1. Syarat puasa
Para ulama fiqih membedakan syarat puasa1
a. Syatat wajib puasa
1) Berakal (‘aqil)
Orang yang tidak berakal tidak diwajibkan ber puasa
2) Baligh (cukup umur)
Anak anak belum wajib berpuasa
3) Kuat berpuasa (qadir)
Orang yang tidak kuat untuk berpuasa baik karena tua atau sakit yang
tidak dapat diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan atasnya puasa,
tapi wajib bayar fidyah.
b. Syarat syah puasa
1) Islam Orang yang bukan Islam (kafir)
2) Mumayiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik dengan yang
baik)
3) Suci dari pada darah haid, nifas dan wiladah
Wanita yang diwajibkan puasa selama mereka tidak haid. Jika
mereka sedang haid tidak diwajibkan puasa, tetapi diwajibkan
mengerjakan qadha sebanyak puasa yang ditinggalkan setelah selesai
bulan puasa.
Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila sang
ibu itu menyusui anaknya ia boleh membayar fidyah. Disinilah letak
perbedaan antara meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa bagi
orang yang sedang haid.
Pada shalat, bagi orang haid lepas sama sekali kewajiban
shalat, sedangkan pada puasa tidak lepas, tetapi didenda untuk dibayar
(diqadha) pada waktu yang lain.
4) Dikerjakan dalam waktu atau hari yang dibolehkan puasa.
2. Rukun puasa
1
TEAM PENYUSUN TEXT BOOK ILMU FIQH I, ILMU FIQH, JILID I (JAKARTA: PROYEK PEMBINAAN PRASARANA DAN
SARANA PERGURUAN TINGGI AGAMA/IAIN JAKARTA, 1983), HLM. 302
Ada dua rukun puasa
1) Niat
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada malam hari,
dengan niat itu orang mulai mengarahkan hatinya untuk berpuasa esok hari,
karena Allah SWT. dan mengharap larangan-larangan-Nya. Karena Allah
SWT. dan mengharap ridhaNya. Diingatkannya dan bertekad mengerjakan
suruhan Agama dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena itulah yang
mesti mengucapkan niat itu hati. Karena hati itulah memancar kemauan
keharusan niat berpuasa, sebagaimana dalam Hadits Rasul:
من لم يبيت الصيام قبل الفجر فال صيام له: م قال.وعن حفصة ام المؤمنين أن النبى ص.
()رواهالخمسه
Artinya: “Dari Hafsah Ummul Mu’minin ra bahwasanya Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa yang tidak menetapkan berpuasa sebelum fajar,
maka tidak sah berpuasanya."2 (Al- Hafid Bin Hajar Al-Asqolani, Bulughul
Maram, An-Nasir: Syirkatun Nur Asyyaa, T.TH, hlmn 132).
Hadits di atas menyatakan bahwa puasa tidak sah kecuali dengan menetapkan
niat pada waktu malam sebelum terbit fajar dan waktu penetapan niat itu semenjak
terbenam matahari. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Subulus Salam.
Dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk kesehatan, berpuasa
tanpa adanya niat puasa untuk melaksanakan ibadah, tapi semata-mata untuk
kesehatannya. Orang yang demikian akan mendapatkan manfaat jasmaniah saja, tapi
tidak mendapatkan rohaniah. Dengan demikian niat puasa harus ada pada orang yang
berpuasa, karena tanpa niat berarti tidak ada puasa.
2
AL-HAFID BIN HAJAR AL-ASQOLANI, BULUGHUL MARAM, (AN-NASIR: SYIRKATUN NUR ASYYAA, T.TH), HLM :
132
َي ا َبِن ي آ َد َم ُخ ُذ وا ِز ي َنَت ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َمْس ِج ٍد َو ُك ُل وا َو ا ْش َر ُبوا َو اَل ُتْس ِر ُفوا ۚ ِإ َّن ُه اَل ُيِح ُّب
ِف
اْل ُم ْس ِر ي َن
3
R.H.A.Soenarjo, SH., et all, Op., Cit., hlm.225.
4
Hamka, Tafsir al Azhar, juz VIII, (Jakarta: PT. Pustaka Pandji Mas, 1984), hlm. 210
5
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahresey, Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III, (Surabaya; PT. Bina Ilmu,
1986), hlm. 396.