Anda di halaman 1dari 6

PANDUAN PRAKTIS IBADAH PUASA

Oleh Agus H. Muhammad Ma’ruf Masbuhin Faqih

Puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriyah. Rosulullah
SAW. selama masa hidupnya telah melakukan ibadah puasa sebanyak 9 kali yang kesemuanya tidak
ada yang sempurna genap 30 hari, melainkan 29 hari kecuali hanya sekali saja.

A. DEFINISI PUASA
Puasa menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu, baik dari makanan atau berbicara.
Menurut bahasa Arab, orang yang menahan diri untuk tidak berbicara juga disebut berpuasa.
Adapun puasa menurut agama adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya mulai
dari terbitnya fajar shodiq (masuknya waktu Shubuh) sampai terbenamnya matahari (masuknya
waktu Maghrib)

B. HUKUM PUASA
Hukum puasa itu terbagi menjadi empat:
1. Wajib. Puasa yang dihukumi wajib adalah:
- Puasa Ramadhan.
- Puasa Qodho’.
- Puasa Kaffarot seperti kaffarot dhihar, kaffarot sebab membunuh atau kaffarot sebab
menyetubuhi istrinya di siang bulan Ramadhan.
- Puasa ketika haji atau umroh yang dijadikan pengganti dari menyembelih hewan (dam
haji atau umroh).
- Puasa sebelum melaksanakan sholat Istisqo’.
- Puasa nadzar.
2. Sunnah. Puasa sunnah terbagi menjadi 3 kategori:
- Puasa sunnah yang hanya dilakukan sekali dalam setahun seperti puasa Arofah (9
Dzulhijjah), puasa Tasu’a (9 Muharram), dan ‘Asyuro (10 Muharram).
- Puasa sunnah yang dilakukan sebulan sekali seperti puasa Ayyamil Biidl (tanggal 13, 14,
15), puasa ayyamus suud (tanggal 28, 29, 30).
- Puasa sunnah yang dilakukan setiap minggu sekali seperti puasa hari Senin dan Kamis.
3. Makruh. Puasa makruh seperti puasa di hari Jum’at saja, atau hari Sabtu saja, atau hari
Ahad saja, dan puasa dahr bagi orang yang takut akan madlorrot (bahaya) untuk dirinya.
4. Haram. Puasa haram terbagi menjadi dua macam:
- Haram hukumnya namun tetap sah puasanya, seperti puasanya seorang istri tanpa izin
suami, dan puasanya seorang budak tanpa izin dari tuannya.
- Haram dan tidak sah puasanya. Hukum seperti ini ditemukan di lima keadaan:
a. Puasa hari raya Idul Fitri.
b. Puasa hari raya Idul Adha.
c. Puasa hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah).

1
d. Puasa di setengah akhir bulan Sya’ban (tanggal 16 Sya’ban sampai akhir).
e. Puasa hari Syak (puasa tanggal 30 Sya’ban atas dasar obrolan masyarakat bahwa
ada yang melihat hilal Ramadhan tapi masih diragukan kebenarannya, atau atas
dasar kesaksian orang yang tidak diterima kesaksiannya seperti perempuan dan
anak kecil).

C. SYARAT SAHNYA PUASA


Syarat sahnya puasa ada empat:
1. Islam. Seseorang yang murtad di siang hari (di tengah puasa) meskipun sebentar maka
puasanya dihukumi batal.
2. Berakal. Disyaratkan bagi orang yang berpuasa harus berakal dan tamyiz selama waktu
berpuasa. Jika di siang hari (di tengah puasa) mendadak gila meskipun sebentar maka
puasanya dihukumi batal.
3. Suci dari haidh dan nifas. Disyaratkan bagi perempuan ketika berpuasa harus suci dari
haidh dan nifas, dan jika keluar darah haidh di akhir waktu siang maka puasanya dihukumi
batal. Sementara bagi orang yang haidhnya berhenti di tengah waktu puasa, maka ia
disunnahkan untuk ikut menahan diri dari segala hal yang bias membatalkan puasa
layaknya orang yang berpuasa.
4. Mengetahui bahwasanya waktu tersebut sah untuk digunakan berpuasa.

