Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hidup tidak selamanya mulus seperti apa yang direncanakan, kondisi seseorang
bisa saja berubah seiring perubahan zaman. Tidak jarang karena suatu kondisi yang
memaksa, seseorang tidak bisa mendirikan shalat seperti yang diinginkan. Mungkin
diantara sekian banyak syarat shalat, ada satu atau dua dari syarat atau rukun shalat
yang tidak dapat ditunaikan.
Diantara saat-saat yang menyulitkan seseorang untuk shalat secara sempurna
adalah adanya rasa sakit yang parah, sedag dalam perjalanan, dalam keadaan
kerepotan yang tidak bisa ditunda, hujan yang amat deras, adanya musibah yang
mengancam jiwa seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, dan sebagainya. Pada
saat-saat seperti itu, seseorang sulit untuk melaksanakan shalat secara sempurna.
B.  Rumusan masalah
1. Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit ?
2. Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang berada dikendaraan ?
3. Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang masbuq ?
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit
2. Untuk mengetahui cara melaksanakan shalat bagi orang yang berada dikendaraan
3. Untuk mengetahui cara melaksanakan shalat bagi orang yang masbuq
BAB II
PEMBAHASAN

1. Shalat bagi orang sakit


Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia. Ada sakit ringan seperti flu, batuk, dan
sebagainya. Akan tetapi ada juga penyakit berat sepert kanker, gagal ginjal, tumor dan
sebagainya.
Shalat seseorang yang sedang sakit disesuaikan dengan kondisi sakitnya. Apabila ia
menderita pernyakit ringan seperti batuk dan flu maka ia tetap wajib melaksnakan shalat
secara sempurna. Akan tetapi, apabila sakitnya parah sehingga ia tidak mampu melaksanakan
shalat denga menyempurnakan syarat dan rukunnya maka ia mendapatkan beberapa
rukhshah (keringanan).
Suatu saat Imran bin husein menagdukan penyakit wasirnya kepada rasulullah saw. Ia berkata
“ aku menderita wasir. Lalu aku bertanya ( tentang shalat ) kepada rasulullah saw. Beliau
menjawab ‘ shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka dengan duduk dan jika
kamu tidak mampu maka dengan tidur miring’” (H.R Bukhari)
Kondisi orang yang sedang sakit berbed-beda. Ada orang yang sakit sehingga tidak bisa
berdiri, ada orang yang sakit sehingga tidak bisa duduk, ada pula orang yang sakit sehingga
tidak boleh tersentuh air, da nada orang yang sakit sehingga ia selalu terkena najis. Insyallah
masing-masoing akan dijelaskan.
1. Orang yang sakit sehingg tidak boleh terkena air
Apabila ada orang yang sakit sehingga tidak boleh terkena air ia disamakan dengan
orang yang terhalang mendaoatkan air. Wudhu dan mandi wajib bagi orang yang tidak boleh
terkena air adakah dengan tayamum.
Allah swt berfirman “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecyali sekedar berlalu, hingga kamu
madi. Jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); sapulah tanganmu dan mukamu,
sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun.” ( Q.S. An-Nisa’ [4]: 43)
2. Orang yang sakit senantiasa terkena najis dan hadas
Kadangkala karena sakit, seseorang tidak bisa terkena najis. Misalnya, dia dipasangi
keteter di saluran kencing. Ia akan terkena najis terus. Atau orang yang sedang terluka
sehingga darahnya mengalir terus. Bagaimana cara shalat orang yang demikia tersebut ?
bukankah salah satu syarat shalat adalah suci dari najis dan hadas ?
Allah swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Dalam keadaan demikian maka najisnya dimaafkan. Sebab para sahabat rasul ketika selesai
berperang sebagian dari mereka terluka bagian tubuhnya mengalirkan darah dan mereka tetap
shalat seperti biasa.
Selain itu, diriwayatkan dari seorang wanita yang istihadhah keluar darah terus, bukan
darah haid. Nabi saw menyuruh membalut darah yang keluar dan menjalankan shalat seperti
biasa.
Begitu pula orang yang senantiasa berhadats. Sesorang yang tidak bisa menahan
kencing dan ia banyak sekai kencing, dia tetap diperintahkan untuk shalat. Caranya adalah,
ketika masuk waktu segera bersuci dan melaksanakan shalat. Penyakit sperti ini bisa doderita
leh orang yang lanjut usia atau orang yang pernah menderita prostat.
Apabila ada orang yang selalu kentut sehingga ia tidak bisa shalat karena kentut, ia
pun tetap diperintahkan untuk shalat. Meskipun kentut membatalkan wudhu dan shalat, tetapi
karena udzur tidak menjadi masalah. Sebab orang tersebut dalam keterpaksaan dan tidak
mungkin baginya sempurna sebagaiamana orang yang dalam keadaan sehat.
3.Orang yang sakit sehingga tidak bisa berdiri
Telah dikemukakan didepan hadits yang diriwayatkan Imron bin Hushain bahwa
orang yang shalat boleh dengan duduk jika ia tidak bisa berdiri. Jika ia tidak bisa duduk maka
ia boleh shalat dengan tidur berbaring miring. Lalu bagaiamana jika tidak bisa berbaring
miring? Tentunya jika tidak bisa berbaring miring masih bisa berbaring telentang.
Adapun cara orang shalat dengan duduk, ia bisa melakukannya dengan duduk iftirasy
sebagai pengganti berdiri. Jika dengan duduk iftisary  tidak bisa, bisa dengan duduk bersila.
Jika dengan duduk bersila juga tidak bisa ia bisa duduk dan kaki dijulurkan ke depan.
Misalnya, seseorang yang kedua kakinya tidak memiliki lutut atau karena kecelakaan tidak
bisa ditekuk, ia bisa shalat dengan kaki dijulurkan kedepan.
Lalu bagaiamana dengan rukuknya? Rukuknya dilakukan dengan membungkukkan
badan. Adapun sujud dilakukan dengan sujud seperti biasa jika ia mampu, namun jika tidak
mampu ia bileh sujud dengan membungkukkan badan denga posisi yang lebih rendah
daripada rukuk.
Begitupula jika orang dalam keadaan sakit dan tidak bisa shalat dengan duduk, ia
boleh shalat dengan berbaring miring dan jika ia tidak mampu shalat dengan berbaring miring
maka bisa dengan berbaring telentang. Adapun pengganti rukuk dan sujudnya adakah dengan
menundyukkan wajahnya jika mampu. Jika menundukkan wajahnya ia tidak mampu bisa
