DOSEN PEMBIMBING
Ibu Sri Mawaddah, M.A.
DISUSUN OLEH
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………i
BAB I PENDAHULUAN……...……..……….………………………………….ii
A. Latar belakang………………...…………………………………….…….…3
B. Rumusan masalah………………………………………………….…….…3
C. Tujuan pembahasan…………………………………………………….….4
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Alhamdulillah Hirobbil Alamin saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalahsaya yang berjudul “ramadhan bulan penuh ampunan” dengan baik dan
lancar. saya menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah
ini. Oleh karena itu saya mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun,
sehingga tugas ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi para
pembaca
Keseluruhan dari makalah ini adalah pada Bab I berisi tentang latar belakang
kenapa saya membuat makalah ini, rumusan masalah yang berisi beberapa pokok
pembahasan yang akan saya ulas pada makalah dan tujuan pembahasan mengenai
puasa. Pada Bab II terdapat materi pembahasan dari beberapa rumusan masalah
yang sudah saya sertakan pada Bab I. Bab III berisi analisa dan diskusi dari
makalah saya. Dan yang terakhir, pada Bab IV berisikan kesimpulan dari
pembahasan materi Puasa.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian puasa baik secara Etimologi maupun Terminologi?
2. Apa saja rukun dan syarat puasa?
3. Apa saja macam-macam puasa
4. Hal apa saja yang disunnahkan dalam puasa?
5. Hal apa saja yang membolehkan pembatalan puasa?
6. Hal apa saja yang dapat membatalkan dan tidak membatalkan puasa?
7. Apa itu Qadha, Kifarat dan Fidyah?
8. Apa saja hikmah puasa?
C. Rumusan masalah
1. Ingin memahami pengertian puasa
2. Ingin memahami rukun dan syarat puasa
3. Ingin memahami macam-macam puasa
4. 4. Ingin memahami apa saja yang disunnahkan saat puasa
5. Ingin memahami apa saja yang membolehkan pembatalan puasa
6. Ingin memahami hal yang membatalkan dan tidak membatalkan puasa
7. Ingin memahami Qadha, Kifarat dan Fidyah
8. Ingin memahami hikmah puasa
BAB II
POKOK PEMBAHASAN
A. Pengertian puasa
Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff)
dari sesuatu. Misalnya, dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan
dari berbicara. Allah SWT berfirman sebagai pemberitahuan tentang kisah
Maryam:
ص ْو ًما فَلَ ْن أُك َِل َم ْال َي ْو َم ِإ ْن ِسيًّا َّ ِإنِي نَذَ ْرتُ ِل
َ لرحْ َٰ َم ِن
“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah...”(Q.S. Maryam : 26)
Maksutnya, diam dan menahan diri dari berbicara. Orang Arab lazim
mengatakan, “shama an-nahar”, maksutnya perjalanan matahari berhenti
pada batas pertengahan siang. Adapun menurut syarak (syara’), puasa
berarti menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang
dilakukan oleh orang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar
sampai terbenam matahari.
Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari
perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan
syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk
perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang
telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari,
oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang Muslim,
berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan
dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu
secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan antara
perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.
1. Rukun puasa
Ialah menahan diri dari dua macam syahwat, yakni syahwat perut
dan syahwat kemaluan. Maksudnya, menahan diri dari segala sesuatu yang
membatalkannya.Dalam buku Fiqh Islam disebutkan ada 2 rukun puasa,
yaitu:
a. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang
dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya. Sabda
Rasulullah SAW.
“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar
terbit, maka tiada puasa baginya.” (Riwayat Lima Orang Ahli Hadis)
Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal
(matahari condong ke barat).
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari.
2) Berakal
Puasa tidak wajib dilakukan oleh orang gila, orang pingsan dan
orang-orang mabuk, karena mereka tidak dikenai khithab taklifiy; mereka
tidak berhak berpuasa. Pendapat ini dipahami dari Hadis Nabi SAW
berikut:
Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil sampai dia dewasa,
dari orang gila sampai dia sadar, dan dari orang tidur sampai dia terjaga.
Orang yang akalnya (ingatannya) hilang tidak dikenai kewajiban berpuasa.
