatihah padahal dia mampu dan punya kesempatan membacanya,
misalnya pada kasus shalat sendirian. Tetapi untuk kasus shalat berjama’ah di mana
ma’mun masbuq (terlambat) tidak sempat mendapatkan bacaan al-Fatihah imam
tetapi masih mendapatkan ruku’ bersama imam maka shalatnya tetap sah dan sudah
dihitung mendapat 1 rakaat, hanya saja kurang sempurna karena ia melewatkan al-
Fatihah bersama imam.
Para ulama berbeda pendapat dalam membaca basmallah saat membaca surat
al-Fatihah dalam shalat jahr. Ada yang membacannya dengan keras (jahr), ada juga
yang melirihkannya (sir), bahkan ada yang sama sekali tidak membacanya.
Bagaimanapun juga basmallah sudah masuk dalam bagian al-Fatihah sehingga tetap
harus dibaca. Hanya saja umumnya ulama berbeda pendapat, apakah dalam shalat
jahar basmallah dibaca keras ataukah dibaca lirih. Yang jelas kedua cara ini ada dasar
hadisnya.
Menurut riwayat Nu’aim al-Mujmir ra. bahwa:...
Aku pernah shalat di belakang Abu Hurayrah ra. maka beliau membaca Bismillahir-
rahmanir-rahim, lalu membaca Ummul-Qur’an...., ia berkata: “Demi Dzat yang
diriku ada dalam grnggamannNya, sungguh aku menyerupakan pada kalian shalat
Rasulullah saw.” (HR.Al-Nasa’I, al-Bayhaqi, al-Daruquthni, Ibn Hibban dan Ibn
Khuzaymah).
Hadis tersebut sering dijadikan sebagai dalil mengeraskan bcaan basmalah.
Sedangkan dasar hadis melirihkan basmalah adalah hadis riwayat Anas bin Malik ra.
bahwa:...

10 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


“Aku pernah shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman, aku
tak mendengar satupun di antara mereka yang membaca Bismillahir-rahmanir-
rahim.”(HSR,Muslim, al-Nasa’I, Ahmad).
Setelah membaca al-Fatihah langsung membaca Amin. Setelah itu, membaca
surat atau kelompok ayat lain yang mudah dalam al-Qur’an tanpa mengeraskan
basmalah (HR. Mualim dan Ahmad).
5. Ruku’. Angkat kedua tangan seperti takbiratul-ihram sambil bertakbir: Allahu Akbar
menuju keposisi ruku’. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu
dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS.A-Hajj/22:77)
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa posisi kedua tangan saat ruku’ ada pada kedua
lutut dalam keadaan menggenggam, sehingga sudut ruku’ diperkirakan 90 derajat
bujur sangkar.
“Sesungguhnya Rasulullah saw ruku’ lalu beliau letakkan kedua tangannya di atas
lututnya seakan-akan menggenggamnya.” (HSR. Al-Tirmidzi 2/45:260; Abu Dawud
1/267:734; dan al-Darimi 1/341:1307)
Ketika sedang ruku’ dituntunkan membaca do’a:...
“Maha Suci Engkau ya Allah: Tuhan kami dan dengan memuji kepada Engkau ya
Allah ampunilah hamba.” (Muttafaq ‘alayh, dari ‘Aisyah).
Atau ....: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung.” (HSR. Muslim, al-Tirmidzi, al-
Nasa’I dan Ahmad, dari Hudzayfah ra.), tanpa hambatan wa bi hamdihi karena
hadisnya lemah (HDR. Abu Dawud).
6. I’tidal setelah ruku’ yakni berdiri tegak (i’tidal) dengan sempurna dan tenang
(thuma’ninah). Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang mengajarkan:...
“Kemudian ruku’lah hingga tenang, kemudian angkatlah (kepalamu) hingga tegak
berdiri kemudian sujudlah...” (Muttafaq ‘alayh, dari Abu Hurayrah ra)
Saat i’tidal, dituntunkan untuk mengucapkan:...
“Maha Mendengar Allah pada siapa saja yang memuji-Nya. Ya Tuhan kami, bagi-
Mulah segala pujian” (Muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Umar ra.) sambil mengangkat
kedua tangan (Muttafaq ‘alayh).

11 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


Bila berjama’ah, maka setelah imam mengucapkan:.... , maka ma’mun cukup
membaca:..., atau:... , atau boleh juga:... , (Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik dan
Abu Hurayrah ra.), atau membaca bacaan yang lebih panjang:...
“Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian, sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh
semua apa yang Engkau sukai dari sesuatu apapun”. (HSR. Al-Jama’ah, kecuali al-
Bukhari, dari Ibn Abi Awfa, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Sa’id al-Khudri, Ibn ‘Abbas
ra.)
Posisi tangan setelah i’tidal adalah tegak lurus dan tidak sedekap di dada, karena
tidak ada hadis maqbul yang menjelaskan adanya tuntunan sedekap setelah i’tidal
kecuali hanya penafsiran terhadap hadis. Hadis yang dimaksud antara lain diceritakan
oleh Abu Humayd al-Sa’idiy bahwa Nabi saw:...
“Apabila mengangkat kepalanya, beliau tegak lurus hingga setiap tulang kembali ke
tempatnya.”
7. Sujud. Bertakbirlah tanpa mengangkat tangan menuju gerakan sujud dengan
meletakkan kedua lutut lebih dahulu lalu kedua tangan, kemudian letakkan wajah
(dahi dan hisung). Mendahulukan kedua lutut dari kedua tangan saat sujud
didasarkan pada hadis dari Wa’il bahwa ia melihat Nabi saw.....
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya,
dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tanganyya sebelum kedua lututnya.”
(HHR. Al-Tarmidzi, Al-Nasai, Abu Dawud)
Sellain cara hadis di atas, ada riwayat lain dari Abu Hurayrah ra. yang justru
menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut. ....
Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti
mendekamnya onta, hendaklah meletakkan tangan terlebih dahulu sebelum kedua
lutut. (HR. Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad dan al-Darimi)
Posisi saat sujud adalah dengan menempelkan 7 tulang di tanah, sebagaimana
dilaporkan oleh Ibn ‘Abbas ra bahwa:....
“Aku diperintahkan (oleh Nabi saw) untuk sujud di atas 7 tulang, yaitu: dahi sambil
tangannya menunjuk pada hidungnya, kedua tangan, kedua kaki dan ujung kedua
kaki, dan kami dilarang menyibakkan kain dan rambut.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Sujud secara proporsional menurut Nabi saw adalah kedua telapak tangan
diletakkan sejajar dengan kedua telinga (HR. Ahmad) atau dalam redaksi yang lain:

12 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


wajahnya diletakkan di antara kedua telapak tangannya (HR.Ahmad, Muslim)
dimana jari jemarinya dirapatkan (HR. Ibn Hibban, al-Thabrani) dan dihadapkan
kearah qiblat (HR. Al-Bayhaqi). Nabi saw juga menuntunkan agar mengangkat kedua
siku dari lantai (HR. Muslim, Ahmad) dan merenggangkan keduanya dari ketiak dan
lambungnya (Muttafaq ‘alayh), dan juga merenggangkan kedua pahanya, tapi tidak
menempelkan perutnya pada kedua pahanya (HR. Abu Daud & al-Bayhaqi). Nabi
saw menuntunkan supaya mengangkat pantat (HR. Ahmad), namun tidak boleh
berlebih-lebihan dengan memanjangkan sujud hingga perutnya mendekati lantai
(jakhkha) (HR. Ibn Khuzaymah, Ibn Mundzir).
Untuk cara sujud perempuan sama dengan sujudnya laki-laki, karena hadis
yang menyuruh perempuan untuk merapatkan tangannya ke lambungnya, hadisnya
daif karena terputus sanadnya (mursal).
Adapun doa yang biasa dibaca oleh Nabi saw saat sujud dan ruku’ adalah:...
“Maha Suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan pujian kepada-Mu ya Allah
ampunilah hamba.” (Muttafaq ‘alayh)
Atau doa: ... :”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (HSR. Muslim, Tirmidzi,
Nasa’I, Abu Daud, dan Ahmad) boleh dibaca 3 kali, tapi tanpa wa bi hamdihi karena
hadisnya lemah.
Lalu sujudlah untuk kedua kalinya dengan bertakbir dan membaca do’a sujud seperti
sebelumnya.
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri pada
rakaat genap, disunahkan untuk duduk istirahat sejenak dengan cara iftirasy
kemudian baru berdiri (HR. al-Jama’ah kecuali Muslim) dengan menekankan kedua
telapak tangan (tanpa dikepalkkan) di tanah lalu meletakkan keduanya pada kedua
paha untuk berdiri dan langsung sedekap, tanpa mengangkat tangan. Selanjutnya
kerjakanlah raka’at kedua ini, seperti raka’at yang pertama, hanya saja tidak
membaca doa iftitah.
8. Duduk. Setelah sujud kedua, maka dituntunkan untuk duduk. Jika dalam posisi
duduk tasyahhud awal maka posisi duduknya iftirasy yakni duduk di atas bentangan
kaki kiri sementara telapak kaki kanan ditegakkan dengan jari kaki kanan menghadap
qiblat. Namun jika sudah dalam posisi duduk tasyahud akhir maka poosisi duduknya
tawarruk yakni pangkal paha atas (pantat) yang kiri duduk bertumpu pada lantai

13 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


sedangkan posisi kaki kanan sama dengan tahiyat awal. Hal ini didasarkan pada
pernyataan Abu Humayd al-Sa’idi ra kepada para sahabat, “Saya lebih hapal dari
kalian tentang shalat Rasulullah saw:....
... dan apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk atas kaki kirinya dan
menengakkan (telapak kaki) kanannya, dan apabila duduk pada rakaat yang
terakhir, beliau memajukkan kaki kirinya dan duduk bertumpu pada pantatnya.”
(HSR. Al-Bukhari, Abu Daud, dll.)
Pada saat tasyahhud, bacalah tahiyyat dengan posisi jari-jari tangan kiri
terjulur di atas lutut, sedangkan jari-jari tangan kanan dalam posisi mengepal kecuali
telunjuk yang menunjuk untuk berdoa. Ada hadis yang berasal dari Wa’il yang
mengatkan bahwa telunjuk digerak-gerakkan, yaitu :...
“Kemudian beliau mengangkat telunjuknya lalu aku melihat beliau menggerak-
gerakkannya untuk berdoa dengannya.” (HR.Al-Nasa’I, Ahmad, dari Wa’il bin Hujr
ra). tetapi hadis yang lebih kuat yaitu dari ‘Abdullah bin al Zubayr bahwa Nabi saw
tidak menggerak-gerakkan telunjuk saat berdoa berbunyi: ... : ”Beliau menunjuk
dengan telunjuknya bila berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya” (HSR. Al-
Nasa’I, Abu Dawud, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr).
Dari beberapa keteraangan di atas dapat disimpulkan bahwa setelah duduk
dengan tenang, Nabi saw menggerakkan telunjuknya untuk menunjuk 1 kali di awal
duduk saat mulai membaca tasyahud: al-tahiyyatu..., namun tidak menggerak-
gerakkannya secara keseluruhan (thuma’ninah).
Adapun bacaan tahiyyat atau tasyahhud antara lain :...
“Segala kehormatan, segala berkah, do’a dan kebaikan adalah milik Allah.
Keselamatan, rahmat dan berkah Allah atasmu wahai Nabi. Keselamatan pula atas
kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. Saya bersaksi tidak ada Tuhan
selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.” (HSR.
Jama’ah, kecuali Al-Bukhari, dari Ibn ‘Abbas ra.)
Setelah tahiyyat, langsung bershalawat (berdoa) untuk Nabi saw:...
“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana
Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Dan
berikanlah berkah pada Muhammad dan kelluarganya sebagaimana Engkau telah

14 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


memberkahi Ibrahim dan kelluarganya. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Jama’ah, dari Ka’ab bin Ujrah.
Mengenai penambahan kata sayyidina Muhammad dalam shalawat shalat,
tidak satupun hadis menuntunkannya sehingga tidak disunahkkan menggunakannya
meskipun maksud penghormatan. Tetapi di luar bacaan shalat, boleh saja
menyebutkan sayyidina Muhammad sebagai ekspresi cinta dan penghormatan Nabi
saw.
Setelah shalawat, berdo’alah dengan memilih doa yang pendek sekehendak
hati. Salah satu doa yang bisa dijadikan sebagai akhir doa tasyahhud awwal adalah
doa yang diajarkan Nab saw kepada Abu Bakar al-Shiddiq ketika ia minta diajarkan
sebuah doa dalam shalat. Kata Nabi saw, “Ucapkanlah:...
Ya Allah, sesungguhnya hamba telah mendzalimi diri sendiri dengan kedzaliman
yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Maka
ampunilah dosa hamba dengan ampunan dari sisi-Mu, dan kasihilah hamba.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (HR.Al-
Bukhari, Muslim, dll.)
Setelah membaca akhir doa tasyahhud awwal, berdirilah untuk raka’at yang
ketiga dengan takbir sambil mengangkat tangan sejajar dengan bahu dan telinga,
kemudian bacalah Al-Fatihah saja. Pada raka’at terakhir setelah membaca tahiyyat
akhir dan shalawat, Nabi saw menganjurkan untuk berlindung kepada Allah dari
empat hal dengan membaca do’a:.....
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur,
dari kejahatan fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Dajjal.” (HR.Muslim,
Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dari Abu Hurairah)
9. Salam. Setelah berdoa dalam tasyahhud akhir, kemudian salamlah dengn berpalinag
ke kanan hingga terlihat pipimu dari belakang dengan mebaca:...
“As-salamu ‘alaykum wa rahmatullah”
Lalu berpaling ke kiri juga membaca:...
“ As-salamu ‘alaykum wa rahmatullah”
Baik salam ke kanan maupun ke kiri tanpa mengucapakan tambahan wa
barakatuh (HSR. Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad).
Inilah pendapat yang paling kuat dan dipegangi oleh mayoritas ulama. Pada saat

15 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


salam, tidak ditutunkan mengibaskan tangan kanan saat salam ke kanan, demikian
pula ke kiri seperti ekor kuda yang lari terbirit-birit. Sebab Nabi saw pernah melarang
sahabat yang mengibaskan tangan kanannya ke kanan saat salam ke kanan, kemudian
tangan kirinya saat salam ke kiri. (HR. Muslim no:431, Ibn Khuzaymah, al-
Thabraru).

16 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sholat merupakan inti (kunci) dari segala ibadah juga merupakan tiang
agama,dengannya agama bisa tegak dengannya pula agama bisa runtuh. Sholat
mempunyai dua unsuryaitu dzohiriyah dan batiniyah. Unsur dzohiriyah adalah yang
menyangkut perilaku berdasarpada gerakan sholat itu sendiri, sedangkan unsur yang
bersifat batiniyah adalah sifatnyatersembunyi dalam hati karena hanya Allah-lah yang
dapat menilainya. Shalat banyak macamnya ada shalat sunnah, ada juga sholat fardhu
yang telah ditentukan waktunya. Khilafiyyah kaum muslimin tentang shalat adalah hal
yang biasa karena rujukan danpengkajiannya semuanya bersumber dari Al-
Qur‟an dan hadis, hendaknya perbedaan tersebutmenjadi hikmah keberagaman
umat islam.
Shalat banyak macamnya ada shalat sunnah, ada juga sholat fardhu yang telah
ditentukan waktunya.

17 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya


DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya

18 Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya

Anda mungkin juga menyukai