Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PUASA

Disusun Oleh :

NAMA : VIKRAN

NPM 162001097

KELAS : D

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON

BAUBAU

2021

I. PENDAHULUAN
Saum atau puasa dalam islam (Arab: ‫ )ص*وم‬secara bahasa artinya menahan atau
mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum
serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah
terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang
muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
183.
Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Terdapat puasa wajib dan
puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama. Perintah berpuasa dari Allah terdapat
dalam Al-Quran di surat Al-Baqarah ayat 183.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa” (QS. Al- Baqarah: 183)
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai puasa baik dasar
hukum puasa, syarat, rukun puasa, macam-macam puasa dan mengenai persoalan-
pesoalan aktual mengenai puasa, semoga apa yang ada dalam makalah ini bisa
menambah wawasanyang baru bagi pembaca.
Amiin…

II. PEMBAHASAN
A. Landasan hukum dalam puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut ash-Shiyaam yang berarti imsak atau menahan
diri. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’an dalam surah Maryam ayat 26
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat
seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Orang yang diam tidak berbicara disebut shaa’im, artinya ia sedang
menahan diri dari perkataan. Kuda yang mengekang diri dari makanan pun
dikatakan berpuasa. Dalam istilah syariat Islam, puasa atau shaum berarti

1
suatu bentuk ibadah berupa menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dan
hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari
dengan syarat-syarat tertentu serta niat mencari ridha Allah.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Di awal surat tersebut yang diseru adalah orang-orang yang beriman.
Artinya, orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Rasulullah
saw, berarti wajib menjalankan puasa. Ringkasnya, yang wajib berpuasa adalah
orang beragama Islam, orang kafir tidak wajib. Orang kafir jika melaksanakan
puasa, maka tidak sah puasannya. Bolehboleh saja ia berpuasa, tapi di mata Allah
tidak bernilai puasanya. Ia tidak akan mendapatkan pahala dari puasannya.ia
hanya mendapatkan keuntungan duniawi saja, misalnya badan menjadi sehat,
tubuh menjadi langsing atau berat berkurang.
B. Syarat, Rukun, Macam-macam dan dasar hukum puasa
1. Syarat-syarat Puasa
Pada dasarnya syarat puasa hampir sama dengan syarat wajib puasa. Jika
syarat wajib puasa lebih kepada kondisi seseorang secara keseluruhan, maka
syarat syah adalah kondisi ketika akan melakukan puasa. Secara garis besar
terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan sahnya puasa
Ramadhan. a. Syarat-syarat sah puasa
1) Tetap dalam islam sepanjang hari
Apabila seorang kafir, baik asli atau kafir murtad berniat puasa,
tidaklah sah puasanya. Apabila seorang muslim yang sedang berpuasa
menjadi murtad karena mencela agama Islam, atau mengingkari suatu
hukum Islam yang di ijma’kan (disepakati) oleh umat atau mengerjakan
sesuatu yang merupakan peenghinaan bagi Al-Qur’an atau memaki
seorang Nabi, niscaya keluarlah ia dari Islam dan batallah puasanya.
Karena puasa
adalah ibadah islamiyah, maka tidak sah dilakukan oleh orang yang
bukan Islam.
2) Suci dari Haid, Nifas, dan Wiladah
Wanita yang sedang haid, nifas, dan bersalin (wiladah), ketika
sedang berpuasa, maka batallah puasanya seketika, baik darah haid
yang keluar ituu banyak ataupun sedikit. Baik anak yang lahir tersebut
itu sempurna, ataupun hanya berupa segumpal darah atau daging.
3) Tamyiz
Tamyiz adalah orang yang dapat membedakan antara yang baik
dan yang tidak baik. Orang gila apabila berniat berpuasa, tidaklah sah
puasannya, karena puasa adalah suatu ibadah. Orang gila dipandang
tidak mampu beribadah. Apabila seseorang yang sedang berpuasa,
kemudian menjadi gila di tengah-tengah hari, walaupun sebentar, maka
batallah puasannya. Orang yang pinsan dan mabuk, batal puasannya
jika pinsan atau mabuk tersebut sepanjang hari. Jika pinsan atau mabuk
itu tidak sepanjang hari, maka dipandang sah puasannya. Dimaksudkan
dengan tamyiz di sini, ialah tamyiz dalam pandangan hukum.
Karenanya sah puasa orang tidur seepanjang hari lantaran mumayyiz, ia
sadar kalau ia bangun.
4) Berpuasa pada waktunya
Puasa harus dilakukan pada waktu yang tepat karena puasa tidak
akan sah jika dikerjakan pada waktu-waktu yang tidak dibenarkan
berpuasa, seperti pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari
Tasyriq. Syarat-syarat tersebut berlaku pula untuk puasa-puasa yang
lain, baik fardhu, qadha, nadzar ataupun puasa sunah, seperti puasa
Arofah, Asyura dan lain-lain.
b. Syarat-syarat wajib puasa
1) Orang-orang yang wajib puasa
Seseorang yang akan melakukan puasa mempunyai syarat wajib
yang haris dipenuhi. Syarat wajib tersebut adalah: a) Islam
b) Baligh (sampai umur)
c) Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau
perempuan
d) Suci dari haid dan nifas bagi perumpuan
e) Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir
f) Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang
lemah dan orang sakit
Apabila seorang muslim memenuhi syarat-syarat wajib tersebut, maka
wajiblah ia berpuasa, dan berdosa apabila dia meninggalkannya.
2) Orang-orang yang tidak wajib berpuasa
a. Orang kafir
Jika seseorang adalah kafir asli, mempunyai orang tua yang
kafir, besar dalam kekafiran, maka orang tersebut tidak wajib
melaksanakan puasa. Dan untuk dapat diteerima puasannya, dia
harus terlebih dahulu memeluk agama Islam.