diganti dengan isyarat, yaotu dengan memejamkan mata. Apabila I’tidal mata dibuka, apabila
sujud mata terpejam, dan apabila duduk mata terbuka lagi. Ketika melakukan dengan isyarat,
niatkan bahwa isyarat tersebut sebagai pengganti rukuk dan sujudnya.
4. Shalat orang yang koma
Kadangkala karena penyakit parah atau karena pengaruh obat bius, orang tidak sadar
dalam waktu yang lama sehingga meninggalkan shalat. Lalu bagaimana shalatnya, apakah
wajib mengqadha ataukah tidak? Abdullah bin abdul aziz bin baz didalam kitab fatawa an
nabi fi ash shalah menjawab pertanyaan tersebut, beliau berkata “jika orang tersebut tidak
sadar dalam waktu yang lama, seperti tiga hari atau kurang dari itu maka wajib mengqadha
shalatnya karena tidak sadar (baik karean koma ataupun yang lain) dalam waktu tersebut,
seperti orang yang tidur dan tidak ada yang menghalanginya untuk mengqadha shalat.
Diriwayatkan dari jama’ah para sahabat bahwa sebagian dari mereka ada yang sakit hingga
tidak sadar untuk waktu kurang dari tiga hari dan mereka mengqadha shalatnya
Apabila orang tersebut tidak sadar dalam waktu yang lama, lebih dari tiga hari maka
ia tidak wajib mengqadha shalatnya. Hal ini didasarkan pada sabda rasulullah “pena diangkat
dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia baligh,
dan dari orang gila sampai ia sadar.” (H.R. Bahaqi)
Orang yang koma lebih dari tiga hari disamakan dengan orang gila karena kehilangan
seluruh kesadarannya dan ia tridak wajib mengqadha shalatnya. Demikianlah pendapat
Abdullah bin abdul bin baz.
Adapun untuk orang yang sakitnya parah sekali sehingga jika shalat sesuai dengan
waktunya merasa kesulitan, ia boleh menjamak shalatnya, tetapi tidak boleh mengqasharnya.
Dr. shalih bin fauzan dalam mulakhkhasah al-fiqhi berkata, “dibiolehkn menjamak dianatar
shalat zuhur dan ashar atau shalay maghrib dan isya’ bagi orang yang sakit apabila ia merasa
berat jika tidak menjamak shalat tersebut.”
Didalam kitab fatawa, syaikhul islam, ibnu taimayah berkata, “bahwanya jama’
disyari’atkan untuk menghilangkan kseulitan umat. Apabila umat membutuhkan jama’
mereka (diperbolehkan) menjama’. Berbagai hadits menunjukan bahwa Nabi saw menjamak
dalam satu waktu untuk melepaskan shalatnya jika ia tidak menjamak. Maka dibolehkan
menjamak apabila tidak menjamak bisa menimbulkan kesulitan. Allah telah menghilangkan
kesulitan dari umat islam. Ini dibolehkannya menjamak bagi orang yang sakit, yang akan
kesulitan jika ia melaksanakan shalat secara terpisah.
Adapun mengqashar, tidak didapatkan dalil dibolehkannya kecuali bagi orang yang
menempuh perjalanan sejauh dua marhalah atau lebih. Dua marhalah asdalah perjalanan
sehari semalam atau dua hari tanpa malamny. Para ulama memperkirakan dua marhalam
yaitu 85 km.” (lihat syarah At-tahdzib)
a. Dasar hukum shalat bagi orang yang sedang sakit
Ketetapan shalat bagi orang sakit terdapat dalam Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’
1. Dari Al-qur’an
a) Allah subhanahu wata’ala berfirman, “(yaitu) orang-orang yang mengingat allah sambuil
berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “ Ya tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Mahasuci engkau, maka peliharalah lami dari siksa neraka.” (ali imron:
191)
Ayat yang mulia ini menjelaskan keadaan orang yang sakit dalam melaksanakan shalat sesuai
dengan kemampuannya. Shalat dapat dilakukan dengan berdiri jika mampu, jika ia tidak
mampu berdiri, maka shalat dapat dilakukan dengan duduk atau  berbaring.
Disebutkan dalam kitab Al-Bada’I, bahwa maksud dzikir yang diperintahkan ayat diatas
adalah shalat. Artinya “shalatlah kalian”. Ayat ini turun sebagai rukhsakh bagi orang yang
sakit untuk shalat dengan berdiri jika mampu, jika tidak maka shalat dapat dilakukan dengan
duduk atau berbaring.[1]
b) Allah subhanahu wata’ala berfirman: “ allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya…” (al-baqarah:286)
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia dibebani sesuai dengan kemampuannya, diantaranya
adalah shalat bagi orang yang sakit. Dia dis syariatkan untuk menghindari masyaqqah
(kesulitan yang sangat) dari orang yang sakit pada saat shalat dengan berdiri.
2. Dari sunnah nabi
a) Dari Imran bin husaoin radhiyallahuan’hu berkata, “saya mempunya penyakit wasir, lalu
saya bertanya kepada rasulullah tentang shalat belia menjawab:
“shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu juga
maka berbaringlah.”
Hadits ini menunjukan dengan  jelas akan rukhsakh shalat bagi orang yang sakit. Dia dapat
shalat dengan berdiri, jika tidak mampu melakukannya dengan duduk, dan jika tidak mampu
juga dengan berbaring.
b) Dari anas bin malik radhiyallahu an’hu berkata, “Nabi saw terjatuh dari kudanya dan
betisnya yang sebelah kanan terluka. Kami pun masuk menjenguk beliau, lalu datanglah
waktu shalat. Beliau pun shalat bersama kami dengan duduk dan kami pun shalat dengan
duduk pula. Stelah selesai shalat beliau bersabda, “Imam diangkat untuk diikuti, jika ia
bertakbir maka kalian bertakbir pula, jika imam sujud maka bersujudlah, jika imam bangkit
maka bangkitlah, jika imam mengatakan “ sami’allah hu liman hamidah “ maka katakanlah
“ rabban wa lakal hamdu “. Jika imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan
duduk juga.”
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa nabi saw ketika betis yang sebelah kanannya
terluka, beliau shalat dengan duduk. Secara zhahir, bukan berarti bahwa beliau tidak dapat
berdiri sama sekali, tetapi karena berdiri sulit bagi beliau maka kewajiban berdiri hilang dari
beliau. Begitu juga kewajiban itu hilang bagi orang lain.
3. Dari Ijma’
Para ulam telah ber-ijma’ bahwa orang yang sakit masuk dalam panggilan ayat shalat, dan
hilang darinya kewajiban melaksanakan shalat dengan berdiri jika ia tidak mampu, maka
hednaknya ia shalat dengan duduk. Juga hilang darinya kewajiban ruku’ dan sujud jika dia
tidak mampu melakukan  keduanya, atau salah satu dari keduanya dan menggantikannya
dengan isyarat.

