Anda di halaman 1dari 3

BAB 2

Syarat Dan Rukun Puasa

1. SYARAT PUASA

a. Muslim
Keislaman seseorang merupakan sayarat sah tidaknya puasa. Artinya seorang
kafir yang melakukan puasadi bulan Ramadhan dihukumkan tidak sah karena
ketidakislamannya. Apabila orang kafir tersebut masuk Islam di Bulan Ramadhan
maka ia langsung terkena kewajiban puasa, sekalipun Ramadhan akan berakhir tiga
atau dua hari lagi. Puasa yang sudah berlangsung sebelumnya tak perlu dikada
(diganti).
Mazhab Hanafi memiliki pendapat pada suatu kondisi yang lebih spesifik. Jika
seorang kafir masuk Islam di siang hari di Bulan Ramadhan maka ia wajib langsung
berpuasa di siang itu sampai saat berbuka tiba. Pendapat itu kemudian dilanjutkan
dengan kewajiban mengkada (mengganti) bagian puasa yang tertinggal pada hari itu
karena ia sudah mendapati sebagian puasa di hari itu. Mahzab Maliki dan Syafi’i
berpendapat dalam kasus ini si mualaf hanya ditekankan menahan diri dari hal-hal
yang membatalkan puasa dan tidak wajib mengkada.

b. Baligh dan Berakal


Baligh dan berakal adalah syarat mutlak bagi seorang yang berpuasa. Dengan
syarat ini, orang gila, anak kecil, dan orang mabuk adalah orang-orang yang tidak
wajib berpuasa. Jika anak kecil diwajibkan karena belum baligh, maka orang gila dan
orang mabuk tidak wajib puasa , karena ketidaksehatan akal dan kesadarannya.
Namun jumhur ulama mengiyaskan (mengibaratkan) tuntutan pendidikakn
anak dalam shalat, yang diajarkan Nabi SAW pada pasal puasa. Orang tua diharuskan
menyuruh anaknya berpuasa jika anak sudah berusia 7 tahun dan memukulnya dengan
pukulan yang tak menyakitkan serta mencederai jika si anak tidak mau berpuasa pada
usia 10 tahun.
Pendapat ini tak disetujui oleh Mahzab Maliki yang menganggap
penganalogian itu tidak tepat. Mahzab Maliki berpendapat sebelum anak baligh
dengan tanda keluar mani karena mimpi bersenggama ia tidak wajib berpuasa.

c. Memiliki kemampuan dan kesehatan menjalankan puasa


Kondisi-kondisi di mana kemampuan dan kesehatan itu tidak dimiliki secara
temporer maupun permanen membatalkan syarat ini. Orang sakit, tua renta, dan orang
yang sedang dalan perjalanan (musafir), tidak diwajibkan puasa. Mereka
diperbolehkan berbukan sebagaimana dijelaskan surah Al-Baqarah [2] ayat 184. Jarak
perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa dihukumkan sama dengan jarak
perjalanan pada pasal mengqasar dan menjamak shalat, yakni dua marhalah-setara
dengan 75 kilometer. Termasuk orang yang dipandang berat menjalankan puasa
adalah wanita hamil dan menyusui.

d. Tidak dalam Keadaan Haid dan Nifas


Wanita yang haid dan nifas tidak wajib menjalankan puasa tapi mesti
menggantikannya di waktu yang lain.
2. RUKUN PUASA

Rukun puasa disepakati hanya satu, yaitu menahan diri dari segala yang
membatalkannnya sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Namun Mahzab Maliki
dan Syafi’i menambahkan rukun ini dengan niat. Ayat ke 187 surah Al-Baqarah [2]
mendasari rukun puasa tersebut.

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam...”

Ayat ini berbicara bahwa seseorang boleh tetap makan dan minum serta bersenggama
dengan istri, sampai fajar tiba. Setalah fajar tiba ia menahan semua hal itu, karena perbuatan
itu membatalkan puasa, sampai saat berbuka tiba. Kebutuhan-kebutuhan itu menjadi halal
kembali saat malam hari hingga fajar berikutnya tiba, begitu seterusnya.
Sedangkan yang mendasari penambahan niat sebagai ruakan puasa didasari sabda
Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dengan niat.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
Ahmad bin Hanbal).

Imam Syafi’i dan Imam Malik menambahkan argumentasinya dengan menyatakan


bahwa puasa termasuk ibadah Mahdah (murni) yang merupakan ibadah yang dipandang tidak
sah dikerjakan tanpa niat, sebagaimana shalat. Namun jumhur ulama berpendapat niat berada
pada wilayah syarat puasa, bukan rukun puasa.

3. HAL-HAL YANG WAJIB DIHINDARI SAAT PUASA

Agar puasa tetap sah, di samping harus melakukan kewajiban-kewajiban puasa


Ramadhan, seorang Muslim juga wajib menghindari hal-hal yang dapat
membatalkannya. Berikut adalah delapan hal yang bisa membatalkan puasa.

a. Masuknya sesuatu ke dalam tubuh secara sengaja. Artinya, jangan sampai


ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui salah satu lubang yang
berpangkal pada organ bagian dalam (jauf) seperti mulut, hidung, dan
telinga. Jika hal itu tidak sengaja, maka puasa tetap sah.
b. Berobat dengan cara memasukkan obat atau benda melalui qubul (lubang
bagian depan) atau dubur (lubang bagian belakang). Seperti pengobatan bagi
orang yang menderita ambeien atau orang yang sakit dengan pengobatan
memasang kateter urin.
c. Muntah dengan disengaja. Sehingga, orang yang muntah karena tidak
disengaja maka puasanya tidak batal selama tidak ada muntahan yang
ditelan.
d. Melakukan hubungan suami istri di siang hari puasa dengan sengaja. Untuk
yang keempat ini tidak hanya membatalkan puasa, tetapi orang yang
melakukannya juga dikenai denda (kafarat). Denda tersebut berupa
melakukan puasa (di luar Ramadhan) selama dua bulan berturut-turut. Jika
tidak maka ia harus memberi makan satu mud (0,6 kg beras atau ¼ liter
beras) kepada 60 fakir miskin.
e. Keluar air mani (sperma) sebab bersentuhan kulit. Seperti mani yang keluar
karena melakukan onani atau bersentuhan kulit dengan lawan jenis tanpa
melakukan hubungan seksual. Berbeda jika keluar mani sebab mimpi basah
(ihtilam), maka puasanya tetap sah.
f. Haid atau nifas saat siang hari berpuasa. Wanita yang mengalami haid atau
nifas, selain puasanya batal juga diwajibkan untuk mengqadhanya ketika
Ramadhan usai nanti.
g. Mengalami gangguan jiwa atau gila (junun) saat sedang berpuasa. Orang
yang sedang melaksanakan puasa Ramadhan di siang hari, kemudian gila,
maka puasanya batal. Orang tersebut harus mengqadhanya jika ia sudah
sembuh.
h. Murtad atau keluar dari agama Islam. Artinya, jika orang yang sedang
berpuasa melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya murtad seperti
menyekutukan Allah swt atau mengingkari hukum-hukum syariat yang telah
disepakati ulama (mujma’ ‘alaih).

Anda mungkin juga menyukai