1. SYARAT PUASA
a. Muslim
Keislaman seseorang merupakan sayarat sah tidaknya puasa. Artinya seorang
kafir yang melakukan puasadi bulan Ramadhan dihukumkan tidak sah karena
ketidakislamannya. Apabila orang kafir tersebut masuk Islam di Bulan Ramadhan
maka ia langsung terkena kewajiban puasa, sekalipun Ramadhan akan berakhir tiga
atau dua hari lagi. Puasa yang sudah berlangsung sebelumnya tak perlu dikada
(diganti).
Mazhab Hanafi memiliki pendapat pada suatu kondisi yang lebih spesifik. Jika
seorang kafir masuk Islam di siang hari di Bulan Ramadhan maka ia wajib langsung
berpuasa di siang itu sampai saat berbuka tiba. Pendapat itu kemudian dilanjutkan
dengan kewajiban mengkada (mengganti) bagian puasa yang tertinggal pada hari itu
karena ia sudah mendapati sebagian puasa di hari itu. Mahzab Maliki dan Syafi’i
berpendapat dalam kasus ini si mualaf hanya ditekankan menahan diri dari hal-hal
yang membatalkan puasa dan tidak wajib mengkada.
Rukun puasa disepakati hanya satu, yaitu menahan diri dari segala yang
membatalkannnya sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Namun Mahzab Maliki
dan Syafi’i menambahkan rukun ini dengan niat. Ayat ke 187 surah Al-Baqarah [2]
mendasari rukun puasa tersebut.
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam...”
Ayat ini berbicara bahwa seseorang boleh tetap makan dan minum serta bersenggama
dengan istri, sampai fajar tiba. Setalah fajar tiba ia menahan semua hal itu, karena perbuatan
itu membatalkan puasa, sampai saat berbuka tiba. Kebutuhan-kebutuhan itu menjadi halal
kembali saat malam hari hingga fajar berikutnya tiba, begitu seterusnya.
Sedangkan yang mendasari penambahan niat sebagai ruakan puasa didasari sabda
Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dengan niat.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
Ahmad bin Hanbal).