b. Tata cara shalat bagi orang yang sakit


Para ulama sepakat bahwa orang sakit berbeda dengan orang yang sehat dalam apa yang tidak
mampu dilakukan. Sedangkan dalam hal yang mampu dilakukan, maka tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Tetapi terkadang para ulama berbeda pendapat tentang prinsip ini, yang
muncul dalam kondisi shalat bagi orang yang sakit. Inilah pernjelasannya
1. Jika orang yang sakit mampu untuk beridi, maka ia shalat dengan berdiri
Jika tidak mampu berdiri, mak dia shalat dengan duduk. Jika mampu melakukan ruku’ dan
sujud, maka dia harus melakukannya, tetapi jika dia tidak mampu boleh melakukannya
dengan isyarat, dengan ketentuan bahwa isyarat untu sujud harus lebih rendah untuk isyarat
ruku’
Standar ketidakmampuan untuk para fuqaha adalah jika dia berdiri, atau ruku’, atau sujud,
akan menimbulkan rasa sakit. Atau menambah rasa sakit, atau membuat sakitnya lama
sembuh, atau terlambat sembuhnya. Atau jika dia berdiri, dia akan terjatuh , atau
menimbulkan sakit. Pada keadaan-keadaan diatas dibolehkan untuk shalat dengang duduk
atau duduk sesuai dengan kebutuhan.
Disebutkan dalam kitab Al-majmu’, “tidak disyaratkan  dalam ketidakmampuan  itu bahwa
benar-benar tdiak bisa berdiri. Tetapi cukup hanya dengan  kesulitan yang paling  rendah,
bahkan cukup dengan kesulitan  yang zahir saja, jika ditakutkan akan terjadi kesulitan yang
lebih besar, atau menambah rasa sakit, yang lainnya. Atau seseorang yang naik kapal laut
merasa takut tenggelam, atai kepalanya pusing, maka dalam kondisi seperti itu, hendaknya ia
shalat dengan duduk dan tidak perlu mengulang lagi. “ Imam Al-Haramain
berkata,”pendapoat saya mengenai ketidakmampuan adalah dengan jika berdiri akan
menimbulkan kesulitan, menghilangkan sifat khusu’ dalam shalatnya, karena khusu’ adalah
tujuan shalat.”
Disebutkan dalam kitab Al-Inahf, “ jika sahabat dalam keadaan berdiri akan menimbulkan
bahaya, atau menambah rasa sakit, atau sembuhnya menjadi terlambat, atau yang lainnya,
maka hendaknya ia shalat dengan duduk, menurut pendapat yang benar dalam madzab
(Hanbali-Edt)
Bagi orang sakit diperbolehkan shalat dengan duduk sebagaiamanapun yang dia mampu.
Baik dengan bersimpuh ( dengan kedua akaki dibawah paha ) meletakkan kedua tangannya di
atas lutunya, atau duduk seperti tasyahud. Dan dianjurkan untuk duduk dengan seperti itu
sebagi penganti berdiri, lalu mengubah duduknyapada saat tasyahud dan duduk diantara dua
sujud. Keadaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama tentang tatacara duduk secara
umum
2.Jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiir sendiri
Tetapi ia mampu berdiri dengan bersandar di dinding, atau tongkat, atau yang lainnya,  maka
ia harus berdiri dengan bersandar, karena pada kondisi seperti ini dia dianggap mampu untuk
berdiri. Pada keadaan mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri. Pada keadaan
mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri, karena berdiir adalah satu rukun shalat,
yang tidak sah shalat kecuali dengannya, ini adalah pendapat pengikut mahzab Hanafi,
Syafi;I dan Hanbali.
Pengikut mahzab Maliki berpendapat bahwa boleh baginya untuk duduk, tetapi yang afdhol
adalah berdiri, karena kondisi seperti ini  dianggap bahwa dia mempunyai udzur ( alasan )
untuk tidak berdiri.
3. Jika orang yang sakit tidak mampu berdiri dengan tegak
Seperti orang yang sakit tulang punggungnya, atau karena factor usia yang sudah tua, atau
karena yang lainnya, sehigga ia seperti yang lainnya, sehingga ia seperti orang yang sedang
ruku’. Dalam kondisi seperti ini, dia harus  berdiri sesuai dengan kemampuannya, jika akan
ruku’ dia harus membungkukkan sesua dengan kemampuannya.
Ibnu abiding berpendapat’ “ jika tidak mampu berdiri denagn lurus, para ulama berpendapat
bahwa dia dapat berdiri dengan  bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali
seperti itu, begitu juga dia tidak mampu duduk secara lurus, mereka berpendapat bahwa dia
dapat duduk dengan bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu.
Al-Mardawi berkata, “ jika dia mmapu berdiri seperti orang yang sedang rukuk karena sakit,
atau karean tua, atau karean penyakit, atau Karena yang lainnya, maka dia harus
melakukannya seperti itu, sesua dengan kemampuannya.

