Anda di halaman 1dari 13

PENGANTAR FIKIH MUAMALAH

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES 3)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam Iain Bone
Oleh:

KELOMPOK 1

MUH RISALDI
NIM. 742342021076

RISDA MAULANA
NIM. 742342021074

DOSEN PENGAJAR : MUAMMAR HASRI,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ PENGANTAR
FIKIH MUAMALAH” serta tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap
gulita menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah Fiqh Muamalah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak MUAMMAR HASRI,M.H selaku dosen pengajar mata kuliah Fiqh Muamalah

2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah


Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari bahwa baik dalam
penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah penulis
berikutnya.

Bone, 25 Maret 2022

Kelompok 1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….……..iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………...1

B. Rumusan Masalah ………………………………..……………………1

C. Tujuan Penulisan……………………………………………………….1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih, Muamalah dan Fiqh Muamalah…..........................…2

B. Kedudukan Fikih Muamalah dalam Islam ………….......................…...3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………..… ...…..4

B. Saran ………………………………………………………….…….....5

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam sebagai agama yang universal, mengajarkan seluruh aspek kehidupan


penganutnya seperti masalah ibadah, akhlaq termasuk juga tata cara dalam kehidupan
sehari-hari yang sering kita sebut dengan muamalah. Akan tetapi sebagai salah satu
aspek yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam, ketentuannya tidak tercantum
secara rinci dan jelas dalam al-Qur‟an sehingga perlu penjelasan yang lebih rinci dan
mendalam melalui ijtihad para ulama. Islam memberikan aturan-aturan yang longgar dalam
bidang muamalah, karena bidang tersebut amat dinamis mengalami perkembangan.Meskipun
demikian, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang muamalah tersebut
tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak. Bidang muamalah berkaitan dengan
kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan ukhrawi,
sehingga dalam ketentuannya mengadung aspek halal, haram, sah, rusak dan batal.

Sebagian besar kehidupan manusia diisi dengan aktivitas muamalah (ibadah


dalam arti luas), dan selebihnya sebagian kecil waktunya diisi dengan aktivitas ibadah
(ibadah dalam arti sempit yaitu ibadah ritual, seperti : shalat, puasa, zakat, haji). Tidaklah
mungkin Allah SWT Yang Maha Tahu melepaskan kendali aspek muamalah begitu saja
tanpa ada aturan dari-Nya. Dengan demikian ajaran Islam yang lengkap dan menyeluruh ini
sebagian besar mengatur tentang muamalah. Para Sahabat dan para Ulama menegaskan
pentingnya memahami muamalah atau mempelajari fiqh muamalah.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas, penulis akan mengkaji lebih lanjut dalam rumusan masalah
agar lebih terarah dan fokus mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan HAM?
2. Bagaimana penegakan HAM di Indonesia pasca kemerdekaan?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang ingin disampaikan penulis dalam makalah sesuai dengan latar belakang yang
dikemukakan di atas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM
2. Untuk mengetahui bagaimana penegakan HAM di Indonesia pasca kemerdekaan
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia

E. Hukum Shalat Berjamaah

Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang
mengatakan fardhu 'ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang
mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang
lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya
fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.

Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.

1. Fardhu Kifayah

Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy Syafi'i dan Abu Hanifah7. Demikian juga
dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang
berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan
mazhab Al Hanafiyah dan Al-Malikiyah.

Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya,
maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun
yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu
karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.

Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa :

Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu 'ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat
fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah,
tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya
fardhu 'ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah :

‫ ( ا ِم ْن ثَالثَ ٍة ل َوالَ ال ا ُم ال َغنَ ِم‬: ‫ َل هللاِ – لَّى هللاُ َعلَ ْي ِه لَّ َم – ُل‬: ‫ال َّدرْ َداء – هللاُ – ا َل‬
ِ َ‫الق‬
‫اصيَة) اهُ ا ُو َد ا ٍد‬
Abu Darda' radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mengatakan, 'Tidak ada tiga orang di satu desa atau kampung yang tidak ditegakkan shalat di
sana kecuali mereka telah didirikan oleh setan. Maka harus bagi kalian untuk berjamaah, karena
serigala hanya akan memakan domba yang jauh dari kawannya.'” (Diriwayatkan oleh Abu Daud
dengan sanad hasan) [HR. Abu Daud, tidak. 547 dan An-Nasa'i, no. 848. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.]

