Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PUASA RAMADHAN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam


Dosen : Dra. Nur Asyiah Siregar, M.Pd.I.

DISUSUN OLEH:

RENA PUTRI FEBRIANTI

Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan


PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS AL WASHLIYAH

i
Tahun Akademik 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
Pendidikan Agama Islam “ Puasa ” ini untuk melengkapi tugas dalam
pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Islam Universitas Al Washliyah.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai


pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT yang mencurahkan rahmat dan petunjukNya, sehingga penulis


dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
2. Ibu Dra. Nur Asyiah Siregar, M.Pd.I. yang telah memberi tugas dan
bimbingan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu penulis.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menulis makalah ini


dengan harapan dapat memberi manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang
membangun sangat dibutuhkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih dan berharap semoga Allah memberikan
imbalan yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan, serta
menjadikan ini sebagai ibadah. Amin yaa Rabb.

Medan,19 Oktober 2022

Rena Putri Febrianti

ii
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

A. Pengertian Puasa ............................................................................... 2


B. Rukun Puasa Dan Syarat Puasa........................................................... 2
C. Macam-Macam Puasa ........................................................................ 5
D. Hal Yang Disunnahkan Saat Puasa ...................................................... 9
E. Hal Yang Membolehkan Pembatalan Puasa ...................................... 10
F. Hal Yang Membatalkan Puasa. .......................................................... 12

BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................................13


A. Kesimpulan ..........................................................................................1
3
B. Penutup ...............................................................................................1
3

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alhamdulillah Hirobbil Alamin kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga kami kelompok 5 dapat
menyelesaikan makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Puasa” dengan
baik dan lancar. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun, sehingga tugas ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat
bagi para pembaca.

Pentingnya pembahasan mengenai bab Puasa adalah yang Pertama, sebagai


salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki
bagi kita. Kedua, sebagai perisai diri dari nafsu dan amarah. Ketiga, puasa juga
bisa digunakan untuk menjaga kesehatan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian puasa ?


2. Apa saja rukun dan syarat puasa?
3. Apa saja macam-macam puasa?
4. Hal apa saja yang disunnahkan dalam puasa?
5. Hal apa saja yang membolehkan pembatalan puasa?
6. Hal apa saja yang dapat membatalkan dan tidak membatalkan puasa?

C. Tujuan Pembahasan

1. Ingin memahami pengertian puasa.


2. Ingin memahami rukun dan syarat puasa.
3. Ingin memahami macam-macam puasa.
4. Ingin memahami apa saja yang disunnahkan saat puasa.
5. Ingin memahami apa saja yang membolehkan pembatalan puasa.
6. Ingin memahami hal yang membatalkan dan tidak membatalkan puasa.

1
BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Puasa
Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff) dari
sesuatu. Misalnya, dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan dari berbicara.
Allah SWT berfirman sebagai pemberitahuan tentang kisah Maryam:

َ ‫إنِ ِّي ن َذ ۡرتُ للَِّ َّر ۡح ٰ َم ِن‬


ِ ِ‫ص ۡو ٗما فلَ ۡنَ أ َُكل َّم ۡٱلي ۡ َو َم إن‬
...٢ ‫س ٗي ا‬
“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah...”(Q.S. Maryam : 26)
Maksutnya, diam dan menahan diri dari berbicara. Orang Arab lazim
mengatakan, “shama an-nahar”, maksutnya perjalanan matahari berhenti pada
batas pertengahan siang.

Adapun menurut syarak (syara’), puasa berarti menahan diri dari hal-hal
yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada
siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.

Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan
(fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta
menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau
sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak
terbit fajar sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak
melakukannya, yaitu orang Muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang
nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk
mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah
membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.

2. Apa Saja Rukun dan Syarat Puasa


1. Rukun puasa
Ialah menahan diri dari dua macam syahwat, yakni syahwat
perut dan syahwat kemaluan. Maksudnya, menahan diri dari segala
sesuatu yang membatalkannya.
Dalam buku Fiqh Islam disebutkan ada 2 rukun puasa, yaitu:

a. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan.


Yang dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya.

2
Sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum


fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (Riwayat
Lima Orang Ahli Hadis)

Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal


sebelum zawal (matahari condong ke barat).

b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar


sampai terbenam matahari.

2. Syarat - Syarat Puasa

a. Syarat Wajib Puasa

1) Baligh
Puasa tidak diwajibkan atas anak kecil. Akan tetapi, puasa
yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayiz, hukumannya
sah, seperti halnya sholat. Wali anak tersebut, menurut
mazhab Syafi’i, Hanafi, dan hanbali, wajib menyuruhnya
berpuasa ketika dia telah berpuasa tujuh tahun. Dan jika anak
kecil itu tidak mau berpuasa, walinya wajib memukulnya ketika
di atelah berusia sepuluh tahun. Hal itu dimaksudkan agar dia
menjadi terbiasa dengan puasa, seperti halnya sholat. Kecuali,
terkadang seseorang mampu melakukan sholat, tetapi belum
tentu mampu berpuasa.Sabda Rasulullah SAW :
“Tiga orang terlepas dari hukum (a) orang yang sedang
tidur hingga ia bangun, (b) ornag gila sampai ia sembuh, (c)
kanak-kanan sampai ia balig.” (Riwayat Abu
Dawud dan Nasai)

2) Berakal
Puasa tidak wajib dilakukan oleh orang gila, orang pingsan
dan orang-orang mabuk, karena mereka tidak dikenai khithab
taklifiy; mereka tidak berhak berpuasa.

Pendapat ini dipahami dari Hadis Nabi SAW berikut:

3
Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil sampai dia
dewasa, dari orang gila sampai dia sadar, dan dari orang tidur
sampai dia terjaga.
Orang yang akalnya (ingatannya) hilang tidak dikenai
kewajiban berpuasa. Dengan demikian, puasa yang dilakukan
oleh orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk tidak sah. Sebab,
mereka tidak berkemungkinan untuk melakukan niat.

3) Mampu (Sehat) dan Berada di Tempat Tinggal (Iqamah)

Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit. Walaupun


demikian mereka wajib mengqadhanya. Kewajiban mengqadha
puasa bagi keduanya ini telah disepakati oleh para ulama. Tetapi
jika keduanya ternyata berpuasa, puasanya dipandang sah.
Dalilnya ialah ayat berikut:
َِّ ‫أخ َٖۚر َوعَل َى‬
َ‫ذين‬TT‫ٱل‬ َُ ‫ا َّ ٍم‬TTَ‫فر ف َِعدَّة ِّم ۡن أي‬
َٖ TT‫س‬
َ ‫َلى‬
ََٰ ‫أو ع‬ َۡ ‫ا‬TT‫يض‬ ٖ ‫ دُو ٰ َد‬TT‫ ا َّم ۡع‬TT‫أيَا َّ ٗم‬
ً ‫انَ ِمن ُكم َّم ِر‬TT‫ٖۚت ف َمن َك‬
ُ‫ط ََّو َع َخ ۡي ٗرا ف َُه َُو َخ ۡير ل ٖۚهَّۥه‬
ۡ ٖ ‫يُطُِيق ُون ۥ َههُ فِ ۡديةَ ط َعَا ُم ِم ۡس ِك‬
َ ‫ٖۖين ف َمن ت‬
ۡ ۡ َُّ
١٨٤ َ‫َوأنَ تَ ُصَُو ُمو ْا َخ ۡير لكمۡ ِإن ُكنتُ ُۡم ت َعلمَُون‬

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa


diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada harihari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
(Q.S. Al-Baqarah: 184)

b. Syarat Sah Puasa

1) Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa.

2) Mumayiz (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak


baik).

4
3) Suci dari darah haid (kotoran) dan nifas (darah sehabis
melahirkan).
Orang yang haid atau nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi
keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang

tertinggal itu secukupnya.Dari Aisyah. Ia berkata, “kami disuruh


oleh Rasulullah SAW mengqada puasa dan tidak disuruhnya
mengqada salat,” (Riwayat Bukhari)

4) Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya.Dilarang


puasa pada dua hari raya dan hari Tasyrik (tanggal 11-12-13
bulan Haji).
Dari Anas, “Nabi SAW telah melarang berpuasa lima hari
dalam satu tahun; (a) Hari Raya Idul Fitri, (b) Hari Raya Haji, (c)
tiga hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 bulan Haji).” (Riwayat
Daruqutni)

3. Macam macam Puasa


Puasa banyak macamnya; puasa-wajib, puasa sunah (tathawwu), puasa yang
diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan.
1. Puasa-Wajib
Puasa jenis ini terdiri dari tiga macam :

a. Puasa yang diwajibkan karena waktu tertentu, yakni puasa pada


bulan ramadan,
b. Puasa yang diwajibkan karena suatu sebab (‘illat), yakni puasa
kafarat, dan

c. Puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa


kepada dirinya sendiri, yakni puasa nazar.

2. Puasa-Haram
Puasa jenis ini ialah sebagai berikut :

a. Puasa sunnah (nafilah) seorang perempuan yang dilakukan


tanpa izin suaminya. Kecuali, jika suaminya tidak
memerlukannya.

5
b. Puasa pada hari yang diragukan (yaumus-sakk). Yakni, puasa
pada hari ketiga puluh bulan Syakban, ketika orang-orang
meragukan bahwa hari itu termasuk bulan Ramadan.
Dengan demikian, puasa yang dilakukan sehari atau dua
hari sebelum Ramadan, hukumnya makruh.

Menurut mazhab Maliki yang masyhur, puasa syak


terjadi pada tanggal 30 Syakban ketika langit pada malam itu
(tanggal tiga puluh) dalam keadaan mendung, sehingga hilal
tidak bisa terlihat. Jika langit cerah, hari syak tidak ada.

Disebut juga hari syak jika hilal disaksikan oleh


seseorang yang kesaksiannya tidak diterima, seperti hamba
sahaya, perempuan, atau orang fasik. Sedangkan, jika langit
dalam keadaan mendung hari itu dipandang masih termasuk
bulan Syakban hal demikian ini didasarkan atas hadis yang
terdapat dalam kita Ash-Shahihain berikut:

“Jika langit mendung di atas kalian, maka


sempurnakanlah bilangan bulan Syakan sebanyak tiga puluh
hari.”

Puasa hari syak yang dilakukan karena berhati-hati


(ihtiyath), kalau hari itu termasuk bulan Ramadan, hukumnya
makruh.

Puasa qadha, puasa nazar, atau puasa kafarat yang


dilakukan pada hari syak, hukumnya tidak makruh. Karena,
ketiga jenis puasa tersebut wajib hukumnya.
Kesimpulannya, puasa yang dilakukan pada hari syak, hukumnya makruh
menurut Jumhur dan haram menurut mazhab Syafi’i.
c. Puasa pada hari raya dan hari-hari Tasyrik.
Menurut mazhab Hanafi, puasa yang dilakukan pada
harihari tersebut hukumnya makruh tahrimiy, sedangkan
menurut mazhab yang lainnya haram, serta tidak sah menurut
mazhab yang lain baik puasa tersebut merupakan puasa wajib
maupun puasa sunah. Puasa-wajib yang dilakukan di dalamnya
dipandang tidak membebaskannya dari kewajiban; yakni
berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu

6
Hurairah berikut:
“Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari. Yaitu,
pada hari Raya Fitri dan hari Raya Adha.”
d. Puasa wanita yang sedang haid atau nifas hukumnya haram dan
tidak sah.
e. Puasa yang dilakukan oleh seorang yang khawatir akan
keselamatan dirinya jika dia berpuasa, hukumnya haram.

3. Puasa Makruh
Puasa jenis ini seperti puasa dhar, puasa yang dikhususkan
pada hari Jumat saja atau hari Sabtu saja, puasa pada hari yang
diragukan (syak) dan menurut Jumhur puasa sehari atau dua hari
sebelum Ramadan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, puasa
sehari atau dua hari sebelum Ramadan, hukumnya haram.

Adapun puasa yang termasuk kategori makruh tanzihiy


adalah puasa pada hari Asyura yang dilakukan tanpa didahului
oleh hari sebelumnya (9 Muharram) atau diikuti oleh hari
sesudahnya (11 Muharram). Puasa lain yang termasuk kategori ini
ialah puasa pada hari Jum’at yang ifradi (tanpa melakukan puasa
pada hari-hari yang lainnya), hari Sabtu, hari Nairuz (hari terakhir
pada musim bunga), dan hari Mahrajan (hari terakhir pada musim
gugur). Kemakruhan puasa-puasa ini menjadi hilang jika puasa
tersebut disertai dengan puasa-puasa lain yang telah menjadi
kebiasaan.

4. Puasa Tathawwu’ atau Puasa Sunnah


Tathawwu’ artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan melakukan amal ibadah yang tidak diwajibkan. Istilah ini
diambil dari ayat berikut.
...‫ َو َمن تطَ َّو َع خ َۡي ٗرا‬...

“Dan barang siapa melakukan kebaikan dengan kerelaan


hati....” (Q.S. Al Baqarah:158)
Istilah ini terkadang diungkapkan dengan kata nafilah,
sebagaimana dalam shalat. Yakni berdasarkan ayat berikut :
ََّ ‫ب ِه ناَفلِ ٗةَ ل‬
‫ك‬ ‫ َو ِمنَ ٱليَّۡ ِل فتَهَ َّ ََّج ۡد ۦ‬...
“Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah kamu

7
sebagai nafilah bagimu.” (Q.S. Al Isra’ :
79)
a. Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan

Dalam puasa jenis ini, yang lebih utama ialah berpuasa


pada tiga hari bidh, yakni pada tanggal 13,14, dan 15. Ketiga
hari ini dinamakan bidh karena malam hari pada ketiganya
diterangi bulan dan pada siang harinya diterangi matahari.

Pahala puasa jenis ini seperti puasa dahr, yakni pelipat


gandaan. Satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh kali
kebaikan, tanpa ada bahaya dan kerusakan seperti yang
terdapat dalam puasa dahr. Dalil puasa jenis ini ialah hadis
yang diriwayatkan Abu Dzar. Dia mengaakan bahwa Nabi saw.
Bersabda

kepadanya:

“Jika kamu (hendak) berpuasa tiga hari dalam sebulan,


maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15”
Dalam hadis diriwayatkan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa sebanyak tiga hari


dalam satu bulan.

c. Puasa pada hari Senin dan Kamis dalam setiap minggu. Puasa
jenis ini berdasarkan perkataan Usamah bin Zaid berikut:

“Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa pada hari Senin


dan Kamis. Lalu, ketika beliau ditanya mengenai hal itu, beliau
bersabda , ‘Sesungguhnya, amalan-amalan manusia
diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis.’”
Dalam lafal lain disebutkan:

“Aku senang amalanku diperlihatkan ketika


aku berpuasa.”
Puasa enam hari pada bulan Syawal, meskipun tidak
beruntun. Tetapi, jika puasa enam hari tersebut dilakukan
secara beruntun setelah hari raya, hal itu lebih utama. Karena
dalam hal demikian, berarti seseorang bersegera dalam
melakukan ibadah.

8
Maksudnya, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi
sepuluh. Satu bulan dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan.
Enam hari dilipatgandakan menjadi enam puluh hari. Dan hal
itu sama dengan setahun penuh.

e. Puasa hari Arafah; yaitu puasa tanggal 9 Zulhijah bagi orang


yang tidak sedang melakukan ibadah haji.Hari Arafah
merupakan hari yang paling utama.

f. Berpuasa selama delapan hari dalam bulan Zulhijah, sebelum


hari Arafah.Penyunahan puasa ini berlaku bagi orang
melakukan ibadah haji ataupun yang tidak melakukan ibadah
haji ataupun yang tidak melakukan ibadah haji.
Dalam pembahasan “Salat Dua Hari Raya” telah
disebutkan beberapa hadis yang menunjukan keutamaan
amalan secara umum yang dilakukan pada sepuluh hari bulan
Zulhijah.dan puasa termasuk di dalamnya.

g. Berpuasa pada hari Tasu’a’ dan ‘Asyura’; yaitu tanggal 9 dan


10
Muharram.Puasa jenis ini disunahkan lagi (akan lebih baik)
jika keduanya dilakukan atas hadis marfu yang diriwayatkan
oleh

Ibnu Abbas berikut:


“Seandainya aku masih hidup sampai masa mendatang,
niscaya aku akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10
Muharram.”

h. Berpuasa pada bulan-bulan yang dimuliakan. Yakni, keempat


bulan dalam satu tahun; tiga bulan berturut-turut (Zulkaidah,
Zulhijah, Muharram), serta Rajab. Keempat bulan ini
merupakan bulan-bulan yang utama untuk berpuasa setelah
bulan Ramadan. Bulan-bulan mulia yang paling utama ialah
Muharram, Rajab, Zulhijah, dan Zulkaidah. Selanjutnya adalah
bulan Syakban.
i. Puasa pada bulan Syakban. Puasa ini disunahkan berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Dia menyatakan
bahwa Nabi SAW tidak pernah berpuasa sebulan penuh dalam
setahun, kecuali dalam bulan Syakban. Dan beliau, lanjut
Ummu Salamah, menyambungkannya sengan puasa
Ramadan.Dari Aisyah diceritakan sebagai berikut : “Nabi SAW

9
tidak berpuasa melebihi bulan Syakban. Beliau berpuasa di
dalamnya (bulan Syakban) secara penuh”

4.Hal apa saja yang disunnahkan dalam puasa


Orang yg berpuasa disunahkan melakukan hal-hal berikut :

1.Sahur, meskipun hanya sedikit; misalnya seteguk air. Sahur sunah


dilakukan pada akhir malam. Sahur dimaksudkan untuk menguatkan fisik
ketika berpuasa.

2.Menta’hirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.

3.Menyegerakan berbuka ketika diyakini bahwa matahari telah tenggelam.

4.Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air.

5.Berdoa sewaktu berbuka puasa.

6.Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa.

7.Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.

8.Menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan, membaca dan mengaji al-


qur’an, serta memperbanyak zikir dan membaca salawat kepada nabi saw
yang dilakukan pada setiap saat yang tidak memberatkan, baik pada malam
hari maupun siang hari.

5. Hal apa saja yang membolehkan pembatalan puasa


Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat memperbolehkan pembatalan
puasa:
1. Perjalanan

Dari segi Bahasa, perjalanan berarti keluarnya seseorang


dengan dibebani barang-barang bawaan. Perjalanan yang
membolehkan pembatalan puasa adalah perjalanan jauh, yang
membolehkan pengqasharan salat. Perjalanan seperti ini, kira-
kira sejauh 89km. Dengan syarat, menurut Jumhur, perjalanan itu
harus dimulai sebelum terbit fajar.Adanya syarat di atas
dikarenakan puasa tidak boleh dibatalkan dalam perjalanan
setelah seseorang berada dalam keadaan puasa. Status dia
sebagai seorang mukmin lebih dikuatkan daripada statusnya
sebagai seorang musafir.

10
2. Sakit
Sakit adalah perubahan fisik kepada kerusakan. Sakit,
seperti halnya perjalanan, membolehkan pembatalan puasa;
yakni berdasarkan ayat yang lalu: ...Maka barang siapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari yang lain... (Q.S. 2:184).

3. Dan 4. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui

Wanita hamil dan wanita menyusui bayi dibolehkan


berbuka. Dengan catatan, keduanya merasa khawatir atas dirinya
atau bayinya, baik bayi itu putra wanita menyusui itu sendiri ibu
yang disusui maupun sebagai wanita yang disewa.

Alasan pembolehan berbuka puasa bagi keduanya ialah


pengiasan terhadap orang sakit dan musafir dan hadits Nabi saw,
yang artinya sebagai berikut:

Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi.

“Sesungguhnya Allah swt, meringankan kewajiban puasa


dan sebagian shalat dari musafir, dan (meringankan kewajiban)
puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui” (HR Al-
Khamzah)

5. Masa Tua
Menurut Ijma,berbuka puasa dibolehkan bagi orang tua
renta (baik laki-laki maupun perempuan) yang sudah tidak
mampu lagi berpuasa sepanjang tahun.

Adapun orang sakit yang tidak mampu berpuasa pada bulan


Ramadhan, tetapi dia mampu mengqadhanya pada waktu yang
lain, maka dia wajib mengqadhanya. Dia tidak wajib
mengeluarkan

fidyah.

6. Rasa Lapar Dan Haus Yang Membahayakan


Berbuka boleh dilakukan oleh orang yang sangat lapar dan haus
yang khawatir akan terjadi kerusakan atas dirinya, khawatir akan
berkurang ketajaman akalnya, atau, khawatir akan keselamatan

11
sebagian alat inderanya. Jika dia berbuka, dia harus mengqadha
puasanya.
7. Terpaksa
Orang yang dipaksa boleh berbuka puasa. Dia, menurut
Jumhur, harus mengqadha puasanya; sedangkan menurut
mazhab Syafi’i, orang yang terpaksa tidak boleh berbuka puasa.
Jika seorang perempuan disetubuhi secara paksa atau dalam
keadaan tertidur, dia harus mengqadha puasanya.

Itulah uzur-uzur terpenting yang membolehkan pembatalan


puasa. Adapun haid, nifas, dan penyakit gila yang terjadi secara
tiba-tiba pada orang yang sedang berpuasa, jika
memperbolehkan pembatalan puasa. Bahkan, puasa menjadi
tidak wajib dan tidak sah, sebagaimana telah kami jelaskan dalam
syarat-syarat puasa.

6. Hal apa saja yang dapat membatalkan dan tidak membatalkan


puasa
1. Makan dan minum.Makan dan minum yang membatalkan puasa .
ialah apabila dilakukan dengan sengaja. Kalau tidak sengaja, misalnya
lupam tidak membatalkan puasa.
2. Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke
dalam.Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa.
3. Bersetubuh
4. Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan)
5. Gila. Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa.
6. Keluar mani dengan sengaja (karena berentuhan dengan perempuan
atau lainnya). Karena keluar mani itu adalah uncak yang dituju orang
pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh.
Adapun keluar mani karena bermimpi, mengkhayal, dan sebagainya,
tidak membatalkan puasa.

12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa dari segi bahasa,
puasa berarti menahan dan mencegah dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah
adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat
(syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu
agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.) Hal itu dilakukan pada
waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam
matahari.

Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim,
sudah baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu dan mampu menahan diri dari segala
yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Puasa banyak macamnya, diantaranya puasa wajib, puasa Sunnah
(tathawwu), puasa yang diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan. Orang yang
berpuasa disunnahkan untuk melakukan sahur, menta’hirkan makan sahur,
menyegerakan berbuka, berbuka dengan sesuatu yang manis, berdoa sewaktu
berbuka puasa, memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang
berpuasa, hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa, dan
menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan.
Ada beberapa uzur yang memperbolehkan seseorang untuk membatalkan
puasanya, diantaranya ketika sedang berada di perjalanan jauh, dalam keadaan
sakit, bagi wanita hamil dan menyusui, berada pada masa tua, takut akan rasa

13
lapar dan haus yang membahayakan, dan karena terpaksa membatalkan
puasanya.
Ada pula beberapa hal yang membatalkan puasa, yaitu, makan dan
minum yang disengaja, muntah yang disengaja, bersetubuh, keluar darah haid
(kotoran) atau nifas, gila, dan keluar mani dengan sengaja. Pembatalan puasa
juga dapat diganti dengan melakukan qadha, kifarat ataupun fidyah.

Puasa mengajarkan kita untuk lebih bersyukur terhadap segala hal yang
telah kita miliki pada saat ini. Mengajarkan kita untuk mampu membantu
orangorang fakir dan miskin.

B.Saran
Demikian isi makalah yang saya buat ini semoga bermanfaat bagi kita semua,
terutama bagi saya, adapun harapan saya para kawan-kawan dapat memberikan
masukan yang bermanfaat baik berupa kritik maupun saran, agar makalah saya
selanjutnya dapat berkembang lebih baik lagi, dan dapat memberikan banyak
manfaat.

Daftar pustaka

Al-Qahthani, Sa’id, Buku Pintar Puasa Sunah, Ed. Yasir Amri, Aqwam, Solo, 2011.

Al Zuhaily, Wahbah. Fiqih Islam Adillatuhu (Puasa, I’tikaf, Zakat, Haji dan
Umrah). Jakarta: Gema Insani, 2010.

Tim Revisi Buku Pedoman Karya Ilmiah. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri. Kediri: STAIN Kediri, 2013.

14
spiti ‘rumah’
idhor nero ‘air’
inos krasi ‘anggur’

a) Bahasa Arab
ma eh ‘apa’
anfun manaxir ‘hidung’
al’ana dilwa’ti ‘sekarang’

b) Bahasa Indonesia
Uang duit
Tidak nggak, kagak
Istri bini

2.1.3 Penggunaan Bahasa

Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu


komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan
unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:

1) Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan
waktu terjadinya percakapan.
2) Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
3) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
4) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk da nisi
percakapan. Misalnya dalam kalimat:

15
a. Dia berkata dalam hati, Mudah-mudahan lamaranku
diterima dengan baik.
b. Dia berkata dalam hati, mudah-mudah lamarannya
diterima dengan baik.
Perkataan mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik
padakalimat (a) adalah bentuk percakapan; sedangkan kalimat (b)
adalah contoh isi percakapan.
5) Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam
melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat
diberikan dengan cara yang santai; tetapi dapat juga dengan
semangat yang menyala-nyala.
6) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan
apakah secara lisan atau bukan.
7) Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta
percakapan.
8) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa
yang digunakan.

2.1.4 Kontak Bahasa

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat


menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih
dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa
dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling mempengaruhi
dengan bahasa dari masyarakat yang dating. Hal yang sangat menonjol yang
bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya
yang disebut bilingualisme dan multilingualisme dengan berbagai macam
kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alihkode, dan campurkode. Namun
disamping itu banyak pula yang hanya menguasai satu bahasa. Orang yang
hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual, atau
monoglot; yang menguasai dua bahasa disebut bilingual; sedangkan yang
menguasai lebih dua bahasa disebut multilingual, plurilingual, atau poliglot.

Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual sebagai akibat


adanya kontak bahasa (dan juga kontak budaya), dapat terjadi peristiwa atau
kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode (code-switching), dan
campurkode (code-mixing). Keempat peristiwa ini gejalanya sama,yaitu
adanya unsur bahasa yang lain dalam bahasa yang digunakan namun,konsep
masalahnya tidak sama. Yang dimaksud dengan interferensi adalah terbawa
masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan itu.
Interferensi dapat terjadi pada semua tataran bahasa, mulai dari tataran
fonologi, morfologi, sintaksis, sampai ke tataran leksikon. Contoh pada
tataran fonologi misalnya, kalau penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-

16
kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, dan /g/ maka konsonan
tersebut akan didahuluinya dengan bunyi nasal yang homorgan. Jadi, kata
Bogor akan diucapkan mBogor. Contoh pada interferensi pada tataran
gramatikal misalnya, penggunaan prefiks ke-seperti pada kata kepukul,
ketabrak, dan kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak, dan terbaca.
Contoh interferensi dalam tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif
Makanan itu telah dimakan oleh saya dari penutur berbahasa ibu bahasa
Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah Makanan the atas dituang
kuabdi; padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah Makanan itu
telah saya makan.

Interfernsi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam integrasi unsur-


unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk itu, sudah dianggap,
diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerimanya
atau yang dimasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu
yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan, baik
lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Kata dalam bahasa Indonesia
yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir, dan dongkrak adalah contoh
yang sudah berintegrasi.

Dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual seringkali


terjadi peristiwa yang disebut ahlikode, yaitu beralihnya penggunaan suatu
kode (entah bahasa atau pun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain
(bahasa atau ragam bahasa lain). Umpamanya, ketika A dan B sedang
bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, datanglah C yang tidak mengerti
bahasa Indonesia tetapi berbahasa inggris (dan kebetulan A dan B juga dapat
berbahasa inggris), maka kemudian digunakanlah bahasa inggris. Setelah C
pamit, A dan B meneruskan kembali bercakap-cakap dalam bahasa
Indonesia. Ahli kode juga terjadi karena sebab-sebab lain. Misalnya karena
perubahan situasi, atau topik pembicaraan.

17
5.      Key

6.      Instrumaentalities

7.      Norms

8.      Genres

Kontak bahasa terjadi ketika masyarakat pada suatu daerah menerima


kedatangan masyarakat baru dari daerah lain.Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf
mengeluarkan hipotesis yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi
kebudayaan.

3.2 Saran
Demikianlah hasil ringkasan pembahasan mengenai Bahasa dan Faktor Luar
Bahasa. Saran dan kritik senantiasa kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dalam penulisan laporan kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. (2014). Linguistik Umum. Jakarta:PT. Rineka Cipta

18

Anda mungkin juga menyukai