Puasa adalah ibadah dalam islam. Orang kafir tidak wajib


menqadha puasa yang ditinggalkanya apabila ia masuk islam. Wajib
bagi orang kafir yang masuk islam di dalam bulan ramadhan,
mengerjakan puasa. Dan seyogianyalah ia imsak pada hari hari pada
saat ia masuk Islam. Jika dia bukan kafir asli seperti orang islam
yang murtad, maka maka dia tidak diwajibkan berpuasa, lantaran
puasa tidak sah terhadap orang murtad. Jika ia kembali islam lagi,
barulah kita menyuruhnya berpuasa lagi dan ia wajib mengqadha
puasa yang ditinggalkan selama ia murtad. Demikian menurut
madzhab Asy-Syafi’i. Sebagian ulama tidak mewajibkan puasa
yang ditinggalkan selama ia murtad.
b. Anak kecil
Anak kecil tidak diwajibkan berpuasa berdasarkan sabda
Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh ahmad, ashhabus Sunan
dan Al-Hakim, dari Aisyah bahwa rasulullah bersabda:
*‫ وعن المجنون حت ى يف*يق و عن الناّ*ئم حت‬،‫ى يبلغ‬ ‫عن ال*صب ي‬:‫رفع القلم عن ثالث‬
‫حت‬
‫يستيقظ‬

