Anda di halaman 1dari 5

Ibadah Bagi Orang Sakit

Diantara salah satu karakteristik agama Islam ialah sifatnya yang mempermudah,
yang karenanya ajaran-ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam segala kondisi. Hal itu
disebabkan, karena Allah tidak pernah memberikan beban ibadah kepada seorangpun diluar
batas kemampuannya.
Maka dari itulah seseorang yang sedang sakit, yang karenanya ia tidak mampu untuk
melaksanakan ibadah sebagaimana yang biasa ia kerjakan diwaktu ia sehat, Ia tetap dapat
melaksanakan ibadah tersebut sesuai dengan kemampuannya.
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas tentang tata cara ibadah bagi seorang yang
sedang sakit :
Sebagai salah satu syarat sahnya shalat adalah bersuci. Untuk itu seseorang yang sakit dalam
menjalankan ibadahnya juga diharuskan untuk bersuci terlebih dahulu.
Tata cara bersuci bagi orang yang sakit
1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats kecil dan
mandi jika berhadats besar.
2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya bertambah,
atau khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh bertayamum.
3. Tata cara tayamum : Hendaknya ia memukulkan dua tangannya ke tanah yang suci
sekali pukulan, kemudian mengusap wajahnya lalu mengusap telapak tangannya.
4. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau ditayamumkan orang
lain. Caranya hendaknya seseorang memukulkan tangannya ke tanah lalu
mengusapkannya ke wajah dan dua telapak tangan orang sakit. Begitu pula bila tidak
kuasa wudhu sendiri maka diwudhukan orang lain.
5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap dibasuh
dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya tangannya
dibasahi dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka juga
membahayakan maka ia bisa bertayamum.
6. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap balutan
tadi dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.
7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan mengandung
debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan tanah seperti cat
misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum padanya kecuali jika cat itu mengandung
debu.
8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain yang
mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau sapu tangan
lalu bertayamum darinya.
9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat berikutnya
maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang tayamum, karena
ia masih suci dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin maka
ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena najis ia
harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika hal itu tidak
memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang
lagi.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena najis
maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau menghamparkan
sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila tidak memungkinkan
maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak
mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian melakukan
shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya atau tempatnya ada
najis yang tidak mampu membersihkannya
Shalatnya orang sakit :
Tidak jarang kita temukan pada sebagian orang yang menderita suatu penyakit
semoga Allah berkenan memberikan petunjuk bermalas malasan atau bahkan dengan
gampang meninggalkan kewajiban shalat atau tidak menjaga waktunya dengan
menunaikannya diakhir atau bahkan diluar waktunya, padahal shalat adalah salah satu rukun
Islam yang sama sekali tidak pernak gugur kewajibannya atas seorang muslim selama ia
sadar dan shalatnyapun tidak akan sah secara syari kecuali apabila dilaksanakan
dilaksanakan diwaktunya.

Beberapa kondisi orang sakit dan hubungannya dengan kewajiban shalat;

1. Untuk shalat fardhu, seorang yang sakit tetap diwajibkan untuk berdiri, selama
mampu, meskipun harus dengan bersandar pada tembok atau bertumpu dengan tongkat
2. Apabila tidak lagi mampu untuk berdiri, maka diperbolehkan untuk shalat dengan
duduk, dengan tetap wajib untuk ruku dengan cara menunduk dan sujud diatas tanah
sebagaimana biasa jika mampu. Dan apabila tidak mampu untuk sujud, maka sujudnya
dilakukan dengan cara menunduk ( dengan posisi lebih rendah dari rukunya )
3. Apabila tidak mampu untuk duduk, maka diperbolehkan untuk shalat dengan tidur
miring diatas sisi kanan dengan menghadap kiblat.
4. Apabila tidak bisa tidur dengan posisi miring, maka shalatnya dengan tidur terlentang,
dengan kakinya diarah kiblat, dengan posisi kepalanya lebih diatas ( diberi bantal ),
sehingga tetap bisa menghadap kearah kiblat
5. Apabila tidak mampu ruku dan sujud dengan cara menunduk, maka diperbolehkan
untuk ruku dan sujud dengan cara memberi isyarat dengan kepalanya, apabila juga
tidak mampu , maka bisa ruku dan sujud dengan isyarat sesuai dengan kemampuan
6. Orang yang sakit, tetap berkewajiban untuk shalat tepat pada waktunya, dan apabila
ada kesulitan karena sakitnya, maka diperbolehkan untuk menjama antar dhuhur
dengan ahsar, dan antara magrib dengan isyak dengan jama taqdim atau takhir.
Adapun untuk shalat shubuhnya tetap wajib untuk dilaksanakan diwaktunya

Hukum Puasa Pada Wanita Hamil

Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib di jalankan oleh setiap
umat Muslim pada bulan ramadhan. Para ulama bersepakat bahwa bagi orang tua yang sudah
tidak bisa menjalankan puasa karena udzur, dan tidak mungkin bisa mengqadha pada hari
lain, maka ia tidak berkewajiban untuk bermengqadha puasanya dan hanya diharuskan
membayar fidyah. Namun, bagaimana hukumnya puasa Ramadhan bagi wanita hamil dan
menyusui, dimana ia masih memungkinkan untuk mengqadhanya suatu hari setelah tidak
hamil dan menyusui lagi. Pendapat para ulama, diantaranya :

1. Wanita Hamil dan Menyusui yang Khawatir Keadaan Dirinya Saja Bila
Berpuasa. Dalam keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari
yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang
sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat, Maka
jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. (Qs. Al Baqarah (2): 184) Ibnu Qudamah mengatakan, Kami tidak mengetahui
ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang
sakit yang takut akan kesehatan dirinya. (al-Mughni: 4/394)
2. Wanita Hamil dan Menyusui yang Khawatir Keadaan Dirinya dan Buah Hati
Bila Berpuasa. Pada situasi ini, wanita hamil dan menyusyi wajib mengqadha (saja)
sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup
melaksanakannya. Imam Nawawi mengatakan: Para sahabat kami (ulama
Syafiiyah) mengatakan, Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya
khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan
mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak
ada perselisihan (di antara Syafiiyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui
khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka
sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di
antara Syafiiyyah). (al-Majmu: 6/177)

3. Wanita Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Buah Hati saja.
Jadi sebenarnya ia mampu untuk berpuasa, namun karena menurut pengalaman atau
menurut keterangan dokter akan berbahaya bagi sang bayi jika ia berpuasa, sehingga
ia tidak berpuasa. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukumnya:

a. Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sadi berpendapat bahwa wanita hamil atau
menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit, sehingga ia hanya
wajib mengqadha puasanya saja. Dalil yang digunakan adalah Qs. Al Baqarah
(2):184.
b. Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra. serta Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan
berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui yang khawatir akan bayinya,
wajib membayar fidyah saja. Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana
dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan, Wanita
hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka
dan memberi makan seorang miskin. (HR. Abu Dawud)
Sementara ayat Al-Quran yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan
menyusui hanya wajib membayar fidyah jika khawatir akan anaknya adalah:
Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin. (Qs.
Al-Baqarah (2): 184). Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang
mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat
ini.
c. Ibnu Abbas ra. mengatakan: Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap
anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.
(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwaul Ghalil).
Begitu pula jawaban Ibnu Umar ra.ketika ditanya tentang wanita hamil yang
khawatir terhadap anaknya, ia menjawab, Hendaklah berbuka dan memberi
makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.

Ref : Mughniyah, Muhammad Jalal. 2011. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta : Lentera

Ref : Bagir, Muhammad. 2015. Panduan Lengkap Ibadah Menurut Al-Quran, Al Sunnah dan
Pendapat Para Ulama. Jakarta : PT Mizan Publika

Anda mungkin juga menyukai