Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AKHLAK
Sholat Berjamaah

DOSEN PEMBIMBING
Syaiful Kholifah,S.Pd.I.,M.Pd.I.

DISUSUN OLEH
 Taufik Hidayaturromadlon
 Ismi Laili Faujiah
 Endang Dwi Susanti
 Zakiyatul Muna

MA’HAD ALY SUNAN GUNUNG JATI


KISMANTORO WONOGIRI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis ucapkan  kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul  “sholat berjamaah’’.
Dengan adanya suatu tugas makalah penulis sangat bersyukur karena dengan adanya bisa
menambah wawasan kita serta pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu.
Walaupun masih banyak kekurangan dalam penulisan  makalah  ini, namun penulis
berharap agar  makalah ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan baik di dalam kampus atau
diluar kampus.
Dalam melaksanakan makalah ini banyak pihak yang terlibat dan membantu sehingga
dapat menjadi satu makalah yang dapat  di baca dan dimanfaatkan .

Akhirnya kritik dan saran  yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya .
Sekian dari saya mengucapkan banyak terima kasih .

                                                                  

 Penulis

\
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………...……..ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………..……iii

BAB I.  
PENDAHULUAN…………………………………………………….1
A. Latar Belakang …………………………………………….….1

BAB II.
PEMBAHASAN………………………………………………………2
A. Pengertian sholat berjamah............................................................2
B. Sejarah dan anjuran sholat berjamaah..........................................2
C. Hukum sholat berjamaah...............................................................4
D. Jumlah orang dalam sholat berjamaah..................................................7
E.     Posisi imam dan makmum ketika sholat berjamaah…...……..…..…..8
F.    Hukum wanita yang ikut keluar sholat berjamaah di masjid……..….8

BAB III.
PENUTUP…………………………………………………...............9
A.   Kesimpulan……………………………………………………...9

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Alhamdulillah was shalatu  was salamu ala Rasulillah, rasul bersabda : ikhtilafu fi
ummati rahmatun, guna mengkaji dan memperdalam ilmu sehingga kita mengetahui sebab-
sebab iktilaful ulama wa adillatuhu sehingga tidak sepatunya antara satu sama lain saling
menyalahkan. Maka dari itu kita sebagai umatnya, dalam menyikapi perbedaan harus lah
saling menghargai pendapat satu dengan yang lainnnya.

 Dalam shalat terdapat rukun yang harus dikerjakan salah satunya adalah bacaan al-fatihah.
Seperti yang sudah dikatakan oleh Muhammad ‘Awwamah dalam bukunya bahwa, Allah
telah mengutamakan surat al-fatihah yakni sesuai dengan sabda Rosul dalam hadist qudsi,
Allah berfirman Allah membagi surat al-fatihah menjadi dua bagian antara diriKu dan
hambaKu. Satu,  bagian al-fatihah untukKu berisi pujian, sanjungan dan
pengagungan. Dua,untuk hambaKu yang berisi doa untuknya sedangan pengabulan dan
pemberian doa menjadi hakKu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat Berjama’ah.

            Shalat merupakan salah satu dari rukun-rukun agama yang paling penting. Dan Allah
ta’ala telah mewajibkan kepada para hamba-Nya untuk beribadah hanya kepada-Nya semata,
tidak menyekutukanya dengan selain-Nya dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Firman Allah
ta’ala:
‫ الصالة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا‬ ‫إن‬
            “ Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.” [Q.S. An- Nisa’: 103]
            Dinamakan shalat berjama’ah adalah apabila dua orang shalat bersama-sama dan
salah satu dari mereka mengikuti yang lain. Yang diikuti (yang di hadapan) dinamakan Imam
dan yang mengikuti (yang di belakang) dinamakan Makmum. Firman Allah ta’ala:
 ‫وإذا كنت فيهم فأقمت لهم الصالة فلتقم طاءفة منهم معك‬
“ Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu), lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) bersamamu.” [Q.S. An- Nisa’: 102]

