“Pada malam pertama bulan Ramadhan syetan-syetan dan jin-jin yang jahat dibelenggu,
pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka,
tidak ada satu pun pintu yang tertutup, serta seorang penyeru menyeru: “Wahai yang
mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan
keburukan/maksiat berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka
pada setiap malam di bulan Ramadhan”.
Makna “terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-
setan” bermakna sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.
Dan maksud terbukanya pintu surga juga bermakna: karena Allah memudahkan berbagai
ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini
berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan
kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan
pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang
mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.
Allah Ta’ala pun telah mewajibkan puasa Ramadhan. Ini berarti puasa Ramadhan lebih utama
dari puasa lainnya yang dihukumi sunnah. Dan amalan wajib tentu saja harus lebih
didahulukan daripada amalan sunnah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Wajib mendekatkan diri pada Allah dengan melakukan hal-hal wajib sebelum yang sunnah.
Mendekatkan diri pada Allah dengan perkara yang sunnah baru bisa dianggap sebagai ibadah
jika perkara yang wajib dilakukan.”[2]
Telah ada dalil yang menjelaskan motivasi untuk melaksanakan qiyam ramadhan yaitu shalat
tarawih.
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang
dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An
Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa
dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari
pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para
sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu
malam penuh.”
Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara
berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
2. Sedekah
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat
beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui
beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-
Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam
melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari, no. 3554; Muslim no. 2307)
Sudah tahukah anda di balik memberi makan berbuka ada pahala yang besar?
“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang
berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”[1]
Disyari’atkan banyak berderma ketika puasa seperti saat memberi makan buka puasa adalah
supaya orang kaya dapat merasakan orang yang biasa menderita lapar sehingga mereka pun
dapat membantu orang yang sedang kelaparan. Oleh karenanya sebagian ulama teladan di
masa silam ditanya, “Kenapa kita diperintahkan untuk berpuasa?” Jawab mereka, “Supaya
yang kaya dapat merasakan penderitaan orang yang lapar. Itu supaya ia tidak melupakan
deritanya orang yang lapar.”
3. Tilawah Al-Qur’an
Beberapa dalil lainnya juga menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan khusus untuk
Al-Qur’an karena Al-Qur’an turun ketika itu. Allah Ta’ala berfirman,
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur’an” (QS. Al-Baqarah: 185).
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu
kebaikan dengan huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku
tidaklah mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan
Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Keempat: I’tikaf
“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah
dimaklumi bahwa orang yang rusak karena berjalan tanpa penuntun tadi akan mendapatkan
kesulitan dan sulit bisa selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang
yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”
“Siapa yang terpisah dari penuntun jalannya, maka tentu ia bisa tersesat. Tidak ada penuntun
yang terbaik bagi kita selain dengan mengikuti ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
(Lihat Miftah Dar As-Sa’adah, 1:299)
Perusak #02: Masih meneruskan maksiat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut
kecuali rasa lapar dan dahaga saja.” (HR. Ahmad, 2:373. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan bahwa sanadnya jayyid)
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan
menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau
berbuat usil padamu, katakanlah padanya, ‘Aku sedang puasa, aku sedang puasa’.” (HR. Ibnu
Khuzaimah, 3:242. Al-A’zhami mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih).
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian
dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri
sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi
makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia pada
tidur.” (HR. Tirmidzi, no. 1984. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Perusak #04: Puasa tetapi tidak shalat
Pakar fikih Kerajaan Saudi Arabia pada masa silam, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun
meninggalkan shalat?” Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang
meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat berarti kafir
dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman
Allah Ta’ala,
”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui.” (QS. At-Taubah: 11)
“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim, no. 82)
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim, no. 756)