Disusun oleh :
NIM : 20160320124
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita
semua sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya,semoga apa yang kita lakukan
mendapat balasan yang setimpal. Maha suci Allah yang telah mempermudah segala urusan
kita semua,tanpa ia kita semua tidak ada apa-apanya.
Makalah ini disusun sebagai tugas kampus. Penulisan makalah ini tentunya tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Terima kasih.
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ................................................................................................
B. Saran ..........................................................................................................
.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat dalam keadaan darurat ialah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan yang
menyulitkan seseorang untuk melaksanaknnya sesuai dengan rukun-rukun shalat yang
lengkap. Dalam keadaan bagaimana pun,apapun,dimana pun,dan kapan pun sebagai umat
islam kita harus selalu mendirikan shalat. Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak
mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak
mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan
menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh
bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia
boleh shalat dengan berbaring telentang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada `Imran bin Hushain:
“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika
tidak mampu, maka dengan berbaring”. (HR. Bukhari).
Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan
kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Sehingga nampaklah keindahan syari’at
dan kemudahannya. Allah Ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan
ketakwaan menurut kemampuan mereka dalam firman-Nya:
Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh setiap
kaum muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah terhukum I wajib untuk
melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan, meskipun itu dalam kondisi tidak
sehat atau sakit. Karna disaat sakit dan tidak bisa berdiri atau tidak sanggup berdiri maka
diperbolehkan untuk sholat dengan duduk, begitu juga jika tidak mampu dengan duduk, maka
boleh dilaksanakan dengan berbaring dan jika bebaring tak mampu untuk melaksanakan
maka diperbolehkan dengan berbaring.karna agama islam adalah agama yang mudah dan
tidak pernah mempersulit pemeluknya.
B. Rumusan Masalah
2. Untuk menjelaskan tentang luka dan tata cara melaksanakan shalat bagi orang sakit.
3. Untuk meningkatkan spiritualitas kita,bahwasanya dalam keadaan sakit kita masih bisa
PEMBAHASAN
“Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Ketika kita sakit pun kita wajib
mendirikan sholat”. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16)
dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin Hushain:
Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga
maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari no. 1117).
Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan
menjamâ’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya` baik dengan
jamâ’ taqdîm atau ta’khîr, dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat
Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan
sesudahnya. Di antara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhuma
yang berbunyi :
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib
dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata:
Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu : Mengapa beliau berbuat demikian?
Beliau Radhiyallahu 'anhu menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya." [HR Muslim no.
705]
Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan kita
menjamâ’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (Masyaqqah) dan sakit adalah
Masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang
terkena istihâdhoh yang diperintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk mengakhirkan
shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempecepat Isya’.
Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tak
khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun
shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu" [al-Baqarah/ 2:238].
Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan
tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan pada tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais
Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah,
beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran". [HR Abu Dawud &
dishahihkan al-Albani dlm Silsilah Ash-Shohihah 319].
Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang
rukuk. Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, "Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam
segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku' atau bersandar kepada tongkat, tembok,
tiang ataupun manusia".
Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku' atau sujud , dia tetap
wajib berdiri. Dia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan
badannya. Bila dia tak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup
dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badannya untuk sujud
dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk, kesulitan
(Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang
merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu" [al-Baqarah/ 2:185].
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih
mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat,
apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila
pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
ُي َرأَيْت
َّ صلَّى النَّ ِب َّ سلَّ َم َعلَ ْي ِه
َ ُّللا َ ص ِلي َو
َ ُُمت ََر ِب ًعا ي
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang)
daripada duduk iftirâsy”[3]. Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan
membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan
berdiri.
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan dasar
keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak
tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan
tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.
Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan
menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah dalam hadits
‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu :
َ َج ْنب فَعَلَى تَ ْست َِط ْع لَ ْم فَإ ِ ْن فَقَا ِعدًا تَ ْست َِط ْع لَ ْم فَإِ ْن قَائِ ًما
ص ِل
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga
maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana
seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah
dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan
apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-
duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:
3. Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan
menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena
ini saja yang tidak mampu dilakukan.
Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah
berfirman :
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-
Taghâbun/ 64:16].
Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang
dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri.
Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah
barat. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau
membantu mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"
[al-Baqarah/ 2:286]
Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai
keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-
Taghâbun/ 64:16]
Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas
(Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya),
hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang
masih sehat. Dan Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang
sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib
melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia
tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia
cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini
didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
س ْو َل أَ َّن
ُ ص ِلي فَ َرآهُ َم ِر ْيضًا َعادَ للا َر َ ُعلَى ي َ سادَة َ بِ َها فَ َر َمى فَأ َ َخذَهَا ِو، َص ِلي ع ُْودًا فَأ َ َخذ
َ ُبِ ِه فَ َر َمى فَأ َ َخذَه ُ َعلَ ْي ِه ِلي، قَا َل: ص ِل
َ
ض َعلَى َ َّ َ
َ َ س ُج ْودَكَ َواجْ عَ ْل إِ ْي َما ًء فَأ ْو ِم َوإِل ا ْست
ِ طعْتَ إِ ِن األ ْر ُ ض َ
َ َُر ُك ْوعِكَ ِم ْن أ ْخف
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang
mengerjakan shalat di atas (beralaskan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya,
kemudian mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan
isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku'mu".
Mengutip buku panduan fiqih tarapan Madrasah Ibtida’iya menyebutkan tata cara
sholat orang sakit.
1. Kalau tidak dapat berdiri boleh mengerjakannya sambil duduk. Yaitu telapak kaki kiri
diduduki dan telapak kaki kanan diberdirikan (seperti saat duduk tasyahud awal atau duduk
iftirasy).
2. Membaca niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan setinggi bahu
(seperti shalat saat berdiri).
3. Membaca surat al fatihah dan surat pendek atau surat lainnya yang ada didalam al
qur’an yang di hafal (dilalukan seperti dalam shalat sambil berdiri).
4. Rukuk dan tumaknina dengan duduk membungkuk sedikit dan membaca doa ruku’.
5. Iktidal dan tumakninah dengan kembali ke posisi semulam yaitu duduk tegak dan
membaca doa iktidal.
6. Dua sujud, duduk diantara dua sujud tasyahud awal (duduk iftisary) dan tasyahud akhir
sama seperti kita mengerjakannya sambil berdiri.
Cara mengerjakannya, maka perhatikanlah baik baik keterangan dibawah ini !
2. Membaca niat dan takbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan setinggi bahu.
3. Bersedekap dan membaca surat al fatihah dan surat pendek lainnya yang ada didalam
al-qur’an yang sudah dihafal.
4. Rukuk dan sujud menggerakkan kepada kemuka. Pada saat sujud, kepala lebih
ditundudukkan.
5. Untuk iktidal dan duduk diantara dua sujud, cukup kembali ke posisi semula dan
membaca doanya sama seperti bacaan dalam shalat berdiri.
6. Begitu juga dengan tasyahud awal dan tasyahud akhir, cukup kembali ke posisi semula
dengan membaca doanya sama seperti ketika shalat berdiri.
1. Kedua kaki diarahkan kekiblat. Jika memugkinkan, kepada diberi bantal agar mukanya
dapa menghadap kekiblat.dengan demikian kepada berada disebalah timur dan kaki sebelah
barat.
2. Bacaan dalam shalat telentang sama dengan bacaan dalam shalat sambil berdiri.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat merupakan suatu kewajiban bagi ummat muslim,akan tetapi ketika seseorang
hendak melaksanakan shalat ada beberapa hal yang harus di penuhi dalam pelaksanaan shalat
tersebut yakni: islm, baligh, dan suci ketika syarat tersebut tidak tepenuhi maka gugurlah
shalat seseorang itu. Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap
Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan
syariat.
Sholat bagi orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha
melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Banyak sekali kaum
muslimin yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat
dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat
bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya. Shalat yang wajib di
wajibkan oleh tiap umat muslim ialah dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh.
B. Saran
Tujuan dari pemberian saran ini adalah agar pembaca makalah bisa mengambil
manfaat dari makalah yang dibuat dan semoga pembaca dapat dengan mudah mengerti
bagaimana tata cara shalat bagi orang yang sedang sakit.
Dan juga saya berharap dari pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya untuk
kesempurnaan makalah ini. Serta saya juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya
kepada pembaca apabila pada penulisan makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://pendidikan-dan-teknologi.blogspot.co.id/2012/11/artikel-makalah-tentang-
shalat.html
2. http://shalat-doa.blogspot.co.id/2015/07/tata-cara-melaksanakan-shalat-orang.html
3. http://www.tugassekolah.com/2016/03/hukum-dan-tata-cara-shalat-orang-yang-
sakit.html
4. Sagiran, Fadlina, T.E. 2010. Meraup Pahala Ketika sakit. Jakarta : QultumMedia