Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang dibawa yang diridhoi Allah SWT dan telah
dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai rahmat seluruh alam. Rasulullah SAW
sebagai Nabi telah mengajarkan kepada umat Islam tentang konsep ibadah kepada
Allah sebagai salah satu sarana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada-
Nya. Dalam ibadah yang telah disyariatkan dalam Islam seperti yang kita ketahui
dalam konsep rukun Islam yang terdiri dari mengucap dua kalimat syahadat,
sholat lima waktu, puasa, zakat dan haji.
Terkait dengan konsep ibadah ini telah ada ketentuanya baik dari Al-Qur‟an
ataupun hadits Rasullullah SAW dan telah diterapkan dari masa ke masa, ibadah
sangatlah penting bagi umat Islam yang seharusnya menjadi tujuan utama
manusia diciptakan ke dunia dan menjadi kebutuhan rohani umat Islam. Dari
masa ke masa hingga sekarang sangat banyak panduan-panduan mengenai
ketentuan berpuasa yang bisa kita dapati dalam buku-buku fiqh Islam.
Ketentuan berpuasa ini sangat baik untuk diterapkan dan mengandung banyak
hikmah didalamnya bagi umat Islam baik itu pusa wajib di bulan Ramadhan
maupun puasa-puasa sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Menengok kondisi umat Islam dimasa kini mengenai pemahaman tentang puasa
masih sangat kurang sehingga perlu untuk didakwahkan dan dihidupkan
pelaksanaanya di masyarakat hingga budaya berpuasa ini mampu menjadi salah
satu sarana dalam mendekatkan diri kepada Allah dan mampu membentuk
karakter umat muslim yang baik melalui pelaksanaan puasa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum puasa ?
2. Bagaimana syarat dan rukun puasa ?

1
3. Apa macam-macam puasa dan waktu pelaksanaan puasa ?
4. Bagaimana ketentuan berpuasa dengan tawassul ?
5. Bagaimana itu i‟tikaf ?
6. Apa itu malam lailatul qadr ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui apa pengertian dan dasar hukum puasa ?
2. Untuk Mengetahui bagaimana syarat dan rukun puasa ?
3. Untuk Mengetahui apa macam-macam puasa dan waktu pelaksanaan puasa ?
4. Untuk Mengetahui bagaimana ketentuan berpuasa dengan tawassul ?
5. Untuk Mengetahui bagaimana itu i‟tikaf ?
6. Untuk Mengetahui apa itu malam lailatul qadr ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar hukum puasa


1. Pengertian Puasa
Arti shaum (puasa) dalam bahasa Arab adalah menahan diri dari sesuatu.
Shaama‟anil menahan diri dari berbicara. Puasa yang di maksud dalam ayat
ini adalah diam, tidak berbicara. Orang-orang Arab mengatakan shaama an-
nahaaru (siang sedang berpuasa) apabila gerak bayanga-bayang benda yang
terkena sinar matahari berhenti pada waktu tengah hari.1
Sedang arti shaum menurut istilah syariat adalah menahan diri pada siang
hari dari hal-hal yang membatalkan puasa, disertai niat oleh pelakunya, sejak
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Artinya, puasa adalah
penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kemaluan, serta dari segala
benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan
sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu-yaitu sejak terbitnya fajar kedua
(yakni fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari yang dilakukan oleh orang
tertentu yang memenuhi syarat yaitu : beragama Islam, berakal, dan tidak
sedang haid dan nifas, disertai dengan niat yaitu kehendak hati untuk
melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada keseimbangan, agar ibadah
berbeda dari kebiasaan.
Sedangkan menurut Syari‟at, Puasa adalah mencegah diri dari segala
perkara yang membatalkan dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari
dengan niat ibadah kepada Allah SWT.
Sebagaimana telah disepakati para ulama, hukum Puasa Ramadhan itu
wajib bagi seluruh umat Islam. Sebab, Puasa Ramadha termasuk rukun Islam.
Sehingga, setiap orang muslim yang tidak melaksanakan kewajiban ini,

3
apalagi sampai mengingkari kedudukannya sebagai rukun Islam dan
hukumnya yang wajib itu, berarti dia telah murtad.1
Perintah-perintah mengerjakan puasa difardhukan pada bulan Sya‟ban
yahun ke-2 Hijriah. Puasa itu sendiri termasuk kekhususan umat Islam, dan
ma‟lum dharuri (hukum Islam yang sudah diketahui umum dan sudah tidak
menerima interpretasi lagi, sebab dalilnya adalah “qad‟iyah”. Sehingga orang
yang menentang kewajiban puasa hukumnya kafir.2
2. Dasar Hukum Puasa
a. Firman Allah Subhanallahu Wa ta’ala :
َ‫علَى ٱلَّذِينَ ِمن قَ ۡب ِل ُك ۡم لَعَلَّ ُك ۡم تَتَّقُون‬ ِ ‫علَ ۡي ُك ُم‬
َ ِ‫ٱلصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ُكت‬
َ ‫ب‬
Artinya : “Wahai mereka yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa
(Ramadhan) sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang yang sebelum
kamu, agar kamu bertaqwa.” (QS . Al-Baqarah-183).
Sebagaimana diwajibkan atas umat yang terdahulu. Ayat itu menerangkan
bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di waktu bulan
Ramadhan, wajib dia berpuasa. Seluruh ulama Islam sepakat menetapkan
bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima, karena itu puasa di
bulan Ramadhan adalah wajib dikerjakan.
Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik
laki-laki maupun perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas),
berakal, baligh (dewasa), tidak dalam musafir (perjalanan) dan sanggup
berpuasa. Orang yang tidak beriman ada pula yang mengerjakan puasa
sekarang dalam rangka terapi pengobatan. Meskipun mereka tidak beriman
namun mereka mendapat manfaat juga dari puasanya yaitu manfaat

1
Al-Asqalany, Ibnu Hajar. 2010. E-Book: Terjemhan Bulughul Maram Min Adillatil
Ahkaam. (Kompilasi CHM oleh Dani Hidayat). Versi 3.01. http://www.persis91tsn.tk, diakses pada
tanggal 28 Desember 2019.
2
Ayyub, Syaikh Hasan. 2004. Fiqh Ibadah. (Terjemahan). Cet.1. (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), hal. 34.

4
jasmaniah. Kecuali itu dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk
kesehatan. Walaupun orang ini berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan
ajaran Islam, namun mereka puasanya tanpa niat ibadah kepada Allah yaitu
dengan niat berpuasa esok hari karena Allah dan mengharapkan ridho-Nya,
maka puasanya adalah puasa sekuler. Orang ini mendapat manfaat jasmaniah,
tetapi tidak mendapat manfaat rohaniah.
َ ‫ان فَ َمن‬
َ‫ش ِهد‬ ِ ِۚ ‫ت ِمنَ ۡٱل ُهدَى َو ۡٱلفُ ۡر َق‬ ٖ َ‫اس َوبَ ِين‬ ِ َّ‫ان هُدٗ ى ِللن‬ ُ ‫نز َل فِي ِه ۡٱلقُ ۡر َء‬
ِ ُ ‫ِي أ‬
َٰٓ ‫ضانَ ٱلَّذ‬َ ‫شَهۡ ُر َر َم‬
‫ٱّللُ ِب ُك ُم ۡٱلي ُۡس َر‬َّ ُ‫سفَ ٖر فَ ِعدَّة ِم ۡن أَيَّ ٍام أُخ َۗ ََر ي ُِريد‬َ ‫علَى‬ َ ‫ضا أ َ ۡو‬ً ‫صمۡ ُۖهُ َو َمن َكانَ َم ِري‬ ُ َ‫شهۡ َر فَ ۡلي‬
َّ ‫ِمن ُك ُم ٱل‬
َ‫علَى َما َهدَى ُك ۡم َولَ َعلَّ ُك ۡم ت َ ۡش ُك ُرون‬ َّ ْ‫َو ََل ي ُِريدُ ِب ُك ُم ۡٱلعُ ۡس َر َو ِلت ُ ۡك ِملُواْ ۡٱل ِعدَّة َ َو ِلت ُ َك ِب ُروا‬
َ َ‫ٱّلل‬
Artinya : “ Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-
Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu,
barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. “ (QS. Al-
Baqarah:185)3

B. Syarat dan rukun puasa


Adapun agar puasa seseorang menjadi sah maka dari itu harus memenuhui
syarat dan rukun puasa tersebut, yaitu:
1. Syarat Puasa
Dalam syarat-syarat puasa terdapat 2 syarat yang harus dipenuhi oleh
orang yang berpuasa yaitu , syarat wajib puasa dan syarat sah puasa:
a. Syarat Wajib Puasa :
1) Berakal. Orang yang gila tidak wajib berpuasa.
2) Balig (umur 15 tahun ke atas) atau ada tanda yang lain. Anak-anak
tidak wajib puasa.

3
Rasjid, Sulaiman. 2016. Fiqh Islam. Cet. 73. (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hal. 98.

5
3) Kuat berpuasa. Orang yang tidak kuat, misalnya karena sudah tua atau
sakit, tidak wajib puasa.
Firman Allah Subhanallahu wa Ta‟ala :
َ ‫ان فَ َمن‬
َ‫ش ِهد‬ ِ ِۚ َ‫ت ِمنَ ۡٱل ُهدَى َو ۡٱلفُ ۡرق‬ ٖ َ‫اس َوبَيِن‬ ِ َّ‫ان هُدٗ ى ِللن‬ ُ ‫نز َل فِي ِه ۡٱلقُ ۡر َء‬
ِ ُ ‫ِي أ‬
َٰٓ ‫ضانَ ٱلَّذ‬َ ‫شَهۡ ُر َر َم‬
‫ٱّللُ بِ ُك ُم ۡٱلي ُۡس َر‬َّ ُ‫سفَ ٖر فَ ِعدَّة ِم ۡن أَيَّ ٍام أُخ َۗ ََر ي ُِريد‬َ ‫علَى‬ َ ‫ضا أ َ ۡو‬ً ‫صمۡ ُۖهُ َو َمن َكانَ َم ِري‬ ُ َ‫شهۡ َر فَ ۡلي‬
َّ ‫ِمن ُك ُم ٱل‬
َ‫علَى َما َهدَى ُك ۡم َولَعَلَّ ُك ۡم ت َ ۡش ُك ُرون‬ َّ ْ‫َو ََل ي ُِريدُ بِ ُك ُم ۡٱلعُ ۡس َر َو ِلت ُ ۡك ِملُواْ ۡٱل ِعدَّة َ َو ِلت ُ َكبِ ُروا‬
َ َ‫ٱّلل‬
“Barang siapa sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah bagianya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu , dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah:185)

ُ ‫علَى ٱلَّ ِذينَ ي ُِطيقُونَ ۥه‬ َ ‫سفَ ٖر فَ ِعدَّة ِم ۡن أَيَّ ٍام أُخ ِۚ ََر َو‬
َ ‫علَى‬ َ ‫ضا أ َ ۡو‬ ً ‫ت فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِري‬ ٖ ِۚ َ‫أَي َّٗاما َّمعۡ دُود‬
َ‫صو ُمواْ َخ ۡير لَّ ُك ۡم إِن ُكنت ُ ۡم ت َعۡ لَ ُمون‬ ُ َ ‫ع خ َۡي ٗرا فَ ُه َو خ َۡير لَّ ِۚۥهُ َوأَن ت‬ ُٖۖ ‫طعَا ُم ِم ۡس ِك‬
َ َ ‫ين فَ َمن ت‬
َ ‫ط َّو‬ َ ‫فِ ۡديَة‬
“ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidakberpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin”.
(QS. Al -Baqarah:184)

b. Syarat Sah Puasa :4


1) Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah berpuasa.
2) Mumayiz (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik).
3) Suci dari haid (kotoran) dan nifas (darah sehabis melahirkan). Orang yang
haid ataupun nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi keduanya wajib
mengqada‟ (membayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya.
Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya. Dilarang puasa pada
hari raya dam hari tasyriq (tanggal 11,12,13 bulan Haji), seperti puasa
pada hari raya Idul Fitri ( 1 Syawal), Idul Adha (10 Zulhijjah), tiga hari

4
Sabiq, Sayyid. 1993. Fikih Sunnah 3. (Terjemahan). Cet. 8 (Bandung: Al-Ma‟arif), hal.109.

6
tasyrik, yakni hari 11, 12 dan 13 Zulhijjah, hari syak, yakni hari 30
Sya‟ban yang tidak terlihat bulan (hilal) pada malamnya.
2. Rukun Puasa
a. Menahan dari segala hal yang membatalkannya sejak fajar terbit samapai
matahari terbenam
b. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang
dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya.
Hal itu didasarkan pada penjelasan Allah Subahanallahu
Wata‟ala.Ketika berfirman,
‫ٱّللُ أَنَّ ُك ۡم ُكنت ُ ۡم‬
َّ ‫ع ِل َم‬َ ‫سآَٰئِ ُك ِۡۚم ُه َّن ِلبَاس لَّ ُك ۡم َوأَنت ُ ۡم ِلبَاس لَّ ُه َۗ َّن‬
َ ِ‫ث إِلَى ن‬ ُ َ‫ٱلرف‬
َّ ‫ٱلصيَ ِام‬ ِ َ‫أ ُ ِح َّل لَ ُك ۡم لَ ۡيلَة‬
ْ‫ٱّللُ لَ ُك ِۡۚم َو ُكلُوا‬َّ ‫َب‬ َ ‫عن ُك ُۡۖم فَ ۡٱلـنَ بَش ُِرو ُه َّن َو ۡٱبت َغُواْ َما َكت‬ َ ‫عفَا‬ َ ‫علَ ۡي ُك ۡم َو‬
َ ‫َاب‬ َ ‫س ُك ۡم فَت‬ َ ُ‫ت َۡخت َانُونَ أَنف‬
‫ام إِلَى‬ َ َ‫ٱلصي‬ ِ ْ‫ض ِمنَ ۡٱلخ َۡي ِط ۡٱۡل َ ۡس َو ِد ِمنَ ۡٱلفَ ۡج ُۖ ِر ث ُ َّم أَتِ ُّموا‬ ُ َ‫ط ۡٱۡل َ ۡبي‬ ُ ‫ٱش َربُواْ َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ۡٱلخ َۡي‬ ۡ ‫َو‬
َّ ‫ٱّللِ فَ ََل ت َۡق َربُوه ََۗا َكذَلِكَ يُبَيِ ُن‬
ُ‫ٱّلل‬ َّ ُ ‫س ِج َِۗد تِ ۡلكَ ُحدُود‬ َ ‫ع ِكفُونَ فِي ۡٱل َم‬ َ ‫ٱلَّ ۡي ِۚ ِل َو ََل تُبَش ُِرو ُه َّن َوأَنت ُ ۡم‬
َ‫اس لَعَلَّ ُه ۡم يَتَّقُون‬
ِ َّ‫َءايَتِِۦه ِللن‬
Artinya: “Maka sekarang, bolehlah kamu mencampuri mereka dan hendaklah
kamu mengusahakan apa yang diwajibkan Allah atasmu, dan makan-
minumlah hingga nyata garis putih dan garis hitam berupa fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa sampai malam. (QS. Al-Baqarah:187)
Yang dimaksud dengan garis putih dan garis hitam ialah terangnya
siang dan gelapnya malam. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim bahwa „Adi bin Hatim bercerita : “Tatkala turun ayat
yang artinya : “hingga nyata benang putih dari benang hitam berupa fajar”
saya ambillah seutas tali hitam dan seutas tali putih, lalu saya taruh dibawah
bantal dan saya amat-amati di waktu malam dan ternyata tidak dapat saya
bedakan. Maka pagi-pagi saya datang menemui Rasulullah Saw dan saya
ceritakan padanya hal itu.5

5
Zakariyya Al-Kandahlawi Rah.a, Maulana Muhammad. 2011. Kitab Fadhilah Amal,
(Terjemahan). (Yogyakarta: Ash-Shaff), hal. 291.

7
C. Hal-hal yang dapat membatalkan puasa
1. Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja, seperti
makan, minum, merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau ke dalam
hidung hingga melewati pangkal hidungnya. Tetapi jika karena lupa, tiadalah
yang demikian itu membatalkan puasa. Suntik di lengan, di paha, di punggung
atau lainnya yang serupa, tidak membatalkannya, karena di paha atau
punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.
2. Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkannya.
3. Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi
wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.
4. Jima‟ pada siang hari.
5. Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
6. Murtad, yakni keluar dari agama Islam.
Perlu diterangkan disini tentang sanksi orang yang jima‟/bercampur pada
siang hari di bulan Ramadhan; Orang yang berjima‟/melakukan hubungan
kelamin pada siang hari bulan Ramadhan, puasanya batal. 6

D. Macam-macam puasa dan waktu pelaksanaan puasa


Puasa itu bermacam-macam. Ada yang wajib, sunnah, haram, dan ada pula
yang makruh.7
1. Puasa Wajib
Puasa ini terbagi ke dalam tiga kategori.
a. Pertama, puasa yang wajib karena datangnya waktu tertentu, yaitu puasa
b. bulan Ramadhan. Kedua, puasa yang wajib karena suatu „illat (sebab).

6
Az-Zuhaili, Wahbah . 2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Terjemahan), Cet. 10 (Damaskus:
Darul Fikr), hal. 89.
7
Az-Zuhaili, Wahbah . 2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Terjemahan), Cet. 10 (Damaskus:
Darul Fikr), hal. 78-79.

8
c. Yaitu puasa kafarat. Ketiga, puasa yang wajib karena diwajibkan oleh
seseorang atas dirinya sendiri, yaitu puasa nadzar.
2. Puasa Sunnah
a. Puasa enam hari di bulan Syawal
b. Puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan puasa Arafah bagi orang yang
tidak berhaji
c. Puasa asyura
d. Puasa di bulan Sya‟ban
e. Puasa di bulan-bulan haram (Dzulqa‟idah, Dzulhijjah, Muharram dan
Rajab)
f. Puasa setiap hari Senin dan Kamis
g. Puasa tiga hari pada pertengahan bulan
h. Puasa Daud (puasa sehari dan tidak berpuasa sehari)8

3. Puasa Makruh
Misalnya, puasa dahr, puasa hari hari jum‟at semata, puasa hari sabtu
semata, puasa hari syakk, dan puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan
(menurut Jumhur, tapi menurut Syafi‟i dua jenis puasa terakhir ini haram).
Menurut yang rajih dalam madzhab Maliki, puasa dahr dan puasa hari jum‟at
semata tidak makruh menurut selain madzhab Maliki, kemakruhan kedua
puasa ini bersifat tanzihiyah.
Menurut fiqih 4 (empat) mazhab, puasa makruh itu antara lain :
1) Puasa pada hari Jumat secara tersendiri
Berpuasa pada hari Jumat hukumnya makruh apabila puasa itu
dilakukan secara mandiri. Artinya, hanya mengkhususkan hari Jumat
saja untuk berpuasa.

8
Bahreisj, Hussein. 1980. Pedoman Fiqih Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas), hal. 177.

9
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya mendengar Nabi saw.
bersabda: “Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum‟at, melainkan
bersama satu hari sebelumnya atau sesudahnya.”
2) Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah
salah seorang dari kamu mendahului bulan Ramadhan dengan puasa
sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka
berpuasalah hari itu.”
3) Puasa pada hari syak (meragukan)
Dari Shilah bin Zufar berkata: Kami berada di sisi Amar pada hari
yang diragukan Ramadhan-nya, lalu didatangkan seekor kambing,
maka sebagian kaum menjauh. Maka „Ammar berkata: Barangsiapa
yang berpuasa hari ini maka berarti dia mendurhakai Abal Qasim saw.

4) Puasa Haram
Menurut jumhur atau makhruh tahriiman menurut madzhab
Hanafi, antara lain :9
1. Hari Raya Idul Fitri
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat
Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan
dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di
hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai

9
Kamal , Abu Malik bin Salim As-Sayyid. 2009. Shahih Fikih Sunnah, (Terjemahan), Cet. 3
(Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 54-55.