Sumber https://rumaysho.com/16432-satu-kampung-tidak-shalat-berjamaah-berarti-sudah-dikuasai-

setan.html

Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, ‘Kembalilah kalian kepada keluarga kalian

dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila
waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua
menjadi

Imam.(HR. Muslim) Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Shalat
berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)

Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi’i mengatakan bahwa shalat

berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain dengan berdasarkan hadits ini.

B. Fardhu ‘Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atha’ bin Abil Rabah, Al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu.

Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho’ berkata bahwa kewajiban yang
Harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika Seseorang mendengar Adzan, haruslah dia

Mendatanginya untuk shalat.”

Dalilnya adalah hadits berikut:

Dari Aisyah radhiyallahuanhu berkata, ‘Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya
(dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya ¹0

Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur, dia berdoa namun

shalatnya tetap sah.

‫هدون‬CC‫ال ال يش‬CC‫الف إلى رج‬CC‫اس ثم أخ‬CC‫ؤم الن‬CC‫ر رجالً في‬CC‫ا ثم آم‬CC‫ؤذن له‬CC‫الة في‬CC‫ر بالص‬CC‫لقد هممت أن آمر بحطب فيخطب والذي نفسي بيده ل ثم أم‬
‫الصالة فأحرق عليهم‬

‫بيوهم‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh aku punya keinginan
untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam.

Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu
kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api”. (HR.

Bukhari dan Muslim).

3. Sunnah Muakkadah

Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan
oleh imam As-Syaukani¹¹. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum

shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa
hukumnya fardhu 'ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah,

namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian
kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah. sama dengan wajib bagi orang lain.

Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib ¹2.

Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar
mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah¹³.

Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya

fardhu sunnah muakkadah¹4. Ad-Dardir berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan
imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah¹5.

Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini:

Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Shalat berjamaah itu lebih
utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)¹6

Ash-Shan'ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah

menyebutkan. hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu
hukumnya tidak wajib.

Selain itu mereka juga menggunakan hadits. berikut ini :

Dari Abi Musa radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya

orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang
yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian

kemudian tidur.¹7

4. Syarat Sahnya Shalat


Pendapat keempat adalah pendapat yang

mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi
mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.

Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya ¹8.

Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta

mazhabZhahiriyah ¹9. Termasuk diantaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-
Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah. Dalil yang mereka gunakan adalah :

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersaba, 'Siapa yang mendengar adzan tapi

tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah,
Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya shalat yang

paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang
akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan

merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang

membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar
rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)

‫ي – صلى هللا عليه وسلم – َر ُج ٌل‬ َّ ‫ َأتَى النب‬: ‫ قَا َل‬، – ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫َع ْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ – َر‬
– ِ‫ فَ َسَأ َل َرسُو َل هللا‬، ‫ْج ِد‬ِ ‫يس لِي قَاِئ ٌد يَقُو ُدنِي إلى ْال َمس‬ َ َ‫ ل‬، ِ‫ يا َرسُو َل هللا‬: ‫ فقَا َل‬، ‫أ ْع َمى‬
، ُ‫ فَلَّ َما َولَّى َد َعاه‬، ُ‫ص لَه‬
َ ‫ فَ َر َّخ‬، ‫صلِّي فِي بَ ْيتِ ِه‬
َ ُ‫ص لَهُ فَي‬َ ‫أن يُ َر ِّخ‬ ْ – ‫صلى هللا عليه وسلم‬
)) ْ‫أجب‬ِ َ‫ (( ف‬: ‫ قَا َل‬. ‫ نَ َع ْم‬: ‫صالَ ِة ؟ )) قَا َل‬ َّ ‫ (( هَلْ تَ ْس َم ُع النِّ َدا َء ِبال‬: ُ‫فَقَا َل لَه‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan
seorang lelaki yang buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang
menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memberinya keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberinya keringanan tersebut. Namun ketika orang itu berbalik, beliau memanggilnya, lalu
berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda,
‘Maka penuhilah panggilan azan tersebut. ’ (HR. Muslim, no. 503)

Sumber https://rumaysho.com/16191-buta-saja-disuruh-pergi-ke-masjid-shalat-berjamaah.html

Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus
memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu

hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung
juga dengan dalil yang kuat.

Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah,

karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.

