Anda di halaman 1dari 13

MATERI KEGIATAN PONDOK RAMADHAN

MADRASAH TSANAWIYAH “ AL HUDA NGREJENG “


“ PUASA DAN HIKMAHNYA “
( Disusun Oleh : Muhammad Nur Salim, S.Pd )

A. DEFINISI
Puasa berasal dari bahasa arab: shâma yashûmu shauman wa shiyâman ً ‫صام يصوم صوما ً وصياما‬
yang artinya menahan diri. Makna ini sebagaimana yang disebutkan Allah ketika menceritakan
tentang Maryam:

“Sesungguhnya aku telah bernazar puasa untuk Tuhan YanMAg Maha Pemurah, maka tidak
akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.” (Maryam:26).
Maksud puasa disini adalah menahan diri untuk tidak berbicara.
Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari semua yang membatalkan puasa sejak terbit
fajar sampai terbenam matahari dengan niat tertentu.

B. SEJARAH DAN DALIL PENSYARIATAN


Puasa Ramadhan diturunkan perintah kewajibannya pada bulan Syaban tahun 2 H. Puasa
bukan ibadah yang dikhususkan kepada umat Islam saja tetapi juga umat-umat sebelumnya.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Rasulullah SAW bersabda:
“Islam dibangun diatas lima perkara: kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan haji, dan
berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selama hidupnya, Rasulullah SAW telah berpuasa sebanyak sembilan kali. Seluruhnya
berjumlah 29 hari kecuali sekali berjumlah lengkap 30 hari.
Ramadhan adalah nama bulan bangsa Arab yang kesembilan. Dan merupakan bulan
yang paling afdal. Dinamakan Ramadhan karena ketika bangsa Arab menetapkan nama untuk
bulan tersebut bertepatan dengan suasana yang sangat panas. Maka dinamakanlah Ramadhan
yang berasal dari kata ramdhâ’ yang berarti sangat panas. Ada juga yang mengatakan bahwa
dinamakan demikian karena Ramadhan membakar dosa-dosa manusia.

Hukuman Orang Yang Tidak Berpuasa Ramadhan


Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam dan sebuah perkara yang diketahui
secara umum (ma’lûmun minad dîni bid dharûrah). Oleh karena itu, barang siapa yang
mengingkari kewajibannya maka ia telah kafir dan diperlakukan sebagai orang murtad, yaitu
diberi kesempatan tiga hari untuk bertaubat dan melaksanakan puasa. Jika menolak maka
dihukum mati.
Adapun orang yang tidak mengingkari kewajiban puasa Ramadhan tapi ia enggan atau
malas melaksanakannya maka dihukumi fasik dan berlaku semua hukum kefasikan, seperti
tidak diterima kesaksiannya, makruh shalat di belakangnya, dan lain-lain. Penguasa harus
menahannya dan tidak memberinya makanan dan minuman pada siang hari sehingga ia seperti
orang yang berpuasa meskipun secara zahir saja.

C. KEUTAMAAN PUASA
Terdapat banyak sekali ayat dan hadis yang menjelaskan keutamaan puasa. Diantaranya
adalah:
1) Allah berfirman:
‫ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َهنِيْئا ً ِب َما أ َ ْسلَ ْفت ُ ْم فِي اْألَي َِّام ْالخَا ِليَ ِة‬
“Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari
yang telah lalu.” (Al-Haaqqah:24).
Imam Waki’ berkata: “Maksudnya hari-hari puasa karena mereka meninggalkan makan dan
minum.”
2) Allah berfirman:
“Laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang menyebut Allah (berzikir), Allah telah
menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”(Al-Ahzaab: 35).

3) Dalam hadits qudsi Allah berfirman:


‫ام فَ ُه َو ِل ْي َوأَنَا أَجْ ِزي بِ ِه‬ ِ َّ‫ إِال‬، ٍ‫ض ْعف‬
َ َ‫الصي‬ َ ‫سنَ ٍة بِعَ ْش ِر أ َ ْمثَا ِل َها إِلَى‬
ِ ‫سبْعِ ِمئ َ ِة‬ َ ‫ُك ُّل َح‬

“Semua kebaikan dikali sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa karena dia untukku
dan Akulah yang akan memberinya pahala sendiri.” (HR. Bukhari dan Malik).

4) Rasulullah SAW bersabda:


“Barang siapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjauhkan dirinya dari
neraka Jahanam sejauh jarak perjalanan seratus tahun.” (HR. Nasa’i).
5) Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika berbuka dan
kebahagiaan ketika bertemu Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
6) Nabi SAW bersabda:
“Diamnya orang puasa adalah seperti bertasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya terkabulkan,
dan amal ibadahnya dilipatgandakan.” (HR. Dailami).
7). Dalam hadis lain:
“Puasa adalah tameng dan benteng yang kuat dari api neraka.” (HR. Ahmad).

1. Niat
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam
harinya karena Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa
itu. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar).

Dan niat tempatnya di dalam hati sedang melafalkannya itu termasuk kebid'ahan. Dan berniat
puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.

Menurut Imam Syafi'i, niat adalah pekerjaan hati bukan pekerjaan lisan. Berikut pengertian niat
dalam kitab Fiqh Empat Mazhab (Al Fiqh Ala Madzahibil Arba'ah) :

"Maka yang dimaksud dengan niat adalah tekad yang kuat di dalam hati ketika mengerjakan
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, atau niat adalah kehendak yang kuat,
yang sekiranya seseorang mencukupkan niat (berpuasa) dengan lisan saja tanpa meniatkan
(memaksudkannya) dalam hati, maka sesungguhnya dia belum disebut sebagai orang yang
berpuasa". [Kitab Al Fiqh Ala Madzahibil Arba'ah halaman. 183, oleh Syaikh Abdurrahman Al
Jazairy]

2. Waktu Puasa
Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan
dalil firman Allah,
Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam
dari fajar.(Al-Baqarah, 2:186).
Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:
a. Fajar kazib (fajar awal). dalam waktu ini belum boleh dilakukan solat subuh dan dibolehkan
untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.
b. Fazar shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas, Rasulullah
bersabda,
Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka dibolehkan makan dan tidak boleh melakukan
sholat, sedang yang kedua, maka diharamkam makan dan dibolehkan solat. (Riwayat Ibnu
Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)
Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar yang pertama, bentuknya putih
memanjang vertikal seperti ekor serigala. Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah
menyebar horisontal (melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di
jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan puasa.

Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah makan dan minum serta bersetubuh.
Sedangkan adat yang ada dan berkembang saat ini – yang dikenal dengan nama imsak –
merupakan satu kebidahan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar –
seorang ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi'i yang meninggal tahun 852 H –
berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami' ash-Shohih (4/199),
Termasuk kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu mengadakan
azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar dalam bulan Ramadhan dan mematikan
lentera-lentera sebagai alamat untuk menghentikan makan dan minum bagi yang ingin
berpuasa, dengan persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam
beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir orang saja. Hal tersebut
membawa mereka untuk tidak azan, kecuali setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk
memastikan (masuknya) waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa
dan mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh karena itu,
sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan pada diri mereka.

Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari lalu
berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar bahwa Rasulullah bersabda,
Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah
terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka. (Riwayat al-Bukhariy dan
Muslim)

Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah
hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang
tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.

3. Sahur
Hikmahnya
Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan yang berlaku bagi
orang-orang sebelum mereka, maka Allah mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam
rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka,
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Abu Sa'id al-Khudriy:

Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur. (Riwayat
Muslim).

Keutamaan sahur antara lain:


1. Sahur adalah berkah sebagaimana sabda Rasulullah:
2. Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka jangan
kalian meninggalkannya. (Riwayat an-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang
sahih)..Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti
sunnah dan menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk
menambah puasa dan juga mengandung nilai menyelisihi ahli kitab.

2. Salawat dari Allah dan malaikat bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada
dalam hadits Abu Sa'id al-Khudry bahwa Rasulullah bersabda,
Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang
dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas
orang-orang yang bersahur. (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad).
Sunnah Mengakhirkannya
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah di dalam hadits Ibnu Abbas dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
Kami bersahur bersama Rasulullah , kemudian beliau pergi untuk solat. Aku (Ibnu
Abbas) bertanya, Berapa lama antara azan dan sahur? Beliau menjawab, Sekitar 50
ayat. (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)

Hukumnya
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasulullah untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga
sabda beliau :
b. Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah. (Riwayat al-Bukhariy dan
Muslim).
c. Larangan beliau dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa'id yang
terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139)
menukilkan ijmak atas kesunahannya
d. Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma (Hadits Hasan,
HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa


Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang harus dijauhi oleh
seorang yang berpuasa pada siang harinya. Perkara-perkara tersebut adalah:
a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan Allah : Dan
makanlah dan minumlah kalian sampai jelas baggi kalian benang putih siang dari
benang hitam malam dari fajar. (Al-Baqarah, 2:186).
b. Sengaja untuk muntah ( muntah dengan sengaja).
c. Haid dan nifas.
d. Injeksi yang berisi makanan (infus).
e. Bersetubuh.
Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa, yaitu:
1. Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda, “ Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan
beramal dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan
dan minum. (Riwayat al-Bukhariy).”
2. Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “ Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari
makan dan minum. Puasa itu hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan,
maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka
katakanlah, 'Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.' (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan
al-Hakim).

PERBUATAN YANG MEMBATALKAN PUASA


Perbuatan yang membatalkan puasa dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Perbuatan yang membatalkan pahala puasa, tetapi puasanya tetap sah sehingga tidak perlu
diqadha. Ini disebut al-muhbithât (yang menggugurkan pahala puasa).
b. Perbuatan yang membatalkan puasa sekaligus pahalanya –jika dilakukan tanpa uzur–
sehingga wajib diqadha. Ini disebut al-mufaththirât (yang membatalkan puasa).

a. Al-Muhbithât
Yaitu perbuatan yang menggugurkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda:
“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apapun dari puasanya selain rasa
lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan pahala puasa adalah sebagai berikut:
1. Ghibah (menggunjing). Yaitu menyebut sesuatu tentang saudaranya yang ia tidak ia suka
meskipun benar (sesuai kenyataan). Dalam sebuah hadits: “Orang yang berpuasa selalu
dalam ibadah sejak pagi hingga sore selama ia tidak menggunjing. Jika ia menggunjing
maka puasanya akan robek.” (HR. Dailami).
2. Namimah (adu domba). Yaitu menukil kalimat dengan tujuan menyulut perpecahan.
3. Dusta. Yaitu memberitahukan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan.
4. Melihat sesuatu yang diharamkan meskipun tanpa syahwat, atau melihat yang dibolehkan
dengan syahwat (menikmati). Oleh karena itu, ia harus menahan pandangannya dari yang
diharamkan, seperti di jalanan, televisi, internet, dan lainnya.
5. Sumpah palsu.
6. Perkataan dan perbuatan buruk dan nista. Dalam hadits: “Barang siapa tidak
meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk maka Allah tidak membutuhkan
tindakannya yang meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari).
Maka hendaknya ia meninggalkan penghinaan, laknat, ejekan, memanggil dengan gelar yang
buruk, perkataan buruk, dan lain sebagainya.

b. Al-Mufaththirât
Yaitu perbuatan yang membatalkan puasa. Semuanya berjumlah delapan yaitu:
1. Murtad
Yaitu memutus tali Islam baik dengan niat, ucapan atau perbuatan, meskipun hanya sekejap.
Karena non muslim tidak sah melaksanakan ibadah.
2. Datang darah haid dan nifas serta melahirkan
Jika siklus haid seorang perempuan datang beberapa saat sebelum maghrib –meskipun hanya
sekejap– maka batallah puasanya dan ia harus mengqadha puasanya.
Begitu pula jika terputus haid setelah terbit fajar –meskipun sekejap– maka tidak sah puasanya
pada hari itu, tetapi dianjurkan baginya menjauhi yang membatalkan hingga terbenam matahari,
dan ia juga wajib mengqadha.
Ketika menjelaskan maksud kekurangan agama bagi seorang perempuan, Rasulullah SAW
bersabda:
“Bukankah seorang perempuan jika haid tidak shalat dan tidak puasa?” “Ya,” jawab para
perempuan itu. Beliau berkata: “Itulah kekurangan agamanya.” (Muttafaq Alaih).
3. Gila
Meskipun sekejap, karena hilangnya akal menggugurkan kewajiban syariat.
4. Pingsan dan mabuk
Keduanya membatalkan puasa jika meliputi seluruh siang hari (waktu puasa). Adapun jika dia
sadar –meskipun sebentar– maka puasanya sah.
Sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat jika orang itu sengaja pingsan atau mabuk meskipun
sebentar maka puasanya batal. Sebagian yang lain berpendapat bahwa puasanya tidak batal
kecuali jika sengaja dan meliputi semua siang.
Nabi SAW bersabda:
“Catatan (kewajiban) diangkat dari tiga orang, yaitu dari anak kecil hingga balig, dari orang tidur
hingga bangun, dan dari orang gila hingga sadar.” (HR. Abu Daud, Nasa`i, dan Ahmad).
5. Berhubungan badan
Jika seseorang berhubungan badan –meskipun pada lubang dubur– secara sengaja,
mengetahui keharaman, dan tidak dipaksa maka puasanya batal.
Tindakan ini mengakibatkan lima hal:
 Mendapatkan dosa besar.
 Wajib menghindari perbuatan yang membatalkan puasa hingga terbenam matahari.
 Mendapatkan takzir, yaitu hukuman mendidik dari hakim yang dijatuhkan jika pelaku tidak
mau bertaubat.
 Mengqadha (mengganti) puasa, yaitu satu hari puasa.
 Memenuhi kafarat udzma (berat).

Kafarat bersetubuh di bulan Ramadhan (kafarat udzma)


Yaitu kafarat (hukuman) yang dijatuhkan bagi seseorang yang berhubungan badan dengan
isterinya di siang hari bulan Ramadan.
Kafarat ini hanya diwajibkan atas lelaki saja bukan perempuan. Karena sekedar dimulai
hubungan badan maka batalah puasa perempuan karena telah masuk sesuatu ke dalam
rongga tubuhnya melalui lubang terbuka. Kafarat ini berlipat ganda sesuai dengan hari yang
dibatalkan akibat berhubungan itu sehingga jika seseorang membatalkan puasa dua hari maka
harus melaksanakan dua kafarat.
Dalil kewajiban kafarat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata:
“Ketika kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang lelaki. Ia berkata: ‘Ya
Rasulullah, aku telah binasa.” Beliau berkata: ‘Ada apa?” Lelaki itu menjawab: ‘Aku mencampuri
isteri dalam keadaan aku puasa.’ Beliau bertanya: ‘Apakah kamu punya budak yang bisa kamu
merdekakan?’ ‘Tidak ada,’ jawabnya. Beliau bertanya lagi: ‘Kalau begitu apakah kamu mampu
berpuasa dua bulan berturut-turut?’ ‘Tidak mampu,’ jawabnya lagi. Beliau kembali bertanya:
‘Kalau begitu apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ ‘Tidak,’
jawabnya lagi. Lalu Nabi SAW berdiam. Ketika dalam keadaan itu tiba-tiba beliau diberi
sekeranjang kurma. Beliau lalu berkata: ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ ‘Saya,’ jawabnya.
Beliau berkata: ‘Ambilah kurma ini dan sedekahkanlah.’ Lelaki itu berkata: ‘Apakah ada di
Madinah orang yang lebih miskin dariku, ya Rasulullah? Demi Allah, tidak ada diantara
dua harrah (batuan tajam bekas letusan gunung) sebuah keluarga yang lebih miskin dari
keluargaku.’Mendengar itu Nabi SAW langsung tertawa hingga tampak gigi taring beliau. Lalu
beliau berkata: ‘Berikanlah kepada keluargamu.’ (Muttafaq Alaih).
Syarat diwajibkan kafarat udzma ada enam, yaitu:
1. Puasa hari itu batal dengan berhubungan badan. Jika puasa itu batal dengan sesuatu lain
lalu berhubungan maka tidak wajib kafarat.
2. Terjadi pada bulan Ramadhan. Jika yang dibatalkan bukan puasa Ramadhan maka tidak
wajib kafarat meskipun puasa wajib, seperti puasa qadha Ramadhan, dan puasa nazar.
3. Hari yang batal adalah satu hari penuh puasa. Jika seseorang meninggal atau gila sebelum
terbenam matahari maka tidak wajib membayar kafarat.
4. Hubungan itu terjadi secara sempurna. Jika sekedar bercumbu lalu mengeluarkan sprema
(air mani) tanpa berhubungan maka tidak wajib kafarat.
5. Berdosa karena hubungan ini. Maka tidak wajib kafarat bagi orang yang mengambil
rukhsoh (keringanan) tidak berpuasa bagi musafir yang melakukan perjalanan panjang (82
km) yang mubah, lalu ia menggauli istrinya dalam masa perjalanan tersebut.
6. Tidak terdapat syubhat (kesalahan/ ketidaktahuan yang meringankan hukuman). Maka tidak
ada kafarat bagi yang menggauli isterinya karena mengira hari masih malam.

Bentuk dan tata cara pelaksanaan kafarat


Kafarat ini berupa satu diantara tiga hal yang harus dilaksanakan secara berurutan (bukan
pilihan), sehingga tidak boleh berpindah kepada yang selanjutnya sampai benar-benar tidak
dapat melaksanakan yang sebelumnya. Ketiga hal tersebut adalah:
1. Memerdekakan budak muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Jika tidak mampu maka berpindah kepada kafarat kedua. Makna dari ketidakmampuan ini
adalah tidak mendapatkan budak yang dimaksud –seperti yang terjadi di zaman ini–, atau
budak itu ada tapi ia membutuhkan uangnya untuk keperluan dirinya atau orang yang
ditanggungnya, atau budak itu dijual dengan harga yang lebih tinggi dari umumnya.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut (60 hari).
Jika tidak berpuasa pada salah satu harinya (terputus di tengah) –meskipun karena uzur– maka
harus diulang dari awal. Kecuali jika terputus karena haid, nifas, gila atau pingsan yang meliputi
semua siang.
Jika tidak mampu melakukannya maka boleh berpindah kepada kafarat berikutnya. Makna
ketidakmampuan ini adalah kesulitan dalam melaksanakannya, atau kesulitan karena berturut-
turutnya, karena misalnya usia lanjut, sakit yang umumnya berlangsung dua bulan atau lebih,
atau khawatir sakitnya bertambah parah, atau ia adalah tipe orang yang memiliki libido
(syahwat seks) yang tinggi, atau lainnya yang menyebabkan kesulitan yang besar.
3. Memberi makan (sedekah makanan pokok) kepada enam puluh orang miskin masing-masing
satu mud.
Jika ia merasa susah dalam melaksanakannya maka kafarat ini tetap berada dalam
tanggungannya hingga mampu. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika ia tidak mampu maka
gugur pula keajiban itu.

6. Masuknya sesuatu melalui lubang terbuka ke dalam rongga tubuh


Memakan sesuatu secara sengaja, baik banyak atau sedikit, adalah membatalkan puasa. Allah
berfirman:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187).

Tapi jika tidak sengaja, seperti lupa, maka tidak batal betapapun banyak. Nabi SAW
bersabda:
“Barang siapa yang terlupa dalam keadaan puasa sehingga ia makan atau minum maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Allah memberinya makan
dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika seseorang melihat orang yang berpuasa sedang makan, maka jika zahir (tampak
luar) orang itu adalah saleh (bertakwa) maka dianjurkan untuk memperingatkannya. Tapi jika
zahir orang tersebut adalah menyepelekan perintah Allah maka wajib memperingatkannya.
Penjelasan kaidah pembatal puasa: “masuknya sesuatu melalui lubang terbuka ke dalam
rongga tubuh”:
1. Sesuatu : yaitu benda yang memiliki wujud fisik. Oleh karena itu, tidak batal masuknya
udara ke dalam tubuh, rasa (di mulut), dan angin tanpa membawa sesuatu.
2. Masuknya: jika tidak sampai masuk ke dalam tubuh maka tidak membatalkan puasa.
Misalnya mengunyah makanan tanpa menelannya.
3. Lubang terbuka : yaitu mulut, hidung, mata, telinga, dan kedua lubang kemaluan. Oleh
karena itu tidak batal jika sesuatu masuk melalui lubang tidak terbuka, seperti memakai
minyak, krem untuk kulit, dan sejenisnya, yang masuk melalui lubang pori-pori.
Menurut Imam Syafii, semua lubang di permukaan tubuh adalah terbuka kecuali mata,
sehingga tidak membatalkan puasa pemakaian celak meskipun didapati rasanya dalam
tenggorokan. Begitu pula, tidak termasuk lubang terbuka adalah telinga menurut Imam
Ghazali.
Namun demikian, ilmu medis moderen menyatakan bahwa mata memiliki lubang terbuka
menuju rongga badan (perut), sementara telinga tidak memilikinya. Oleh karena itu, yang
paling baik adalah melakukan kehati-hatian dengan tidak memasukkan sesuatu ke dalam
dua lubang tersebut selama berpuasa.
4. Rongga tubuh : yaitu tempat berkumpulnya makanan dan obat, seperti lambung, atau
tempat berkumpulnya obat saja, seperti otak.

a. Menelan dahak dan ingus.


 Jika dahak itu telah keluar sampai batas tampak (zahir), lalu ditelan, maka batal puasanya.
Yaitu jika orang tersebut sengaja mengeluarkannya meskipun ia kemudian tidak bisa
melepehkannya. Ini berbeda jika dahak itu keluar dengan sendirinya lalu ia tidak mampu
melepehnya maka tidak batal puasanya karena uzur. Begitu pula tidak dianggap batal jika
tidak sampai pada batas tampak (zahir).
 Jika dahak itu sampai pada batas dalam (batin) lalu ia menelannya maka tidak batal.
Yang dimaksud batas tampak (zahir) adalah tempat keluarnya huruf Kho’ ( ‫) خ‬, yaitu
tenggorokan atas. Dan batas dalam (batin) adalah tempat keluarnya huruf Ha ( ‫) هـ‬, yaitu
tenggorakan bawah.

b. Menelan air ludah.


Menelan air ludah tidak membatalkan puasa karena sulit menghindarinya, meskipun seseorang
mengumpulkan ludahnya secara sengaja, dengan tiga syarat:
1. Jika ludahnya tercampur dengan makanan atau lainnya maka batal puasanya. Al-Allamah
Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki dalam kitab Tuhfatul Muhtaaj menguatkan pendapat yang
memaafkan tertelannya darah yang keluar dari gusi yang tidak dapat atau sulit dihindari.
Oleh karena itu, dalam masalah ini terdapat kelapangan.
2. Suci (tidak tercampur najis). Meskipun ludah yang ternajisi itu murni. Yaitu misalnya jika
keluar darah pada mulut seseorang lalu dibuang darah tersebut tanpa menggunakan air.
Dalam keadaan ini, ludah dan mulutnya masih dihukumi najis meskipun tdk ada sisa darah
lagi. Oleh karena itu najis harus dibersihkan dengan air.
3. Ludah itu masih berada dalam mulutnya. Maka jika seseorang menelan air ludah yang telah
sampai bibirnya yang berwarna merah maka batallah puasanya.

c. Masuknya air ke dalam tubuh ketika mandi tanpa sengaja.


1. Jika mandi tersebut adalah mandi yang disyariatkan (mandi ibadah), baik mandi wajib
seperti mandi junub, ataupun mandi sunah seperti mandi Jumat, maka tidak batal puasanya
jika ia mandi dengan menyiramkan air ke tubuh. Tapi puasanya batal jika cara mandinya
adalah dengan cara menyelam. Dalam kitab Hâsyiyah al-Bujairimi ‘alal Khathîbdisebutkan
bahwa puasa itu batal jika air masuk ke dalam tubuh ketika menyelam jika ia terbiasa
kemasukan air ketika menyelam. Tapi jika tidak biasa kemasukan air maka tidak batal.
2. Jika mandi tersebut adalah mandi yang tidak diperintahkan (bukan mandi ibadah), seperti
mandi untuk mendinginkan tubuh atau membersihkan kotoran, maka batal puasa jika
kemasukan air meskipun tidak sengaja. Baik mandi dengan menyiram ataupun menyelam.

d. Kemasukan air tanpa sengaja ketika berkumur atau membersihkan hidung.


1. Jika berkumur itu diperintahkan (ibadah), baik dalam wudhu atau mandi, maka jika tidak
dilakukan secara berlebihan maka tidak batal puasanya. Tetapi jika dilakukan secara
berlebihan maka batal puasanya karena berlebihan dalam berkumur dan membersihkan
hidung adalah makruh sehingga tidak diperintahkan.
2. Jika berkumur itu tidak diperintahkan (bukan ibadah), misalnya berkumur yang keempat,
atau bukan ketika wudhu atau mandi, maka batal puasanya meskipun dilakukan secara
tidak berlebihan.

e. Menghirup aroma minyak wangi, asap, dan uap air.


Menghirup aroma minyak wangi atau aroma ramuan obat-obatan tidak membatalkan
puasa karena aroma tidak memiliki fisik (materi).
Namun, jika yang dihirup adalah asap minyak wangi, asap kendaran, dan asap rokok
maka batal puasanya jika dilakukan secara sengaja. Begitu pula batal jika menghirup uap air
secara sengaja.

f. Celak dan lipstik.


Celak tidak membatalkan puasa meskipun rasa celak sampai terasa dalam
kerongkongan. Adapun lipstik atau pelembab bibir maka tidak membatalkan puasa selama tidak
tertelan.

g. Beberapa permasalahan berkaitan dengan medis (kesehatan).


1) Balsem dan pelembab kulit.
Penggunaan balsem dan pelembab kulit tidak membatalkan puasa karena kandungannya
masuk ke dalam tubuh tidak melalui lubang terbuka.
2) Suntikan.
Para ulama berbeda pendapat apakah suntikan membatalkan puasa atau tidak dalam tiga
pendapat:

Pertama: Puasanya batal secara mutlak, karena sesuatu yang disuntikkan telah masuk dalam
rongga.
Kedua: Tidak batal secara mutlak, karena sesuatu itu masuk melalui lubang tidak terbuka.
Ketiga: Pendapat inilah yang kuat, yaitu jika yang disuntikkan adalah makanan atau sesuatu
yang menguatkan tubuh, seperti vitamin, maka batal puasanya. Tapi jika bukan
makanan, seperti antinyeri atau antihistamin, maka:
 Jika disuntikkan ke pembuluh darah (intra vena) maka batal.
 Jika disuntikkan melalui kulit (intra cutan), seperti insulin, atau melalui otot (intra muscular)
maka tidak batal.
3) Donor darah dan pengambilan sampel darah.
Mendonorkan darah tidak membatalkan puasa tetapi hukumnya makruh.
4) Inhaler atau nebulizer.
Menggunakan inhaler dan nebulizer membatalkan puasa karena mengandung air dan obat
yang keduanya memiliki fisik (materi).
5) Obat tetes.
Obat tetes mulut dan hidung membatalkan puasa. Begitu pula tetes telinga dan bilas telinga
membatalkan puasa tetapi menurut Imam Ghazali hal itu tidak membatalkan karena telinga
tidak termasuk lubang terbuka. Adapun obat tetes mata maka tidak membatalkan puasa
karena mata tidak termasuk lubang terbuka menuju rongga tubuh.
6) Pemeriksaan atau memasukkan obat melalui kemaluan.
Memasukkan alat –seperti catheter— atau obat ke dalam kemaluan baik qubul (bagian
depan) maupun dubur (belakang) adalah membatalkan puasa. Namun, jika seseorang yang
memiliki penyakit wasir (ambeien) memasukkan anusnya yang keluar maka tidak
membatalkan puasa karena darurat.

KEWAJIBAN BAGI YANG TIDAK MAMPU BERPUASA


a. Kewajiban Orang yang Tidak Berpuasa
Jika seorang muslim tidak berpuasa Ramadhan maka wajib baginya mengganti puasa tersebut
dengan mengqadha di lain hari, atau dengan membayar fidyah, sesuai dengan alasannya tidak
berpuasa.
Bagi yang membatalkan tanpa uzur maka hukumnya wajib untuk segera mengganti puasa
tersebut. Namun, jika ia batal dengan uzur, seperti bepergian, sakit atau lupa niat, maka boleh
menunda (mengakhirkan) pelaksanaannya selama ia yakin tidak akan datang uzur yang
menghalangi puasa, seperti meninggal dunia, sakit parah, dan lain sebagainya.
Kewajiban orang yang tidak mampu berpuasa ada empat macam:
1. Kewajiban mengqadha (mengganti puasa di hari lain) dan membayar fidyah. Ada dua
orang yang terkena kewajiban ini, yaitu:
1) Orang yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap orang lain. Seperti ibu hamil yang
khawatir atas janinnya, dan ibu menyusui yang khawatir atas anak yang disusuinya. Atau
seperti seorang yang terpaksa membatalkan puasa karen aingin menyelamatkan orang
yang hampir meninggal.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih: “Setiap tindakan tidak berpuasa karena ada dua
orang yang memerlukannya maka kewajibannya adalah mengqadha dan membayar fidyah”.
Atau: ‫كل فطر ارتفق به شخصان يجب فيه القضاء والفدية‬
Namun jika tidak berpuasa karena khawatir atas diri dan anaknya maka ia hanya wajib
mengqadha saja. Ini sesuai dengan kaidah : “Jika berkumpul sesuatu yang melarang dan
sesuatu yang memerintah maka yang melarang lebih diutamakan dari yang mememrintah”.
Atau: ‫إذا اجتمع مانع ومقتض غلب المانع على المقتضي‬
Kekhawatiran seseorang atas dirinya mencegah (menghalangi) keharusan membayar
fidyah, dan kekhawatiran atas anaknya mengharuskan membayar fidyah. Maka diutamakan
yang pertama sehingga tidak wajib membayar fidyah tapi harus mengqadha puasanya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ketika berbicara tentang ayat: “Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin,” (Al-Baqarah: 184). Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini adalah keringanan
(rukhng shah) bagi orang yang sudah tua dan perempuan tua, sementara mereka mampu
berpuasa, untuk tidak berpuasa tetapi harus memberi makanan (fidyah) kepada satu orang
miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Begitu pula, perempuan hamil dan menyusui
jika khawatir terhadap anak mereka untuk membayar qadha puasa dan memberi makanan
(fidyah).”
2) Orang tidak berpuasa dan menunda mengqadhanya –padahal ia mampu
melakukannya– hingga bertemu Ramadhan lain tanpa adanya uzur.

Maksud mampu melakukannya adalah mampu mengqadha puasa pada tahun tersebut
karena ia tidak berpergian atau sakit selama waktu yang dibutuhkan untuk mengqadha. Jika ia
menundanya karena terdapat uzur, seperti bepergian, sakit, menyusui, lupa dan tidak tahu
maka ia tidak wajib membayar fidyah.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata: “Aku dulu punya
kewajiban (hutang) puasa dari Ramadhan tetapi tidak dapat aku lakukan (mengqadhanya)
kecuali di bulan Sya’ban. Itu karena kedudukan Rasulullah SAW.” Ini menunjukkan bahwa
mengakhirkan qadha Ramadhan hingga bertemu Ramadhan selanjutnya adalah tidak boleh.

1. Kewajiban mengqadha saja tanpa membayar fidyah. Seperti orang pingsan, orang
yang lupa niat, dan orang yang membatalkan puasanya dengan selain berhubungan
badan.
2. Kewajiban membayar fidyah tanpa perlu mengqadha. Seperti orang lanjut usia yang
tidak kuat puasa, dan orang sakit yang tidak dapat sembuh lagi.
3. Tidak wajib mengqadha dan membayar fidyah. Seperti orang gila yang tidak
disengaja menjadi gila.
Catatan:
a) Fidyah adalah makanan pokok yang dibayarkan karena melakukan pelanggaran tertentu.
Besar fidyah adalah satu mud (510 gr) untuk satu hari yang ditinggalkan. Fidyah menjadi
berlipat sesuai dengan jumlah tahun penundaan. Waktu pembayaran fidyah dimulai waktunya
sejak terbit fajar setiap hari pada hari yang tidak berpuasa didalamnya. Pembayaran fidyah
tidak boleh didahulukan tetapi boleh diakhirkan hingga akhir Ramadhan. Tidak apa-apa
membayar fidyah satu bulan pada hari terakhir bulan Ramadhan.
b) Orang sakit jika meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka:
1. Jika ia tidak memiliki waktu untuk mengqadhanya, seperti jika ia meninggal tanpa sempat
sembuh maka ia tidak wajib mengqadha puasanya karena syarat wajib puasa tidak
terpenuhi pada dirinya, yaitu sehat badan.
2. Jika ia memiliki waktu untuk mengqadhanya tetapi ia tidak melakukannya karena lalai maka
kerabatnya dianjurkan untuk mengqadha puasa itu dirinya.
Nabi SAW bersabda:
ُ‫ام َع ْنهُ َو ِليُّه‬
َ ‫ص‬ ِ ‫َم ْن َماتَ َو َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ص َيا ٌم‬
“Barang siapa yang meninggal dan memiliki hutang puasa maka hendaknya walinya
mempuasakan untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika ada orang asing (bukan kerabat) melakukan qadha itu atas nama mayit maka
dibolehkan jika telah mendapatkan izin dari kerabat. Tapi jika tidak ada izin atau wasiat maka
puasa qadha tersebut tidak sah.
Jika tidak ada yang mengqadhakan puasa untuknya maka harus membayar fidyah sebesar
satu mud untuk setiap satu hari yang ditinggalkan dan diambilkan pembayaran itu dari harta
warisannya karena dihitung sebagai hutang kepada Allah.
Ibnu Umar RA berkata: “Barang siapa meninggal dan memiliki hutang puasa bulan
Ramadhan maka hendaklah ia memberi makanan (fidyah) satu orang miskin sebesar satu mud
untuk setiap satu hari.” (HR. Tirmidzi).
Ibnu Abbas RA berkata: “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan lalu ia meninggal
sementara belum sempat mengqadha puasa maka hendaknya memberikan makanan (fidyah).”
(HR. Abu Daud).

b. Menjauhi Yang Membatalkan Puasa Meskipun Tidak Berpuasa


Terdapat enam keadaan seorang harus menjauhi yang membatalkan puasa, seperti makan dan
minum, meskipun ia tidak berpuasa pada hari itu. Keadaan-keadaan ini hanya terjadi pada
bulan Ramadhan saja karena ketinggian dan kemuliaan derajatnya. Keenam keaadan itu
adalah:
1. Orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja.
2. Orang yang tidak berniat di malam hari meskipun terlupa, karena kelupaan ini menunjukkan
kelalaian dirinya dan tidak perhatian dengan ibadah.
3. Orang yang masih akan sahur karena mengira malam masih ada tetapi ternyata sudah
pergi.
4. Orang yang berbuka karena menyangka sudah terbenam matahari tapi ternyata belum. Jika
perkiraannya berdasarkan ijtihad (usaha mencari tahu waktu) maka tidak haram (tidak
berdosa) karena berbuka. Tapi jika tidak berdasarkan ijtihad maka haram melakukannya
karena hukum asalnya adalah waktunya masih siang.
5. Orang yang baru menyadari pada tanggal 30 Syaban bahwa ternyata hari itu sudah masuk
Ramadhan.
6. Orang yang kemasukan air ketika melakukan tindakan yang tidak diperintahkan, baik ketika
berkumur, membersihkan hidung maupun mandi.

c. Tidak Batal Puasa Meskipun Masuk Sesuatu Dalam Tubuh


Sebagaimana telah disebutkan bahwa diantara yang membatalkan puasa adalah masuknya
suatu benda ke dalam rongga tubuh melalui lubang terbuka. Namun, hukum batalnya puasa itu
dikecualikan dalam 7 (tujuh) keadaan, yaitu:
1. Masuknya sesuatu karena lupa.
2. Masuknya sesuatu karena tidak tahu jika hal itu membatalkan. Dengan syarat orang
tersebut termasuk orang yang dimaklumi ketidaktahuannya, seperti baru masuk Islam.
3. Masuknya sesuatu karena dipaksa jika terpenuhi syarat-syarat paksaan tersebut.
Diantaranya adalah ia tidak makan karena syahwat (keinginan) pribadi tapi karena murni
paksaan.
4. Sesuatu yang masuk karena terbawa oleh:
 Air ludah murni dan suci yang membawa sisa di sela gigi.
 Air ludah tidak murni.
 Air ludah tidak suci.
 Air ludah yang berasal dari luar mulutnya.
Sementara dalam semua keadaan itu ia tidak mampu untuk melepehkanya karena uzur.
5. Debu jalanan yang terhirup.
6. Tepung yang berterbangan, dan sejenisnya.
7. Lalat yang sedang terbang atau sejenisnya meskipun ia sengaja membuka mulutnya.

PERBUATAN YANG DIMAKRUHKAN DALAM PUASA


Arti makruh adalah tidak disukai atau dibenci jika dilakukan. Yang meninggalkannya
mendapat pahala dan yang melakukannya tidak berdosa. Dengan demikian, perbuatan makruh
dalam puasa tidak membatalkan puasa itu sendiri tetapi mengurangi nilai kesempurnaannya.
Perbuatan yang dimakruhkan dalam puasa ada delapan, yaitu:
1. Mengunyah atau memasukkan makanan dalam mulut tanpa menelannya. Jika tertelan
maka puasa menjadi batal.
2. Menyicipi makanan tanpa keperluan meskipun tidak Jika diperlukan maka tidak
dimakruhkan.
3. Berbekam, yaitu mengeluarkan darah dengan teknik tertentu. Berbekam hukumnya
makruh demi menghindari pendapat ulama yang menyatakan batal. Selain itu karena
berbekam dapat membuat lemas orang yang dibekam. Begitu pula hukumnya makruh
orang yang melakukan pembekaman terhadap orang lain. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
RA bahwa: “Rasulullah SAW berbekam dalam keadaan ihram, dan beliau berbekam
dalam keadaan puasa.” (HR. Bukhari).
Anas bin Malik RA ditanya: “Apakah kalian (para sahabat) membenci berbekam?” Beliau
menjawab: “Tidak, kecuali karena membuat lemas saja.” (HR. Bukhari).
4. Membuang air dari mulut setelah berbuka sehingga menghilangkan keberkahan puasa.
Yang dianjurkan adalah menelan air yang ada di mulutnya tersebut.
5. Menyelam dalam air meskipun untuk mandi wajib.
6. Bersiwak setelah tergelincir matahari (waktu zhuhur) karena dapat menghilangkan bau
mulut orang berpuasa. Sementara Imam Nawawi memilih bahwa itu tidaklah makruh.
Rasulullah SAW bersabda:
ِ ‫ط َيبُ ِع ْن َد هللاِ ِم ْن ِريْحِ ْال ِمس‬
‫ْك‬ ْ َ ‫صائِ ِم أ‬ ُ ‫لَ َخلُ ْو‬
َّ ‫ف فَ ِم ال‬
“Sungguh bau mulut orang puasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak misk (kasturi).”
(HR. Bukhari dan Muslim).
7. Terlalu kenyang, terlalu banyak tidur, banyak melakukan hal yang tidak penting, karena
semua itu menghilangkan faidah puasa.
8. Melakukan tindakan syahwat yang dibolehkan, baik berbentuk bau-bauan, sesuatu yang
dilihat, maupun yang didengar.

5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan


Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:
a. Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits
Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: “ Sesungguhnya Nabi mendapatkan fajar
(subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa. (Riwayat
al-Bukhariy dan Muslim).”
b. Bersiwak.
c. Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.
d. Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa dan dimakruhkan bagi orang-
orang yang berusia muda.
e. Injeksi yang bukan berupa makanan.
f. Berbekam.
g. Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h. Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i. Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.

6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia memberikan
kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang tidak mampu atau sangat
sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai berikut:
1. Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).
2. Orang yang sakit.
3. Wanita yang sedang haid atau nifas.
4. Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.
5. Wanita yang hamil atau menyusui.
7. Berbuka Puasa
Waktu berbuka Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan telah lalu
penjelasannya pada pembahasan waktu puasa. Mempercepat Buka Puasa Termasuk dalam
sunnah puasa adalah mempercepat waktu berbuka dalam rangka mengikuti contoh
Rasulullah e dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-
Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad saw adalah orang-orang yang paling cepat
berbuka dan paling lambat sahurnya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf
nomor 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199).
Adapun manfaatnya adalah:
1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin
Saà d bahwa Rasulullah bersabda, “ Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama
mereka mempercepat buka puasanya. (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)."
2. Merupakan sunnah Nabi .
3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah
bahwa Rasulullah bersabda, “ Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum
muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen
(Nashrani) mengakhirkannya. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad
hasan).”
Buka puasa dilakukan sebelum solat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi.
Sedangkan Rasulullah memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada
kurma, maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau
terhadap umatnya.

Makanan yang utama dalam berbuka,


Adalah Nabi beliau berbuka sebelum sholat dengan kurma basah dan apabila tidak
menjumpainya, maka beliau berbuka dengan kurma kering, dan apabila tidak ada kurma kering,
maka beliau meminum air (Hadits Hasan, HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Adapun do'a ketika berbuka puasa adalah;

‫ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت األجر إن شاء هللا‬

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/


(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
(HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di
Hidayatur Ruwah, 2/232)

Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:

‫اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين‬

adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits
manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Entah siapa orang yang membuat doa ini.
Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti
saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga
doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.

8. Adab Orang yang Berpuasa.


Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syari, di
antaranya:
1. Memperlambat sahur.
2. Mempercepat berbuka puasa.
3. Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka .
4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.
5. Bersiwak.
6. Berderma dan tadarus Alquran.
7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.

Demikianlah Materi Kegiatan Pondok Ramadhan ini dibuat. Mudah-mudahan dapat berguna
bagi saya khususnya dan bagi kaum muslimin umumnya.

Anda mungkin juga menyukai