10
pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling
tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
2. Hari Raya Idul Adha
Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya
kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan
umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan
membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga.
Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan
menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.
3. Puasa sunnah bagi istri tanpa izin suaminya atau tanpa keyakinan
si istri bahwa suaminya rela jika dia berpuasa, kecuali jika si suami
tidak membutuhkan istri-istri, misalnya si suami sedang bepergian,
sedang ihram haji atau umrah, atau sedang beri‟tikaf. Alasan
lainnya adalah karena hak suami merupakan kewajiban atas istri,
tidak boleh ditinggalkan untuk mengerjakan amal sunnah.
4. Puasa pada hari syakk (keraguan), yaitu tanggal 30 Sya‟ban,
apabila masyarakat ragu apakah hari tersebut sudah masuk bulan
Ramadhan atau belum. Para fuqaha mendefinisikan hari syakk
dengan kalimat yang mirip satu sama lain, hanya saja merekan
berbeda pendapat tentang hukumnya namun, mereka sepakat
bahwa puasa hari syakk itu tiadak makruh dan boleh dilakukan jika
hari itu bertepatan dengan kebiasaan seorang muslim berpuasa
sunnah, seperti hari senin atau kamis.
5. Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada
tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari raya
Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Pada tiga
hari itu masih dibolehkan utnuk menyembelih hewan qurban
sebagai ibadah yang disunnahkan sejak zaman nabi Ibrahim as.

11
6. Puasa sepanjang tahun / selamanya
Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari.
Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang
tubuhnya kuat. Tetapi secara syar`i puasa seperti itu dilarang oleh
Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW
menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu
sehari puasa dan sehari berbuka.

E. Puasa dengan Tawassul


Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang meninggal dunia, tetapi ia
belum mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya, maka walinya atau selain
wali tidak perlu mengganti shalat-shalatnya tersebut. Begitu juga orang yang
tidak mampu melaksanakan puasa, tidak ada seorangpun yang boleh
menggantikan puasanya ketika ia masih hidup. Jika ia meninggalkan, tapi ia
belum mengganti puasa yang telah ditinggalkanya, padahal sebenarnya ia mampu
melaksanakannya, maka para ulama berselisih mengenai hal ini. Mayoritas ulama
diantara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, dan Syafi‟i. Didalam riwayat yang
masyhur berpendapat bahwa wilinya tidak perlu mengganti puasa tersebut. Ia
hanya wajib membayarkan fidyahnya yang banyaknya 1 mud untuk setiap hari.
Menurut pendapat yang terpilih dikalangan Syafi‟iyah, walinya disunnahkan
mengganti puasanya. Jika wali melakukan hal itu, maka mayat telah terbebas dari
utang puasa tanpa ada fidyah yang harus dibayarkan. Yang dimaksud dengan wali
disini adalh kerabat, baik dari ashaba, ahli waris, maupun lainya.
Imam Nawawi berkata, “Pendapat ini adalah yang benar, terpilih, dan yang
kami yakini. Itulah pendapat yang telah didukung oleh ahli Tahkik diantara kami
yang berusaha mengombinasikan antara fiqh dan hadits berdasarkan hadits-hadits
yang sahih dan jelas maknanya tersebut”

F. Orang yang wajib dan tidak wajib berpuasa

12
Mengenai orang yang wajib dan tidak wajib berpuasa adalah sebagi berikut ;
1. Orang yang wajib puasa
Para ulama bersepakat sesungguhnya puasa itu wajib bagi setiap orang
muslim yang berkal, sudah baligh, yang sehat badan, dan yang tidak sedang
bepergian. Bagi seorang wanita selain syarat-syarat tersebut, ia harus tidak
sedang mengalami haid atau nifas.
2. Orang yang tidak wajib berpuasa
Mengenai orang yang tidak wajib berpuasa dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Orang yang tidak wajib berpuasa tetapi wajib mengqodho puasanya
1) Orang yang sakit yang masih bisa sembuh
2) Musafir
3) Wanita yang sedang haid atau nifas
4) Wanita hamil dan menyusui yang dikhawatirkan dapat membahayakan
diri dan anaknya
b. Orang yang tidak wajib berpuasa tetapi membayar fidyah
1) Orang tua yang sudah sama sekali tidak memiliki tenaga untuk
berpuasa.
2) Orang yang sakit dan sulit diharapkan kesembuhanya
3) Pekerja berat yang tidak mendapat penghasilan selain pekerjaan
tersebut.
c. Orang yang tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqodho atau
membayar fidyah terhadap puasanya
1) Orang kafir
2) Anak kecil
3) Orang gila.12

G. I’tikaf
Menurut pengertian bahasa, makna i‟tikaf ialah berhenti atau menahan atas
suatu yang baik ataupun yang buruk. Sedangkan menurut pengertian syariat

13
makna i‟tikaf ialah berdiam diri di masjid jami‟ dengan niat beribadah kepada
Allah.
I‟tikaf memiliki hikmah dalam rangka mendorong hati supaya mau berduaan
dengan Allah, dan mendidik jiwa agar bersedia menghadap Allah disertai dengan
puasa, berdzikir, dan berpikir jernih tentang ni‟mat-nimatnya yang melimpah
ruah, dan tentang bagaimana seseorang menunggu nasibnya pada hari kiamat
kelak ketika ia dengan mengiba-iba memohon ampunan serta rahmatNya. Dalam
beri‟tikaf hukumnya wajib bagi seseorang yang bernazar atau bersumpah.
Hukumnya sunnah dianjurkan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan,
karena Nabi SAW selalu menjalankan i‟tikaf pada sepuluh hari terakhir dari
bulan ramadhan sampai Allah ta‟ala mewafatkannya. I‟tikaf ini dimustasbkan
dilakukan dalam setiap waktu dan lebih utama pada 10 hari terakhir bulan
Ramadhan untuk mencari malam Lailatul Qadr.Tidak sah i‟tikaf kecuali
dilakukan dalam masjid, menurut pendapat Maliki dan Syafi‟i, dan yang lebih
utama lagi dimasjid tempat didirikannya shalat jum‟at. Hanafi berpendapat laki-
laki tidak sah beri‟tikaf kecuali dilakukan didalam masjid tempat didirikannya
shalat berjamaah. Hambali berpendapat tidak sah I‟tikaf kecuali dilakukan
ditempat dilakukannya shalat jum‟at.10
Menurut para ulama dari madzhab Hanafi, Asy-Syafi‟i, dan Hanbali, I‟tikaf
itu minimal dilakukan sebentar saja, yaitu i‟tikaf yang hanya dianjurkan. Ketika
seorang lewat di dalam masjid lalu niat i‟tikaf, atau ia masuk masjid untuk
melakukan shalat fardhu atau shalat sunnat dan ia niat i‟tikaf bersamaan shalat,
maka dalam jangka waktu yang relative singkat tersebut ia sudah mendapat
pahala sebagai orang yang melakukan i‟tikaf. Menurut mereka, tidak ada batas
maksimal melakukan i‟tikaf. Sedangkan menurut Imam Malik, I‟tikaf yang
mandub itu minimal sehari semalam dan maksimal sebulan.
1. Rukunnya ada dua yaitu :

10
Ibid., hal. 98.

14
a. Berdiam diri di masjid walaupun hanya sebentar
b. Niat.
2. Syaratnya yaitu :
a. Islam dan sudah bisa membedakan mana baik dan yang buruk,
b. Suci dari hadas besar,
c. Menurut ulama madzhab Hanafi dan Ahmad : orang harus melakukan
I‟tikaf di masjid yang biasa digunakan untuk shalat berjamaah, sementara
menurut Imam Malik dan ulama mazhab Sya-Fi‟i sah hukumnya I‟tikaf
disetiap masjid tanpa ada syarat harus di masjid jami‟.
Yang membatalkan i‟tikaf yaitu :
1. Berhubungan badan
2. Murtad dari Islam
3. Mabuk
4. Makan dan minum pada siang hari ketika orang yang bersangkutan sedang
berkewajiban berpuasa
5. Gila
6. Haid dan nifas
7. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang bersifat alami, atau yang
dianggap penting menurut syariat.11

H. Malam Lailatul Qadr


Diantara malam-malam di bulan Ramadhan terdapat satu malam yang disebut
Lailatul Qadar yang sangat banyak kebaikan dan keberkahanya. Al-Qur‟an telah
menyatakan keutamannya, yaitu lebih utama daripada seribu bulan. Seribu bulan
sama dengan 83 tahun 4 bulan. Betapa beruntungnya orang yang memperoleh
kesempatan beribadah dengan sungguh-sungguh pada malam itu, karena berarti ia

11
Latif, M. Djamil. 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Ramadhan. (Jakarta: Ghalia Indonesia,
hal.79.

15
telah mendapatkan pahala beribadah selama lebih dari 83 tahun 4 bulan. Kata lebih
maksudnya, lebih baik dari seribu bulan, tanpa kita ketahui berapa bulan lebihnya.
Pada hakikatnya karunia Allah SWT sangat besar dan tanpa batas bagi orang yang
mau menghargainya. Di dalam kitab Durrul Matsur terdapat sebuah hadits dari
sayyidina Anas Radiyallahu „anhu bahwa baginda Rasulullah SAW bersabda,
“ Allah SWT memberi Lailatul Qadr ini tidak pernah diberikan kepada umat-
umat yang terdahulu. Terkait malam lailatul qadr dijelaskan dalm Al-Qur‟an
Allah SWT berfirman:
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam
kemuliaan. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan
itu lebih baik dari seribu bulan”.(Q.S. Al-Qadr :1-3)
Maksud ayat tersebut adalah amal kebaikan yang dilakukan didalam lilatul
qadar , seperti shalat, membaca Al-Qur‟an, dan dzikir lebih baik dari pada amal
yang dilakukan selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadarnya .12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Puasa adalah salah satu rukun islam, maka dari itu wajiblah bagi kita untuk
melaksanakan puasa dengan ikhlas tanpa paksaan dan mengharap imbalan dari
orang lain. Jika kita berpuasa dengan niat agar mendapat imbalan atau pujian dari
orang lain, maka puasa kita tidak ada artinya. Maksudnya ialah kita hanya
mendapatkan rasa lapar dan haus dan tidak mendapat pahala dari apa yang telah
kita kerjakan. Puasa ini hukumnya wajib bagi seluruh ummat islam sebagaimana
telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita.

12
Muhammad, Syaikh Al-„Amanah bin Ad-Damasyqi „Abdurahman. 2016. Fiqih Empat
Mazhab. (Terjemahan). Cet. 17. (Bandung: Hasyimi), hal. 188.

16
Puasa haruslah dilakukan pada selain hari-hari yang telah diharamkan dan
dalam menjalankannyapun harus menghindari hal-hal yang dapat membatalkan
puasa.diantaranya muntah dengan sengaja,ragu, berubah niat, danlain sebagainya.
Puasa mengandung banyak hikmah baik dalam segi kejiwaan seperti
membisakan sabar dan berprilaku baik. Dalam segi social seperti sikap saling
tolong menolong.dalam segi kesehatan seperti, membersihkan usus. Maupun
dalam segi rohani yaitu selalu berdzikir kepada allah.serta dapat lebih
mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalany, Ibnu Hajar. 2010. E-Book: Terjemhan Bulughul Maram Min Adillatil
Ahkaam. (Kompilasi CHM oleh Dani Hidayat). Versi 3.01.
http://www.persis91tsn.tk, diakses pada tanggal 28 Desember 2019.

Ayyub, Syaikh Hasan. 2004. Fiqh Ibadah. (Terjemahan). Cet.1. (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar).

Rasjid, Sulaiman. 2016. Fiqh Islam. Cet. 73. (Bandung: Sinar Baru Algensindo).

17
Sabiq, Sayyid. 1993. Fikih Sunnah 3. (Terjemahan). Cet. 8 (Bandung: Al-Ma‟arif).

Zakariyya Al-Kandahlawi Rah.a, Maulana Muhammad. 2011. Kitab Fadhilah Amal,


(Terjemahan). (Yogyakarta: Ash-Shaff).

Az-Zuhaili, Wahbah . 2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Terjemahan), Cet. 10


(Damaskus: Darul Fikr)

Bahreisj, Hussein. 1980. Pedoman Fiqih Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas).

Kamal , Abu Malik bin Salim As-Sayyid. 2009. Shahih Fikih Sunnah, (Terjemahan),
Cet. 3 (Jakarta: Pustaka Azzam).

Latif, M. Djamil. 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Ramadhan. (Jakarta: Ghalia
Indonesia).

Muhammad, Syaikh Al-„Amanah bin Ad-Damasyqi „Abdurahman. 2016. Fiqih


Empat Mazhab. (Terjemahan). Cet. 17. (Bandung: Hasyimi).

18

Anda mungkin juga menyukai