B. Sejarah dan Anjuran Shalat Jamaah

1. Sejarah sholat jamaah

Sejarah Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi'raj Nabi SAW, umat Islam
sudah melakukan shalat jamaah, namun siang hari setelah malamnya beliau mi'raj, datanglah
malaikat Jibril ‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat
itu memang belum ada syariat adzan ataupun iqamah, yang ada baru panggilan untuk
berkumpul dalam rangka shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan 'ash-shalatu jamiah',
lalu Jibril alaihissalam shalat menjadi imam buat Nabi SAW, kemudian Nabi SAW shalat
menjadi imam buat para shahabat lainnya. Namun syariat untuk shalat berjamaah memang
belum lagi dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau SAW
tiba di Ma dinah dan membangun masjid. Setelah di Madinah barulah shalat berjamaah
dilakukan tiap waktu shalat di Masjid Nabawi dengan ditandai dengan dikumandangkannya
adzan. Nabi SAW meminta Bilal radhiyallahuanhu untuk melantunkan adzan dan iqamah
dengan sabda beliau SAW : “ Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan
Abdullah bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya.” (HR. Bukhari)

2. Anjuran sholat jamaah

Anjuran untuk Shalat Berjamaah Ada begitu banyak dalil tentang anjuran shalat
berjamaah, di antaranya adalah hadits berikut ini :

‫صاله الجماعة أفضل من صالة الفد بسبع وعشرين درجة‬


Artinya : Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh
derajat'. (HR Muslim)

Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathul Bari, pada kitab Adzan telah menyebutkan secara
rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang shalat berjamaah dengan yang shalat
sendirian. Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal
waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa,
menunggu jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari
mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk beribadah, adanya
pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat,
keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya. Semua itu tidak didapat oleh orang yang
melakukan shalat dengan cara sendirian di rumahnya.

Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tentang mengapa shalat
berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian dari Abi Hurairah
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada bila shalat sendirian atau
shalat di pasarnya dengan dua puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan
membaguskan wudhu'nya, kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya
kecuali untuk shalat dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia
melangkah dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan
kesalahannya hingga dia masuk masjid.Dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia
berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya
Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia. Dan dia tetap dianggap masih dalam keadaan
shalat selama dia menunggu datangnya waktu shalat.". (HR. Bukhari Muslim)

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda Dari Abi Darda' radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda,

‫ما من ثالثة في قرية وال بد وال تقام فيهم الجماعة االاستوحوذ عليهم الشيطان‬

"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan
shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab
srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud dan Nasai)

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah
seseorang meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal
kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR. Muslim)

Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk shalat, maka tidak ada
shalat baginya, kecuali bagi orang yang uzur". (HR. AlBaihaqi dan Al-Hakim) Dalam riwayat
yang lain juga ada hadits yang senad Dari Ibni Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah
SAW bersabda,"Siapa yang mendengar adzan. Dan tidak ada halangan dari mengerjakannya
berupa udzur, -Mereka bertanya,"Udzur itu apa Ya Rasul?". Beliau menjawab,"Takut dan
sakit". maka tidak diterima shalatnya. (HR. Ibnu Majah, AdDaruquthuni, Ibnu Hibban, Al-
Hakim)

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda: Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang
munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. (HR. Bukhari dan Muslim)

B. Hukum Shalat Berjama’ah sholat 5 waktu.


  

      Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjema’ah dalam sholat 5 waktu
bahwa shalat berjema’ah itu adalah fardhu a’in, sebagian pendapat juga mengatakan salat
berjema’ah itu fardhu kifayah, dan sebagian lagi ada yang berpendapat sunat muakkad.
  Menurut Syafi’i:
Shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah bagi laki-laki yang tidak berhalangan untuk
melaksanakan kewajibannya dan yang menetap di rumah. Dalil yang mereka gunakan adalah:
‫ما من ثالثة في قرية وال بد وال تقام فيهم الجماعة االاستوحوذ عليهم الشيطان‬
            “ Dari Abi Darda’ radiyallahu’anhu bahwa rasulullah SAW bersabda: tidaklah 3
orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok, tapi tidak melakukan shalat jama’ah,
kecuali syaithan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjama’ah sebab serigala itu
memakan domba yang lepas dari kawannya. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
  Menurut hanafi dan maliki
Shalat berjama’ah hukumnya sunnah muakkadah yaitu sunnah yang ditekankan bagi
kaum laki-laki dewasa dan mampu melaksanakannya tanpa ada halangan dalam shalat fardhu.
Tidak wajib bagi wanita, anak-anak, orang tua renta, orang gila, hamba sahaya, orang sakit,
atau yang cacat pada kaki dan tangannya yang sangat menghalanginya dan memberatkannya
untuk shalat berjama’ah. Dalil yang mereka gunakan adalah: dari Ibn Umar, Rasulullah SAW
berkata:
‫صالة الجماعة أفضل من صالة الفرد بسبع وعشرين درجة‬
            “ shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan duapuluh tujuh
derajat.” (muttafaq ‘alaih).
  Menurut Hanbali:
Shalat berjama’ah hukumnya fardu ‘ain (wajib). Hal ini didasarkan pada dalil firman
Allah ta’ala dalam  Qur’an surat  Al-baqarah ayat 43:
‫وأقيمو الصالة وأتوالزكاة والكعواوالركعين‬
 “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”.
Dan juga berdasar pada hadist dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
‫واللذي نفسي بيده لقد هممت أن امر بحطب فيحطب ثم امر بالصالة فيؤذن بها ثم امر رجال فيؤم الناس ثم أخالفه‬
)‫الى رجال فأحرق عليهم بيوتهم(متفق عليه‬
            “ Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaaNya! Saya telah bermaksud
menyuruh orang-orang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu menyuruh seseorang supaya
menyerukan adzan shalat, kemudian menyuruh seseorang pula menjadi imam bagi orang
banyak, dan sementara itu saya akan pergi mendatangi orang-orang yang tidakkut shalat
berjama’ah, lalu saya bakar rumah-rumah mereka.” (muttafaq ‘alaih).
o Hukum Berjamaah Dalam Shalat Tidak semua shalat disyariatkan untuk dilakukan
dengan berjamaah, sebagian shalat ada yang justru lebih utama untuk dikerjakan sendirian.
Maka para ulama membagi shalat berjamaah itu menjadi beberapa hukum, antara lain ada
yang hukumnya wajib dan menjadi syarat sah shalat, ada yang hukumnya sunnah dan ada
yang tidak disunnahkan.
 .Syarat sah shalat diantara shalat yang syaratnya harus dikerjakan dengan berjamaah
diantaranya:

1. Shalat Jumat Jumhur ulama menyebutkan bahwa shalat Jumat itu minimal dilakukan
oleh 40 orang mukallaf, yaitu mereka yang beragama Islam, aqil, baligh, muqim, sehat,
laki-laki dan merdeka. Mazhab Al-Hanafiyah membolehkan shalat Jumat bila
dikerjakan hanya oleh tiga orang, tetapi tetap tidak sah bila hanya dikerjakan sendirian.
Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan minimal shalat Jumat dikerjakan oleh 12 orang,
tetapi kalau dikerjakan hanya oleh satu orang saja, jelas shalat itu tidak sah.

2.Dua Shalat Ied Dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah, berjamaah menjadi
syarat sah Shalat Idul Fithri dan Shalat Idul Adha. Artinya, keduanya tidak sah apabila
dikerjakan tanpa berjamaah atau hanya oleh seorang saja. Dasarnya karena di masa
Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun shalat ini dikerjakan, kecuali dihadiri oleh
banyak orang, bahkan jumlahnya melebihihi jumlah yang hadir pada shalat Jumat. Hal
itu lantaran rasulullah SAW juga memerintahkan agar para budak dan wanita haidh
untuk ikut menghadirinya, padahal dalam shalat Jumat mereka tidak diperintahkan
hadir. Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahuanha ia berkata: “Rasulullah SAW
memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan hamba sahaya dan wanita haidh pada
hari Idul Fithri dan Idul Adha, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan undangan
muslimin. Dan wanita yang haidh menjauhi tempat shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah, mengerjakan


shalat kedua shalat ini dengan berjamaah hukumnya sunnah, dan bukan syarat sah
shalat.Disunnahkan Berjamaah Sedangkan shalat yang disunnahkan untuk dikerjakan
dengan berjamaah adalah shalat tarawih, shalat khusuf dan kusuf, shalat istisqa, Shalat
Tarawih dan Witir. Para ulama umumnya berpendapat bahwa meski pun shalat tarawih
dan witir sah untuk dilakukan secara sendirian, namun melakukannya dengan
berjamaah hukumnya sunnah atau mustahab. Mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah
menggunakan istilah sunnah, sedangkan mazhab AlMaliliyah dan Al-Hanabilah
menggunakan istilah mustahab.