“Diangkat kalam dari tiga orang: 1) dari anak kecil sehingga ia


sampai umur, 2) dari orang gila sehingga ia sembuh, dan
3) dari orang yang tidur sehingga ia bangun.”
Puasa yang dilakukan anak kecil yang telah berakal yang
sanggup berpuasa, maka puasa tersebut hukumnya sah, walaupun
belum diwajibkan. Sebagian pengikat Imam Ahmad berpendapat
bahwa anak kecil yang sanggup berpuasa dan telah sampai umur 10
tahun, wajib mengerjakan puasa, berasarkan riwayat ibnu Juraij dari
Muhammad ibnu Abi Labibah.
c. Orang gila
Orang gila tidak masuk dalam kategori mukallaf, karena orang gila
tidak mempunyai akal yang menjadi dasar taklif, maka tidaklah
wajib puasa diwaktu ia sedang gila, mengingat hadits yang
diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dari Ali. Dan apabila
orang gila tersebut sembuh maka tidak wajib mengqadha puasa
yang ditinggal selama gila, baik sebentar ataupun lama, baik dia
sembuh dalam bulan ramadhan, ataupun dalam sesudahnya.
Hukumnya demikian karena dia meninggalkan puasa diwaktu ia
tidak dibebani puasa.
d. Orang pingsan
Jika orang yang puasa pingsan, maka sebagian ulama
mewajibkan qadha, baik pingsan sepanjang bulan, atau pingsan
sebagiannya, karena orang pingsan disamakan
kondisinya dengan orang sakit, dan berbeda dengan orang gila.
Orang gila atau orang pingsan, karena mabuk atau tertidur
sebelum terbenam matahari dan sembuh atau sadar sesudah
terbenam matahari esok harinya, maka tidaklah diwajibkan qadha
terhadap puasa yang ditinggalkannya. Menurut nash, hanya
diwajibkan mengqadha atas orang yang meninggalkannya, karena
safar, haid atau nifas dan yang sengaja muntah.
Hilang akal karena minuman keras, atau sebagainya wajib
mengqhada puasa yang ditinggalkannya. Tegasnya tidak ada qadha
bagi orang gila, karena telah gugur taklif, begitupula orang gila di
bulan Ramadhan selama 15 hari umpamanyan, tidak ada qadha
atasnya.
e. Wanita yang sedang haid atau nifas
Wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib berpuasa, karena
tidak sah puasa dalam keadaan demikian. Akan tetapi, apabila
mereka telah suci, wajiblah mereka mengqadha puasa yang
ditinggalkan.
Para ulama’ telah ber-Ijma’, bahwa wanita yang sedang berhaid
atau nifas tidak wajib berpuasa. Al-Jamaah meriwayatkan dari
Mu’adz, bahwa aisyah berkata:
“Kami sedang mengalami haid di masa Rasulullah SAW, maka
kami diperintahkan supaya mengqadha puasa dan kami tidak
diperintahkan megqadha sholat.”
f. Musafir
Orang yang sedang dalam perjalanan (safar), tidak berada di
kampong, tidak diwajibkan berpuasa. Mereka daboleh berpuasa
dalam safarnya, dan boleh berbuka dan mengqadhanya setelah
berada ditempatnya sebanyak yang ditinggalkannya.
g. Orang sakit
Apabila orang sakit di permulaan puasa atau dipertengahannya, atau
di salah satu hari dari bulan puasa, maka ia boleh berbuka atua tidak
meneruskan puasanya selama ia sakit, dan hendaklah ia mengganti
puasa yang ditinggalkan selama sakitnya.
h. Golongan orang-orang yang tidak sanggup puasa Orang- orang
yang di dolongkan ke dalam golongan orang yang tidak sanggup
puasa ialah:
i. Wanita hamil dan orang yang sedang menyusui anak.
ii. Orang yang sudah sangat tua.
iii. Para pekerja berat.

2. Rukun-rukun Puasa
Rukun adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Jika
rukun ini tidak dialankan, maka tidak sah ibadah tersebut atau batal. Tidak
seperti ibadah-ibadah lain yang banyak rukunnya, puasa cukup ringkas
meskipun pelaksanaannya tentu tidak semudah itu. Rukun puasa hanya ada
dua, yaitu: a. Niat
Niat menjadi rukun dalam puasa, hal tersebut berdasarkan firman Allah
SWT:
“barangsiapa tidak berniat puasa di waktu malam maka tidak ada puasa
baginya (tidak sah).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Berbeda dengan niat pada ibadah-ibadah lain yang pelaksanannya
bersamaan dengan ibadah yang diniatkan, niat puasa boleh dilakukan jauh
sebelumnya, yaitu di malam hari. Waktunya dimulai dari masuk waktu
magrib hingga sebelum terbit fajar.
Namanya niat adanya di dalam hati. Cukup dengan membatin bahwa
besok akan puasa sudah cukup. Niat juaga tidak secara khusus dinyatakan
baik di dalam hati maupun lisan. Jika kita melakukan
sahur untuk puasa besok berarti sahur tersebut sudah merupakan niat
untuk berpuasa.
Niat adalah upaya untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Nabi saw
bersabda:
‫ت َم َ َ’ا ل ِرئ ِل ا مْ ما ن ََوى‬Sَ‫ا ِنيا‬ ‫َا األ ع َمال‬ ‫ََم إ ِن‬
ِ’ ‫ك‬ َ‫وا ن‬
“sesungguhnya segala amalan itu menurut niat dan setiap manusia
memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa syara’ tidak menghargai suatu amal,
melainkan dengan adanya niat, baik niat tersebut dipandang sah amal,
ataupun dipandang menjadi syarat kesempurnaan amal.1
b. Menahan diri
Rukun puasa setelah niat adalah menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa. Seorang yang berpuasa harus menahan diri dari apa-
apa yang dapat merusak puasannya mulai dari terbit fajar sampai dengan
matahari terbenam. Sebelum fajar terbit, yaitu ditandai ditandai dengan
adzan subuh maka seseorang masih boleh makan minim dan lain yang
tidak dibolehkan setelah puasa. Hal yang salah dipahami di sebagian
masyarakat Indonesia adalah waktu imsak. Beberapa masjid dan stasiun
televise menyiarkan waktu imsak kira-kira 5-10 menit sebelum adzan
subuh. Sebagian masyarakat Muslim masih menganggap waktu imsyak
adalah batas akhir seseorang boleh makan minum. Padahal yanga benar
adalah waktu subuh, yaitu ketika terbit fajar sebagaimana yang Allah
firmankan:.
“….Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang
putih dan benang hitam, yaitu fajar…”
Begitu masuk waktu subuh, maka semuanya yang dilarang dalam bepuasa
harus ditinggalkan hingga adzan maghrib berkumandang. Jika hal tersebut
dilakukan, maka batallah puasanya kecuali orang

1
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: 2010), PT Pustaka Rizki Putra, h.65
yang tidak tahu. Seperti seseorang menganggap sudah masuk waktu
maghrib sehingga ia berbuka, padahal waktunya, belum masuk.

3. Macam-macam puasa dan dasar hukumnya


Dalam Islam dikenal ada beberapa macam puasa. Ada puasayang sifatnya
wajib. Puasa ini harus dilaksanakan, kalau tidak maka akan berdosa. Ada pula
sunnah, puasa yang sangat dianjurkan meskipun jika kita tidak melakukannya
tidak mengapa. Berikutnya adalah puasa yang diharamkan, jangan sekali-kali
dikerjakan. Alih-alih ingin mendapatkan pahala, ternyata justru memberikan
dosa. a. Puasa Wajib
1) Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan diwajibkan Allah berdasarkan firman-Nya di dalam
Al-Qur’an

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)
b. Puasa Sunnah
1) Puasa Senin dan Kamis
Puasa hari Senin dan Kamis adalah puasa yang sangat dianjurkan.
Masyarakat Islam di berbagai tempat pun sering melaksanakan ibadah
sunnah satu ini. Rasulullah saw. Bersabda,
“Amal-amal kita dikemukakan kepada Allah pada tiap hari Senin
dan Kamis. Karena itu, aku suka mengemukakan amal-amalku
(pada hari Senin dan Kamis) sedangkan aku berpuasa.” (HR.
Ahmad dari Abu Hurairah).
2) Puasa 6 Hari Bulan Syawal
Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa berpuasa ramadhan kemudian diikuti dengan
enam hari bulan Syawal, maka yang demikian itu sama dengan
berpuasa sepanjang masa.”(HR. Muslim dari Abu Ayyub)
3) Puasa Hari Arafah
Rasulullah saw. bersabda,
“Puasa di hari arafah menutup dosa dan kesalahan selama dua
tahun (yaitu) tahun yang telah lalu dan tahun yang akan
datang.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah)
4) Puasa Pertengahan Bulan
Rasulullah saw. bersabda,
“Puasa tiga hari pada tiap bulan, Ramadhan ke Ramadhan,
itulah puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah)
5) Puasa Dawud (Sehari Puasa Sehari Buka)
Rasulullah saw. bersabda,
“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu puasa Nabi
Dawud dan itulah puasa yang paling utama.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
c. Puasa Haram
1) Puasa Pada Hari-Hari Tertentu
Ada hari-hari tertentu yang Allah mengharamkan kita untuk berpuasa,
yaitu pada hari raya (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha) dan Hari
Tasyrik (tanggal 11,12, dan 13 bulan Dzulhijjah) dalam hadits
dikatakan
“Bahwasannya Rasulullah saw. Melarang berpuasa pada dua
hari raya, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
“hari-hari Tasyrik itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir
kepada Allah.”(HR. Muslim)
2) Puasa Wishal (Terus-Menerus)
Berpuasa secara terus-menerus alias tidak berbuka dan melanjutkan
puasa besok harinya dilarang dalam Islam. Seperti

1
betapa, ngebleng tujuh hari, mutih yaitu tidak makan garam, mati
geni yaitu tidak memakan apa yang dimasak oleh api, ngalong tiga
hari, dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda:
“jauhilah berwishal itu (wishal artinya terus-menerus berpuasa tanpa
berbuka atau makan sahur),” diucapkannya sampai tiga kali. Kata
mereka sahabat nabi, “Tetapi engkau berwishal, wahai
Rasulullah.”Maka beliau saw menjawab, “Engkau tidak sama dengan
aku. Aku bermalam dengan diberi makan dan minum oleh
Tuhanku…” (HR Bukhari dan Muslim)
3) Puasa Ketika Wanita Sedang Haid Atau Nifas
Para fuqaha (ahli ilmu) sependapat bahwa wajib berbuka dan haram
berpuasa atas wanita-wanita yang dalam keadaan haid, dan jika
mereka berpuasa maka puasanya tidak sah dan dianggap batal.
Wanita-wanita dalam keadaan haid tersebut atau nifas wajib
mengqadha puasa sebanyak yang ditinggalkannya. Aisyah berkata:
“Kami sedang haid dimasa Rasulullah, maka kami diperintahkan
mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha sholat.”
4) Puasa Yang Membuat Diri Menjadi Celaka Allah berfirman: “….dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik.”(Al-Baqarah:195)
5) Puasa (Sunnah) Seorang Istri Tanpa Izin Suami
Jika suaminya tidak berada dirumah dan tidak meniggalkan pesan
agar tidak puasa, maka boleh wanita tersebut puasa. Rasulullah saw
bersabda:
“Janganlah seorang wanita berpuasa walau satu haripun, jika
suaminya berada di rumah tanpa izinnya, kecuali puasa Ramadhan.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai puasa wajib, yaitu puasa Ramadhan, maka ada atau
tidak adanya izin suami tidak ada pengaruhnya.
d. Puasa Makruh
Puasa (Sunnah) Hari Jumat Saja Atau Sabtu Saja
Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan puasa di hari jumat ini
berarti larangan makruh, bukan menunjukan haram.
Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya hari jumat itu merupakan hari rayamu, oleh karena itu
janganlah berpuasa pada hari itu kecuali jika kamu berpuasa sebelum
atau sesudahnya.” (HR Ahmad dan Nasa’i) Hadits lainnya yakni:
“Janganlah kamu khususkan puasa pada hari jumat, kecuali jika disertai
oleh satu hari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR Bukhari)
Tentang larangan puasa hari sabtu saja Rasulullah saw
bersabda:
“Janganlah kamu berpuasa (khusus) hari sabtu kecuali yang
diwajibkan atasmu…” (HR Ahmad dan Ashabus Sunan)

Puasa Yang Membuat Diri Menderita


Puasa yang dalam perjalanan jauh atau sakit dengan susah payah
sehingga dapat memudharatkan diri, makruh dilaksanakan. Allah SWT
berfirman:
”…Maka barang siapa di antara kamu sakit atau demam dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak
hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari lain….” (Al-
Baqarah:184)
C. Hal-hal yang Membatalkan puasa
Adapun hal;hal yang dapat membatalkan puasa, sebagai berikut 1.
Membatalkan niat untuk berpuasa
Apabila seseorang membatalkan niatnya untuk berpuasa, maka puasanya
menjadi batal kendati ia tidak makan, minum, karena niat merupaka salah satu
rukun puasa.
2. Makan dan minum dengan sengaja
Yaitu apabila seseorang sedang berpuasa dengan sengaja makan dan
minum, walau dalam jumlah sedikit dengan sengaja, maka puasa orang
tersebut batal. Dan apabila seseorang tersebut lupa makan dan minum (tidak
disengaja) dalam keadaan puasa, maka puasanya tidak batal dan diharuskan
menyempurnakan puasanya. Sebagaimana AdDaruquthni meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw., bersabda yang artinya:
“ Barang siapa lupa ia berpuasa lalu ia makan ;dan minum maka
hendaklah ia sempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah SWT telah
memberi makan dan minum kepadanya.”

3. Bersetubuh
Apabila seseorang bersetubuh di siang hari dalam kedaan berpuasa, maka
puasanya batal dan wajib membayar kaffarat. Apabila seseorang nerusak
puasanya dengan bersetubuh, maka ia wajib membayar kaffarat, yakni
memerdekakan budak, jika tidak sanggup, hendaklah berpuasa dua bulan
berturut-turut, jika tidak sanggup pula, hendaklah memberi makan 60 orang
miskin.
4. Bersetubuh di waktu fajar, karena menyangka belum fajar.
Apabila seseorang menyangka bahwa fajar masih lama, lalu bersetubuh
dan waktu fajar pun masuk atau kedengaran bunyi beduk Subuh, maka ia
wajib menghentikan persetubuhan dengan segera(langsung) tidak boleh ia
teruskan lagi. Jika ia teruskan, berarti ia telah merusak puasanya dengan
sengaja(membatalkan puasanya).
5. Memasukkan makanan ringan dalam perut lewat kerongkongan dengan
sengaja.
Para ulama’ sepakat menetapkan bahwa puasa batal dengan makan dan
minum. Adapun memakan benda yang tidak mengenyangkan (bukan makanan
dan minuman, garam umpamanya), maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa
hal tersebut juga membatalkan puasa.
6. Muntah dengan sengaja
Sebagian Ahli Tahqiq berpendapat bahwa puasa menjadi batal karena
muntah yang disengaja. Hal tersebut bedasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa terpaksa muntah, niscaya tidak ada qhada atasnya.
Barangsiapa sengaja muntah, hendaklah ia menqhadanya.”
7. Melihat bulan.
Apabila seeseorang yang sedang berpuasa, tiba-tiba melihat bulan
Syawal, maka batallah puasanya.
8. Mendapat haid
Wanita tidak boleh berpuasa dalam keadaan haid dan nifas, bahkan haram
dan mengqhada puasanya.
9. Mengeluarkan mani dengan tangan (onani)
Mengeluarkan mani dengan tangan (onani) membatalkan puasa.
Demikian kata sebagian fuqoha. Menurut pendapat sebagian ulama lainnya hal
tersebut tidak membatalkan puasa.
10. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan sengaja.
Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, jika air masuk
ke dalam kerongkongan dengan sengaja, maka batallah puasanya. Allah SWT
berfirman:
“… dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
…” (QS. Al-Ahzab:5)
D. Cara Penentuan Waktu Puasa
Untuk mengetahui kapan waktu puasa (Ramadhan), maka penetapan
waktu puasa Ramadhan ada tiga macam cara, diantaranya adalah : a.
Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan
perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada di atas ufuk berapa pun derajat
tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, dan walaupun hilal tidak dapat
dilihat dengan mata kepala, karena yang penting hilal sudah wujud. Jadi
rukyatul hilal bil fi’li tidak perlu dilakukan dalam penetapan awal atau akhir
bulan.
b. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan imkanur rukyat.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan
perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada pada ketinggian yang mungkin
dirukyat (imkanur rukyat). Pada umumnya, mereka yang berpendapat seperti
ini menetapkan bahwa hilal yang imkan dirukyat minimal berada pada posisi
dua derajat. Oleh karena itu, apabila posisi hilal kurang dari dua derajat tidak
imkan dirukyat dan tidak bisa ditetapkan sebagai awal Ramadhan dan awal
Syawal, sehingga awal ramadhan dan awal Syawal ditetapkan pada hari
berikutnya.
c. Penetapan dengan rukyat bil fi’li.
Artinya awal ramadhan dan awal Syawal harus tetap didasarkan pada
melihat bulan sabit. Hisab hanya berfungsi sebagai pemandu dalam
melakukan rukyat bil fi’li agar rukyat yang dilakukan menjadi efektif.
Sekalipun demikian, tidak setiap syahadah atau rukyat bil fi’li bisa diterima.
Syahadah atau rukyat bil fi’li yang bisa diterima adalah apabila posisi hilal
berada di atas ufuk. Apabila posisi hilal di bawah ufuk, maka harus ditolak.
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa pendapat pertama dan ke dua
dalam menetapkan waktu Ramadhan dengan menggunakan hisab tanpa
melakukan rukyat, sedangkan pendapat ke tiga lebih mengedepankan rukyat
bil fi’li, sehingga wakru puasa (awal ramadhan) baru bisa ditetapkan setelah
melakukan rukyatul hilal pada malam 30
Sya’ban dan 30 Ramadhan. Apabila hilal dapat di-rukyat sekalipun kurang
dari dua derajat maka awal Ramadhan dapat ditetapkan. Dan kalau tidak
berhasil dirukyat maka ditetapkan hari berikutnya dengan cara istikmal
(menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari).
E. Persoalan-persoalan yang terkait dalam pelaksanaan ibadah Puasa
1. Mengeluarkan darah dalam jumlah besar
Jika darah yang dikeluarkan berakibat seperti pada bekam, fisik melemah
dan membutuhkan nutrisi, maka hukumnya sama seperti hukum hijamah
(bekam). Tetapi jika keluar tanpa kehendak, seperti terluka kemudian
mengeluarkan banyak darah maka tidaklah mengapa karena terjadi di luar
kehendak.
2. Istimna (onani)
Seseorang yang melakukan Istimna puasanya batal, karena seseorang
tersebut tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukan onani, karena hal itu
haram, sebagaimana firman Allah -ta'âla-:

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap


isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; sungguh mereka dalam
hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka
itulah orangorang yang melampaui batas. (QS. Al- Mukminun; 5-7)
Dan karena Nabi saw bersabda:
"Wahai para pemuda, siapa yang sangkup dari kalian al-ba'ah (memberi
nafkah batin) hendaknya menikah, karena ia lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika tidak sanggup, hendaknya
berpuasa."
Jika istimna (onani) dibolehkan, sungguh Nabi -shalallahu alaihi
wasalamsudah akan menganjurkannya, karena hal itu lebih mudah untuk
dilakukan dan dapat mengurangi syahwatnya, berbeda dengan puasa yang
padanya ada beban. Ketika Nabi -shalallahu alaihi wasalammengalihkannya
kepada puasa, itu menunjukkan bahwa onani tidak dibolehkan.
3. berpuasa tetapi tidak shalat di bulan Ramadhan
Mereka yang berpuasa tetapi tidak shalat, puasanya tidak bermanfaat
baginya, tidak diterima dan tidak melepaskannya dari kewajiban. Bahkan dia
tidak termasuk yang terbebani untuk berpuasa, karena orang yang tidak shalat
seperti orang yahudi dan Nasrani. Apa pendapatmu mengenai orang Yahudi
atau Nasrani yang berpuasa, apakah diterima puasanya?! Tentu tidak. Oleh
karena itu kita katakan kepada orang tersebut: "Bertaubatlah kepada Allah
dengan mengerjakan shalat dan berpuasa."Siapa yang bertaubat Allah terima
taubatnya.
4. Penyempurnakan bilangan hari di bulan Syaban maupun hari di bulan
Ramadhan.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau
melihat hilal awal Syawal maka berbukalah."

Nabi -shalallahu alaihi wasalam- tidak mungkin mengaitkan sesuatu


kepada yang mustahil. Jika mungkin bagi kita melihat hilal awal bulan
Ramadhan, maka sangat mungkin juga kita dapat melihat hilal awal bulan
yang lain. Penyempurnakan bilangan Syaban menjadi 30 hari demikian juga
pada Ramadhan adalah benar jika langit tertutup dan hilal tidak dapat terlihat
karena terhalangi awan, kabut atau semacamnya. Pada saat seperti itu kita
menyempurnakan bilangan hari menjadi 30, baru kemudian kita berpuasa,
termasuk menyempurnakan bilangan hari Ramadhan menjadi 30 lalu kita
berbuka. Demikianlah hadits yang disampaikan Rasulullah SAW :
"Berpuasalah jika kalian melihatnya (hilal awal Ramadhan), dan berbukalah
jika kalian melihatnya (hilal awal Syawal). Jika langit tertutupi mendung,
maka genapilah menjadi 30 hari." Dalam hadits yang lain:
"Sempurnakanlah jumlah hari menjadi 30."
Atas dasar inilah jika pada malam ke-30 Ramadhan orang-orang yang
mengamati hilal tidak melihatnya, mereka menyempurnakan bilangan hari
Ramadhan menjadi 30 hari.
5. Ghibah (bergunjing) dan Namimah (adu domba) di siang Ramadhan Ghibah
(bergunjing) dan namimah (adu domba) tidak membatalkan
puasa, akan tetapi mengurangi pahala puasa. Allah -ta'âla- berfirman: "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-
Baqarah: 183)
Dan sabda Nabi Muhammad saw: "Siapa yang tidak meninggalkan
perkataan zur (keji) dan perbuatannya serta kebodohan, Allah tidak butuh
pada makan dan minum yang ditinggalkannya."
6. Siwak bagi orang yang puasa
Penggunaan siwak bagi orang yang puasa sebelum matahari tergelincir
dan setelahnya merupakan sunah sebagaimana pada waktu- waktu yang lain.
Karena hadits-hadits penggunaan siwak umum tanpa ada pengecualian,
sebelum atau setelah matahari tergelincir.
Nabi Muhammad saw bersabda:
"Siwak menyucikan mulut dan disukai Allah..." Sabda
Rasulullah saw yang lain:
"Seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku
akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat."
SIMPULAN
• Dalam istilah syariat Islam, puasa atau shaum berarti suatu bentuk ibadah berupa
menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dan hal-hal lain yang
membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan syarat-
syarat tertentu serta niat mencari ridha Allah.
• Syarat-syarat sah puasa
a. Tetap dalam islam sepanjang hari
b. Suci dari Haid, Nifas, dan Wiladah
c. Tamyiz
d. Berpuasa pada waktunya Syarat wajib tersebut adalah:
a. Islam
b. Baligh (sampai umur)
c. Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau perempuan
d. Suci dari haid dan nifas bagi perumpuan
e. Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir
f. Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang sakit
• Rukun puasa:
a. Niat
b. Menahan diri
• Macam-macam puasa:
a. Puasa Wajib
b. Puasa Sunnah
c. Puasa Haram
d. Puasa Makruh
• Adapun hal;hal yang dapat membatalkan puasa, sebagai berikut
a. Membatalkan niat untuk berpuasa
b. Makan dan minum dengan sengaja
c. Bersetubuh
d. Bersetubuh di waktu fajar, karena menyangka belum fajar.
e. Memasukkan makanan ringan dalam perut lewat kerongkongan dengan
sengaja.
f. Muntah dengan sengaja
g. Melihat bulan.
h. Mendapat haid
i. Mengeluarkan mani dengan tangan (onani)
j. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan sengaja
• Cara Penentuan Waktu Puasa
Untuk mengetahui kapan waktu puasa (Ramadhan), maka penetapan
waktu puasa Ramadhan ada tiga macam cara, diantaranya adalah : a.
Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.
b. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan imkanur rukyat.
c. Penetapan dengan rukyat bil fi’li
• Persoalan-persoalan yang terkait dalam pelaksanaan ibadah Puasa ialah
a. Mengeluarkan darah dalam jumlah besar
b. Istimna (onani)
c. berpuasa tetapi tidak shalat di bulan Ramadhan
d. Penyempurnakan bilangan hari di bulan Syaban maupun hari di bulan
Ramadhan.
e. Ghibah (bergunjing) dan Namimah (adu domba) di siang Ramadhan
f. Siwak bagi orang yang puasa

III. PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami buat, yang menjelaskan mengenai hal-hal
tentang puasa. Sehingga memberikan pengetahuan baru bagi kita. Tentunya kami
menyadari masih banyak kekurangan dari penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya,
dan semoga makalah ini dapat diambil hikmahnya dan dapat bermanfaat bagi
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

2
Ash-Shiddieqy, Hasbi, 2009, Pedoman Puasa, Jakarta: Pustaka Rizki Putra. Faridl,

Miftah, 2007, Puasa Ibadah Kaya Makna, Jakarta: GEMA INSANI.S

http://derisuyatma.wordpress.com/tag/cara-penetapan-awal-akhir-ramadhan/,

Diakses pada tanggal 15/04/2013 pukul 09.40 WIB.

Anda mungkin juga menyukai