D. SYARAT WAJIB PUASA


Diwajibkan berpuasa jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Islam. Puasa tidak diwajibkan bagi orang kafir asli. Adapun orang murtad, maka
diwajibkan baginya untuk mengqodho’ puasa ketika kembali masuk Islam.
2. Mukallaf (baligh dan berakal). Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil yang belum
baligh. Namun bagi orang tua dianjurkan untuk melatih berpuasa anak yang sudah berusia
tamyiz, meski puasanya tidak sempurna syarat dan rukunnya.
3. Mampu untuk berpuasa. Kemampuan seseorang untuk berpuasa bisa dilihat dari dua sisi:
- Dhohiriyah ( Mampu secara fisik), maka boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang
sudah tua renta atau orang sakit parah yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
- Syar’iyyah (Mampu dan sah secara syari’at), maka orang yang haidh dan nifas
diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
4. Sehat. Orang yang sakit diperbolehkan tidak berpuasa dengan syarat jika tetap dilakukan
puasa, maka dikhawatirkan sakit tersebut akan menyebabkan kematian, atau semakin
parah, atau semakin lama kesembuhannya.
5. Muqim. Musafir (orang yang bepergian) diperbolehkan tidak berpuasa dengan syarat:
- Jarak tempuhnya jauh. (lebih dari 83 KM).
- Bepergian untuk keperluan yang mubah atau yang diperbolehkan agama.
- Berangkat bepergian sebelum terbit fajar shodiq.

2
E. RUKUN PUASA
Rukun puasa ada dua:
1. Niat. Jika puasa wajib, niat harus dilakukan sebelum terbitnya fajar shodiq. Jika puasa
sunnah, niat boleh dilakukan setelah fajar shodiq selama matahari belum tergelincir dan
belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
2. Meninggalkan perkara-perkara yang bisa membatalkan puasa. Apabila melakukannya
dalam keadaan lupa, atau dipaksa, atau tidak mengetahui hukum, atau mempunyai udzur
yang tidak bisa menghindarinya, maka puasanya tidak dihukumi batal.

F. PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA


1. Murtad. Yaitu mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan iman seseorang baik dengan
ucapan, perbuatan, atau dengan keyakinan. Murtad ini dapat membatalkan puasa walaupun
sebentar.
2. Keluar darah haidh dan nifas meskipun keluarnya hanya sedikit, atau melahirkan.
3. Gila. Meskipun hanya sebentar.
4. Ayan dan mabuk. Keduanya bisa membatalkan puasa jika terjadi seharian penuh, apabila
ia sadar di tengah hari walaupun sebentar, maka puasanya tetap sah. Ini merupakan
pendapat yang kuat menurut Imam Romli.
5. Jima’/berhubungan suami istri. Barangsiapa yang melakukan hubungan suami istri di
siang hari puasa dengan sengaja, atas kemauan sendiri dan telah mengetahui
keharamannya, maka ia dikenakan lima hal:
- Dosa besar.
- Wajib menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa di sisa waktu puasa.
- Wajib dita’zir.
- Wajib mengqodho’ puasa itu.
- Wajib membayar kaffarat.
Catatan:
o Kaffarat ini harus dibayar secara tertib dan berurutan, artinya tidak boleh berpindah
dan beralih kecuali telah benar-benar tidak mampu. Adapun urutan kaffaratnya
adalah:
a. Memerdekakan budak muslim/muslimah.
b. Berpuasa selama dua bulan berturut-turut (tidak bolong selama dua bulan).
c. Memberi makan 60 fakir miskin tiap orang 1 mud.
o Kaffarat ini hanya wajib dikerjakan oleh laki-laki saja dan kaffarat ini wajb
dikerjakan lagi apabila terjadi pelanggaran lagi.
o Ukuran 1 Mud = 690 gram

6. Masuknya suatu benda ke dalam badan melalui rongga badan (manfadz maftuh).
Benda yang dimaksud di sini tidak termasuk udara atau angin, sehingga masuknya angin
atau udara ke dalam badan tidak menyebabkan puasa batal. Demikian halnya dengan

3
masuknya bau atau rasa ke dalam perut tanpa disertai barangnya, ia tidak menyebabkan
puasa batal.

Catatan:
Jika ada sesuatu yang masuk ke dalam badan melalu lubang pori-pori kulit, maka puasanya
tidak dihukumi batal, sebab pori-pori bukan termasuk manfadz maftuh.
Yang dimaksud dengan badan (jauf) adalah tempat yang berfungsi untuk mencerna
makanan atau obat seperti lambung atau hanya berfungsi mencerna obat saja seperti otak.