Dengan demikian, puasa yang dilakukan oleh orang gila, orang pingsan,
dan orang mabuk tidak sah. Sebab, mereka tidak berkemungkinan untuk
melakukan niat.
Dari Anas, “Nabi SAW telah melarang berpuasa lima hari dalam satu
tahun; (a) Hari Raya Idul Fitri, (b) Hari Raya Haji, (c) tiga hari Tasyriq
(tanggal 11,12,13 bulan Haji).” (Riwayat Daruqutn).
C. Macam-Macam Puasa
1. Puasa-Wajib
puasa wajib merupakan puasa yang harus dijalankan oleh semua
umat Islam. Jika umat Islam melakukannya maka mereka akan
mendapatkan pahala, sedangkan jika tidak melakukannya maka akan
mendapat dosa. Puasa berhukumnya wajib terbagi menjadi tiga jenis,
simak penjelasannya berikut ini.
a. Puasa Ramadan
Puasa Ramadan merupakan jenis puasa paling umum karena merupakan
puasa wajib selama sebulan penuh pada bulan Ramadan bagi setiap umat
Islam yang sudah baligh. Perintah melaksanakan ibadah puasa pada bulan
suci Ramadan disampaikan dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 183.
b. Puasa Nazar
Puasa jenis ini adalah puasa yang dijanjikan oleh diri sendiri ketika
meniatkan suatu hajat. Ketika hajat itu tercapai, maka wajib hukumnya
bagi yang berjanji untuk menunaikan puasanya. Bagi Muslim yang tidak
sanggup membayar puasa nazarnya, ada alternatif untuk membayarnya.
Puasa bisa digantikan dengan memberi makan ke 10 orang miskin,
memerdekakan 1 orang budak, atau memberi sebuah pakaian kepada 10
orang miskin.
c. Puasa Denda atau Kafarat
puasa denda, yakni puasa yang dilakukan setelah seorang Muslim
bermaksiat atau berdosa. Dalam kata lain, puasa ini adalah penebusan atas
pelanggaaran yang dilakukan. Jumlah puasa yang harus ditunaikan
beragam, tergantung pelanggaran yang dilakukan. Bahkan, ada yang
jumlahnya mencapai puasa sebanyak 60 hari berturut-turut.
2. Puasa-Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang tidak wajib dilakukan oleh umat
Islam. Jika orang Islam melakukannya, maka dia akan mendapatkan
pahala sedangkan jika dia tidak melakukannya maka dia tidak
mendapatkan dosa. Puasa sunnah memiliki beberapa jenis diantaranya
sebagai berikut.
a. Puasa Syawal
puasa Syawal. Syawal sendiri adalah nama bulan setelah bulan Ramadhan.
Puasa Syawal adalah berpuasa selama enam hari di bulan Syawal. Puasa
ini bisa dilakukan secara berurutan dimulai dari hari kedua syawal ataupun
bisa dilakukan secara tidak berurutan.
b. Puasa Arafah
Puasa arafah adalah jenis puasa sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat
Islam yang tidak sedang berhaji. Sedangkan bagi umat Islam yang sedang
berhaji, tidak ada keutamaan untuk puasa pada hari arafah atau tanggal 9
Dzulhijjah. Puasa arafah sendiri mempunyai keistimewaan bagi
pelaksananya yaitu akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu serta dosa-
dosa di tahun yang akan datang (HR. Muslim).
c. Puasa Tarwiyah
Seperti puasa Arafah, puasa Tarwiyah termasuk puasa di 10 hari pertama
bulan Dzulhijjah yang diutamakan. Tepatnya, puasa Tarwiyah jatuh pada
tanggal 8 Dzulhijjah. Puasa Tarwiyah sangat dianjurkan karena menurut
hadits, puasa di hari ini dapat menghapuskan dosa sepanjang tahun yang
telah lalu. Istilah tarwiyah sendiri berasal dari kata tarawwa yang berarti
membawa bekal air. Hal tersebut karena pada hari itu, para jamaah haji
membawa banyak bekal air zam-zam untuk persiapan arafah dan menuju
Mina.
d. Puasa Senin dan Kamis
Jenis puasa satu ini juga merupakan puasa sunnah terpopuler. Puasa senin
kamis berawal ketika Nabi Muhammad SAW memerintah umatnya untuk
senantiasa berpuasa di hari-hari tersebut karena hari senin merupakan hari
kelahiran beliau, sedangkan hari kamis adalah hari pertama kali Al-Qur’an
diturunkan.
Salah satu keutamaan berpuasa di hari Senin dan Kamis adalah
karena kedua hari tersebut adalah hari terbukanya pintu surga. Pernyataan
tersebut berada dalam hadits riwayat Muslim yang juga mengungkapkan
bahwa (di hari tersebut) dosa hamba yang tidak menyekutukan Allah akan
diampuni, kecuali bagi orang yang antara dia dan saudaranya terdapat
kebencian dan perpecahan.
e. Puasa Daud
Jenis puasa ini merupakan puasa unik karena pasalnya puasa Daud adalah
puasa yang dilakukan secara selang-seling (sehari puasa, sehari tidak).
Puasa Daud bertujuan untuk meneladani puasanya Nabi Daud AS. Puasa
jenis ini juga ternyata sangat disukai Allah SWT. Puasa Daud dapat
dilakukan pada hari apa saja termasuk hari Jumat. Namun, hari-hari yang
diharamkan untuk berpuasa tetap harus dihindari. Beberapa hari tersebut di
antaranya adalah 1 Syawal, 10 Dzulhijjah, dan hari Tasyrik (11–13
Dzulhijjah).
f. Puasa ‘Asyura
Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan untuk memperbanyak
puasa, boleh di awal bulan, pertengahan, ataupun di akhir. Namun, puasa
paling utama adalah pada hari Asyura yakni tanggal sepuluh pada bulan
Muharram. Puasa ini dikenal dengan istilah Yaumu Asyura yang artinya
hari pada tanggal kesepuluh bulan Muharram.
g. Puasa Ayyamul Bidh
Umat Islam disunnahkan berpuasa minimal tiga kali dalam sebulan.
Namun puasa lebih utama dilakukan pada ayyamul bidh, yaitu pada hari
ke-13, 14, dan 15 dalam bulan Hijriyah atau bulan pada kalender Islam.
Ayyamul bidh sendiri mempunyai arti hari putih karena pada malam-
malam tersebut bulan purnama bersinar dengan sinar rembulannya yang
putih.
h. Puasa Sya’ban (Nisfu Sya’ban)
Tidak hanya bulan Ramadhan yang mempunyai keistimewaan, bulan
Sya’ban juga memiliki keistimewaan tersendiri. Pada bulan Sya’ban
dianjurkan agar umat Islam mencari pahala sebanyak-banyaknya. Salah
satunya adalah dengan melakukan puasa pada awal pertengahan bulan
Sya’ban sebanyak-banyaknya.
D. Faedah puasa
Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, di antaranya
sebagai berikut :
1. Tanda terima kasih pada Allah karena semua ibadah mengandung arti
terima kasih kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak
terbatas banyaknya, dan tidak ternilai harganya.51 Firman Allah SWT
:
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya.” (Q.S. Ibrahim : 34)
2. Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan
dan minum dari harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat
perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan segala perintah
Allah, dan tidak akan berani melanggar segala larangan-Nya.52
3. Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir-miskin karena seseorang
yang telah merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan
dapat mengukur kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa
merasakan ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan
demikian, akan timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir
miskin.53
4. Guna menjaga kesehatan.54 5. Guna menenangkan nafsu amarah dan
meruntuhkan kekuatannya yang tersalurkan dalam anggota tubuh,
seperti mata, lidah, telinga, dan kemaluan.55 52 H. Sulaiman Rasjid,
Fiqh Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa dari segi bahasa,
puasa berarti menahan dan mencegah dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah
adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat
(syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu agar
tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.) Hal itu dilakukan pada waktu
yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim,
sudah baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan
itu secara pasti, tidak ragu-ragu dan mampu menahan diri dari segala yang
membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), 84-85.
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), 85
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 230.
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), 163. H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2014),227.
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), 162. 7 Ibid, 163.