DISUSUN OLEH:
i
Tahun Akademik 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
Pendidikan Agama Islam “ Puasa ” ini untuk melengkapi tugas dalam
pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Islam Universitas Al Washliyah.
ii
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alhamdulillah Hirobbil Alamin kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga kami kelompok 5 dapat
menyelesaikan makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Puasa” dengan
baik dan lancar. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun, sehingga tugas ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat
bagi para pembaca.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
1
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Puasa
Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff) dari
sesuatu. Misalnya, dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan dari berbicara.
Allah SWT berfirman sebagai pemberitahuan tentang kisah Maryam:
Adapun menurut syarak (syara’), puasa berarti menahan diri dari hal-hal
yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada
siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.
Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan
(fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta
menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau
sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak
terbit fajar sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak
melakukannya, yaitu orang Muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang
nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk
mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah
membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.
2
Sabda Rasulullah SAW :
1) Baligh
Puasa tidak diwajibkan atas anak kecil. Akan tetapi, puasa
yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayiz, hukumannya
sah, seperti halnya sholat. Wali anak tersebut, menurut
mazhab Syafi’i, Hanafi, dan hanbali, wajib menyuruhnya
berpuasa ketika dia telah berpuasa tujuh tahun. Dan jika anak
kecil itu tidak mau berpuasa, walinya wajib memukulnya ketika
di atelah berusia sepuluh tahun. Hal itu dimaksudkan agar dia
menjadi terbiasa dengan puasa, seperti halnya sholat. Kecuali,
terkadang seseorang mampu melakukan sholat, tetapi belum
tentu mampu berpuasa.Sabda Rasulullah SAW :
“Tiga orang terlepas dari hukum (a) orang yang sedang
tidur hingga ia bangun, (b) ornag gila sampai ia sembuh, (c)
kanak-kanan sampai ia balig.” (Riwayat Abu
Dawud dan Nasai)
2) Berakal
Puasa tidak wajib dilakukan oleh orang gila, orang pingsan
dan orang-orang mabuk, karena mereka tidak dikenai khithab
taklifiy; mereka tidak berhak berpuasa.
3
Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil sampai dia
dewasa, dari orang gila sampai dia sadar, dan dari orang tidur
sampai dia terjaga.
Orang yang akalnya (ingatannya) hilang tidak dikenai
kewajiban berpuasa. Dengan demikian, puasa yang dilakukan
oleh orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk tidak sah. Sebab,
mereka tidak berkemungkinan untuk melakukan niat.
4
3) Suci dari darah haid (kotoran) dan nifas (darah sehabis
melahirkan).
Orang yang haid atau nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi
keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang
2. Puasa-Haram
Puasa jenis ini ialah sebagai berikut :
5
b. Puasa pada hari yang diragukan (yaumus-sakk). Yakni, puasa
pada hari ketiga puluh bulan Syakban, ketika orang-orang
meragukan bahwa hari itu termasuk bulan Ramadan.
Dengan demikian, puasa yang dilakukan sehari atau dua
hari sebelum Ramadan, hukumnya makruh.
6
Hurairah berikut:
“Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari. Yaitu,
pada hari Raya Fitri dan hari Raya Adha.”
d. Puasa wanita yang sedang haid atau nifas hukumnya haram dan
tidak sah.
e. Puasa yang dilakukan oleh seorang yang khawatir akan
keselamatan dirinya jika dia berpuasa, hukumnya haram.
3. Puasa Makruh
Puasa jenis ini seperti puasa dhar, puasa yang dikhususkan
pada hari Jumat saja atau hari Sabtu saja, puasa pada hari yang
diragukan (syak) dan menurut Jumhur puasa sehari atau dua hari
sebelum Ramadan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, puasa
sehari atau dua hari sebelum Ramadan, hukumnya haram.
7
sebagai nafilah bagimu.” (Q.S. Al Isra’ :
79)
a. Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan
kepadanya:
c. Puasa pada hari Senin dan Kamis dalam setiap minggu. Puasa
jenis ini berdasarkan perkataan Usamah bin Zaid berikut:
8
Maksudnya, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi
sepuluh. Satu bulan dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan.
Enam hari dilipatgandakan menjadi enam puluh hari. Dan hal
itu sama dengan setahun penuh.
9
tidak berpuasa melebihi bulan Syakban. Beliau berpuasa di
dalamnya (bulan Syakban) secara penuh”
10
2. Sakit
Sakit adalah perubahan fisik kepada kerusakan. Sakit,
seperti halnya perjalanan, membolehkan pembatalan puasa;
yakni berdasarkan ayat yang lalu: ...Maka barang siapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari yang lain... (Q.S. 2:184).
5. Masa Tua
Menurut Ijma,berbuka puasa dibolehkan bagi orang tua
renta (baik laki-laki maupun perempuan) yang sudah tidak
mampu lagi berpuasa sepanjang tahun.
fidyah.
11
sebagian alat inderanya. Jika dia berbuka, dia harus mengqadha
puasanya.
7. Terpaksa
Orang yang dipaksa boleh berbuka puasa. Dia, menurut
Jumhur, harus mengqadha puasanya; sedangkan menurut
mazhab Syafi’i, orang yang terpaksa tidak boleh berbuka puasa.
Jika seorang perempuan disetubuhi secara paksa atau dalam
keadaan tertidur, dia harus mengqadha puasanya.
12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa dari segi bahasa,
puasa berarti menahan dan mencegah dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah
adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat
(syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu
agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.) Hal itu dilakukan pada
waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam
matahari.
Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim,
sudah baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu dan mampu menahan diri dari segala
yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Puasa banyak macamnya, diantaranya puasa wajib, puasa Sunnah
(tathawwu), puasa yang diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan. Orang yang
berpuasa disunnahkan untuk melakukan sahur, menta’hirkan makan sahur,
menyegerakan berbuka, berbuka dengan sesuatu yang manis, berdoa sewaktu
berbuka puasa, memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang
berpuasa, hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa, dan
menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan.
Ada beberapa uzur yang memperbolehkan seseorang untuk membatalkan
puasanya, diantaranya ketika sedang berada di perjalanan jauh, dalam keadaan
sakit, bagi wanita hamil dan menyusui, berada pada masa tua, takut akan rasa
13
lapar dan haus yang membahayakan, dan karena terpaksa membatalkan
puasanya.
Ada pula beberapa hal yang membatalkan puasa, yaitu, makan dan
minum yang disengaja, muntah yang disengaja, bersetubuh, keluar darah haid
(kotoran) atau nifas, gila, dan keluar mani dengan sengaja. Pembatalan puasa
juga dapat diganti dengan melakukan qadha, kifarat ataupun fidyah.
Puasa mengajarkan kita untuk lebih bersyukur terhadap segala hal yang
telah kita miliki pada saat ini. Mengajarkan kita untuk mampu membantu
orangorang fakir dan miskin.
B.Saran
Demikian isi makalah yang saya buat ini semoga bermanfaat bagi kita semua,
terutama bagi saya, adapun harapan saya para kawan-kawan dapat memberikan
masukan yang bermanfaat baik berupa kritik maupun saran, agar makalah saya
selanjutnya dapat berkembang lebih baik lagi, dan dapat memberikan banyak
manfaat.
Daftar pustaka
Al-Qahthani, Sa’id, Buku Pintar Puasa Sunah, Ed. Yasir Amri, Aqwam, Solo, 2011.
Al Zuhaily, Wahbah. Fiqih Islam Adillatuhu (Puasa, I’tikaf, Zakat, Haji dan
Umrah). Jakarta: Gema Insani, 2010.
Tim Revisi Buku Pedoman Karya Ilmiah. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri. Kediri: STAIN Kediri, 2013.
14
spiti ‘rumah’
idhor nero ‘air’
inos krasi ‘anggur’
a) Bahasa Arab
ma eh ‘apa’
anfun manaxir ‘hidung’
al’ana dilwa’ti ‘sekarang’
b) Bahasa Indonesia
Uang duit
Tidak nggak, kagak
Istri bini
1) Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan
waktu terjadinya percakapan.
2) Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
3) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
4) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk da nisi
percakapan. Misalnya dalam kalimat:
15
a. Dia berkata dalam hati, Mudah-mudahan lamaranku
diterima dengan baik.
b. Dia berkata dalam hati, mudah-mudah lamarannya
diterima dengan baik.
Perkataan mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik
padakalimat (a) adalah bentuk percakapan; sedangkan kalimat (b)
adalah contoh isi percakapan.
5) Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam
melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat
diberikan dengan cara yang santai; tetapi dapat juga dengan
semangat yang menyala-nyala.
6) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan
apakah secara lisan atau bukan.
7) Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta
percakapan.
8) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa
yang digunakan.
16
kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, dan /g/ maka konsonan
tersebut akan didahuluinya dengan bunyi nasal yang homorgan. Jadi, kata
Bogor akan diucapkan mBogor. Contoh pada interferensi pada tataran
gramatikal misalnya, penggunaan prefiks ke-seperti pada kata kepukul,
ketabrak, dan kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak, dan terbaca.
Contoh interferensi dalam tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif
Makanan itu telah dimakan oleh saya dari penutur berbahasa ibu bahasa
Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah Makanan the atas dituang
kuabdi; padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah Makanan itu
telah saya makan.
17
5. Key
6. Instrumaentalities
7. Norms
8. Genres
3.2 Saran
Demikianlah hasil ringkasan pembahasan mengenai Bahasa dan Faktor Luar
Bahasa. Saran dan kritik senantiasa kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dalam penulisan laporan kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
18