MASALAH-MASALAH BERHUBUNGAN DENGAN MASUKNYA SESUATU KE


DALAM BADAN
a. Hukum jarum suntik. Apakah jarum suntik bisa membatalkan puasa atau tidak?.
Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat ulama’ahli fiqih:
Pertama: Membatalkan puasa sebab ada sesuatu yang masuk ke dalam badan.
Kedua: Tidak membatalkan puasa, sebab masuknya tidak melalui manfadz maftuh
(rongga badan).
Ketiga (Pendapat kuat dalam madzhab): Pendapat yang mengatakan bahwa dalam
masalah ini ada tafshil (perincian) sebagai berikut:
- Apabila yang disuntikkan itu adalah berupa makanan seperti cairan infus, maka
hal ini dapat membatalkan puasa.
- Apabila yang disuntikkan itu hanya berupa obat saja, maka para fuqoha’
menjelaskan bahwa:
o Apabila obat yang disuntikkan itu masuk ke dalam urat yang berongga
(seperti pembuluh darah), maka hal ini dapat membatalkan puasa.
o Apabila obat yang disuntikkan itu masuk ke dalam otot, maka hal ini tidak
membatalkan puasa.

b. Hukum riyak. Apakah riak/dahak bisa membatalkan puasa atau tidak?


Dalam permasalahan ini terdapat tafshil atau perincian jawaban:
- Apabila riak/dahak itu telah mencapai batas bagian luar (had dzahir) kemudian
ditelan kembali, maka hal ini dapat membatalkan puasa.
- Apabila riak/dahak itu masih dalam batas bagian dalam (had bathin) kemudian
ditelan kembali, maka hal ini tidak membatalkan puasa.
Catatan:
o Batas bagian luar adalah tempat keluarnya huruf kha’ (‫ )خ‬di tenggorokan.
o Batas bagian dalam adalah tempat keluarnya huruf ha’ (‫ )ح‬besar.
o Mengenai tempat keluarnya huruf ha’ (‫ )ح‬kecil/tipis, para ulama’fiqih berbeda
pendapat; Imam Nawawi memasukkannya ke dalam batas bagian luar (had dzahir),
sehingga dapat membatalkan puasa apabila menelannya kembali. Sedangkan Imam

4
Rafi’i memasukkannya ke dalam batas bagian dalam sehingga tidak membatalkan
puasa kalau ditelan kembali.

7. Al-Istimna’. Mengeluarkan mani dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa, baik
dilakukan dengan tangannya sendiri, dengan tangan istrinya, disebabkan melihat dan
menghayal (disertai kesadaran dan pengetahuan bahwa melihat dan menghayal seperti ini
dapat menyebabkan keluarnya mani), atau dengan meniduri (bersenggama). Jika seseorang
dengan sengaja mengeluarkan mani sebab beberapa hal di atas, maka puasanya batal.
Kesimpulan masalah keluar air mani adalah sebagai berikut:
a. Membatalkan puasa:
- Apabila dikeluarkan dengan cara istimna’ (onani)
- Apabila keluar karena memeluk istrinya tanpa busana .
b. Tidak membatalkan puasa :
- Apabila keluar tanpa memeluk pasangan (hanya dengan menghayal atau memikirkan).
- Apabila keluar karena memeluk pasangannya dalam keadaan berbusana.

Catatan:
Hukum berciuman waktu puasa adalah haram apabila berciuman itu dapat
menggerakkan nafsu syahwat (birahi), namun apabila tidak sampai menggerakkan
syahwat, maka hukumnya adalah khilaf aula, yaitu lebih baik dihindari. Apabila dengan
berciuman tersebut sampai menyebabkan keluarnya mani, maka puasanya tidak batal.

8. Al-Istiqa’ah artinya seseorang berusaha untuk mengeluarkan muntahnya dengan sengaja.

PENTING
Apabila seseorang yang memiliki kewajiban mengqodhoi puasa Ramadhan tidak
mengqodlo’ puasanya sampai masuk Ramadhan berikutnya tanpa udzur yang
dibenarkan, maka ia wajib mengqodho’ puasa tersebut ditambah dengan membayar
fidyah berupa 1 Mud (690 Ons) beras atau makanan pokok daerah setempat setiap
harinya. Jumlah dan banyaknya fidyah ini akan terus bertambah sampai ia
membayarnya.

Contoh: Apabila tahun lalu ia punya hutang puasa Ramadhan selama 7 hari,
kemudian dengan tanpa udzur yang dibenarkan ia tidak mengqodhoi puasa tersebut
hingga Ramadhan tahun ini, maka dia wajib mengqodho’ puasa 7 hari dan
membayar fidyah sebanyak 7 Mud. Apabila hingga tahun berikutnya belum juga
dibayar, maka dia wajib mengqodho puasa 7 hari dan membayar fidyah sebanyak 14
Mud dan begitu seterusnya.

Semoga Bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai