Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ibadah merupakan segala upaya seseorang muslim dalam mendekatkan diri


kepada Sang Pencipta, Allah Swt. Beribadah juga merupakan sarana dalam
menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya, baik berupa perbuatan yang dhohir
maupun bathin. Tidak terkecuali orang-orang yang menjalankan ibadah puasa.

Berpuasa merupakan jembatan menuju ketaqwaan. Sebagaimana yang Allah


firman-kan dalam Kitab Suci AlQuran yang mengandung arti bahwasanya ibadah
puasa diwajibkan bagi orang-orang yang beriman untuk menjadikannya lebih
bertaqwa pada Allah semata.

Adapun rasa haus dan lapar ketika berpuasa adalah kerikil-kerikil kecil yang
tiada apa-apanya dibandingkan pahala yang akan diterima bagi tiap-tiap muslim yang
menjalankan. Akan tetapi dalam menjalankan puasa tersebut haruslah dilandasi
dengan penuh kerelaan dan hanya mengharap ridho Allah Swt. Selain itu, setiap
muslim yang sudah berkewajiban puasa juga harus mengetahui seluk beluk dari
ibadah tersebut. Oleh karena itu, makalah ini bermaksud untuk menyampaikan
beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah puasa dan perinciannya.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang disajikan dalam makalah adalah:

1. Apa yang dimaksud puasa dan berapa macam pembagiannya?

2. Apa saja syarat sah puasa?

3. Apa saja syarat wajib puasa?

4. Apa saja rukun puasa?

5. Hal-hal apa saja yang membatalkan puasa?

6. Hal-hal apa saja yang diperbolehkan bagi orang berpuasa?

7. Hal-hal apa saja yang disunnahkan ketika berpuasa?


1
8. Apa yang dimaksud dengan puasa ramadhan?

9. Bagaimana dasar hukum puasa ramadhan?

10. Bagaimana cara penetapan puasa ramadhan?

11. Perbedaan apa saja yang terdapat dalam konteks puasa diantara para madzhab?

12. Apa hikmah berpuasa?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah diantaranya:

1. Untuk mengetahui pengertian puasa dan berapa macam pembagiannya

2. Untuk mengetahui syarat sah puasa

3. Untuk mengetahui syarat wajib puasa

4. Untuk mengetahui rukun puasa

5. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang membatalkan puasa

6. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang diperbolehkan bagi orang berpuasa

7. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang disunnahkan ketika berpuasa

8. Untuk mengetahui pengertian puasa ramadhan

9. Untuk mengetahui dasar hukum puasa ramadhan

10. Untuk mengetahui cara penetapan puasa ramadhan

11. Untuk mengetahui perbedaan yang terdapat dalam konteks puasa diantara para
madzhab

12. Untuk mengetahui hikmah berpuasa

BAB II

PEMBAHASAN
2
A. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN PUASA

Shaum atau puasa berasal dari kata shama-yashumu-shaiman yang artinya


menahan diri dari sesuatu, berhenti, diam, atau berada di suatu tempat. Sedangkan
menurut syariat, adalah menahan diri dengan disertai niat yang khusus (beribadah
karena Allah dan mengharap keridhaan-Nya), pada waktu yang khusus (dari subuh
sampai maghrib), dari sesuatu yang khusus (makan, minum, dan jimak), dengan
syarat-syarat yang khusus (sehat jasmani dan rohani).1

Puasa dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Puasa wajib, yaitu puasa yang wajib dilaksanakan bagi tiap-tiap umat muslim
yang telah memenuhi syarat, seperti puasa ramadhan, puasa qadha, puasa kafarat,
dan puasa nadzar-nadzar lainnya.

2. Puasa sunnah, yaitu puasa yang dianjurkan. Macamnya sangat banyak seperti
puasa senin kamis, puasa bulan rajab, puasa syawal dan lainnya.

3. Puasa makruh, yaitu seperti puasa pada hari jumat.

4. Puasa haram, yaitu hari yang dilarang untuk berpuasa seperti puasa pada hari raya
idhul fitri, puasa hari raya haji, dan tiga hari sesudah hari raya haji yaitu tanggal
11,12,13 Dzulhijjah.

B. SYARAT SAH PUASA

1. Islam

2. Mumayiz, yakni dapat membedakan yang baik dengan yang buruk.

3. Suci dari haid dan nifas

4. Mengetahui waktu berpuasa

C. SYARAT WAJIB PUASA

1. Islam

2. Baligh, yakni seseorang yang sudah berumur 15 tahun atau yang sudah mengalami
haid bagi wanita.
1
Wawan Shofwan Sholehuddin, Risalah Shaum, 2004, Bandung: Penerbit Tafakur
3
3. Memiliki kemampuan untuk berpuasa, orang yang sakit dan sudah tua tidak
diwajibkan berpuasa. Seperti firman Allah yaitu:

“Barangsiapa yang sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah:185)

4. Sehat (tidak sakit).

5. Bermukim, yaitu seseorang tidak dalam melakukan perjalanan karena jika musafir
maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa selama memenuhi jarak yang
ditentukan yakni kurang lebih 80,64 km.

D. RUKUN PUASA2

Rukun puasa terdiri dari dua hal yakni:

1. Niat, niat dilakukan pada waktu malam hari untuk puasa fardhu sedangkan boleh
pada pagi hari untuk puasa sunah. Sesuai dengan sabda Rosulullah yang berbunyi:

“Barangsiapa yang tidak membulatkan niatmya untuk berpuasa sebelum fajar


maka tidak sah puasanya.

2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 1978, Bandung: PT Almaarif, hlm. 211-212
4
“Adakah padamu makanan?” jawab kami: “tidak.” Maka sabda Nabi: “ kalau
begitu saya akan berpuasa.”

2. Meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa secara sadar, tidak terpaksa
dan mengerti hukumnya sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Berdasarkan firman Allah Swt,

“Maka sekarang bolehlah kamu mencampuri mereka, dan hendaklah kamu


mengusahakan apa yang diwajibkan Allah atasmu, dan makan minumlah hingga
nyata garis putih dari garis hitam beupa fajar, kemudian sempurnakanlah puasa
sampai malam.” (QS. Al Baqarah:187)

E. HAL –HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

1. Memasukkan suatu benda dari luar tubuh kedalam tubuh secara sengaja baik
berupa makanan, minuman, asap rokok, melalui bagian tubuh yang berlubang/
berongga antara lain lewat hidung, mata, telinga misalnya seperti tetesan, melalui
dua lubang depan dan belakang. Adapun kriterianya yakni apabila suatu benda
masuk kedalam rongga tubuh. Termasuk pengecualian dalam masalah ini adalah
apabila kemasukan lalat, asap dupa dan debu jalanan. Puasa juga tidak batal jika
mencicipi makanan lalu dimutahkan, memamah makanan untuk anak bayi yang
hanya dapat mengonsumsi mamahan makanan sementara tidak ada oang yang
dapat memamahkan makanan untuknya.

2. Muntah dengan disengaja. Jika orang yang sedang berpuasa berusaha


memutahkan isi perutnya, lalu ia muntah dengan sengaja maka ia wajib
mengqadha puasanya. Sedangkan jika muntah tanpa disengaja dan tanpa
upaya/inisiatif dari dirinya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya.
Seperti sabda Nabi Saw:

5
“Barangsiapa terserang muntah, maka ia tidak wajib mengqadha. Namun jika
berusaha memuntahkan maka hendaklah ia mengqadha.” (HR. Abu Hurairah)

3. Haid dan NIfas, meskipun hanya sesaat sebelum terbenamnya matahari.

4. Istimna’, yakni keluarnya sperma akibat hubungan seksual. Jika seseorang


mencium istrinya, lalu keluar sperma maka puasanya batal. Adapun jika
melakukan hubungan seksual di siang hari dalam bulan Ramadhan maka
puasanya langsung batal, namun tetap diharuskan menahan diri selayaknya orang
berpuasa dan dikenai kaffarat, yaitu membebaskan budak, atau berpuasa selama
dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enampuluh orang miskin,.

5. Gila dan pingsan. Seseorang yang berpuasa lalu ia mendadak gila atau tidak
sadarkan diri sepanjang siang dan tidak kunjung sadar maka tidak sah puasanya,
namun apabila sadar pada sebagian siang maka puasanya sah.

6. Murtad, yakni keluar dari agama islam dengan pernyataan, perbuatan, atau
keyakinan. Seseorang yang murtad di tengah-tengah puasa, maka puasanya
langsung batal dan wajib mengqadhanya setelah ia masuk islam kembali. 3

F. HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN BAGI ORANG BERPUASA

1. Bersiwak, hal ini merujuk pada penuturan Ammar bin Rabiah:” aku melihat Nabi
Saw hingga tak terhitung jumlahnya padahal beliau sedang berpuasa” . batang
siwak yang digunakan adalah yang kering.

2. Turun ke air dan membenamkan diri di dalamnya untuk mandi atau untuk
mendinginkan badan karena cuaca yang sangat panas.

3. Memakai celak, tetes mata dan sejenisnya yang bisa masuk ke mata serta disuntik
pada otot atau pembuluh nadi. Meski diperbolehkan, hal tersebut menurut
kalangan ulama madzhab Imam syafi’i bertentangan dengan yang utama.

4. Menelan ludah dan kemasukan debu jalanan

3
Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, Fiqih Ibadah, 2009, Jakarta: Penerbit Amzah, hlm. 463-468

6
5. Makan dan minum tanpa disengaja atau lupa

G. HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN DALAM PUASA

1. Menyegerakan berbuka

2. Berbuka dengan kurma matang, lalu kurma kering, setelah itu manisan, kemudian
air. Yang paling disunnahkan adalah kurma matang dan dalam memakannya
hendaknya dalam jumlah yang ganjil.

3. Berdoa ketika hendak berbuka puasa

4. Mengakhirkan waktu sahur. Waktu sahur dimulai dari awal sepertiga malam
terakhir, dan semakin mundur semakin baik (afdhal). Hikmah dari makan sahur
adalah memberikan kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa.

5. Meninggalkan pembiacaraan yang buruk dan tercela, misalnya ghibah


(menggunjing), namimah (mengadu domba), berbohong, dan perbuatan tercela
lainnya.

H. PUASA RAMADHAN

Shaum Ramadhan (Puasa Ramadhan) tersusun atas dua kata yakni shaum dan
ramadhan. Puasa dapat diartikan sebagai menahan diri dari makan dan minum,
bersetubuh, ataupun yang lainnya. Sedangkan Ramadhan berasal dari kata ar Ramadh
yaitu batu yang panas karena teriknya matahari. Ibnu Manshur mengatakan bahwwa
“Ramadhan adalah salah satu nama bulan yang telah dikenal.” Ibnu Duraid
mengatakan bahwa “ketika orang-orang mengadopsi nama-nama bulan dari bahasa
kuno secara sima’i dengan zaman (masa) yang ada di bulan itu, maka bulan
Ramadhan bertepatan dengan masa panas terik, lalu dinamakanlah dengan
Ramadhan.” Al Fairuz Abadi menambahkan “Ramadhan dinamakan demikian karena
ia membakar dosa-dosa.”

Jadi dapat disimpulkan menurut istilah ulama fiqih bahwa Puasa Ramadhan
adalah menahan diri dari segala yang membatalkan sehari pennuh mulai dari terbit
fajar hingga terbenam matahari dengan syarat-syarat tertentu.

I. DASAR HUKUM PUASA RAMADHAN4

4
Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, Fiqih Ibadah, 2009, Jakarta: Penerbit Amzah, hlm. 435-440
7
Hukum puasa ramadhan berlandaskan pada AlQuran, sunnah, dan ijma.

