Anda di halaman 1dari 32

Panduan Puasa Ramadhan Sesuai Al-

Qur`an Dan As-Sunnah

Ummu Abdurrohman Nabila, S.Pd


Berikut ini kami ketengahkan tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa
ringkasan dan kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah ‫ ﷺ‬yang shohih.

Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami
uraikan dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi
setiap muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.

Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan


muslimat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
1. PENGERTIAN PUASA BAIK SECARA BAHASA MAUPUN SECARA ISTILAH
Definisi puasa secara bahasa artinya menahan, seperti menahan tidak berbicara, tidak makan, tidak safar, dll.
Adapun puasa menurut istilah ialah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan seluruh hal yang dapat
membatalkannya dengan niat beribadah kepada Alloh Ta’ala dari semenjak terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari.

2. HUKUM PUASA RAMADHAN


Puasa Ramadhan hukumnya WAJIB, puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam dan salah satu kewajiban di
antara sekian banyak kewajiban lainnya.

3. DALIL PENSYARI’ATAN PUASA


Dalil pensyari’atan puasa berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’
a. Allah berfirman : ‫يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون‬
Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)
Sampai pada ayat :

‫شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى و الفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه‬
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) . Karena itu
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu.Barang siapa yang telah melihat bulan itu maka
hendaklah kalian berpuasa.

b. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah, bersabda, “Islam ditegakkan di atas lima perkara: (pertama) bersaksi bahwa tiada Ilah
(yang patut diibadahi) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul utusan-Nya, (kedua) menegakkan shalat, (ketiga)
mengeluarkan zakat, (keempat) menunaikan ibadah haji, dan (kelima) berpuasa di bulan Ramadhan. ” (Muttafaqun 'alaih).

‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه‬: ‫عن أبي هريرة قال‬
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala di sisi
Allah, niscaya diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun 'alaih).

c. Umat Islam sepakat atas wajibnya shiyam (berpuasa) Ramadhan dan termasuk salah satu rukun Islam yang harus diketahui
dengan sebuah kelaziman sebagai bagian dari Islam, dan bahwa orang yang mengingkarinya menjadi murtad (keluar) dari Islam.
4. KEUTAMAAN PUASA RAMADHAN
a. Menjadikannya sebagai wijaa' (benteng syahwat)
b. Benteng dari neraka
c. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
d. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas
e. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan
f. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk
g. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
h. Puasa Sebagai Kafarat
i. Surga Royyan Bagi Orang yang Puasa

5 . CARA MENETAPKAN AWAL BULAN RAMADHAN


a. Melihat hilal bulan Ramadhan
b. Menggenapkan bulan sya’ban 30 hari.
c. Penetapan ramadhan cukup satu orang saksi,untuk penetapan syawal minimal dua orang
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits berikut :
‫ صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثالثين‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن أبي هريرة قال‬
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah
kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal) ; jika mendung atas kalian, maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi tiga puluh
6. YANG WAJIB MELAKSANAKAN SHIYAM
Para ulama' sepakat bahwa shiyam, puasa wajib dilaksanakan oleh:
 Orang muslim,
 Berakal sehat,
 Baligh,
 Sehat jasmani,
 Muqim [tidak sedang bepergian] dan
 Untuk perempuan harus dalam keadaan suci dari darah haidh dan nifas. (Lihat Fiqhus Sunnah I: 506).
7. SIAPA-SIAPA YANG DI BERI KERINGANAN TIDAK PUASA RAMADHAN?
1. Orang yang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya
2. Sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya
3. Musafir
4. Wanita Haid
5. Wanita Nifas
6. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
7. Laki-Laki yang sudah tua dan tidak mampu lagi berpuasa
8. Wanita yang sudah tua dan tidak mampu lagi berpuasa
Rukun Berpuasa

1. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq.


Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬:
‫ِإَّن َم ا اَأْلْع َم اُل ِبالِّن َّيات‬
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab ‫رضي‬
‫)هللا عنه‬
Juga hadits Hafshah ‫رضي هللا عنها‬, bersabda Rasulullah ‫ ﷺ‬:
‫َم ْن َلْم َي ْج َم ِع الِّص َي اَم َق ْب َل اْل َفْج ِر َفَال ِص َي اَم َلُه‬
“Barang siapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR.
Ahmad dan Ashabus Sunan)

Asy-Syaikh Muqbil ‫ رحمه هللا‬menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama
menghasankannya. Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, dan ‘Aisyah
‫ رضي هللا عنهم‬, serta tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para sahabat ‫رضي هللا عنهم‬.
Niat Dalam Puasa
 Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah
lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah ‫ ﷺ‬dalam hadits ‘Umar bin Khaththab ‫رضي هللا عنه‬
yang diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhary dan Muslim :

‫ِإَّن َم ا اَأْلْع َم اُل ِبالِّن َّياِت َو ِإَّن َم ا ِلُك ِّل اْم ِر ٍئ َم ا َن َو َى‬
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan
apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak
ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan
sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena Allah ‫ ﷻ‬:
 Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
 Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah
matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
 Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut
pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
 Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam
menurut pendapat yang paling kuat.
2. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya
matahari.

Telah diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim ‫ رحمهما هللا‬hadits dari ‘Umar bin al-
Khaththab ‫ رضي هللا عنه‬bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :

‫ِإَذ ا َأْق َبَل الَّلْيُل ِم ْن َه ُهَن ا َو َأْد َبَر الَّن َه اُر ِم ْن َه ُهَن ا َو َغ َر َبِت الَّش ْم ُس َفَقْد َأْف َط َر الَّصاِئُم‬
“Jika muncul malam dari arah sini (timur) dan hilangnya siang dari arah sini (barat) serta matahari
telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

- Puasa dimulai dengan munculnya fajar.


- Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu : fajar kadzib dan fajar shadiq.
- Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini
muncul, masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Subuh karena belum
masuk waktu.
Syarat Wajib Puasa
Syarat wajibnya puasa yaitu : (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh, dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.
1. Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah ‫ ﷻ‬:
‫َو َم ْن َك اَن َم ِر يًضا َأْو َع َلى َس َف ٍر َف ِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر‬
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’
puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak
berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan ulama. Namun jika mereka ttp berpuasa dalam keadaan
demikian, puasa mereka ttp sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas.
Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah ‫رضي هللا عنها‬. Hadits tersebut adalah
‫ َق اَلْت َك اَن‬.‫َع ْن ُم َع اَذ َة َق اَلْت َس َأْل ُت َع اِئَش َة َف ُقْل ُت َم ا َب اُل اْل َح اِئِض َت ْق ِض ى الَّصْو َم َو َال َت ْق ِض ى الَّص َالَة َفَقاَلْت َأَح ُروِر َّي ٌة َأْن ِت ُقْل ُت َلْس ُت ِبَح ُروِر َّيٍة َو َلِك ِّن ى َأْس َأُل‬
‫ُيِص يُبَن ا َذ ِلَك َف ُنْؤ َم ُر ِبَقَض اِء الَّصْو ِم َو َال ُنْؤ َم ُر ِبَقَض اِء الَّص َالِة‬.
Dari Mu’adzah ‫ رضي هللا عنه‬dia berkata : “Saya bertanya kepada Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang
haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku
menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka
kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” Berdasarkan kesepakatan para
ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
2. Syarat Sahnya Puasa

Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu :


(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas.
Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat.
Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat
sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi ‫ ﷺ‬,
‫ِإَّن َم ا اَألْع َم اُل ِبالِّن َّياِت‬
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”

Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya
sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan
ibadah.

Namun perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah
kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. Semoga Allah ‫ ﷻ‬merahmati An Nawawi ‫رحمه هللا تعالي‬
(ulama besar dalam Syafi’iyah( yang mengatakan :

‫اَل َيِص ُّح الَّصْو َم ِإاَّل ِبالِّن َّيِة َو َمَح ُّلَه ا الَقْل ُب َو اَل ُيْش َت َر ُط الُّن ْط ُق ِبَال ِخ اَل ٍف‬
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan.
Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini ‫ رحمه هللا‬mengatakan :
‫ َو اَل ُيْش َتَر ُط الَّتَلُّفُظ ِبَها َقْطًعا َك َم ا َقاَلُه ِفي الَّر ْو َض ِة‬، ‫ َو اَل َتْك ِفي ِبالِّلَس اِن َقْطًعا‬، ‫الِّنّيُة َم َح ُّلَها اْلَقْلُب‬
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk
dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ‫ رحمه هللا‬mengatakan :

‫َو الِّنَّيُة َم َح ُّلَها اْلَقْلُب ِباِّتَفاِق اْلُع َلَم اِء ؛ َفِإْن َنَو ى ِبَقْلِبِه َو َلْم َيَتَك َّلْم ِبِلَس اِنِه َأْج َز َأْتُه الِّنَّيُة ِباِّتَفاِقِهْم‬
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan
dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ‫ رحمه هللا‬menjelaskan pula :


“Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya
disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian
ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan
lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang
yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya
dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”
Wajib Berniat Sebelum Fajar
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh -istri Nabi - ‫ﷺ‬, Nabi ‫ ﷺ‬bersabda :
‫َم ْن َلْم ُيْج ِم ِع الِّص َي اَم َقْب َل اْلَف ْج ِر َفَال ِص َي اَم َلُه‬
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di
setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan
Nabi ‫ﷺ‬. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah‫ رضي هللا عنهما‬berkata :
‫ ُثَّم َأَت اَن ا َي ْو ًما آَخ َر َف ُقْل َن ا َي ا َر ُسوَل ِهَّللا ُأْه ِدَى‬.» ‫ َق اَل « َف ِإِّن ى ِإًذ ا َص اِئٌم‬.‫ َف ُقْل َن ا َال‬.» ‫ َذ اَت َي ْو ٍم َفَقاَل « َه ْل ِع ْن َد ُك ْم َش ْى ٌء‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َد َخ َل َع َلَّى الَّن ِبُّى‬
‫ َف َأَك َل‬.» ‫ َفَق اَل « َأِر يِنيِه َفَلَقْد َأْص َب ْح ُت َص اِئًما‬. ‫َلَن ا َح ْيٌس‬
“Pada suatu hari, Nabi ‫ ﷺ‬menemuiku dan bertanya : “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab : “Tidak
ada.” Beliau ‫ ﷺ‬berkata : “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau ‫ ﷺ‬datang lagi pada hari yang
lain dan kami berkata : “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin
dan keju).” Maka beliau ‫ ﷺ‬pun berkata : “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi aku berpuasa, maka
beliaupun memakannya.”
An Nawawi ‫ رحمه هللا‬mengatakan : “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat puasa sunnah di siang
hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang
hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari),
maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak
berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam
shalat.
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam
keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1
Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya. Niat itu
pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (fajar
shodiq) hingga terbenamnya matahari, berdasarkan firman Allah ‫ ﷻ‬:

‫َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َح َّت ى َي َت َب َّي َن َلُك ُم اْلَخ ْي ُط اَأْلْب َي ُض ِم َن اْلَخ ْي ِط اَأْلْس َو ِد ِم َن اْلَفْج ِر ُثَّم َأِتُّموا الِّص َي اَم ِإَلى الَّلْي ِل‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan
yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ‫ رضي هللا عنه‬ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi ‫ ﷺ‬berkata padanya :

‫ِإَّن َم ا َذ اَك َبَي اُض الَّن َه اِر ِم ْن َسَو اِد الَّلْي ِل‬
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”. Nabi ‫ ﷻ‬mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena
sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun
ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah ‫ﷻ‬, kemudian beliau pun menertawai
kelakukan ‘Adi bin Hatim ‫ رضي هللا عنه‬.
Siapa yang Diwajibkan Berpuasa ?
 Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama
bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim (bukan musafir), dan bila ia
seorang wanita maka harus bersih dari haid dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa atas orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita
haid dan nifas, orang tua yang lemah, serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan
seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim. Ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali
bin Abi Thalib ‫ رضي هللا عنه‬bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :
‫ َو َع ِن الَّص ِبِّي َح َّت ى َي ْح َت ِلَم‬، ‫ َو َع ِن الَّن اِئِم َح َّت ى َي ْس َت ِيِقَظ‬، ‫ َع ِن اْل َم ْج ُنوِن َح َّت ى َيِفيَق‬: ‫ُر ِفَع اْل َقَلُم َع ْن َث اَل َث ٍة‬
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari tiga golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia
bangun, dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya
bagi orang tua atau wali yang mengasuh anak tersebut agar menganjurkan dia berpuasa, supaya terbiasa sejak
kecil sesuai kesanggupannya.
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh,
dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa serta tidak mendapatkan cara
lain untuk memperoleh rezeki kecuali pekerjaan yang dia lakukan tersebut, mereka diberi keringanan untuk tidak
berpuasa, namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Ibnu Abbas ‫ رضي هللا عنهما‬berkata : “Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan
memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (Riwayat ad-Daruquthni dan al-
Hakim, disahihkan oleh keduanya).
Anas bin Malik ‫ رض ي هللا عنه‬tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu
(memberikan kepada mereka makan) sampai mereka kenyang.
(Riwayat ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204, dengan sanad yang sahih. Lihat Shifat
Shaum an-Nabi ‫ ﷺ‬, hlm. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain
adalah musafir dan orang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan
kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya. Allah ‫ ﷻ‬berfirman :
‫ة ِّم ۡن َأَّيا ُأَخ َۚر‬ٞ ‫َفَم ن َك اَن ِم نُك م َّم ِر يًضا َأۡو َع َلٰى َس َفٖر َفِع َّد‬
‫ٍم‬
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan janin atau anaknya bila dia berpuasa, wajib
baginya mengqadha puasanya dan bukan membayar fidyah, menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para
ulama.

Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik al-Ka’bi ‫رضي هللا عنه‬, bersabda Rasulullah ‫ﷺ‬:
‫ْل‬ ‫ْل‬ ‫ْل‬
‫ِإَّن َهللا َع َّز َو َج َّل َو َضَع َع ِن ا ُم َس اِفِر ِنْص َف الَّص اَل ِة َو الَّصوَم َو َع ِن ا ُحْب َلى َو ا ُمْر ِض ِع‬
“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi
wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. an-Nasa’i, 4/180—181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, al-Baihaqi, 3/154, dan
disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani ‫)رحمه هللا‬

Yang tidak wajib berpuasa namun wajib mengqadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haid dan nifas.

Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa.
Jika mereka berpuasa berarti dia telah melakukan amalan yang batil dan wajib mengqadha. Di antara dalil atas hal
ini adalah hadits Aisyah ‫رضي هللا عنها‬:
‫َك اَن ُيِص يُبَن ا َذ ِلَك َف ُنْؤ َم ُر ِبَقَض اِء الِّص َي اِم َو اَل ُنْؤ َم ُر ِبَقَض اِء الَّص اَل ِة‬
“Adalah kami mengalami haid lalu kami pun diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan
mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
SHALAT TARAWIH

Shalat tarawih termasuk ibadah utama di bulan Ramadhan. Sering kita jumpai kaum muslimin memiliki
perbedaan dalam praktik shalat tarawih ini, utamanya dalam jumlah rakaat. Uraian berikut insya Allah akan
memperjelas mana di antara perbedaan tersebut yang lebih kuat.

“Tarawih” dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‫َتْر ِو يَح ٌة‬, yang berarti waktu sesaat untuk istirahat.
(Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Dan ‫ َتْر ِو يَح ٌة‬pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah
melaksanakan shalat tiap-tiap empat rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih.
(Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294)

Karena para jamaah yang pertama kali berkumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam
(yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu
ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
1. Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi ‫رحمه‬
‫ هللا‬ketika menjelaskan tentang sabda Nabi ‫ ﷺ‬yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ‫ رضي هللا عنه‬:

‫َم ْن َق اَم َر َمَض اَن ِإْي َم اًن ا َو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَق َّد َم ِم ْن َذ ْن ِبِه‬
“Barang siapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ‫ﷻ‬,
niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat
tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini
dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan al-Majmu’ (3/526).
Ketika al-Imam an-Nawawi‫ رحمه هللا‬menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka al-Hafizh
Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬memperjelas kembali tentang hal tersebut, “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat
diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih, dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan
hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari,
4/295)
2. Pensyari’atan Shalat Tarawih

Shalat tarawih disyari’atkan secara berjama’ah berdasarkan hadits Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬: “Rasulullah ‫ﷺ‬
pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka
memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut
shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam
ketiga, Rasulullah ‫ ﷺ‬keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama’ah,
hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia
dan bersyahadat kemudian bersabda ‫ َأَّما َب ْع ُد‬:
‫َف ِإَّن ُه َلْم َت ْخ ِف َع َلَّي َم َك اُنُك ْم َو َلِك ِّن ي َخ ِش ْي ُت َأْن ُتْف َر َض َع َلْي ُك ْم َفَت ْع ِج ُز ْو ا َع ْن َه ا‬

kalian tidak mampu mengamalkannya ”Rasulullah ‫ ﷺ‬wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat
Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga

tarawih secara berjama’ah” [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]

Ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti
syari’at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama’ah disyari’atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang
dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya ‘illat itu berputar bersama ma’lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ur Rasyidin Umar bin Al-
Khaththab ‫ رضي هللا عنه‬sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abidin
Al-Qoriy ‫ رضي هللا عنه‬beliau berkata : “Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab ‫رضي هللا‬
‫ عنه‬suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok.

Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama’ah, maka Umar ‫ رضي هللا عنه‬berkata : “Aku
berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik”.

Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab
‫ رضي هللا عنه‬setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat
bersama imam mereka, Umar ‫ رضي هللا عنه‬-pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, orang
yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam”.

[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq
7733]
3. Jumlah Raka’atnya

Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi‫ ﷺ‬adalah
delapan raka’at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬:

‫“َم اَك اَن الَّن ِبُّي َص َّلى هَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َي ِز ْي ُد ِفْي َر َمَض اَن َو َال ِفي َغ ْي ِر ِه َع َلى ِاْح َدى َع َش َر َة َر ْك َع ًة‬
Nabi ‫ ﷺ‬tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at”
[Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar ‫رضي هللا عنهما‬, beliau menyebutkan :

‫“َم اَك اَن الَّن ِبُّي َص َّلى هَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َلَّما َأْح َي ى ِبالَّن اِس َلْي َلًة ِفي َر َمَض اَن َص َّلى َث َم اِنَي َر َك َع اٍت َو َأْو َت َر‬
Nabi ‫ ﷺ‬menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.

Ketika Umar bin Al-Khaththab ‫ رضي هللا عنه‬menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan
sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik 1/115 dengan
sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar bin Al-Khaththab
menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari ‫رضي هللا عنهم‬untuk mengimami manusia dengan sebelas
raka’at”. Ia berkata : “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada
tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar”
3. Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini ada dua pendapat :


Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan al-Imam
Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hlm. 90), serta disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/605)
dan al-Mirdawi dalam al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang
telah disebutkan al-Imam an-Nawawi ‫ رحمه هللا‬dalam Syarh Shahih Muslim (6/282) ‫رحمه هللا‬.
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (al-Fath, 4/297). Pendapat ini pula yang dipegang asy-Syaikh
Nashiruddin al-Albani ‫رحمه هللا‬.
Beliau berkata : “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan
berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hlm.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.


Pendapat kedua ini adalah pendapat al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut al-Imam asy-Syafi’i
‫ رحمه هللا‬. Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam an-Nawawi ‫( رحمه هللا‬Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Dasar pendapat pertama :

1. Hadits ‘Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬beliau berkata :

‫ ُثَّم اْج َتَم ُعوا ِم َن الَّلْيَلِة الَّثاِلَثِة َأِو الَّراِبَعِة َفَلْم‬، ‫ ُثَّم َص َّلى ِم َن اْلَقاِبَلِة َفَك ُثَر الَّناُس‬، ‫َأَّن َر ُسوَل ِهللا َص َّلى َذ اَت َلْيَلٍة ِفي اْلَم ْس ِج ِد َفَص َّلى ِبَص اَل ِتِه َناٌس‬
‫ َو َذ ِلَك ِفي‬. ‫ َو َلْم َيْم َنْع ِني ِم َن اْلُخ ُروِج ِإَلْيُك ْم ِإَّال َأِّني َخ ِش يُت َأْن ُتْفَرَض َع َلْيُك ْم‬، ‫ َقْد َر َأْيُت اَّلِذ ي َص َنْع ُتْم‬: ‫ َفَلَّم ا َأْص َبَح َقاَل‬، ‫َيْخ ُر ْج ِإَلْيِهْم َر ُسوُل ِهللا‬
‫َر َم َض اَن‬
“Sesungguhnya Rasulullah ‫ﷺ‬pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalatnya, kemudian

