Anda di halaman 1dari 12

Konsistensi Beribadah Dalam Kondisi Sakit

Dosen:
Awaludin Ritonga M.Pdi

Disusun oleh:
Aneu Rupaidah (13.20.0002)
Selfi Liani (13.20.0008)
Silvi Amelia (13.20.0009)
Wilda Widia Nisa (13.20.0010)

PRODI DIII KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN INDONESIA
WIRAUTAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hidup tidak selamanya mulus seperti apa yang direncanakan, kondisi
seseorang bisa saja berubah seiring perubahan zaman. Tidak jarang karena
suatu kondisi yang memaksa, seseorang tidak bisa mendirikan shalat seperti
yang diinginkan. Mungkin diantara sekian banyak syarat shalat, ada satu atau
dua dari syarat atau rukun shalat yang tidak dapat ditunaikan.
Diantara saat-saat yang menyulitkan seseorang untuk shalat secara
sempurna adalah adanya rasa sakit yang parah, sedag dalam perjalanan, dalam
keadaan kerepotan yang tidak bisa ditunda, hujan yang amat deras, adanya
musibah yang mengancam jiwa seperti gempa bumi, tsunami, angin topan,
dan sebagainya. Pada saat-saat seperti itu, seseorang sulit untuk melaksanakan
shalat secara sempurna.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit ?
2. Dasar hukum shalat bagi orang sakit ?
3. Tata cara shalat untuk orang sakit ?
4. Bagaimana shalat dalam kendaraan ?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang
sedang sakit
2. Untuk mengetahui dasar hukum shalat bagi orang sakit
3. Untuk mengetahui tata cara shalat untuk orang sakit
4. Untuk mengetahui bagaimana shalat dalam kendaraan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Shalat bagi orang sakit
Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia. Ada sakit ringan seperti flu,
batuk, dan sebagainya. Akan tetapi ada juga penyakit berat sepert kanker,
gagal ginjal, tumor dan sebagainya.
Shalat seseorang yang sedang sakit disesuaikan dengan kondisi sakitnya.
Apabila ia menderita pernyakit ringan seperti batuk dan flu maka ia tetap
wajib melaksnakan shalat secara sempurna. Akan tetapi, apabila sakitnya
parah sehingga ia tidak mampu melaksanakan shalat denga menyempurnakan
syarat dan rukunnya maka ia mendapatkan beberapa rukhshah (keringanan).
Suatu saat Imran bin husein menagdukan penyakit wasirnya kepada
rasulullah saw. Ia berkata “ aku menderita wasir. Lalu aku bertanya ( tentang
shalat ) kepada rasulullah saw. Beliau menjawab ‘ shalatlah dengan berdiri,
jika kamu tidak mampu, maka dengan duduk dan jika kamu tidak mampu
maka dengan tidur miring’” (H.R Bukhari)
Kondisi orang yang sedang sakit berbed-beda. Ada orang yang sakit
sehingga tidak bisa berdiri, ada orang yang sakit sehingga tidak bisa duduk,
ada pula orang yang sakit sehingga tidak boleh tersentuh air, da nada orang
yang sakit sehingga ia selalu terkena najis. Insyallah masing-masoing akan
dijelaskan.

1.  Orang yang sakit sehingg tidak boleh terkena air


Apabila ada orang yang sakit sehingga tidak boleh terkena air ia
disamakan dengan orang yang terhalang mendaoatkan air. Wudhu dan
mandi wajib bagi orang yang tidak boleh terkena air adakah dengan
tayamum.
Allah swt berfirman “hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecyali sekedar berlalu, hingga kamu madi. Jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); sapulah tanganmu dan
mukamu, sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun.” ( Q.S.
An-Nisa’ [4]: 43)

2. Orang yang sakit senantiasa terkena najis dan hadas


Kadangkala karena sakit, seseorang tidak bisa terkena najis. Misalnya, dia
dipasangi keteter di saluran kencing. Ia akan terkena najis terus. Atau
orang yang sedang terluka sehingga darahnya mengalir terus. Bagaimana
cara shalat orang yang demikia tersebut ? bukankah salah satu syarat
shalat adalah suci dari najis dan hadas ?
Allah swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kemampuannya. Dalam keadaan demikian maka najisnya dimaafkan.
Sebab para sahabat rasul ketika selesai berperang sebagian dari mereka
terluka bagian tubuhnya mengalirkan darah dan mereka tetap shalat seperti
biasa.
Selain itu, diriwayatkan dari seorang wanita yang istihadhah keluar
darah terus, dan bukan darah haid. Nabi saw menyuruh membalut darah
yang keluar dan menjalankan shalat seperti biasa.
Begitu pula orang yang senantiasa berhadats. Sesorang yang tidak
bisa menahan kencing dan ia banyak sekai kencing, dia tetap
diperintahkan untuk shalat. Caranya adalah, ketika masuk waktu segera
bersuci dan melaksanakan shalat. Penyakit sperti ini bisa doderita leh
orang yang lanjut usia atau orang yang pernah menderita prostat.
Apabila ada orang yang selalu kentut sehingga ia tidak bisa shalat
karena kentut, ia pun tetap diperintahkan untuk shalat. Meskipun kentut
membatalkan wudhu dan shalat, tetapi karena udzur tidak menjadi
masalah. Sebab orang tersebut dalam keterpaksaan dan tidak mungkin
baginya sempurna sebagaiamana orang yang dalam keadaan sehat.

3. Orang yang sakit sehingga tidak bisa berdiri


Telah dikemukakan didepan hadits yang diriwayatkan Imron bin
Hushain bahwa orang yang shalat boleh dengan duduk jika ia tidak bisa
berdiri. Jika ia tidak bisa duduk maka ia boleh shalat dengan tidur
berbaring miring. Lalu bagaiamana jika tidak bisa berbaring miring?
Tentunya jika tidak bisa berbaring miring masih bisa berbaring telentang.
Adapun cara orang shalat dengan duduk, ia bisa melakukannya
dengan duduk iftirasy  sebagai pengganti berdiri. Jika dengan
duduk iftisary  tidak bisa, bisa dengan duduk bersila. Jika dengan duduk
bersila juga tidak bisa ia bisa duduk dan kaki dijulurkan ke depan.
Misalnya, seseorang yang kedua kakinya tidak memiliki lutut atau karena
kecelakaan tidak bisa ditekuk, ia bisa shalat dengan kaki dijulurkan
kedepan.
Lalu bagaiamana dengan rukuknya? Rukuknya dilakukan dengan
membungkukkan badan. Adapun sujud dilakukan dengan sujud seperti
biasa jika ia mampu, namun jika tidak mampu ia bileh sujud dengan
membungkukkan badan denga posisi yang lebih rendah daripada rukuk.
Begitupula jika orang dalam keadaan sakit dan tidak bisa shalat
dengan duduk, ia boleh shalat dengan berbaring miring dan jika ia tidak
mampu shalat dengan berbaring miring maka bisa dengan berbaring
telentang. Adapun pengganti rukuk dan sujudnya adakah dengan
menundyukkan wajahnya jika mampu. Jika menundukkan wajahnya ia
tidak mampu bisa diganti dengan isyarat, yaotu dengan memejamkan
mata. Apabila I’tidal mata dibuka, apabila sujud mata terpejam, dan
apabila duduk mata terbuka lagi. Ketika melakukan dengan isyarat,
niatkan bahwa isyarat tersebut sebagai pengganti rukuk dan sujudnya.

4. Shalat orang yang koma


Kadangkala karena penyakit parah atau karena pengaruh obat bius,
orang tidak sadar dalam waktu yang lama sehingga meninggalkan shalat.
Lalu bagaimana shalatnya, apakah wajib mengqadha ataukah tidak?
Abdullah bin abdul aziz bin baz didalam kitab fatawa an nabi fi ash
shalah menjawab pertanyaan tersebut, beliau berkata “jika orang tersebut
tidak sadar dalam waktu yang lama, seperti tiga hari atau kurang dari itu
maka wajib mengqadha shalatnya karena tidak sadar (baik karean koma
ataupun yang lain) dalam waktu tersebut, seperti orang yang tidur dan
tidak ada yang menghalanginya untuk mengqadha shalat. Diriwayatkan
dari jama’ah para sahabat bahwa sebagian dari mereka ada yang sakit
hingga tidak sadar untuk waktu kurang dari tiga hari dan mereka
mengqadha shalatnya
Apabila orang tersebut tidak sadar dalam waktu yang lama, lebih dari tiga
hari maka ia tidak wajib mengqadha shalatnya. Hal ini didasarkan pada
sabda rasulullah “pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur
sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia baligh, dan dari orang gila
sampai ia sadar.” (H.R. Bahaqi)
Orang yang koma lebih dari tiga hari disamakan dengan orang gila
karena kehilangan seluruh kesadarannya dan ia tridak wajib mengqadha
shalatnya. Demikianlah pendapat Abdullah bin abdul bin baz.
Adapun untuk orang yang sakitnya parah sekali sehingga jika
shalat sesuai dengan waktunya merasa kesulitan, ia boleh menjamak
shalatnya, tetapi tidak boleh mengqasharnya. Dr. shalih bin fauzan
dalam mulakhkhasah al-fiqhi berkata, “dibiolehkn menjamak dianatar
shalat zuhur dan ashar atau shalay maghrib dan isya’ bagi orang yang sakit
apabila ia merasa berat jika tidak menjamak shalat tersebut.”
Didalam kitab fatawa, syaikhul islam, ibnu taimayah berkata, “bahwanya
jama’ disyari’atkan untuk menghilangkan kseulitan umat. Apabila umat
membutuhkan jama’ mereka (diperbolehkan) menjama’. Berbagai hadits
menunjukan bahwa Nabi saw menjamak dalam satu waktu untuk
melepaskan shalatnya jika ia tidak menjamak. Maka dibolehkan menjamak
apabila tidak menjamak bisa menimbulkan kesulitan. Allah telah
menghilangkan kesulitan dari umat islam. Ini dibolehkannya menjamak
bagi orang yang sakit, yang akan kesulitan jika ia melaksanakan shalat
secara terpisah.
Adapun mengqashar, tidak didapatkan dalil dibolehkannya kecuali
bagi orang yang menempuh perjalanan sejauh dua marhalah atau lebih.
Dua marhalah asdalah perjalanan sehari semalam atau dua hari tanpa
malamny. Para ulama memperkirakan dua marhalam yaitu 85 km.”
(lihat syarah At-tahdzib)

B. Dasar hukum shalat bagi orang yang sedang sakit


Ketetapan shalat bagi orang sakit terdapat dalam Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’
1. Dari Al-qur’an
a. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat allah sambuil berdiri, atau
duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “ Ya tuhan kami, tiadalah
engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci engkau, maka
peliharalah lami dari siksa neraka.” (ali imron: 191)
Ayat yang mulia ini menjelaskan keadaan orang yang sakit dalam
melaksanakan shalat sesuai dengan kemampuannya. Shalat dapat
dilakukan dengan berdiri jika mampu, jika ia tidak mampu berdiri,
maka shalat dapat dilakukan dengan duduk atau  berbaring.
Disebutkan dalam kitab Al-Bada’I, bahwa maksud dzikir yang
diperintahkan ayat diatas adalah shalat. Artinya “shalatlah kalian”.
Ayat ini turun sebagai rukhsakh bagi orang yang sakit untuk shalat
dengan berdiri jika mampu, jika tidak maka shalat dapat dilakukan
dengan duduk atau berbaring.[1]
b. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“ allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya…” (al-baqarah:286)
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia dibebani sesuai dengan
kemampuannya, diantaranya adalah shalat bagi orang yang sakit. Dia
dis syariatkan untuk menghindari masyaqqah (kesulitan yang sangat)
dari orang yang sakit pada saat shalat dengan berdiri[2]

2. Dari sunnah nabi


a. Dari Imran bin husaoin radhiyallahuan’hu berkata, “saya mempunya
penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada rasulullah tentang shalat
belia menjawab:
“shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu shalatlah dengan
duduk, jika tidak mampu juga maka berbaringlah.”[3]
Hadits ini menunjukan dengan  jelas akan rukhsakh shalat bagi
orang yang sakit. Dia dapat shalat dengan berdiri, jika tidak mampu
melakukannya dengan duduk, dan jika tidak mampu juga dengan
berbaring.
b. Dari anas bin malik radhiyallahu an’hu berkata, “Nabi saw terjatuh
dari kudanya dan betisnya yang sebelah kanan terluka. Kami pun
masuk menjenguk beliau, lalu datanglah waktu shalat. Beliau pun
shalat bersama kami dengan duduk dan kami pun shalat dengan duduk
pula. Stelah selesai shalat beliau bersabda, “Imam diangkat untuk
diikuti, jika ia bertakbir maka kalian bertakbir pula, jika imam sujud
maka bersujudlah, jika imam bangkit maka bangkitlah, jika imam
mengatakan “ sami’allah hu liman hamidah “ maka katakanlah “
rabban wa lakal hamdu “. Jika imam shalat dengan duduk maka
shalatlah kalian dengan duduk juga.”[4]
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa nabi saw ketika betis yang
sebelah kanannya terluka, beliau shalat dengan duduk.
Secara zhahir, bukan berarti bahwa beliau tidak dapat berdiri sama
sekali, tetapi karena berdiri sulit bagi beliau maka kewajiban berdiri
hilang dari beliau. Begitu juga kewajiban itu hilang bagi orang lain.[5]
3. Dari Ijma’
Para ulam telah ber-ijma’ bahwa orang yang sakit masuk dalam
panggilan ayat shalat, dan hilang darinya kewajiban melaksanakan shalat
dengan berdiri jika ia tidak mampu, maka hednaknya ia shalat dengan
duduk. Juga hilang darinya kewajiban ruku’ dan sujud jika dia tidak
mampu melakukan  keduanya, atau salah satu dari keduanya dan
menggantikannya dengan isyarat.[6]
C. Tata cara shalat bagi orang yang sakit
Para ulama sepakat bahwa orang sakit berbeda dengan orang yang sehat
dalam apa yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan dalam hal yang mampu
dilakukan, maka tidak ada perbedaan diantara keduanya. Tetapi terkadang
para ulama berbeda pendapat tentang prinsip ini, yang muncul dalam kondisi
shalat bagi orang yang sakit. Inilah pernjelasannya
1. Jika orang yang sakit mampu untuk beridi, maka ia shalat dengan berdiri
Jika tidak mampu berdiri, mak dia shalat dengan duduk. Jika
mampu melakukan ruku’ dan sujud, maka dia harus melakukannya, tetapi
jika dia tidak mampu boleh melakukannya dengan isyarat, dengan
ketentuan bahwa isyarat untu sujud harus lebih rendah untuk isyarat ruku’
Standar ketidakmampuan untuk para fuqaha adalah jika dia berdiri,
atau ruku’, atau sujud, akan menimbulkan rasa sakit. Atau menambah rasa
sakit, atau membuat sakitnya lama sembuh, atau terlambat sembuhnya.
Atau jika dia berdiri, dia akan terjatuh , atau menimbulkan sakit. Pada
keadaan-keadaan diatas dibolehkan untuk shalat dengang duduk atau
duduk sesuai dengan kebutuhan.[7]
Disebutkan dalam kitab Al-majmu’, “tidak disyaratkan  dalam
ketidakmampuan  itu bahwa benar-benar tdiak bisa berdiri. Tetapi cukup
hanya dengan  kesulitan yang paling  rendah, bahkan cukup dengan
kesulitan  yang zahir saja, jika ditakutkan akan terjadi kesulitan yang lebih
besar, atau menambah rasa sakit, yang lainnya. Atau seseorang yang naik
kapal laut merasa takut tenggelam, atai kepalanya pusing, maka dalam
kondisi seperti itu, hendaknya ia shalat dengan duduk dan tidak perlu
mengulang lagi. “ Imam Al-Haramain berkata,”pendapoat saya mengenai
ketidakmampuan adalah dengan jika berdiri akan menimbulkan kesulitan,
menghilangkan sifat khusu’ dalam shalatnya, karena khusu’ adalah tujuan
shalat.”[8]
Disebutkan dalam kitab Al-Inahf, “ jika sahabat dalam keadaan
berdiri akan menimbulkan bahaya, atau menambah rasa sakit, atau
sembuhnya menjadi terlambat, atau yang lainnya, maka hendaknya ia
shalat dengan duduk, menurut pendapat yang benar dalam
madzab(Hanbali-Edt)[9]
Bagi orang sakit diperbolehkan shalat dengan duduk
sebagaiamanapun yang dia mampu. Baik dengan bersimpuh ( dengan
kedua akaki dibawah paha ) meletakkan kedua tangannya di atas lutunya,
atau duduk seperti tasyahud. Dan dianjurkan untuk duduk dengan seperti
itu sebagi penganti berdiri, lalu mengubah duduknyapada
saat tasyahud dan duduk diantara dua sujud. [10]Keadaan inilah yang telah
disepakati oleh para ulama tentang tatacara duduk secara umum[11]
2. Jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiir sendiri
Tetapi ia mampu berdiri dengan bersandar di dinding, atau tongkat,
atau yang lainnya,  maka ia harus berdiri dengan bersandar, karena pada
kondisi seperti ini dia dianggap mampu untuk berdiri. Pada keadaan
mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri. Pada keadaan
mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri, karena berdiir
adalah satu rukun shalat, yang tidak sah shalat kecuali dengannya, ini
adalah pendapat pengikut mahzab Hanafi, Syafi;I dan Hanbali.[12]
Pengikut mahzab Maliki berpendapat bahwa boleh baginya untuk
duduk, tetapi yang afdhol adalah berdiri, karena kondisi seperti ini 
dianggap bahwa dia mempunyai udzur ( alasan ) untuk tidak berdiri.[13]
3. Jika orang yang sakit tidak mmapu berdiri dengan tegak
Seperti orang yang sakit tulang punggungnya, atau karena factor
usia yang sudah tua, atau karena yang lainnya, sehigga ia seperti yang
lainnya, sehingga ia seperti orang yang sedang ruku’. Dalam kondisi
seperti ini, dia harus  berdiri sesuai dengan kemampuannya, jika akan
ruku’ dia harus membungkukkan sesua dengan kemampuannya.[14]
Ibnu abiding berpendapat’ “ jika tidak mampu berdiri denagn lurus,
para ulama berpendapat bahwa dia dapat berdiri dengan  bersandar, karena
dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu, begitu juga dia tidak
mampu duduk secara lurus, mereka berpendapat bahwa dia dapat duduk
dengan bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu.
[15]
Al-Mardawi berkata, “ jika dia mmapu berdiri seperti orang yang
sedang rukuk karena sakit, atau karean tua, atau karean penyakit, atau
Karena yang lainnya, maka dia harus melakukannya seperti itu, sesua
dengan kemampuannya.[16]
D. Shalat dalam kendaraan
Orang yang diatas kendaraan yang tidak dapat berhenti, kecuali setelah
sampai di tempat tujuan, seperti orang yang naik dkereta api, kapal laut dan
kapal terbang, maka boleh shalat diatas kendaraanwalaupun dalam situasi
normal, sebagaimana pernah dialami rosulullah SAW. Diwaktu dalam suatu
perjalanan tertimpa hujan, lalu menyuruh anggota rombongannya supaya
shalat sendiri-sendiri didalam (diatas) kendaraannya masing-masing.
Dalam hadits dinyatakan, dari ibnu umar RA. Ia berkata: nabi SAW.
Ditanya oleh sahabatnya: “Bagaimana saya shalat dalam kendaraan? Nabi
SAW bersabda: shalatlah didalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau
takut karam”. (H.R. Daru Qutni dan Al hakim)
Hadits diterima dari Abdullah bin Utbah, ia berkata: “Saya menyertai jabir
bin Abdullah, abu saud alkhudri dan abu Hurairah RA. Dalam sebuah kapal.
Mereka shalat sambil berdiri dengan berjamaah dengan diimami oleh salah
seorang diantaran mereka padahal mereka sanggup untuk mencapai pantai”

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap
Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara.
Sholat bagi orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus
berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-
masing.Banyak sekali kaum muslimin yang kadang meninggalkan sholat
dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang
biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan
merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas kelompok mencoba mengemukakan saran
sebagai pertimbangan untuk meningkatkan beribadah. Adapun saran-saran
yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Kewajiban mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang sakit
sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para
ulama.
Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam
ibadah sholatnya adalah:
 Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya
 Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala
kondisinya selama akalnya masih baik .
 Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan
menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat
berjamaah di masjid maka dibolehkan tidak sholat berjama’ah

DAFTAR PUSTAKA

Amir Abyan, Zainal Muttaqim. (2004). Fiqih. Semarang: PT Karya Thoha Putra.
Andres Anwarudin, DKK. (2007). Fiqih. Jakarta: Yudhi Tira.
http.majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183

Anda mungkin juga menyukai