1. Dalil AlQuran adalah sebagai berikut:

“Hai orang-oang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Yaitu) dalam
beberapa hari tetentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit, atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah
(yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS.Al Baqarah:183-184).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika Allah swt mewajibkan puasa kepada
orang-orang yang beriman, bukanlah untuk yang pertama kali dalam sejarah
agama-agama melainkan telah mewajibkan pada umat sebelumnya seperti ahli
kitab dann umat agama sebelumnya. Demikian juga Allah Swt meringankan dan
memudahkan syariat puasa itu terhadap jiwa orang beriman. Sesungguhnya
manusia itu jika mengetahui bhawa ia tidak dibebankan dengan sesuatu yang baru,
melainkan yang telah berlaku sejak dahulu dan dilaksanakan umat sebelumnya,
maka sesuatu itu akan menjadi ringan baginya dan termotivasi untuk
melaksanakannya.

2. Dalam hadits adalah sebagai berikut:


8
Diriwayatkan oleh Al Bukhari Muslim dari Umar bin Khatab bahwa ia pernah
mendengar Rosululah Saw berkata:

“Islam dibangun diatas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad utusan Allah, melakasanakan sholat, menuanaikan zakat, haji,
dan puasa Ramadhan.”

Hadits diatas menunjukkan wajibnya puasa Ramadhan secara jelas dan tegas,
tiadak ada keraguan dan kekaburan maknanya. Imam Nawawi menerangkan
makna hadits seraya mengatakan bahwa “Barangsiapa yang telah melaksanakan
lima rukun islam ini, berarti islamnya telah sempurna.”

3. Dalam Ijma, para ulama mujtaid telah sepakat bahwa Puasa Ramadhan merupakan
salah satu kewajban dalam agama islam yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim laki-laki dan perempuan jika telah memenuhi syarat dan tidak terdapat
halangan.

J. PENETAPAN BULAN RAMADHAN

Penetapan awal Ramadhan dapat dilakukan dengan dua metode, yakni:

1. Hisab, yakni menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

2. Rukyah, yakni melihat hilal bulan Ramadhan. Artinya jika langit cerah, maka
masalah puasa bergantung pada melihat hilal, adapun jika langit mendung, maka
masalah tersebut dikembalikan kepada penggenapan bulan sya’ban.

Pendapat tersebut diambil oleh tiga imam yang terdiri dari Hanafi, Maliki, dan
Syafi’i. sedangkan Hambali berpendapat jika memang tidak mungkin atau sulit
melihat hilal karena mendung atau berawan atau sebab lainnya pada malam 30
sya’ban, maka kewajiban berpuasa lebih didasarkan pada pertimbangan kehati-
hatian, bukan atas dasar keyakinan. Dalam hal ini kelompok kedua bersandar pada
hadits yang diriwayatkan oleh Umar bahwasanya Nabi Saw bersabda:

9
“Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal, dan janganlah kalian ber-
Idhul Fitri sampai kalian melihatnya (hilal). Jika ia tertutup dari (pandangan)
kalian (oleh mendung), maka sempitkanlah ia (menjadi 29 hari saja).”

Maksudnya ialah mengkalkulaskan bilangan sya’ban menjadi 29 hari. Akan tetapi


salah seorang tokoh Hambali yakni IbnuTaimiyyah berpendapat jika rukyah hilal
terhalang mendung pada malam 30 sya’ban maka puasanya ja’iz (boleh).

Rukyah hilal yang valid adalah yang dilakukan setelah terbenam matahari.
Sedangkan dalam hal kesaksian mengenai rukyah hilal, kalangan ahli fiqih
berselisih pendapat soal siapa yang valid kesaksiannya. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa rukyah hilal Ramadhan menjadi sebuah ketetapan yang wajib
diikuti dengan adanya kesaksian sejumlah orang apabila langit cerah, namun
apabila langit mendung maka cukup satu orang saja. Adapun Imam Malik
menggharuskan kesaksian dua orang yang adil dan tidak sah apabila hanya satu
orang saja. Berbeda lagi dengan Imam Syafi’i yang lebih mengunggulkan satu
orang saja dalam persaksian.

K. PERBEDAAN PENDAPAT BERBAGAI MADZHAB DALAM KONTEKS PUASA

1. Niat, dalam hal niat madzhab Syafi’i dan Maliki sepakat bahwa niat adalah rukun
puasa, namun madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa niat masuk dalam
syarat sah puasa sehingga tidak menjadi bagian dari pengertian puasa. Adapun
perbedaan status niat tersebut hanyalah kaidah fiqih yang perlu diketahui oleh
para pakar spesialis dan pengkaji ilmu fiqih. Kesepakatan ulama fiqih bersepakat
bahwa puasa tanpa niat tidaklah sah.

2. Dalam hal waktu ketika berniat ketika puasa wajib, imam Syafi’i, Maliki, dan
Hambali dilakukan pada malam hari, namun Imam Hanafi menyatakan bahwa
puasa Ramadhan tetap mencukupi tanpa niat di malam hari, dan setiap puasa
dapat ditentukan niatnya pada siang hari.

3. Dalam hal bersiwak, Imam Syafi’i dan hambali memakruhkan siwak bagi orang
yang berpuasa setelah tergelincirnya matahari. Hal tersebut disandarkan pada
hadits Nabi “ Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi disisi Allah
daripada aroma minyak misik”.

10
4. Dalam hal membenamkan diri ke dalam air meskipun diperbolehkan oleh
sebagian ulama, namun Imam Hanafi dan Maliki tegas membatalkan puasa jika
berbuat demikian dikarenakan membenamkan diri ke dalam air akan
mengakibatkan mengalirnya air ke dalam kerongkongan. 5

L. HIKMAH PUASA6

1. Puasa membiasakan manusia agar takut kepada Allah Swt baik secara rahasia
maupun terang-terangan. Orang yang berpuasa akan merasakan pengawasan yang
lebih ketat dari Allah Swt dan akan senantiasa menahan dirinya dari hal-hal yang
membatalkan puasa.

2. Puasa membiasakan empati dan kasih saying terhadap kaum fakir miskin. Dengna
berpuasa, seseorang akan merasakan lapar dan susah. Dan dengan demikian, maka
seseorang tersebut akan lebih ringan tangan dalam memberikan bantuan kepada
fakir miskin.

3. Puasa menundukkan hawa nafsu dan menjadikan diri mampu menguasainya


sesuai syariat.

4. Puasa menghilangkan zat-zat merugikan yang mengendap di dalam tubuh,


terutama di dalam tubuh orang-orang yang terbiasa hidup mewah. Puasa juga
mengeringkan bagian-bagian yang lembab di dalam tubuh, membersihkan
lambung dari racun, dan mengeluarkan lemak berbahaya.

5. Puasa melatih kesabaran dan kesabaran merupakan jalan menuju taqwa.

5
Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, ibid hal 434,472.
6
ibid hal.440-444
11
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Lebih tepatnya dengan
disertai niat dan mengharapa ridho Allah swt. Berpuasa meliputi pemenuhan syarat sah,
syarat wajib serta rukun-rukunnya. Di samping itu juga perlu mengetahui hal-hal yang
diperbolehkan dan yang dilarang (dapat membatalkan).

Seseorang yang berpuasa dengan penuh kerelaan akan memperoleh keutamaan dan pahala
yang berlipat. Disampig itu, berpuasa akan menjadikan seseorang lebih bertaqwa dan
senantiasa patuh terhadap perintah Allah semata.

12
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad, 2009, Fiqih Ibadah, Jakarta: Penerbit Amzah

Dahlan, Yahya Abdul Wahid, 2003, Fiqih Ibadah: Praktis dan Mudah, Semarang: PT. Karya
Toha Putra

Sabiq, Sayyid, 1978, Fikih Sunnah, Bandung: PT. Al Ma’arif

Sholehuddin, Wawan Shofwan, 2004, Risalah Shaum, Bandung: Penerbit Tafakur

13

Anda mungkin juga menyukai