‫)ﷺ‬, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak keluar
pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi

kepada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau ‫ ﷺ‬bersabda, ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian
lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan
diwajibkan pada kalian.’ Dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
•Al-Imam an-Nawawi ‫ رحمه هللا‬berkata : “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara
berjamaah, akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus
seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’. Demikian pula shalat tarawih, menurut jumhur ulama.”
(Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula al-Majmu’, 3/499, 528)
•Tidak adanya pengingkaran Nabi ‫ﷺ‬terhadap para sahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada
beberapa malam bulan Ramadhan. (al-Fath, 4/297 dan al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu Dzar ‫ رضي هللا عنه‬beliau berkata bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :
‫ِإَّن الَّر ُج َل ِإَذ ا َص َّلى َمَع اِإْلَم اِم َح َّت ى َي ْن َص ِر َف ُح ِس َب َلُه ِقَي اُم َلْي َلٍة‬
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu
malam penuh.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Hadits ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani ‫ رحمه هللا‬dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan
hadits di atas, al-Imam Ibnu Qudamah ‫ رحمه هللا‬mengatakan, “Hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan
(tarawih).” (al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh al-Albani ‫ رحمه هللا‬berkata : “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada
permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri, maka
shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu
Ramadhan, hlm. 26)
3. Perbuatan ‘Umar bin al-Khaththab ‫ رضي هللا عنه‬dan para sahabat lainnya ‫رضي هللا عنهم‬. (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab ‫ رض ي هللا عنه‬melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka
sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah. Kemudian beliau mengumpulkan
manusia dalam satu jamaah, dan dipilihlah Ubai bin Ka’b ‫ رضي هللا عنه‬sebagai imam (lihat Shahih al-Bukhari pada Kitab
Shalat Tarawih).
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim,
6/282)
5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih menyemangati bagi keumuman orang-orang yang shalat.
(Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat kedua :
Hadits dari sahabat Zaid bin Tsabit ‫رضي هللا عنه‬, sesungguhnya Nabi ‫ ﷺ‬bersabda : “Wahai manusia, shalatlah
di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di
rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan
sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di
atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua
adalah :

•Bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di
rumah mereka (setelah para sahabat ‫ رضي هللا عنهم‬sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah
bersama Nabi ‫ﷺ‬karena kekhawatiran beliau ‫ﷺ‬akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah
(Fathul Bari, 3/18). Kalau bukan karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para sahabat
(untuk shalat tarawih secara berjamaah). (al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau ‫ ﷺ‬akan
menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi ‫( ﷺ‬al-‘Aun, 4/248 dan al-Iqtidha’, 1/595).

•Karena dengan wafatnya beliau ‫ ﷺ‬maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
* Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :
- Musafir.
- Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.

Dua point di atas berdasarkan firman Allah ‫ ﷻ‬:

‫َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َم ِر يضًا َأْو َع َلى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر‬
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

* Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas


Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
‫َك اَن ُيِص ْيُبَن ا َذ ِلَك َفُنْؤ َم ُر ِبَقَض اِء الَّصْو ِم َو اَل ُنْؤ َم ُر ِبَقَض اِء الَّص اَل ِة‬
“Adalah hal tersebut (haid) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk
meng-qodho` sholat.”

Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah
dijelaskan.
Adapun tentang tidak diwajibkannya shiyam atas perempuan yang haidh dan yang nifas, didasarkan pada
hadits:

‫ قال النبي صلى هللا عليه وسلم أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟ فذالك نقصان دينها‬: ‫عن أبي سعيد قال‬
Dari Abu Sa'id al-Khudri dia bahwa Nabi, bersabda, “Bukankah bila perempuan datang bulan ia tidak
(diperkenankan) shalat dan puasa? Maka yang demikian itu sebagai pertanda kekurangan pada
agamanya?” (Shahih).

Apabila perempuan yang haidh atau nifas itu tetap melaksanakan ibadah shiyam, maka tidak sah dan tidak
berguna bagi mereka dan berdosa. Sebab, salah satu syarat wajibnya berpuasa bagi kaum perempuan
adalah harus bersih dari haidh dan nifas.

‫ كنا نحيض على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم وال نؤمر بقضاء الصالة‬: ‫عن عائشة قالت‬
Dari Aisyah, ia berkata, “Kami ketika (tiba masa) haidh pada zaman Rasulullah, lalu kami diperintahkan
untuk mengqadha' puasa, namun tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat." (Shahih)
HAL-HAL APA SAJA YANG MEMBATALKAN PUASA?
Yang membatalkan puasa ada tujuh perkara:
a dan b. Makan dan minum dengan sengaja.
Oleh karena itu, jika makan atau minum karena lupa, maka yang bersangkutan tidak wajib mengqadha'nya dan tidak perlu
membayar kafarah :
‫ من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتّم صومه فإّنما أطعمه هللا وسقاه‬: ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa lupa, padahal ia berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah. (Shahih)
c. Muntah dengan sengaja.
Maka dari itu, kalau seseorang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib mengqadha'nya dan tidak usah membayar kafarah: ‫عن أبي‬
‫ من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ومن استقاء فليقض‬: ‫هريرة رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban qadha' atasnya, dan
barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka haruslah mengqadha’.” (Shahih).
d dan e. Haidh dan nifas, walaupun itu terjadi menjelang waktu maghrib. Hal ini berdasar ijma' ulama.
f. Jima', yang karenanya orang yang bersangkutan wajib membayar kafarah.
g. Mengeluarkan air mani.
Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang
dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah ‫رضي هللا عنها‬, beliau berkata :

‫َك اَن َي ُك ْو ُن َع َلَّي الَّصْو ُم ِم ْن َر َمَض اَن َفَم ا َأْس َت ِط ْيُع َأْن َأْق ِض َي ُه ِإاَّل ِفْي َش ْع َب اَن الُّش ْغ َل ِم ْن َر ُسْو ِل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َع َلى آِلِه َو َس َّلَم‬
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan)
Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah ‫ﷺ‬.”
Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah. Hal ini
berdasarkan hukum umum dalam firman Allah ‫ ﷻ‬:
‫َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر‬
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara terpisah,
tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama). Hal ini
berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-
Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah ‫ﷻ‬:
‫ُأوَلِئَك ُيَس اِر ُعوَن ِفي اْلَخ ْي َر اِت َو ُه ْم َلَه ا َس اِبُقوَن‬
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS.
Al-Mukminun : 61)
Membayar Fidyah
Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang :
- Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
- Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan kandungannya, anak yang disusuinya, atau
dirinya sendiri jika ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas ‫ رضي هللا عنهما‬riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya
dengan sanad yang shohihmenjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
‫َو َع َلى اَّلِذيَن ُيِط يُقوَن ُه ِفْد َي ٌة َط َع اُم ِم ْس ِكيٍن‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas ‫ رضي هللا عنهما‬:
‫َر َّخ َص ِللَّش ْي ِخ اْل َك ِبْي ِر َو اْل َع ُجْو ِز اْلَك ِبْي َر ِة ِفْي َذ ِلَك َو ُه َم ا ُيِط ْي َق اِن الَّصْو َم َأْن ُيْف ِط َر ا ِإْن َش اَء ا َأْو ُيْط ِعَم ا َك َّل َي ْو ٍم ِم ْس ِك ْي ًن ا َو اَل َقَض اَء َع َلْي ِه َم ا ُثَّم ُنِس َخ َذ ِلَك ِفْي َهِذِه اآْل َيِة َفْم َن‬
‫َش ِه َد ِم ْنُك ُم الَّش ْه َر َفْلَي ُصْمُه َو َث َب َت ِللَّش ْي ِخ اْلَك ِبْي ِر َو اْلَع ُجْو ِز اْل َك ِبْي َر ِة ِإَذ ا َك اَن ا اَل ُيِط ْي َق اِن الَّصْو َم َو اْل ُحْب َلى َو اْل ُمْر ِض ِع ِإَذ ا َخ اَفَت ا َأْف َط َر َت ا َو َأْط َعَم َت ا ُك َّل َي ْو ٍم ِم ْس ِك ْي ًن ا‬
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa) sementara keduanya mampu untuk
berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari
dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa
diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-
laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir
(akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri) boleh untuk berbuka dan keduanya
membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai