A. DEFINISI
Puasa berasal dari bahasa arab: shâma yashûmu shauman wa shiyâman ً صام يصوم صوما ً وصياما
yang artinya menahan diri. Makna ini sebagaimana yang disebutkan Allah ketika menceritakan
tentang Maryam:
“Sesungguhnya aku telah bernazar puasa untuk Tuhan YanMAg Maha Pemurah, maka tidak
akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.” (Maryam:26).
Maksud puasa disini adalah menahan diri untuk tidak berbicara.
Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari semua yang membatalkan puasa sejak terbit
fajar sampai terbenam matahari dengan niat tertentu.
C. KEUTAMAAN PUASA
Terdapat banyak sekali ayat dan hadis yang menjelaskan keutamaan puasa. Diantaranya
adalah:
1) Allah berfirman:
ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َهنِيْئا ً ِب َما أ َ ْسلَ ْفت ُ ْم فِي اْألَي َِّام ْالخَا ِليَ ِة
“Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari
yang telah lalu.” (Al-Haaqqah:24).
Imam Waki’ berkata: “Maksudnya hari-hari puasa karena mereka meninggalkan makan dan
minum.”
2) Allah berfirman:
“Laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang menyebut Allah (berzikir), Allah telah
menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”(Al-Ahzaab: 35).
“Semua kebaikan dikali sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa karena dia untukku
dan Akulah yang akan memberinya pahala sendiri.” (HR. Bukhari dan Malik).
1. Niat
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam
harinya karena Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa
itu. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar).
Dan niat tempatnya di dalam hati sedang melafalkannya itu termasuk kebid'ahan. Dan berniat
puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.
Menurut Imam Syafi'i, niat adalah pekerjaan hati bukan pekerjaan lisan. Berikut pengertian niat
dalam kitab Fiqh Empat Mazhab (Al Fiqh Ala Madzahibil Arba'ah) :
"Maka yang dimaksud dengan niat adalah tekad yang kuat di dalam hati ketika mengerjakan
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, atau niat adalah kehendak yang kuat,
yang sekiranya seseorang mencukupkan niat (berpuasa) dengan lisan saja tanpa meniatkan
(memaksudkannya) dalam hati, maka sesungguhnya dia belum disebut sebagai orang yang
berpuasa". [Kitab Al Fiqh Ala Madzahibil Arba'ah halaman. 183, oleh Syaikh Abdurrahman Al
Jazairy]
2. Waktu Puasa
Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan
dalil firman Allah,
Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam
dari fajar.(Al-Baqarah, 2:186).
Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:
a. Fajar kazib (fajar awal). dalam waktu ini belum boleh dilakukan solat subuh dan dibolehkan
untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.
b. Fazar shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas, Rasulullah
bersabda,
Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka dibolehkan makan dan tidak boleh melakukan
sholat, sedang yang kedua, maka diharamkam makan dan dibolehkan solat. (Riwayat Ibnu
Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)
Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar yang pertama, bentuknya putih
memanjang vertikal seperti ekor serigala. Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah
menyebar horisontal (melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di
jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan puasa.
Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah makan dan minum serta bersetubuh.
Sedangkan adat yang ada dan berkembang saat ini – yang dikenal dengan nama imsak –
merupakan satu kebidahan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar –
seorang ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi'i yang meninggal tahun 852 H –
berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami' ash-Shohih (4/199),
Termasuk kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu mengadakan
azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar dalam bulan Ramadhan dan mematikan
lentera-lentera sebagai alamat untuk menghentikan makan dan minum bagi yang ingin
berpuasa, dengan persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam
beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir orang saja. Hal tersebut
membawa mereka untuk tidak azan, kecuali setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk
memastikan (masuknya) waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa
dan mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh karena itu,
sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan pada diri mereka.
Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari lalu
berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar bahwa Rasulullah bersabda,
Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah
terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka. (Riwayat al-Bukhariy dan
Muslim)
Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah
hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang
tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.
3. Sahur
Hikmahnya
Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan yang berlaku bagi
orang-orang sebelum mereka, maka Allah mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam
rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka,
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Abu Sa'id al-Khudriy:
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur. (Riwayat
Muslim).
2. Salawat dari Allah dan malaikat bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada
dalam hadits Abu Sa'id al-Khudry bahwa Rasulullah bersabda,
Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang
dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas
orang-orang yang bersahur. (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad).
Sunnah Mengakhirkannya
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah di dalam hadits Ibnu Abbas dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
Kami bersahur bersama Rasulullah , kemudian beliau pergi untuk solat. Aku (Ibnu
Abbas) bertanya, Berapa lama antara azan dan sahur? Beliau menjawab, Sekitar 50
ayat. (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
Hukumnya
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasulullah untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga
sabda beliau :
b. Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah. (Riwayat al-Bukhariy dan
Muslim).
c. Larangan beliau dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa'id yang
terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139)
menukilkan ijmak atas kesunahannya
d. Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma (Hadits Hasan,
HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Baihaqi)
a. Al-Muhbithât
Yaitu perbuatan yang menggugurkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda:
“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apapun dari puasanya selain rasa
lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan pahala puasa adalah sebagai berikut:
1. Ghibah (menggunjing). Yaitu menyebut sesuatu tentang saudaranya yang ia tidak ia suka
meskipun benar (sesuai kenyataan). Dalam sebuah hadits: “Orang yang berpuasa selalu
dalam ibadah sejak pagi hingga sore selama ia tidak menggunjing. Jika ia menggunjing
maka puasanya akan robek.” (HR. Dailami).
2. Namimah (adu domba). Yaitu menukil kalimat dengan tujuan menyulut perpecahan.
3. Dusta. Yaitu memberitahukan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan.
4. Melihat sesuatu yang diharamkan meskipun tanpa syahwat, atau melihat yang dibolehkan
dengan syahwat (menikmati). Oleh karena itu, ia harus menahan pandangannya dari yang
diharamkan, seperti di jalanan, televisi, internet, dan lainnya.
5. Sumpah palsu.
6. Perkataan dan perbuatan buruk dan nista. Dalam hadits: “Barang siapa tidak
meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk maka Allah tidak membutuhkan
tindakannya yang meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari).
Maka hendaknya ia meninggalkan penghinaan, laknat, ejekan, memanggil dengan gelar yang
buruk, perkataan buruk, dan lain sebagainya.
b. Al-Mufaththirât
Yaitu perbuatan yang membatalkan puasa. Semuanya berjumlah delapan yaitu:
1. Murtad
Yaitu memutus tali Islam baik dengan niat, ucapan atau perbuatan, meskipun hanya sekejap.
Karena non muslim tidak sah melaksanakan ibadah.
2. Datang darah haid dan nifas serta melahirkan
Jika siklus haid seorang perempuan datang beberapa saat sebelum maghrib –meskipun hanya
sekejap– maka batallah puasanya dan ia harus mengqadha puasanya.
Begitu pula jika terputus haid setelah terbit fajar –meskipun sekejap– maka tidak sah puasanya
pada hari itu, tetapi dianjurkan baginya menjauhi yang membatalkan hingga terbenam matahari,
dan ia juga wajib mengqadha.
Ketika menjelaskan maksud kekurangan agama bagi seorang perempuan, Rasulullah SAW
bersabda:
“Bukankah seorang perempuan jika haid tidak shalat dan tidak puasa?” “Ya,” jawab para
perempuan itu. Beliau berkata: “Itulah kekurangan agamanya.” (Muttafaq Alaih).
3. Gila
Meskipun sekejap, karena hilangnya akal menggugurkan kewajiban syariat.
4. Pingsan dan mabuk
Keduanya membatalkan puasa jika meliputi seluruh siang hari (waktu puasa). Adapun jika dia
sadar –meskipun sebentar– maka puasanya sah.
Sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat jika orang itu sengaja pingsan atau mabuk meskipun
sebentar maka puasanya batal. Sebagian yang lain berpendapat bahwa puasanya tidak batal
kecuali jika sengaja dan meliputi semua siang.
Nabi SAW bersabda:
“Catatan (kewajiban) diangkat dari tiga orang, yaitu dari anak kecil hingga balig, dari orang tidur
hingga bangun, dan dari orang gila hingga sadar.” (HR. Abu Daud, Nasa`i, dan Ahmad).
5. Berhubungan badan
Jika seseorang berhubungan badan –meskipun pada lubang dubur– secara sengaja,
mengetahui keharaman, dan tidak dipaksa maka puasanya batal.
Tindakan ini mengakibatkan lima hal:
Mendapatkan dosa besar.
Wajib menghindari perbuatan yang membatalkan puasa hingga terbenam matahari.
Mendapatkan takzir, yaitu hukuman mendidik dari hakim yang dijatuhkan jika pelaku tidak
mau bertaubat.
Mengqadha (mengganti) puasa, yaitu satu hari puasa.
Memenuhi kafarat udzma (berat).
Tapi jika tidak sengaja, seperti lupa, maka tidak batal betapapun banyak. Nabi SAW
bersabda:
“Barang siapa yang terlupa dalam keadaan puasa sehingga ia makan atau minum maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Allah memberinya makan
dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika seseorang melihat orang yang berpuasa sedang makan, maka jika zahir (tampak
luar) orang itu adalah saleh (bertakwa) maka dianjurkan untuk memperingatkannya. Tapi jika
zahir orang tersebut adalah menyepelekan perintah Allah maka wajib memperingatkannya.
Penjelasan kaidah pembatal puasa: “masuknya sesuatu melalui lubang terbuka ke dalam
rongga tubuh”:
1. Sesuatu : yaitu benda yang memiliki wujud fisik. Oleh karena itu, tidak batal masuknya
udara ke dalam tubuh, rasa (di mulut), dan angin tanpa membawa sesuatu.
2. Masuknya: jika tidak sampai masuk ke dalam tubuh maka tidak membatalkan puasa.
Misalnya mengunyah makanan tanpa menelannya.
3. Lubang terbuka : yaitu mulut, hidung, mata, telinga, dan kedua lubang kemaluan. Oleh
karena itu tidak batal jika sesuatu masuk melalui lubang tidak terbuka, seperti memakai
minyak, krem untuk kulit, dan sejenisnya, yang masuk melalui lubang pori-pori.
Menurut Imam Syafii, semua lubang di permukaan tubuh adalah terbuka kecuali mata,
sehingga tidak membatalkan puasa pemakaian celak meskipun didapati rasanya dalam
tenggorokan. Begitu pula, tidak termasuk lubang terbuka adalah telinga menurut Imam
Ghazali.
Namun demikian, ilmu medis moderen menyatakan bahwa mata memiliki lubang terbuka
menuju rongga badan (perut), sementara telinga tidak memilikinya. Oleh karena itu, yang
paling baik adalah melakukan kehati-hatian dengan tidak memasukkan sesuatu ke dalam
dua lubang tersebut selama berpuasa.
4. Rongga tubuh : yaitu tempat berkumpulnya makanan dan obat, seperti lambung, atau
tempat berkumpulnya obat saja, seperti otak.
Pertama: Puasanya batal secara mutlak, karena sesuatu yang disuntikkan telah masuk dalam
rongga.
Kedua: Tidak batal secara mutlak, karena sesuatu itu masuk melalui lubang tidak terbuka.
Ketiga: Pendapat inilah yang kuat, yaitu jika yang disuntikkan adalah makanan atau sesuatu
yang menguatkan tubuh, seperti vitamin, maka batal puasanya. Tapi jika bukan
makanan, seperti antinyeri atau antihistamin, maka:
Jika disuntikkan ke pembuluh darah (intra vena) maka batal.
Jika disuntikkan melalui kulit (intra cutan), seperti insulin, atau melalui otot (intra muscular)
maka tidak batal.
3) Donor darah dan pengambilan sampel darah.
Mendonorkan darah tidak membatalkan puasa tetapi hukumnya makruh.
4) Inhaler atau nebulizer.
Menggunakan inhaler dan nebulizer membatalkan puasa karena mengandung air dan obat
yang keduanya memiliki fisik (materi).
5) Obat tetes.
Obat tetes mulut dan hidung membatalkan puasa. Begitu pula tetes telinga dan bilas telinga
membatalkan puasa tetapi menurut Imam Ghazali hal itu tidak membatalkan karena telinga
tidak termasuk lubang terbuka. Adapun obat tetes mata maka tidak membatalkan puasa
karena mata tidak termasuk lubang terbuka menuju rongga tubuh.
6) Pemeriksaan atau memasukkan obat melalui kemaluan.
Memasukkan alat –seperti catheter— atau obat ke dalam kemaluan baik qubul (bagian
depan) maupun dubur (belakang) adalah membatalkan puasa. Namun, jika seseorang yang
memiliki penyakit wasir (ambeien) memasukkan anusnya yang keluar maka tidak
membatalkan puasa karena darurat.
Maksud mampu melakukannya adalah mampu mengqadha puasa pada tahun tersebut
karena ia tidak berpergian atau sakit selama waktu yang dibutuhkan untuk mengqadha. Jika ia
menundanya karena terdapat uzur, seperti bepergian, sakit, menyusui, lupa dan tidak tahu
maka ia tidak wajib membayar fidyah.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata: “Aku dulu punya
kewajiban (hutang) puasa dari Ramadhan tetapi tidak dapat aku lakukan (mengqadhanya)
kecuali di bulan Sya’ban. Itu karena kedudukan Rasulullah SAW.” Ini menunjukkan bahwa
mengakhirkan qadha Ramadhan hingga bertemu Ramadhan selanjutnya adalah tidak boleh.
1. Kewajiban mengqadha saja tanpa membayar fidyah. Seperti orang pingsan, orang
yang lupa niat, dan orang yang membatalkan puasanya dengan selain berhubungan
badan.
2. Kewajiban membayar fidyah tanpa perlu mengqadha. Seperti orang lanjut usia yang
tidak kuat puasa, dan orang sakit yang tidak dapat sembuh lagi.
3. Tidak wajib mengqadha dan membayar fidyah. Seperti orang gila yang tidak
disengaja menjadi gila.
Catatan:
a) Fidyah adalah makanan pokok yang dibayarkan karena melakukan pelanggaran tertentu.
Besar fidyah adalah satu mud (510 gr) untuk satu hari yang ditinggalkan. Fidyah menjadi
berlipat sesuai dengan jumlah tahun penundaan. Waktu pembayaran fidyah dimulai waktunya
sejak terbit fajar setiap hari pada hari yang tidak berpuasa didalamnya. Pembayaran fidyah
tidak boleh didahulukan tetapi boleh diakhirkan hingga akhir Ramadhan. Tidak apa-apa
membayar fidyah satu bulan pada hari terakhir bulan Ramadhan.
b) Orang sakit jika meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka:
1. Jika ia tidak memiliki waktu untuk mengqadhanya, seperti jika ia meninggal tanpa sempat
sembuh maka ia tidak wajib mengqadha puasanya karena syarat wajib puasa tidak
terpenuhi pada dirinya, yaitu sehat badan.
2. Jika ia memiliki waktu untuk mengqadhanya tetapi ia tidak melakukannya karena lalai maka
kerabatnya dianjurkan untuk mengqadha puasa itu dirinya.
Nabi SAW bersabda:
ُام َع ْنهُ َو ِليُّه
َ ص ِ َم ْن َماتَ َو َعلَ ْي ِه
َ ص َيا ٌم
“Barang siapa yang meninggal dan memiliki hutang puasa maka hendaknya walinya
mempuasakan untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika ada orang asing (bukan kerabat) melakukan qadha itu atas nama mayit maka
dibolehkan jika telah mendapatkan izin dari kerabat. Tapi jika tidak ada izin atau wasiat maka
puasa qadha tersebut tidak sah.
Jika tidak ada yang mengqadhakan puasa untuknya maka harus membayar fidyah sebesar
satu mud untuk setiap satu hari yang ditinggalkan dan diambilkan pembayaran itu dari harta
warisannya karena dihitung sebagai hutang kepada Allah.
Ibnu Umar RA berkata: “Barang siapa meninggal dan memiliki hutang puasa bulan
Ramadhan maka hendaklah ia memberi makanan (fidyah) satu orang miskin sebesar satu mud
untuk setiap satu hari.” (HR. Tirmidzi).
Ibnu Abbas RA berkata: “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan lalu ia meninggal
sementara belum sempat mengqadha puasa maka hendaknya memberikan makanan (fidyah).”
(HR. Abu Daud).
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia memberikan
kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang tidak mampu atau sangat
sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai berikut:
1. Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).
2. Orang yang sakit.
3. Wanita yang sedang haid atau nifas.
4. Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.
5. Wanita yang hamil atau menyusui.
7. Berbuka Puasa
Waktu berbuka Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan telah lalu
penjelasannya pada pembahasan waktu puasa. Mempercepat Buka Puasa Termasuk dalam
sunnah puasa adalah mempercepat waktu berbuka dalam rangka mengikuti contoh
Rasulullah e dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-
Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad saw adalah orang-orang yang paling cepat
berbuka dan paling lambat sahurnya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf
nomor 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199).
Adapun manfaatnya adalah:
1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin
Saà d bahwa Rasulullah bersabda, “ Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama
mereka mempercepat buka puasanya. (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)."
2. Merupakan sunnah Nabi .
3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah
bahwa Rasulullah bersabda, “ Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum
muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen
(Nashrani) mengakhirkannya. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad
hasan).”
Buka puasa dilakukan sebelum solat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi.
Sedangkan Rasulullah memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada
kurma, maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau
terhadap umatnya.
adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits
manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Entah siapa orang yang membuat doa ini.
Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti
saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga
doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.
Demikianlah Materi Kegiatan Pondok Ramadhan ini dibuat. Mudah-mudahan dapat berguna
bagi saya khususnya dan bagi kaum muslimin umumnya.