PUASA
Disusun Oleh :
NAMA : VIKRAN
NPM 162001097
KELAS : D
FAKULTAS EKONOMI
BAUBAU
2021
I. PENDAHULUAN
Saum atau puasa dalam islam (Arab: )ص*ومsecara bahasa artinya menahan atau
mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum
serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah
terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang
muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
183.
Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Terdapat puasa wajib dan
puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama. Perintah berpuasa dari Allah terdapat
dalam Al-Quran di surat Al-Baqarah ayat 183.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa” (QS. Al- Baqarah: 183)
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai puasa baik dasar
hukum puasa, syarat, rukun puasa, macam-macam puasa dan mengenai persoalan-
pesoalan aktual mengenai puasa, semoga apa yang ada dalam makalah ini bisa
menambah wawasanyang baru bagi pembaca.
Amiin…
II. PEMBAHASAN
A. Landasan hukum dalam puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut ash-Shiyaam yang berarti imsak atau menahan
diri. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’an dalam surah Maryam ayat 26
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat
seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Orang yang diam tidak berbicara disebut shaa’im, artinya ia sedang
menahan diri dari perkataan. Kuda yang mengekang diri dari makanan pun
dikatakan berpuasa. Dalam istilah syariat Islam, puasa atau shaum berarti
1
suatu bentuk ibadah berupa menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dan
hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari
dengan syarat-syarat tertentu serta niat mencari ridha Allah.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Di awal surat tersebut yang diseru adalah orang-orang yang beriman.
Artinya, orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Rasulullah
saw, berarti wajib menjalankan puasa. Ringkasnya, yang wajib berpuasa adalah
orang beragama Islam, orang kafir tidak wajib. Orang kafir jika melaksanakan
puasa, maka tidak sah puasannya. Bolehboleh saja ia berpuasa, tapi di mata Allah
tidak bernilai puasanya. Ia tidak akan mendapatkan pahala dari puasannya.ia
hanya mendapatkan keuntungan duniawi saja, misalnya badan menjadi sehat,
tubuh menjadi langsing atau berat berkurang.
B. Syarat, Rukun, Macam-macam dan dasar hukum puasa
1. Syarat-syarat Puasa
Pada dasarnya syarat puasa hampir sama dengan syarat wajib puasa. Jika
syarat wajib puasa lebih kepada kondisi seseorang secara keseluruhan, maka
syarat syah adalah kondisi ketika akan melakukan puasa. Secara garis besar
terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan sahnya puasa
Ramadhan. a. Syarat-syarat sah puasa
1) Tetap dalam islam sepanjang hari
Apabila seorang kafir, baik asli atau kafir murtad berniat puasa,
tidaklah sah puasanya. Apabila seorang muslim yang sedang berpuasa
menjadi murtad karena mencela agama Islam, atau mengingkari suatu
hukum Islam yang di ijma’kan (disepakati) oleh umat atau mengerjakan
sesuatu yang merupakan peenghinaan bagi Al-Qur’an atau memaki
seorang Nabi, niscaya keluarlah ia dari Islam dan batallah puasanya.
Karena puasa
adalah ibadah islamiyah, maka tidak sah dilakukan oleh orang yang
bukan Islam.
2) Suci dari Haid, Nifas, dan Wiladah
Wanita yang sedang haid, nifas, dan bersalin (wiladah), ketika
sedang berpuasa, maka batallah puasanya seketika, baik darah haid
yang keluar ituu banyak ataupun sedikit. Baik anak yang lahir tersebut
itu sempurna, ataupun hanya berupa segumpal darah atau daging.
3) Tamyiz
Tamyiz adalah orang yang dapat membedakan antara yang baik
dan yang tidak baik. Orang gila apabila berniat berpuasa, tidaklah sah
puasannya, karena puasa adalah suatu ibadah. Orang gila dipandang
tidak mampu beribadah. Apabila seseorang yang sedang berpuasa,
kemudian menjadi gila di tengah-tengah hari, walaupun sebentar, maka
batallah puasannya. Orang yang pinsan dan mabuk, batal puasannya
jika pinsan atau mabuk tersebut sepanjang hari. Jika pinsan atau mabuk
itu tidak sepanjang hari, maka dipandang sah puasannya. Dimaksudkan
dengan tamyiz di sini, ialah tamyiz dalam pandangan hukum.
Karenanya sah puasa orang tidur seepanjang hari lantaran mumayyiz, ia
sadar kalau ia bangun.
4) Berpuasa pada waktunya
Puasa harus dilakukan pada waktu yang tepat karena puasa tidak
akan sah jika dikerjakan pada waktu-waktu yang tidak dibenarkan
berpuasa, seperti pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari
Tasyriq. Syarat-syarat tersebut berlaku pula untuk puasa-puasa yang
lain, baik fardhu, qadha, nadzar ataupun puasa sunah, seperti puasa
Arofah, Asyura dan lain-lain.
b. Syarat-syarat wajib puasa
1) Orang-orang yang wajib puasa
Seseorang yang akan melakukan puasa mempunyai syarat wajib
yang haris dipenuhi. Syarat wajib tersebut adalah: a) Islam
b) Baligh (sampai umur)
c) Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau
perempuan
d) Suci dari haid dan nifas bagi perumpuan
e) Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir
f) Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang
lemah dan orang sakit
Apabila seorang muslim memenuhi syarat-syarat wajib tersebut, maka
wajiblah ia berpuasa, dan berdosa apabila dia meninggalkannya.
2) Orang-orang yang tidak wajib berpuasa
a. Orang kafir
Jika seseorang adalah kafir asli, mempunyai orang tua yang
kafir, besar dalam kekafiran, maka orang tersebut tidak wajib
melaksanakan puasa. Dan untuk dapat diteerima puasannya, dia
harus terlebih dahulu memeluk agama Islam.
2. Rukun-rukun Puasa
Rukun adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Jika
rukun ini tidak dialankan, maka tidak sah ibadah tersebut atau batal. Tidak
seperti ibadah-ibadah lain yang banyak rukunnya, puasa cukup ringkas
meskipun pelaksanaannya tentu tidak semudah itu. Rukun puasa hanya ada
dua, yaitu: a. Niat
Niat menjadi rukun dalam puasa, hal tersebut berdasarkan firman Allah
SWT:
“barangsiapa tidak berniat puasa di waktu malam maka tidak ada puasa
baginya (tidak sah).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Berbeda dengan niat pada ibadah-ibadah lain yang pelaksanannya
bersamaan dengan ibadah yang diniatkan, niat puasa boleh dilakukan jauh
sebelumnya, yaitu di malam hari. Waktunya dimulai dari masuk waktu
magrib hingga sebelum terbit fajar.
Namanya niat adanya di dalam hati. Cukup dengan membatin bahwa
besok akan puasa sudah cukup. Niat juaga tidak secara khusus dinyatakan
baik di dalam hati maupun lisan. Jika kita melakukan
sahur untuk puasa besok berarti sahur tersebut sudah merupakan niat
untuk berpuasa.
Niat adalah upaya untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Nabi saw
bersabda:
ت َم َ َ’ا ل ِرئ ِل ا مْ ما ن ََوىSَا ِنيا َا األ ع َمال ََم إ ِن
ِ’ ك َوا ن
“sesungguhnya segala amalan itu menurut niat dan setiap manusia
memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa syara’ tidak menghargai suatu amal,
melainkan dengan adanya niat, baik niat tersebut dipandang sah amal,
ataupun dipandang menjadi syarat kesempurnaan amal.1
b. Menahan diri
Rukun puasa setelah niat adalah menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa. Seorang yang berpuasa harus menahan diri dari apa-
apa yang dapat merusak puasannya mulai dari terbit fajar sampai dengan
matahari terbenam. Sebelum fajar terbit, yaitu ditandai ditandai dengan
adzan subuh maka seseorang masih boleh makan minim dan lain yang
tidak dibolehkan setelah puasa. Hal yang salah dipahami di sebagian
masyarakat Indonesia adalah waktu imsak. Beberapa masjid dan stasiun
televise menyiarkan waktu imsak kira-kira 5-10 menit sebelum adzan
subuh. Sebagian masyarakat Muslim masih menganggap waktu imsyak
adalah batas akhir seseorang boleh makan minum. Padahal yanga benar
adalah waktu subuh, yaitu ketika terbit fajar sebagaimana yang Allah
firmankan:.
“….Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang
putih dan benang hitam, yaitu fajar…”
Begitu masuk waktu subuh, maka semuanya yang dilarang dalam bepuasa
harus ditinggalkan hingga adzan maghrib berkumandang. Jika hal tersebut
dilakukan, maka batallah puasanya kecuali orang
1
Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: 2010), PT Pustaka Rizki Putra, h.65
yang tidak tahu. Seperti seseorang menganggap sudah masuk waktu
maghrib sehingga ia berbuka, padahal waktunya, belum masuk.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)
b. Puasa Sunnah
1) Puasa Senin dan Kamis
Puasa hari Senin dan Kamis adalah puasa yang sangat dianjurkan.
Masyarakat Islam di berbagai tempat pun sering melaksanakan ibadah
sunnah satu ini. Rasulullah saw. Bersabda,
“Amal-amal kita dikemukakan kepada Allah pada tiap hari Senin
dan Kamis. Karena itu, aku suka mengemukakan amal-amalku
(pada hari Senin dan Kamis) sedangkan aku berpuasa.” (HR.
Ahmad dari Abu Hurairah).
2) Puasa 6 Hari Bulan Syawal
Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa berpuasa ramadhan kemudian diikuti dengan
enam hari bulan Syawal, maka yang demikian itu sama dengan
berpuasa sepanjang masa.”(HR. Muslim dari Abu Ayyub)
3) Puasa Hari Arafah
Rasulullah saw. bersabda,
“Puasa di hari arafah menutup dosa dan kesalahan selama dua
tahun (yaitu) tahun yang telah lalu dan tahun yang akan
datang.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah)
4) Puasa Pertengahan Bulan
Rasulullah saw. bersabda,
“Puasa tiga hari pada tiap bulan, Ramadhan ke Ramadhan,
itulah puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah)
5) Puasa Dawud (Sehari Puasa Sehari Buka)
Rasulullah saw. bersabda,
“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu puasa Nabi
Dawud dan itulah puasa yang paling utama.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
c. Puasa Haram
1) Puasa Pada Hari-Hari Tertentu
Ada hari-hari tertentu yang Allah mengharamkan kita untuk berpuasa,
yaitu pada hari raya (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha) dan Hari
Tasyrik (tanggal 11,12, dan 13 bulan Dzulhijjah) dalam hadits
dikatakan
“Bahwasannya Rasulullah saw. Melarang berpuasa pada dua
hari raya, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
“hari-hari Tasyrik itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir
kepada Allah.”(HR. Muslim)
2) Puasa Wishal (Terus-Menerus)
Berpuasa secara terus-menerus alias tidak berbuka dan melanjutkan
puasa besok harinya dilarang dalam Islam. Seperti
1
betapa, ngebleng tujuh hari, mutih yaitu tidak makan garam, mati
geni yaitu tidak memakan apa yang dimasak oleh api, ngalong tiga
hari, dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda:
“jauhilah berwishal itu (wishal artinya terus-menerus berpuasa tanpa
berbuka atau makan sahur),” diucapkannya sampai tiga kali. Kata
mereka sahabat nabi, “Tetapi engkau berwishal, wahai
Rasulullah.”Maka beliau saw menjawab, “Engkau tidak sama dengan
aku. Aku bermalam dengan diberi makan dan minum oleh
Tuhanku…” (HR Bukhari dan Muslim)
3) Puasa Ketika Wanita Sedang Haid Atau Nifas
Para fuqaha (ahli ilmu) sependapat bahwa wajib berbuka dan haram
berpuasa atas wanita-wanita yang dalam keadaan haid, dan jika
mereka berpuasa maka puasanya tidak sah dan dianggap batal.
Wanita-wanita dalam keadaan haid tersebut atau nifas wajib
mengqadha puasa sebanyak yang ditinggalkannya. Aisyah berkata:
“Kami sedang haid dimasa Rasulullah, maka kami diperintahkan
mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha sholat.”
4) Puasa Yang Membuat Diri Menjadi Celaka Allah berfirman: “….dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik.”(Al-Baqarah:195)
5) Puasa (Sunnah) Seorang Istri Tanpa Izin Suami
Jika suaminya tidak berada dirumah dan tidak meniggalkan pesan
agar tidak puasa, maka boleh wanita tersebut puasa. Rasulullah saw
bersabda:
“Janganlah seorang wanita berpuasa walau satu haripun, jika
suaminya berada di rumah tanpa izinnya, kecuali puasa Ramadhan.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai puasa wajib, yaitu puasa Ramadhan, maka ada atau
tidak adanya izin suami tidak ada pengaruhnya.
d. Puasa Makruh
Puasa (Sunnah) Hari Jumat Saja Atau Sabtu Saja
Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan puasa di hari jumat ini
berarti larangan makruh, bukan menunjukan haram.
Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya hari jumat itu merupakan hari rayamu, oleh karena itu
janganlah berpuasa pada hari itu kecuali jika kamu berpuasa sebelum
atau sesudahnya.” (HR Ahmad dan Nasa’i) Hadits lainnya yakni:
“Janganlah kamu khususkan puasa pada hari jumat, kecuali jika disertai
oleh satu hari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR Bukhari)
Tentang larangan puasa hari sabtu saja Rasulullah saw
bersabda:
“Janganlah kamu berpuasa (khusus) hari sabtu kecuali yang
diwajibkan atasmu…” (HR Ahmad dan Ashabus Sunan)
3. Bersetubuh
Apabila seseorang bersetubuh di siang hari dalam kedaan berpuasa, maka
puasanya batal dan wajib membayar kaffarat. Apabila seseorang nerusak
puasanya dengan bersetubuh, maka ia wajib membayar kaffarat, yakni
memerdekakan budak, jika tidak sanggup, hendaklah berpuasa dua bulan
berturut-turut, jika tidak sanggup pula, hendaklah memberi makan 60 orang
miskin.
4. Bersetubuh di waktu fajar, karena menyangka belum fajar.
Apabila seseorang menyangka bahwa fajar masih lama, lalu bersetubuh
dan waktu fajar pun masuk atau kedengaran bunyi beduk Subuh, maka ia
wajib menghentikan persetubuhan dengan segera(langsung) tidak boleh ia
teruskan lagi. Jika ia teruskan, berarti ia telah merusak puasanya dengan
sengaja(membatalkan puasanya).
5. Memasukkan makanan ringan dalam perut lewat kerongkongan dengan
sengaja.
Para ulama’ sepakat menetapkan bahwa puasa batal dengan makan dan
minum. Adapun memakan benda yang tidak mengenyangkan (bukan makanan
dan minuman, garam umpamanya), maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa
hal tersebut juga membatalkan puasa.
6. Muntah dengan sengaja
Sebagian Ahli Tahqiq berpendapat bahwa puasa menjadi batal karena
muntah yang disengaja. Hal tersebut bedasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa terpaksa muntah, niscaya tidak ada qhada atasnya.
Barangsiapa sengaja muntah, hendaklah ia menqhadanya.”
7. Melihat bulan.
Apabila seeseorang yang sedang berpuasa, tiba-tiba melihat bulan
Syawal, maka batallah puasanya.
8. Mendapat haid
Wanita tidak boleh berpuasa dalam keadaan haid dan nifas, bahkan haram
dan mengqhada puasanya.
9. Mengeluarkan mani dengan tangan (onani)
Mengeluarkan mani dengan tangan (onani) membatalkan puasa.
Demikian kata sebagian fuqoha. Menurut pendapat sebagian ulama lainnya hal
tersebut tidak membatalkan puasa.
10. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan sengaja.
Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, jika air masuk
ke dalam kerongkongan dengan sengaja, maka batallah puasanya. Allah SWT
berfirman:
“… dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
…” (QS. Al-Ahzab:5)
D. Cara Penentuan Waktu Puasa
Untuk mengetahui kapan waktu puasa (Ramadhan), maka penetapan
waktu puasa Ramadhan ada tiga macam cara, diantaranya adalah : a.
Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan
perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada di atas ufuk berapa pun derajat
tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, dan walaupun hilal tidak dapat
dilihat dengan mata kepala, karena yang penting hilal sudah wujud. Jadi
rukyatul hilal bil fi’li tidak perlu dilakukan dalam penetapan awal atau akhir
bulan.
b. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan imkanur rukyat.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan
perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada pada ketinggian yang mungkin
dirukyat (imkanur rukyat). Pada umumnya, mereka yang berpendapat seperti
ini menetapkan bahwa hilal yang imkan dirukyat minimal berada pada posisi
dua derajat. Oleh karena itu, apabila posisi hilal kurang dari dua derajat tidak
imkan dirukyat dan tidak bisa ditetapkan sebagai awal Ramadhan dan awal
Syawal, sehingga awal ramadhan dan awal Syawal ditetapkan pada hari
berikutnya.
c. Penetapan dengan rukyat bil fi’li.
Artinya awal ramadhan dan awal Syawal harus tetap didasarkan pada
melihat bulan sabit. Hisab hanya berfungsi sebagai pemandu dalam
melakukan rukyat bil fi’li agar rukyat yang dilakukan menjadi efektif.
Sekalipun demikian, tidak setiap syahadah atau rukyat bil fi’li bisa diterima.
Syahadah atau rukyat bil fi’li yang bisa diterima adalah apabila posisi hilal
berada di atas ufuk. Apabila posisi hilal di bawah ufuk, maka harus ditolak.
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa pendapat pertama dan ke dua
dalam menetapkan waktu Ramadhan dengan menggunakan hisab tanpa
melakukan rukyat, sedangkan pendapat ke tiga lebih mengedepankan rukyat
bil fi’li, sehingga wakru puasa (awal ramadhan) baru bisa ditetapkan setelah
melakukan rukyatul hilal pada malam 30
Sya’ban dan 30 Ramadhan. Apabila hilal dapat di-rukyat sekalipun kurang
dari dua derajat maka awal Ramadhan dapat ditetapkan. Dan kalau tidak
berhasil dirukyat maka ditetapkan hari berikutnya dengan cara istikmal
(menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari).
E. Persoalan-persoalan yang terkait dalam pelaksanaan ibadah Puasa
1. Mengeluarkan darah dalam jumlah besar
Jika darah yang dikeluarkan berakibat seperti pada bekam, fisik melemah
dan membutuhkan nutrisi, maka hukumnya sama seperti hukum hijamah
(bekam). Tetapi jika keluar tanpa kehendak, seperti terluka kemudian
mengeluarkan banyak darah maka tidaklah mengapa karena terjadi di luar
kehendak.
2. Istimna (onani)
Seseorang yang melakukan Istimna puasanya batal, karena seseorang
tersebut tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukan onani, karena hal itu
haram, sebagaimana firman Allah -ta'âla-:
III. PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami buat, yang menjelaskan mengenai hal-hal
tentang puasa. Sehingga memberikan pengetahuan baru bagi kita. Tentunya kami
menyadari masih banyak kekurangan dari penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya,
dan semoga makalah ini dapat diambil hikmahnya dan dapat bermanfaat bagi
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
2
Ash-Shiddieqy, Hasbi, 2009, Pedoman Puasa, Jakarta: Pustaka Rizki Putra. Faridl,
http://derisuyatma.wordpress.com/tag/cara-penetapan-awal-akhir-ramadhan/,