B. Masbuk

1.   Devinisi Masbuq
Secara etimologi Masbuq adalah isim maf’ul dari kata “   ‫”سبق‬   yang bermakna “
terdahului/tertinggal”.
Adapun secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian raka’at
atau semuanya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang mendapati
imam setelah raka’at pertama atau lebih dalam sholat berjama’ah. (Kamus al-Muhith,
Qawaid al-Fiqh dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400)

Menurut ulama Hanafiyah masbuk adalah orang yang mendapati imam setelah imam dapat
satu rakaat atau lebih. Adapun menurut ulama Syafi’iyah masbuk berarti makmum yang
melakukan takbiratul ihramnya terlambat (tidak satu waktu) dari takbiratul ihram imam pada
rakaat pertama, atau pada takbir setelahnya, sekalipun ia sempat berdiri untuk dapat membaca
al-Fatihah[3].1
 

1. 2.         Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?


Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat  mengenai
kapan seorang makmum itu disebut masbuq.

1
Sa’di Abu Hubaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Isthilahan, cet. ke-2, (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1988), jilid 1, hlm. 165.
Pendapat Pertama:
Yaitu pendapat Jumhur Ulama  yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut
masbuq itu apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam.  Jika seorang makmum
mendapati imam sedang ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia
mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut masbuq. Dan gugurlah kewajiban
membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil Pendapat Pertama:
1. } 116 ‫ الفقه اإلسالمي – سليمان رشيد‬، ‫ { أبو داود‬ َ‫ك ال َّر ْك َعة‬ َ ‫ك الرُّ ُكوْ َع فَقَ ْد َأ ْد َر‬
َ ‫َم ْن َأ ْد َر‬
Artinya: “Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu
Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)
1. ُ‫صالَ ِة َو نَحْ ن‬ َّ ‫ ” ِإ َذا ِجْئتُ ْم ِإلَى ال‬: ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلّى هللا عليه و سلم‬،‫ع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه قَا َل‬
‫عون‬،207 : 1 ‫ { رواه أبو داود‬ “  َ‫صالَة‬ َّ ‫ك ال‬ َ ‫ُسجُوْ ٌد فَا ْس ُج ُدوْ ا َو الَ تَ ُع ُّدوْ ها َ َشيْئا ً َو َم ْن َأ ْد َركَ ال َّر ْك َعةَ فَقَ ْد َأ ْد َر‬
}145  : 3  ‫المعبود‬
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila
kamu datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu
hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu
rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan
Abu Dawud  3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata:  “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang
mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-
Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)
1. َ‫ص َل ِإلَى الصَّفِّ فَ َذ َك َر َذلِك‬ ِ َ‫ِإ َّن َأبا َ بَ ْك َرةَ ِإ ْنتَهَى ِإلَى النَّبِ ِّي صلّى هللا عليه و سلم َو هُ َو َرا ِك ٌع فَ َر َك َع قَ ْب َل َأ ْن ي‬
}381   : 2 ‫ فتح الباري‬،‫ { رواه البخاري‬   “ ‫ ” َزادَكَ هللاُ ِحرْ صا ً َو الَ تُ ِع ْد‬: ‫لِلنَّبِ ِّي صلّى هللا عليه و سلم فَقا َ َل‬
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi
SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu
disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda  (kepadanya) : “ Semoga Allah
menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.
Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang
dikatakan masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bersama imam.

Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal
bacaan surat Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari ulama. Diantaranya
adalah ucapan Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhori tentang bacaan al-
Afatihah di belakang imam dari setiap pendapat yang mewajibkan bacaan al-
Afatihah di belakang imam. Demikian pula pendapat Ibnu Khuzaimah, Dhob’i dan
selain keduanya dari Muhaddits Syafi’iyyah kemudian diperkuat oleh Syaikh
Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia
berkata: “Aku telah mengkaji permasalahan ini dan aku menghimpunnya pada
pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku tidak mendapatkan darinya selain yang
telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at dengan mendapatkan ruku’. (‘Aunul
Ma’bud 3:146)
Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan
bahwa makmum yang mendapatkan ruku bersama imam maka ia mendapatkan satu
raka’at. Diantaranya:
1. Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seperti
tersebut diatas. Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil saja.
2. Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernama Yahya Bin Abi Sulaiman Al-
Madani. Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin
Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits.
( Mizanul I’tidal 4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang dimaksud
dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: “ Setiap
orang yang aku nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan hujjah ”.
Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ tidak boleh meriwayatkannya ”.
( Fathul Mughits  1 : 346 ). Imam Syaukani berkata : “Hadits tersebut bukan
dalil atas pendapat mereka, kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut raka’at
itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syar’i,
maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada
arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli Ushul Fiqih. ( Nailul Authar,
Asy-Syaukani 2 : 219 )
3. Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai
hadits Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah / alasan / argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut (yaitu termasuk
raka’at asalkan mendapat ruku’) kerana pada hadits tersebut tidak dinyatakan
cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3  : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang
menguatkan pendapat mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah
mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi
mendoakan kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung
satu raka’at. ( ‘Aunul Ma’bud, 3:146 )
Adapun dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila
tertinggal bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:
1. ،‫ { رواه البخاري‬.‫ك ال َّر ْك َع ِة‬ َ ‫ ِإ ْن َأ ْد َر ْكتَ ْالقَوْ َم ُر ُكوْ عا ً لَ ْم تَ ْعتَ َّد بِتِ ْل‬: ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه َأنَّهُ قا َ َل‬
3:147 {«‫عون المعبود‬,
Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : “ Jika engkau mendapatkan suatu kaum
sedang ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Imam Syaukani berkata: “Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban membaca Al-
Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan kami telah
menjelaskan bahwa dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan hujjah bahwa membaca
Al-Fatihah itu termasuk syarat sahnya sholat. Maka siapa saja yang mengira bahwa
sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah, ia haruslah menunjukkan keterangan yang
mengkhususkan dalil-dalil tersebut.”
ِ َ ‫ ُك ِّل َر ْك َع ٍة بِفاَتِ َح ِة ْال ِكتا‬  {
1.  ‫ { رواه الترمذي‬ .‫ب‬
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”.  ( H.R 
At-Tirmidzi )

َّ ‫ ِإ َذا َس ِم ْعتُ ُم ْاِإل قا َ َمةَ فَا ْم ُشوْ ا ِإلَى ال‬: ‫ع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َع ِن النَّبِ ِّي صلّى هللا عليه و سلّم قا َ َل‬
1. َ‫صالَ ِة َو َعلَ ْي ُك ُم ال َّس ِك ْينَة‬
167 :2 {‫ فتح الباري‬،‫ { رواه الجماعة‬.‫صلُّوْ ا َو ما َ فاَتَ ُك ْم فََأتِ ُّموْ ا‬ َ َ‫ْر ُعوْ ا فَما َ َأ ْد َر ْكتُ ْم ف‬
ِ ‫ َو ْال ِوقا َ َر َو الَ تُس‬,   
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar Iqamah,
pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang
kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka
sempurnakanlah ”. ( H.R  Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )
Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits
tersebut dapat dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang
ruku tidak dihitung raka’at, kerana ada perintah untuk menyempurnakan  (apa-apa)
yang ketinggalan, sedangkan (dalam hal ini) jelas makmum ketinggalan (tidak ikut
berdiri dan membaca fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)
Imam Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat
Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam
keadaan ruku’, termasuk raka’at bersamanya (imam) dan dapat dihitung satu raka’at
sekalipun tidak mendapat bacaan (Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah
Sunan Abu Dawud 3 : 147 )
Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama,
beliau berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak
dihitung mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihatul Kitab (dengan
sempurna), maka ia mesti mengulangi lagi raka’at  (yang tidak sempat membaca Al-
Fatihah) setelah imam salam.  ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )

C. Yang Harus Dilakukan Saat Masbuk

Dalam kitab al-Mughni disebutkan bahwa hukumnya sunnah bagi siapa yang masbuk untuk segera

mengikuti imam sekalipun ia tidak dihitung mendapat satu rakaat[4]. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian

datang untuk shalat (berjamaah) sedangkan kami sudah dalam posisi sujud, maka hendaklah ia segera
ikut sujud, dan itu tidak bisa dihitung mendapat sesuatupun (rakaat), serta barangsiapa mendapatkan

ruku’ (bersama imam), maka ia dihitung mendapat satu rakaat[5].”

Sayyid Sabiq juga mengatakan bahwa siapa yang hendak shalat dan mendapati imam (ingin ikut

berjamaah), hendaknya ia melakukan takbiratul ihram dalam posisi berdiri dan segera mengikuti
gerakan imam (dalam kondisi apapun) yang sedang imam tersebut kerjakan[6].

Anda mungkin juga menyukai