3. Shalat Khusuf dan Kusuf Kusuf (‫( كسوف‬adalah peristiwa dimana sinar matahari
menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang
melintas antara bumi dan matahari. Khusuf (‫( خسوف‬adalah peristiwa dimana cahaya
bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh
bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik matahari. Kedua shalat ini
tidak pernah dilakukan di masa Nabi SAW kecuali dengan berjamaah juga. Dalilnya
adalah hadits berikut : Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW,
orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).
Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk
disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri
dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat. Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau
berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda,
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT.

Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau


kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah.
(HR. Bukhari Muslim)

4. Shalat Istisqa' Shalat Istisqa tidak pernah dilaksanakan di masa Rasulullah SAW
kecuali dilakukan dengan berjamaah. Namun para ulama menyebutkan bahwa
hukumnya sunnah untuk dilaksanakan dengan berjamaah. Mazhab Al-Malikiyah, Asy-
Syafi'iyah dan AlHanabilah menyebutkan bahwa disunnahkan shalat istisqa' untuk
dilaksanakan dengan berjamaah. Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah memang tidak
mensyariatkan shalat istisqa' ini dalam pandangannya. Dan yang afdhal shalat ini
dilaksanakan dengan mengerahkan semua anggota masyarakat, termasuk para wanita
dan anak-anak untuk hadir. Hal ini memberikan isyarat bahwa seluruh hamba Allah
SWT telah bersimpuh memohon turunnya hujan. Disunnahkan untuk disampaikan
khutbah baik sebelum atau sesudah shalat. Namun dalam teknisnya para ulama berbeda
pendapat, apakah khutbah itu terdiri dari dua khutbah atau cukup dengan satu khutbah
saja.

 Dibolehkan Berjamaah Selain yang hukumnya wajib dan sunnah, ada juga shalat yang
hukumnya boleh dikerjakan berjamaah. Dalam hal ini walaupun boleh dikerjakan berjamaah
namun tidak terlalu dianjurkan. Karena yang utama dilakukan dengan sendirian.Di antaranya
adalah shalat sunnah rawatib, yaitu :

a. Shalat Tahajjud Shalat malam (tahajjud) lebih sering dilakukan oleh Rasulullah SAW
sendirian di rumahnya. Walau pun kita menerima riwayat bahwa kadang beliau shalat
malam dan ada yang menjadi makmum di belakangnya. Namun bila dihitug-hitung,
memang benar bahwa frekuensi dimana Rasulullah SAW shalat tahajjud sendirian lebih
banyak dibadingkan dengan berjamaah. Rasulullah SAW pernah melakukannya sekali
dengan Huzaifah, sekali dengan Ibnu Abbas, dan sekali dengan Anas dan ibunya.
Sehingga ada pendapat yang memakruhkan shalat tahajjud dengan berjamaah, misalnya
para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah. Mereka berpendapat
bahwa ijtima' (berkumpulnya) manusia untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan
untuk shalat tarawih di bulan Ramadhan. Di luar itu menurut mereka disunnahkan
untuk melakukannya dengan secara sendiri sendiri. Mazhab Al-Hanabilah tidak
memakruhkan shalat tahajjud yang dilakukan dengan berjamaah. Sedangkan Al-
Malikiyah memberikan kesimpulan bahwa bila jamaah shalat tahajjud itu tidak terlalu
banyak dan bukan di tempat yang masyhur, hukumnya boleh tanpa karahah.

b. Shalat Sunnah Qabliyah dan Ba'diyah Di antara shalat yang lebih utama dikerjakan
sendirian ialah shalat sunnah sebelum shalat fardhu (qabliyah) dan sesudah shalat
fardhu (ba'diyah). Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah, dibenarkan bila
ada orang yang sedang shalat ba'diyah, lalu ada orang yang ikut menjadi makmum di
belakangnya, walaupun niatnya bukan dengan niat shalat yang sama.

c. Shalat Tahiyyatul Masjid Shalat tahiyyatul masjid adalah shalat yang lebih sering
dikerjakan sendirian oleh Rasulullah SAW. Sehingga para ulama tidak mengajurkan
agar shalat ini dikerjakan dengan berjamaah.

Yang Diperintahkan Untuk Shalat Berjamaah Ketika para ulama berbeda pendapat
tentang hukum shalat berjamaah menjadi empat jenis hukum, semua sepakat bahwa hukum-
hukum di atas hanya berlaku bagi yang memenuhi syarat, yaitu:

 Mukallaf Yang terkena hukum shalat berjamaah hanya mereka yang mukallaf, yaitu
muslim, aqil dan baligh. Sedangkan mereka yang beragama di luar Islam, orang gila
dan anak-anak yang belum baligh tentu tidak termasuk di dalamnya.
 Laki-laki Yang termasuk di dalam hukum-hukum di atas sebagaimana disebutkan
oleh para ulama, terbatas terbatas pada para laki-laki, sedangkan hukum shalat
berjamaah buat wanita berbeda lagi.
 Merdeka Hukum shalat berjamaah hanya berlaku untuk orang yang merdeka,
sedangkan budak tidak termasuk di dalam hukum shalat berjamaah.
 Sehat Yang dimaksud dengan sehat adalah orang yang tidak punya udzur syar'i sakit
sehingga tidak mampu berjalan ke masjid untuk berjamaah. Tentu tidak semua sakit
merupakan udzur, ada jenis penyakit tertentu yang membuat penderitanya tidak
terkena kewajiban shalat berjamaah.
 Muqim Dalam keadaan seorang berstatus sebagai musafir, maka dia tidak termasuk
yang terkena kewajiban shalat berjamaah. Dan muqim itu adalah orang tidak dalam
status perjalanan.

C.    Jumlah Orang dalam Shalat Jama’ah.


Jumlah orang dalam jamaah menurut 4 madzhab adalah sebagai berikut:
                     Menurut  Syafi’iyah dan Hanafiyah
                              Menurut madzhab ini jumlah jamaahnya adalah paling sedikitnya
dua orang, yang mana dua orang ini satu sebagai imam dan yang satunya sebagai
makmum.
                     Menurut Malikiyah dan Hanabiah
Menurut madzhab ini tidak sah hukumnya, apabila yang menjadi makmum adalah
anak kecil, walaupun mumayyiz, tapi menurut Hanabilah  anak kecil yang bukan
mumayyiz maka boleh hukumnya dalam shalat sunnah, tapi tidak sah  dalam  sholat
fardhu, karena Hanabilah memakai dalil:
‫ألن الني صلى هللا عليه وسلم أم ابن عباس وهو صبي في التهجد‬
“Karena nabi pernah menjadi imam ibnu abbas yang masih kecil ketika sholat tahajjud.”

D.   Posisi Imam dan Makmum ketika Shalat Berjama’ah.


a)      Apabila seorang laki-laki atau anak kecil yang telah mumayyiz berada bersama imam,
Maka orang itu disunnahkan berdiri disamping kanan imam dan agak kebelakang sedikit dari
imam. Dan makruh hukumnya bila ia sejajar dengan imam dan juga berdiri disamping kiri
atau di belakang imam.
b)      Bila makmumnya dua orang laki-laki dan ada anak kecilnya,
Maka makmum berdiri debelakang imam atau disamping kiri imam.
c)      Bila makmum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
Maka laki-laki itu berdiri disamping kanan imam dan perempuan berdiri dibelakang laki-laki
tersebut. Dalam hal ini laki-laki dan anak-anak sama nilainya.

E.     Hukum Wanita yang Ikut Keluar Shalat Berjam’ah di Masjid.


      Hadirnya perempuan di masjid hukumnya boleh bagi yang sudah tua renta dan makruh
bagi wanita muda karena khawatir akan terjadi fitnah, dan yang lebih utama bagi perempuan
secara mutlak adalah sholat di rumahnya.
inilah pendapat para ulama empat madzhab:
Hadirnya perempuan di Keterangan
masjid
Makruh mutlaq, bagi perempuan yang muda dan
            Hanafiyyah diperbolehkan bagi perempuan yang tua renta tapi hanya
dalam waktu sholat tertentu (magrib, isya dan subuh).
Makruh bagi perempuan muda yang cantik (menarik) tapi
Hanabilah dan bila sebaliknya (tidak menarik) maka boleh, tetapi harus
syafi’iyyah            seizin suaminya dan tanpa memakai parfum.
Boleh bagi perempuan tua atau muda (yang tidak menarik)
Malikiyyah berjam’ah di masjid tapi bila sebaliknya tidak boleh 
secara mutlaq.
Penjelasan:
Hanafi: memakruhkan wanita yang pergi berjama’ah ke masjid, karena bisa
menimbulkan fitnah. Dan diperbolehkannya hanya pada waktu maghrib, isya’, dan subuh.
Abu Hanifah pernah berkata: “Karna pada waktu itu orang-orang fashik sedang tidur dan
sibuk makan-makan pada saat magrib.”
Hanabilah dan syafiiyyah: makruh juga hukumnya wanita pergi shalat berjama’ah,
kecuali boleh bagi wanita yang sudah tua renta, karena tidak menimbulkan syahwat atau
fitnah bagi kaum laki-laki.
Malikiyyah: membolehkan semua wanita baik muda atau tua renta menghadiri shalat
jama’ah di masjid baik shalat  fardhu atau selainnya. Seperti shalat jenazah kerabatnya, shalat
istisqo’ dan shalat gerhana.  

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat jamaah ialah shalat yang dikerjakan secara bersamaan sedikitnya terdiri dari
dua orang yang mempunyai ikatan yaitu seorang dari mereka menjadi imam dan yang lain
menjadi makmum dengan syarat-syarat  yang ditentukan dimana makmum wajib mengikuti
imam dari mulai takbiratul ihram sampai salam.
                        Hukum sholat jamaah menurut empat madzhab adalah sebagai  berikut:
            Menurut Hanafiah dan Malikiyah
                        Hukumnya sunnah Muakkad bagi laki-laki yang dewasa Sedangkan bagi
wanita dan anak-anak, orang gila, hamba sahaya, orang sakit, orang tua Renta atau kaki
tangannya cacat maka hukumnya tidak wajib.
            Menurut Syafi’iyah
                        Hukumnya fardhu kifayah untuk laki-laki dewasa yang sedang menetap
dirumah, dan tidak berhalangan dalam melaksanakan kewajibannya, sedangkan bagi wanita
tidak ada keterangan mengenai kesunnahannya (lebih utama di rumah).
            Menurut Hanabilah sholat jamaah hukumnya fardu ‘ain.
jumlah orang dalam jamaah menurut 4 madzhab adalah sebagai berikut:
Menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah: jumlah jamaahnya paling sedikit adalah dua
orang yang terdiri dari 1 imam dan yang 1 makmum.
                               Menurut Malikiyah dan Hanabilah: Anak kecil yang mumayyiz (remaja),
tidak sah tapi menurut Hanabilah  anak kecil (tidak tamyis) boleh hukumnya dalam sholat
sunnah tapi jika sholat fardhu tidak sah.
            Sedangkan menurut 4 madzhab diatas dapat ditarik kesimpulan  hadirnya perempuan
di masjid hukumnya boleh-boleh saja selagi wanita tersebut tidak menimbulkan fitnah
terhadap laki-laki dan yang lebih utama bagi perempuan secara mutlak adalah sholat di
rumahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Wahbah Az-Zuhaili, Al-fiqh  Al Islami Wa adillatuhu ( Suriah, Dar Al-Fikr 1984)
Abdul Qadir Ar-Rahbawi,As-Shalat ‘alal Madahibil Arba’ah(Kairo-Beirut:Darus
Salam,1983)
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi,
2015)
Abdurrahman Al-Jazairi, Al fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, (Bairut Libanon: Dar Ibn
‘Ashaashah, 2010)

H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Lampung: PT. Sinar Baru Algensindo, 1986)

Rumahfiqih.com

Anda mungkin juga menyukai