2. Sholat didalam Kendaraan


Shalat wajib diperintahkan turun dari kendaraan dan inilah kebiasaan Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam.  Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
َ‫اسَت ْقبَ َل الْ ِقْبلَة‬ َ ‫ فَِإ َذا أ ََر َاد الْ َف ِر‬، ‫ت‬
ْ َ‫يضةَ َنَز َل ف‬ ُ ‫احلَتِ ِه َحْي‬
ْ ‫ث َت َو َّج َه‬
ِ ‫ول اللَّ ِه – صلى اهلل عليه وسلم – يصلِّى علَى ر‬
َ َ َُ ُ ‫َكا َن َر ُس‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas
kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat
fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari no. 400).
Kondisi di kapal dan di pesawat adalah kondisi sulit untuk turun dari kendaraan.
Namun jika shalat wajib bisa dikerjakan dengan turun dari kendaraan, maka itu yang
diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib itu bisa dilakukan dengan turun dari kendaraan
dengan cara dijamak dengan shalat sebelum atau sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut
dijamak.
Akan tetapi, jika khawatir keluar waktu shalat atau shalat tersebut tidak bisa dijamak, maka
tetap yang jadi pilihan adalah shalat wajib tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Tidak boleh
sama sekali shalat tersebut diakhirkan. Semisal shalat Shubuh yang waktunya sempit, tetap
harus dilaksanakan di atas kapal atau pesawat.
Melaksanakan shalat di atas kapal dihukumi sah menurut kesepakatan para ulama karena
kapal sudah ada sejak masa silam. Sedangkan mengenai shalat di pesawat tersirat dari
perkataan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’, beliau berkata, “Shalat seseorang itu sah
walau ia berada di atas ranjang di udara. Sehingga dari perkataan beliau ini diambil hukum
bolehnya shalat di atas pesawat.
 
Menghadap Kiblat dan Syarat Shalat
Menghadap kiblat saat shalat wajib termasuk syarat shalat. Adapun dalam shalat sunnah di
atas kendaraan bisa jadi gugur menghadap kiblat. Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul
ihram menghadap kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,
ِ ِِ ِ َ ‫َن رس‬
ُ‫ث َو َّج َههُ ِر َكابُه‬ َ َّ‫اسَت ْقبَ َل بِنَاقَته الْقْبلَةَ فَ َكَّبَر مُث‬
ُ ‫صلَّى َحْي‬ ْ ‫ع‬َ ‫ َكا َن إِ َذا َسا َفَر فَأ ََر َاد أَ ْن َيتَطََّو‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫أ‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar dan ingin melaksanakan shalat
sunnah lantas beliau mengarahkan kendaraannya ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir,
lalu beliau shalat sesuai arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud no. 1225. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan). Adapun dalam shalat fardhu (shalat wajib), menghadap
kiblat merupakan syarat.
 
Menghadap Kiblat Saat Shalat di Kapal dan Pesawat
Dari penjelasan di atas, kita beralih pada masalah menghadap kiblat ketika shalat di kapal
atau pesawat. Menghadap kiblat kala itu  tidak lepas dari dua keadaan:
(1) Jika mampu menghadap kiblat karena ada tempat yang luas seperti di kapal, maka wajib
menghadap kiblat.
(2) Jika tidak mungkin menghadap kiblat karena tempat yang sempit, maka gugur menghadap
kiblat.
Allah Ta’ala berfirman,
ْ ‫فَ َّات ُقوا اللَّهَ َما‬
‫استَطَ ْعتُ ْم‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghabun: 16).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ِ
ْ ‫َو َما أ ََم ْرتُ ُك ْم بِه فَا ْف َعلُوا مْنهُ َما‬
‫استَطَ ْعتُ ْم‬
“Dan apa yang diperintahkan bagi kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Bukhari
no. 7288 dan Muslim no. 1337).
 
Mengenai Berdiri
Berdiri bagi yang mampu merupakan rukun dalam shalat wajib. Dalilnya adalah hadits dari
‘Imron bin Hushoin yang punya penyakit bawasir, lalu ia menanyakan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai shalatnya, beliau pun bersabda,
ٍ ‫ فَِإ ْن مَلْ تَستَ ِط ْع َف َعلَى َجْن‬، ‫اع ًدا‬
‫ب‬ ِ ‫ فَِإ ْن مَل تَستَ ِطع َف َق‬، ‫ص ِّل قَائِما‬
ْ ْ ْ
ْ ً َ
“Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka
sambil berbaring (ke samping).” (HR. Bukhari no. 1117). Jika ketika shalat di pesawat atau
kapal berdiri saat itu tidak mampu, maka shalat sambil duduk sebagai gantiny.

3. Sholat Bagi Orang yang Masbuq


Sudah dimaklumi, terkadang seorang yang bersemangat untuk mendapatkan takbîratul
ihrâm bersama imam tidak bisa mendapatinya karena alasan dan uzur tertentu. Orang tersebut
kadang terlambat dan tidak bisa menjadi makmum dari raka’at pertama. Inilah yang sering
diistilahkan dengan istilah masbûq.
Masbûq dalam istilah para Ulama fikih adalah orang yang ketinggalan imam dalam
sebagian raka`at shalat atau seluruhnya atau mendapati imam setelah satu raka`at atau lebih.
BAGAIMANA MASBUQ MELAKUKAN SHALAT YANG TERTINGGAL?
Apabila masbûq mendapatkan shalat berjamaah maka dia mengikuti imam dalam semua
perbuatan shalat, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, berdasarkan sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘aliahi wa sallam :

‫ َو َما فَاتَ ُك ْم فَأَتِ ُّموا‬،‫صلُّوا‬


َ َ‫ فَ َما أَ ْد َر ْكتُ ْم ف‬،‫ْرعُوا‬
ِ ‫ َوالَ تُس‬،‫ار‬ َ ‫صالَ ِة َو َعلَ ْي ُك ْم بِال َّس ِكينَ ِة َو‬
ِ َ‫الوق‬ َّ ‫ فَا ْم ُشوا إِلَى ال‬،َ‫إِ َذا َس ِم ْعتُ ُم ا ِإلقَا َمة‬

Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah
kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka
shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-Bukhâri, no. 636]
Dengan demikian, orang yang mendapatkan imam yang telah memulai shalatnya dan masih
dalam shalat, maka hendaknya dia langsung mengikuti imam setelah dia melakukan
takbîratul ihram, walaupun imam sedang berada ditasyahhud akhir. Ini berdasarkan
keumuman hadits di atas.
Apabila imam salam, maka orang yang masbûq tidak ikut salam tapi ia harus berdiri untuk
menyempurnakan reka’atnya yang terlewatkan dengan cara sebagai berikut:
1. Apabila ia mendapatkan imam dalam keadaan sedang ruku’, berarti dia telah mendapatkan
raka’at bersama imam. Inilah pendapat mayoritas Ulama seperti empat imam dan lainnya.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu anhu , Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu dan yang lainnya. Dasarnya adalah
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:

َّ ‫ فَقَ ْد أَ ْد َركَ ال‬،‫صاَل ِة َم َع اإْل ِ َم ِام‬


َ‫صاَل ة‬ َّ ‫َم ْن أَ ْد َركَ َر ْك َعةً ِمنَ ال‬

Siapa yang mendapati satu raka’at shalat bersama imam, maka ia mendapati shalat. [HR.
Muslim, no. 162). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam
Shahihnya no. 1595 dengan lafaz :

ُ‫ فَقَ ْد أَ ْد َر َكهَا قَ ْب َل أَ ْن يُقِي َم اإْل ِ َما ُم ص ُْلبَه‬،‫صاَل ِة‬ َ ‫َم ْن أَ ْد َر‬


َّ ‫ك َر ْك َعةً ِمنَ ال‬
Siapa yang mendapati satu raka’at shalat maka ia mendapati shalat sebelum imam
meluruskan tulang punggungnya.
Juga berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :

َّ ‫ فَقَ ْد أَ ْد َركَ ال‬،َ‫ك ال َّر ْك َعة‬


َ‫صاَل ة‬ َ ‫ َو َم ْن أَ ْد َر‬،‫ َواَل تَ ُع ُّدوهَا َش ْيئًا‬،‫صاَل ِة َونَحْ نُ ُسجُو ٌد فَا ْس ُجدُوا‬
َّ ‫إِ َذا ِج ْئتُ ْم إِلَى ال‬

Jika kalian datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan jangan
menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at maka ia mendapati shalat.
[HR. Abu Dawûd, no. 896 dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albâni]
Hadits Abu Bakrah Radhiyallahu anhu berikut memperjelas masalah ini:

ُ‫ص‘لَّى هللا‬ َ ‫‘ال النَّبِ ُّي‬


َ ‘َ‫الص‘فِّ فَق‬َّ َ‫ْت ُدون‬ ُ ‫‘ر َكع‬
َ ‘َ‫ ف‬:‫‘ال‬ َ ِ ‫ث أَنَّهُ َد َخ َل ْال َم ْس ِج َد َونَبِ ُّي هَّللا‬
َ ‘َ‫ ق‬،ٌ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‘لَّ َم َرا ِك‘ع‬ َ ‫أَ َّن أَبَا بَ ْك َرةَ َح َّد‬
‫ك هَّللا ُ ِحرْ صًا َواَل تَ ُع ْد‬
َ ‫ زَ ا َد‬: ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

Sungguh Abu Bakrah telah menceritakan bahwa dia mendapati Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi
wa sallam dalam keadaan ruku’ lalu ia berkata, “Lalu akupun ruku’ sebelum sampai masuk
ke shaf, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda, “Semoga Allâh k
menambah semangatmu dan jangan mengulanginya’.”
Dari dalil ini terpahami, kalau orang masbûq yang dapat ruku’ beserta imam tidak dianggap
(satu raka’at), maka tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya untuk
mengganti raka’at itu. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menerangkan perintah tersebut. Ini
menunjukkan bahwa siapa saja yang dapat ruku’ bersama imam, maka dia telah
mendapatkan (satu) raka’at.[3]
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh bin Bâz dalam Majmu’ Fatâwa beliau [13/160-162].

2. Apabila ia mendapati imam dalam keadaan telah berdiri dari ruku’ (i’tidâl), berarti ia
tertinggal raka’at tersebut, apalagi bila ia mendapati imam telah atau sedang sujud. Ini
berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
َّ ‫ فَقَ ْد أَ ْد َركَ ال‬،َ‫ك ال َّر ْك َعة‬
َ‫صاَل ة‬ َ ‫ َو َم ْن أَ ْد َر‬،‫ َواَل تَ ُع ُّدوهَا َش ْيئًا‬،‫صاَل ِة َونَحْ نُ ُسجُو ٌد فَا ْس ُجدُوا‬
َّ ‫إِ َذا ِج ْئتُ ْم إِلَى ال‬
Jika kalian datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan janganlah
kalian menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at berarti ia mendapati
shalat [HR. Abu Dawûd, no. 896 dan hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh syaikh al-
Albâni rahimahullah]

3. Apabila ia tertinggal satu raka’at dari imam, maka ia menyempurnakannya setelah imam
salam dan tidak menjahrkan bacaannya walaupun dalam shalat jahriyah, karena itu adalah
akhir shalatnya. Hanya saja ada perbedaan pendapat tentang hukum membaca surat al-Qur`an
setelah al-Fatihah berdasarkan perbedaan riwayat hadits Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu :

‫ َو َما فَاتَ ُك ْم فَأَتِ ُّموا‬،‫صلُّوا‬


َ َ‫فَ َما أَ ْد َر ْكتُ ْم ف‬
Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-
Bukhâri, no. 636]
Pada riwayat Mu’awiyah bin Hisyam dari Syaiban dengan lafadz : ‫( فَا ْقضُوا‬mengqadha’nya).
Mayoritas Ulama memandang bacaan surat setelah al-Fatihah yang terlewatkan dalam raka’at
pertama harus diqadha’ atau dibaca setelah al-Fatihah. Oleh karena itu asy-Syaukâni
rahimahullah menukil pernyataan al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Bâri
ketika menjelaskan pendapat ini. Beliau rahimahullah menyatakan, “Mayoritas Ulama telah
mengamalkan kedua lafazh ini. Mereka menyatakan bahwa apa yang didapatkan bersama
imam adalah awal shalatnya, namun ia mengqadha’ bacaan surat yang terlewatkan bersama
ummul Qur`an (al-Fatihah) dalam shalat yang empat raka’at (ar-ruba’iyah) dan tidak
disunnahkan untuk mengulangi bacaan secara keras (al-jahr) pada dua raka’at tersisa. Dasar
argumentasi ini adalah pernyataan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu :

‫ض َما َسبَقَكَ بِ ِه ِم ْن ْالقُرْ آن‬ َ ‫َما أَ ْد َر ْكتَ َم َع اإْل ِ َم ِام فَهُ َو أَ َّو ُل‬
ِ ‫ َوا ْق‬، َ‫صاَل تِك‬
Yang kamu dapatkan bersama imam maka itu awal shalatmu dan qadha’ lah yang terlewatkan
dari al-Qur`an. [HR. Al-Baihaqi]
Sedangkan pendapat Ishâq rahimahullah dan al-Muzani rahimahullah adalah tidak membaca
kecuali al-Fatihah saja. al-Hâfiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Ini sesuai Qiyâs.[4]

4. Apabila tertinggal dari imam sebanyak dua raka’at, maka dia menunaikannya setelah imam
salam. Apabila shalatnya empat raka’at maka dua raka’at tersisa dilakukan sesuai dengan tata
cara shalat pada raka’at ketiga dan keempat tanpa mengeraskan bacaan. Apabila pada shalat
tiga raka’at seperti shalat Magrib disunnahkan mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surat di
raka’at yang dilakukan setelah imam salam, karena itu dianggap raka’at yang kedua bagi
masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal. Kemudian shalat untuk raka’at ketiga seperti
biasanya dan salam.

5. Apabila tertinggal dari imam sebanyak tiga raka’at dalam shalat yang empat raka’at, maka
dia menunaikannya tiga raka’at tersisa setelah imam salam. Menjadikan raka’at setelah imam
salam sebagai raka’at kedua yang biasa dilakukan karena itu dianggap raka’at yang kedua
bagi masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal. Apabila tertinggal tiga raka’at dalam shalat
Magrib maka masbûq melaksanakan shalat magrib seperti biasanya dan salam.
6. Apabila tertinggal dari imam sebanyak empat raka’at, maka dia menunaikan shalat secara
utuh setelah imam salam.

7. Apabila Masbûq mendapati imam dalam keadaan ruku’ atau sujud maka ia bertakbîr
takbîratul ihrâm lalu bertakbir lagi setelahnya dengan takbir pindah untuk ruku’ atau sujud
bersama imam. Apabila mendapatkan imam sedang duduk tahiyat awal atau duduk diantara
dua sujud maka tidak bertakbir kecuali takbiratul ihram saja kemudian duduk bersama imam
tanpa takbir dan jangan menunggu imam berdiri pada raka’at berikutnya untuk berjamaah
dalam shalat.

8. Ketika berdiri untuk menyempurnakan shalat setelah imam salam, maka makmum yang
masbûq bertakbir apabila mendapatkan bersama imam dua raka’at terakhir dari shalat yang
empat raka’at atau yang tiga raka’at seperti Maghrib. Hal ini karena duduknya bersama imam
dalam tahiyat sesuai dengan keharusannya. Apabila mendapatkan bersama imam dalam satu
raka’at saja, maka yang masbûq tersebut bangun tanpa bertakbir, karena duduk tahiyatnya
bersama imam tidak seharusnya dan dilakukan hanya untuk mengikuti dan menyesuaikan
imam. Apabila mendapatkan bersama imam kurang dari satu raka’at seperti mendapati imam
sedang sujud atau tahiyat akhir maka ia bangun dengan bertakbir, karena itu seperti pembuka
shalatnya.

HUKUM BERMAKMUM DENGAN MASBUQ


Terkadang ada kaum Muslimin yang tertinggal shalat berjamaah bersama imam lalu dia
bermakmum kepada makmum yang masbûq. Jika memperhatikan praktik dilapangan, kita
dapati kejadian ada tiga bentuknya:
- Seorang yang belum shalat menjadikan masbûq sebagai imamnya.
- Sebagian masbûq bermakmum dengan masbûq yang lainnya.
- Orang muqim menyempurnakan shalatnya dengan menjadikan makmum lainnya
sebagaimana apabila imam yang musafir telah salam.

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum bermakmum kepada orang yang masbûq
menjadi dua pendapat:
Pendapat Pertama; Tidak boleh bermakmum kepada orang yang masbûq dan shalatnya tidak
sah. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah[5] dan Mâlikiyah[6]. Malikiyah memberikan
perincian, yaitu tidak sah, apabila makmum yang dijadikan imam itu masbûqnya
mendapatkan satu raka’at atau lebih bersama imam. Apabila mendapatkan kurang dari satu
raka’at, maka shalatnya sah.
Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :

‫إِنَّ َما ُج ِع َل اإْل ِ َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه فَاَل ت َْختَلِفُوا َعلَ ْي ِه‬
Imam dijadikan untuk diikuti maka jangan kalian menyelisihinya [Muttafaqun ‘alaihi]
Makmum mengikuti imam, bukan diikuti. Seandainya makmum menjadi imam atau dijadikan
imam, maka apa yang disebutkan dalam hadits di atas tidak terwujudkan. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan satu shalat antara makmum dan imam, sehingga
makmum tidak bisa menjadi imam dan makmum sekaligus dalam satu waktu.

2. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :

‫ وال ُمؤذنُ ُمؤتَ َمن‬،‫اإلما ُم ضا ِم ٌن‬


Imam bertanggungjawab dan muadzin dipercaya. [HR. Abu Dawud, no. 517 dan at-Tirmidzi,
no. 207. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani]
Makmum tidak membaca surat al-Fâtihah dan berdiri ketika mendapatkan ruku’ bersama
imam ditanggung oleh imam. Apabila demikian keadaan Masbûq lalu bagaimana dengan
orang yang berimam kepada Masbûq?
Ini diluar permasalahan yang dibahas, karena masbûq ketika imam telah salam
menyempurnakan shalatnya dengan mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya sehingga
ia berada dalam hukum orang yang shalat sendirian. Dasarnya adalah bila masbûq lupa
setelah imam selesai salam maka imam tidak menanggungnya.

3. Karena dalam praktik menjadikan orang yang masbûq menjadi imam ini terkandung
perpindahan dari imam ke imam yang lain dan perpindahan tersebut tanpa ada udzur. Juga
tidak mungkin berpindah dari yang rendah (yaitu makmum) ke yang lebih tinggi (yaitu
sebagai imam). Kedudukan imam lebih tinggi daripada kedudukan makmum.

4. Karena praktik menjadikan orang yang masbûq menjadi imam ini tidak dikenal dan tidak
masyhur di zaman salaf. Para Sahabat Radhiyallahu anhum, apabila tertinggal shalatnya,
tidak pernah sepakat untuk salah seorang diantara mereka maju menjadi imam. Seandainya
ini termasuk praktikkan yang dibenarkan dan baik, tentu mereka telah melakukannya.

Pendapat Kedua; Boleh bermakmum kepada orang yang masbûq dan sah shalatnya. Inilah
satu pendapat dalam madzhab asy-Syâfi’iyah[7] dan pendapat yang paling sah dalam
madzhab hanabilah serta dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]

Dasar pendapat ini adalah:


1. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
‫ فَ َج َعلَنِي‬،‫ فَأَخَ َذنِي‬،‫ار ِه‬
ِ ‫ت َعلَى يَ َس‬ َ ُ‫ ثُ َّم قَا َم ي‬،َ‫ك اللَّ ْيلَةَ «فَتَ َوضَّأ‬
ُ ‫ فَقُ ْم‬،‫صلِّي‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِع ْن َدهَا تِ ْل‬
َ ‫ت ِع ْن َد َم ْي ُمونَةَ َوالنَّبِ ُّي‬
ُ ‫نِ ْم‬
‫ع َْن يَ ِمينِ ِه‬،
Aku tidur dirumah Maimunah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada
bersamanya malam tersebut, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu kemudian
bangun shalat. Kemudian aku berdiri disebelah kiri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
namun Beliau menarikku dan menjadikan ku disebalah kanan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam [Muttafaqun ‘alaihi]
2. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
‫ْض ‘ا َحتَّى ُكنَّا َر ْهطً‘‘ا‬ ً ‫ فَقَا َم أَي‬،ُ‫ت إِلَى َج ْنبِ ِه َو َجا َء َر ُج ٌل آخَ ر‬ ُ ‫ت فَقُ ْم‬
ُ ‫ فَ ِج ْئ‬، َ‫ضان‬ َ ‫ُصلِّي فِي َر َم‬ َ ‫ ي‬، ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َكانَ َرسُو ُل‬
‫صاَل ِة‬ ُ ْ َّ َ َّ َ
َّ ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم أنا خَلفَهُ َج َع َل يَت ََج َّوز فِي ال‬ َّ َّ
َ ‫فَل َّما َحسَّ النبِ ُّي‬ َ
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam shalat di Ramadhân, lalu aku datang dan berdiri
disamping Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan datang orang lain lalu berdiri juga hingga
kami berombongan. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa bahwa kami
dibelakangnya maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingan shalatnya. [HR.
Muslim, 2/755 no. 1104]
Mereka menyatakan bahwa dua hadits ini berisi dalil tentang orang yang shalat sendirian itu
sah bila berubah statusnya menjadi imam. Ini sama dengan orang yang masbûq ketika
menyempurnakan kekurangan shalatnya. Ketika itu ia berada pada hukum orang yang shalat
sendirian, sehingga kalau dijadikan imam, maka keimamannya sah.
3. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang Rasûlullâh yang datang ke masjid saat sakit
keras, sementara Abu Bakr Radhiyallahu anhu sedang mengimami para Sahabat
Radhiyallahu anhum. Hadits itu berbunyi:
ِ‫ قُ ْم َم َكانَ‘‘كَ فَ َج‘ ا َء َر ُس‘و ُل هللا‬، ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ فَأَوْ َمأ َ إِلَ ْي ِه َرسُو ُل هللا‬،ُ‫َب يَتَأ َ َّخر‬
َ ‫ َذه‬،ُ‫ْج َد َس ِم َع أَبُو بَ ْك ٍر ِح َّسه‬
ِ ‫فَلَ َّما َدخَ َل ْال َمس‬
‫‘ر‬ٍ ‘‫اس َجالِ ًس‘ا َوأَبُ‘‘و بَ ْك‬
ِ َّ‫ُص‘لِّي بِالن‬ َ ‫ص‘لَّى هللاُ َعلَ ْي‘ ِه َو َس‘لَّ َم ي‬ َ ِ‫ار أَبِي بَ ْك ٍر فَ َكانَ َرسُو ُل هللا‬ ِ ‫س ع َْن يَ َس‬َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َحتَّى َجل‬ َ
ْ َ
‫صاَل ِة أبِي بَك ٍر‬ َّ ْ َّ
َ ِ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم َويَقتَ ِدي الناسُ ب‬ َّ َّ ْ َ ْ
َ ِ‫قَائِ ًما يَقتَ ِدي أبُو بَك ٍر ب‬
َ ‫صاَل ِة النبِ ِّي‬
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam masuk masjid, Abu Bakr Radhiyallahu anhu
mendengar gerakannya lalu mundur, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam
memberi isyarat untuk tetap ditempatnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam datang
hingga duduk disebelah kiri Abu Bakr. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam menjadi
imam dalam keadaan duduk sedangkan abu Bakr berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar. [Muttafaqun
‘alaihi].
Perpindahan dari imam kepada imam lain sudah ada dalam sunnah Rasûlullâh Shallallahu
‘aliahi wa sallam seperti dalam kisah Abu Bakr Radhiyallahu anhu bersama Rasûlullâh
Shallallahu ‘aliahi wa sallam ketika Abu Bakr berpindah dari posisi beliau sebagai imam
berubah menjadi makmum dan Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam menjadi imam
setelah Abu Bakr Radhiyallahu anhu menjadi imam sebelumnya. Berdasarkan ini, berarti
keimaman orang yang masbûq itu sah karena mirip dengan hal itu dan perpindahan status
imam tidak merusak shalat.
4. Atsar Amru bin Maimun rahimahullah dalam kisah terbunuhnya Umar bin al-Khathab
Radhiyallahu anhu . dalam kisah itu disebutkan:
ُ‫ف فَقَ َّد َمه‬
ٍ ْ‫َوتَنَا َو َل ُع َم ُر يَ َد َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن عَو‬
Umar Radhiyallahu anhu menarik tangan Abdurrahman bin ‘Auf dan menyuruhnya maju
[HR. Al-Bukhâri, no. 3700]
MAKALAH
TENTANG SHOLAT BAGI ORANG SAKIT, NAIK
KENDARAAN DAN MASBUQ

OLEH:
BANGUN AZHAR RAMADIFARI
Kelas VIII.U.2

SMP MUHAMMADIYAH 4 PALEMBANG


TAHUN AJARAN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai