Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

AMALIYAH DAN TRADISI SEPUTAR SHOLAT DAN


DALILNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Aswaja II

Dosen Pengampu: Munif, M.Pd

Disusun Oleh kelompok 8 :

1. Ahmad Muhibbudin Zuhri (071910015)

2. Tri Desi Ramadani (071910046)

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2023
KATA PENGANTAR

Ucapan puja-puji dan syukur hanya semata milik Allah SWT. Hanya
Kepadanya lah kami memuji dan bersyukur, meminta ampunan dan pertolongan.
Kepadanya juga lah kita meminta perlindungan dari kejelekan diri dari syaitan yang
senantiasa membisikkan kebatilan kepada hati kita.
Dengan rohmat serta pertolongan-Nya, puji syukur, akhirnya makalah
tentang “Amaliyah Dan Tradisi Seputar Sholat Dan Dalilnya” ini bisa terselesaikan
dengan lancar. Kami menyadari sepenuh hati bahwa tetap terdapat kekurangan yang
ada pada makalah ini.
Kami menantikan kritik dan saran yang membangun dari setiap pembaca
untuk materi evaluasi kami mengenai penulisan makalah selanjutnya. Kami
berharap hal itu semua dapat dijadikan cambuk buat kami supaya lebih
mengutamakan kualitas makalah ini di masa yang selanjutnya

Lamongan, Mei 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 1

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2

BAB I .................................................................................................................................. 3

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3

A. Latar belakang ......................................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3

C. Tujuan ..................................................................................................................... 4

BAB II................................................................................................................................. 5

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 5

A. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pelafalan Niat Dalam Shalat ............................ 5

B. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Membaca Basmalah Dalam Surat Al-Fatihah .. 7

C. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pembacaan Sholawat Dengan Tasywid


(Sayyidina) ...................................................................................................................... 9

D. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Qunut Dalam Shalat Shubuh .......................... 11

E. . Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Tarawih 20 Rakaat ....................................... 13

BAB III ............................................................................................................................. 15

PENUTUP ........................................................................................................................ 15

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ahlussunnah wal Jama'ah ialah golongan yang mengikuti perilaku Nabi
Muhammad SAW dan perilaku para sahabat Nabi SAW pada zaman
pemerintahan. Sahabat Nabi empat yang populer disebut Khulafaur Rasyidin.
Sementara istilah ahlussunnah wal jama'ah menurut Syekh Hasyim Asy'ari
dalam kitab Zidayat Ta'liqat, ahlussunnah adalah kelompok ahli tafsir, ahli
hadis dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan
sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah
kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Mereka mengatakan, bahwa
kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu
mazhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hambali. Dengan demikian ahlussunnah
wal jama'ah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada
sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabat, baik dilihat dari aspek
akidah, agama, amal-amal lahiriah, atau akhlak hati.
Dalam makalah berikut ini penulis akan menguraikan terkait dengan
praktik-praktik amaliah ahlussunnah wal jama'ah dalam kehidupan seputar
sholat dan dalilnya . Dalam makalah berikut ini penulis akan menguraikan
terkait amaliah ahlussunnah wal jama'ah dalam kehidupan sehari-hari seputar
sholat dan dalilnya. Dengan harapan melalui mata perkuliahan Aswaja II
mahasiswa dapat mengetahui beberapa amaliyah dan tradisi seputar sholat dan
dailnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pelafalan Niat Dalam Shalat
?
2. Bagaimana Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Membaca Basmalah Dalam
Surat Al-Fatihah?

3
3. Bagaimana Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pembacaan Sholawat
Dengan Tasywid (Sayyidina) ?
4. Bagaimana Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Qunut Dalam Shalat Shubuh
?
5. Bagaimana Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Tarawih 20 Rakaat ?
C. Tujuan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
makalah ini diantaranya :
1. Untuk Mengetahui Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pelafalan Niat
Dalam Shalat.
2. Untuk Mengetahui Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Membaca Basmalah
Dalam Surat Al-Fatihah.
3. Untuk Mengetahui Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pembacaan Sholawat
Dengan Tasywid (Sayyidina).
4. Untuk Mengetahui Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Qunut Dalam Shalat
Shubuh.
5. Untuk Mengetahui Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Tarawih 20 Rakaat.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pelafalan Niat Dalam Shalat

Niat dalam shalat merupakan rukun yang pertama, bahkan yang paling
utama. Sebelum masuk ke rukun-rukun yang lain, seorang mushalli (orang
yang melaksanakan shalat) terlebih dahulu haruslah berniat melakukan shalat.
Dalam kitab-kitab fikih terdapat tiga komponen penting dalam niat. Yaitu, al-
qashdu, ‘bermaksud mengerjakan shalat’, at-ta’arrudh, ‘menyatakan status
kefarduan atau kesunnahan shalat tersebut’, dan at-ta’yin, ‘menentukan shalat
yang dikerjakannya, seperti zuhur, asar, atau yang lain’.
Niat adalah poros dan barometer utama segala aktivitas, termasuk shalat.
Mulai dari ihwal keabsahan, hingga urusan kualitas shalat yang dilakukan. Hal
ini merujuk pada penggalan hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang sangat masyhur, innamal a‘mâlu binniyyât (amal perbuatan itu hanya
tergantung pada niatnya).

Dalam terminologi fiqh (madzhab Syafii), niat adalah menyengaja


melaksanakan satu hal dengan disertai menjalankan sebuah kegiatan yang ia
maksud. Jika dinisbatkan pada wudhu, niat dilakukan sejak melakukan
rukun fili yang pertama kalinya yaitu membasuh muka. Apabila untuk shalat,
niat berarti harus dilakukan pada saat memulai takbiratul ihram.

Dengan demikian, niat itu ada di dalam hati. Sedangkan hukum


melafalkannya melalui lisan adalah sunnah karena mampu menolong hati
supaya lebih ringan dan mudah terhubung dengan lahiriyah. (Syekh
Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah Ibrahim al-Bajûrî, hlm. 145).

Untuk urusan kewajiban berniat melakukan shalat, semua ulama sepakat.


Kendati berbeda dalam hal teknis dan kapan seorang mushalli harus memasang
niatnya. Namun, masalah melafalkan niat, mereka berselisih pandang. Menurut
sekalian penganut mazhab Syafi’i (Syafi’i sentris), melafalkan niat shalat

5
hukumnya sunnah. Karena sangat membantu terhadap kekhusyukan seseorang.
Dalilnya menggunakan qiyas atau analogi hukum terhadap kesunnahan
melafalkan niat haji dan umrah. Dengan titik temu bahwa keduanya (haji dan
shalat) sama-sama rukun Islam.

Hukum ini berdasarkan âtsâr as-shahâbah Sayidina Umar dalam kitab Syarh
Ma'ânî al-Âtsâr (juz 2, hal. 146) karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at-
Thahawi (321 H) berikut:

‫ قل عمرة في حجة‬:‫عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أنه أتآه آت من ربه فقال له‬

Artinya, “Dari Rasulullah SAW, bahwa nabi pernah didatangi oleh utusan
Tuhannya (malaikat Jibril), lalu menyampaikan kepada nabi, ‘Ucapkanlah
umarah dalam haji’.” karena keduanya sama-sama rukun Islam. Demikianlah
pendapat Syafi’i sentris (syafi‘iyul madzhab).”

Sementara sebagian ulama selain Syafi’iyah—dalam Syarh al-Yâqût an-


Nafîs (hal. 133)—berpendapat bahwa melafalkan niat shalat itu termasuk laku
bid’ah. Golongan ini berlandas pada hadist riwayat Sayidina Anas bin Malik,
sebagaimana dalam Syarh al-Yâqût an-Nafîs (hal. 133) yang berbunyi:

‫صليت خلف رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وأبي بكر وعمر فلم أسمع إال أهلل أكبر‬

Artinya, “Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,


Abu Bakr, dan Umar, dan tiada lain yang kudengar kecuali ‘Allahu Akbar’.”

Hadist ini menjadi dalil kuat bagi segolongan ulama yang memandang lafal
niat shalat sebagai amal bid’ah. Terbukti, setiap kali Anas bin Malik
bermakmum, tak pernah mendengar mereka melafalkannya. Ibnul Qayyim al-
Jauziyah sendiri sangat anti terhadap pendapat yang mengatakan sunnah.
Namun, menurut sebagian ahli hadits, riwayat Anas bin Malik di atas adalah
hadits yang bermasalah (al-mu’allal atau al-qadh).

Bahkan, sebagian ulama lainnya berusaha menengahi dua pendapat tersebut


menggunakan pendekatan kombinasi antara dalil-dalil yang bertentangan (al-

6
jam’u wattaufiq baina al-adillah al-muta’aridhah), mereka mengatakan,
sebagaimana yang ditulis habib Ahmad bin Muhammad bin Umar Asy-
Syâthiriy di kitab dan halaman yang sama:

‫ ولربما أنه صلى في الصفوف األخيرة‬،‫ إن أنسا لم يسمع التلفظ‬:‫وبعضهم قال‬

Artinya, “Sebagian ulama berpendapat, ‘sayidina Anas tidak mendengar


(suara nabi, Abu Bakr, dan Umar) yang melafalkan niat shalat, barangkali
karena ia shalat di saf-saf bagian belakang'.”

Menyikapi silang pendapat di atas, ada beberapa ulama yang menilai kasus
di atas secara lebih realistis, semisal imam Hasan bin Ammar bin Ali al-Hanafi
(1069 H). Dalam kitabnya Marâqil Falah Syarh Matni Nuril Îdhâh (juz 1, hal.
84), ia menjelaskan:

‫فمن قال من مشايخنا إن التلفظ بالنية سنة لم يرد به سنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بل سنة‬
‫بعض المشايخ إلختالف الزمان وكثرة الشواغل على القلوب فيما بعد زمان التابعين‬

Artinya, “Pendapat dari sebagian guru kita yang mengatakan sunnah


melafalkan niat (shalat) merupakan sebuah kesunnahan atau anjuran yang
datangnya bukan dari Rasulullah SAW, akan tetapi, merupakan anjuran mereka
para guru (kepada sekalian muridnya). Mengingat zaman yang tidak lagi sama
(dengan kehidupan para tabiin) dan banyaknya faktor yang dapat menyita
kekhusyukan umat setelah para tabiin.”

B. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Membaca Basmalah Dalam Surat


Al-Fatihah

Bagaimana hukum mengeraskan basmalah saat membaca Al-Fatihah,


apakah suatu kewajiban? Sebagian belum memahami perbedaan dalam
masalah ini sehingga menganggap orang lain keliru. Padahal kita sendiri
sebenarnya yang belum paham.

7
Para fuqaha berbeda pendapat dalam hal hukum membaca basmalah bagi
imam, makmum dan orang yang shalat sendirian. Perbedaan ini muncul dari
masalah apakah basmalah merupakan bagian dari Al-Fatihah ataukah bukan.
Perbedaan ini dikategorikan Ibnu Rusyd dalam dua sebab: apakah basmalah
harus dibaca secara keras (jahr) dalam shalat, dan apakah basmalah merupakan
bagian dari Surat al-Fatihah?.

Dalam madzhab Hanafiyah, disunnahkan membaca basmalah secara


lirih bagi imam dan orang yang shalat sendirian di setiap membaca awal Al-
Fatihah di setiap raka’at. Namun tidak disunnahkan membaca basmalah antara
Al-Fatihah dan surat lainnya secara mutlak menurut Abu Hanifah dan Abu
Yusuf karena menurut mereka basmalah bukan merupakan bagian dari Al-
Fatihah. Penyebutan basmalah hanya untuk mengambil berkah (tabarruk).

Yang masyhur dalam madzhab Malikiyah, basmalah bukan bagian dari Al-
Fatihah. Sehingga basmalah tidak dibaca dalam shalat wajib yang sirr (Zhuhur
dan Ashar) dan jaher (Maghrib, Isya dan Shubuh), baik bagi imam, makmum
maupun munfarid (orang yang shalat sendirian).

Pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i, wajib bagi imam dan
makmum serta munfarid untuk membaca basmalah dalam setiap raka’at
sebelum membaca Al-Fatihah, baik shalat tersebut wajib ataukah sunnah,
begitu pula berlaku dalam shalat sirr (Zhuhur dan Ashar) dan
shalat jaher (Maghrib, Isya dan Shubuh).

Pendapat yang paling kuat dalam madzhab Hambali, tidak wajib membaca
basmalah saat membaca Al-Fatihah, begitu pula surat lainnya di setiap raka’at.
Juga pendapat terkuat dalam madhzab Imam Ahmad, disunnahkan membaca
basmalah secara lirih pada dua raka’at pertama dari setiap shalat. Begitu pula
basmalah dibaca pada awal surat setelah surat Al-Fatihah, namun lirih. (Al-
Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8: 86-88)

Adapun ulama yang berdalil bahwa bismillahirrahmanirrahim tidak


dikeraskan adalah berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,

8
) َ‫ب ْالعَالَمِ ين‬ ْ ‫ب‬
ِ ‫(ال َح ْمدُ ِ ه‬
ِ ‫ّلِل َر‬ ِ َ‫ير َو ْالق َِرا َءة‬ ‫ يَ ْست َ ْفتِ ُح ال ه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬
ِ ِ‫صالَة َ بِالت ه ْكب‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan
takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim no. 498).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di ketika menjelaskan hadits di atas
dalam ‘Umdah Al-Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan
basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya
Syaikh As-Sa’di, hlm. 161).

Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,

‫عثْ َمانَ فَلَ ْم أَ ْس َم ْع أَ َحدًا مِ ْن ُه ْم يَ ْق َرأ ُ (بِس ِْم ه‬


ِ‫َّللا‬ ُ ‫ َوأَبِى بَ ْك ٍر َو‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬
ُ ‫ع َم َر َو‬ ُ ‫صلهيْتُ َم َع َر‬
ِ ‫سو ِل ه‬ َ
) ‫الرحِ ِيم‬
‫الر ْح َم ِن ه‬
‫ه‬
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah
seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim’.”
(HR. Muslim no. 399).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah


dibaca sebelum surat Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak
dikeraskan).” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah karya Ibnu
Taimiyah, hlm. 105).

C. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Pembacaan Sholawat Dengan


Tasywid (Sayyidina)

Sayyid bermakna junjungan atau tuan, seperti halnya kalimat as-Sayyidul


Masiih yang berarti laqabun nabi 'Isa ibni Maryam yakni gelar atau panggilan
kehormatan untuk nabi 'Isa'alaihissalam, atau as- Sayyidatul 'Adzraa' yaitu
laqab Maryam al 'Adzraa'.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan mengucap kata sayyidina selalu
digunakan oleh muslim di Nusantara khususnya. Kebiasaan tersebut dilakukan
baik pada saat melaksanakan shalat ataupun di luar shalat, termasuk saat nama

9
Nabi Muhammad SAW disebutkan. Sebab, hal tersebut termasuk amalan yang
utama sebagai salah satu bentuk pengagungan dan penghormatan kepada Nabi

Pendapat ini didasarkan pada salah satu hadits Nabi Muhammad SAW:

‫س ِّيدُ َو َل ِّد آدَ َم َي ْو َم ال ِّق َيا َم ِّة َو َّأو ُل َم ْن‬


َ ‫ قا ل ر سو ل هللا صلي هللا عليه وسلم أنَا‬, ‫عن أبي هريرةقا ل‬
‫َافع وأول ُمشَاف ٍِّع‬ ٍ ‫ع ْنهُ ْالقَب ُْر َو َّأو ُل ش‬ َ ‫يُ ْن‬
َ ‫س ُّق‬

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,


“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama
yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang
yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim,
4223).

Hadits diatas menegaskan bahwa kanjeng Nabi Muhammad SAW kelak


menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW
menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi
sayyid manusia didunia dan akhirat.

Dengan landasan hadits di atas, ada tiga pendapat berkenaan dengan sebutan
sayyidina bagi baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallama.

Pertama, melarang menggunakan sayyidina baik di dalam shalat atau di luar


shalat. Alasan dari pendapat ini adalah Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak pernah mengajarkan kepada para sahabat untuk mengucapkan sayyidina
ketika barshalawat. Juga para sahabat tidak ada yang melakukannya walaupun
dengan alasan hanya untuk menghormati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Salla. Karena shalawat termasuk ibadah dan ibadah sifatnya tauqifiah dan tidak
ada satu orang sahabatpun yang mengucapkan sayyidina dalam shalawat, jika
penambahan ini baik tentu sahabat radhiyallahu anhum tentu sudah
mempraktekkannya.

Kedua, pendapat yang melarang pengucapannya di dalam shalat dan


membolehkannya di luar shalat. Sebagaimana pendapat yang pertama di dalam
shalat tidak diperkenankan ada tambahan sebagaimana yang diajarkan, akan

10
tetapi untuk diluar shalat masih diperkenankan. AP Karena sebutan sayyid
termasuk sebutan bagi orang dimuliakan seperti untuk para raja yakni tuanku
atau yang mulia dan gelar lainnya yang memang berlaku di tengah masyarakat
Dan Nabi justru lebih berhak dipanggil dengan menggunakan sayyidina,
sehingga dalam hal ini tidak menyalahi syari'ah.

Ketiga, pendapat yang mensunnahkan pengucapannya baik di dalam


maupun di luar shalat. Sebagaimana dalam hadits di atas Nabi adalah sayyid
bagi semua anak cucu Adam alaihissalam. Sehingga sudah seharusnya semua
umatnya dapat menghormatinya sebaik mungkin.

D. Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Qunut Dalam Shalat Shubuh

Qunut memiliki banyak arti di antaranya adalah berdiri. Sebagaimana


Rasulullah SAW bersabda, "Sholat yang paling utama adalah yang lama
berdirinya."(HR.Muslim).

Selain itu qunut juga diartikan dengan doa. Imam Nawawi mengatakan,
Qunut memiliki banyak arti dalam bahasa Arab, di antaranya adalah doa, baik
doa untuk kebaikan ataupun doa untuk keburukan.

Qunut termasuk amalan yang disunahkan dalam shalat. Qunut yang


disunahkan ada tiga macam: qunut subuh, qunut witir pada separuh akhir
Ramadhan, dan qunut nazilah.

Terkait qunut shubuh, Imam Al-Nawawi dalam Al-Adzkar mengatakan


sebagai berikut:

‫اعلم أن القنوت في صالة الصبح سنة للحديث الصحيح فيه عن أنس رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى‬
‫ رواه الحاكم أبو عبد هللا في كتاب األربعين‬.‫هللا عليه وسلم لم يزل يقنت في الصبح حتى فارقا الدنيا‬
‫وقال حديث صحيح‬

Artinya: Qunut shalat subuh disunahkan berdasarkan hadits shahih dari Anas

11
bahwa Rasulullah SAW selalu qunut sampai beliau meninggal. Hadits riwayat
Hakim Abu Abdullah dalam kitab Arba’in. Ia mengatakan, itu hadits
shahih. (Lihat: Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar, Beirut,
Darul Fikri, 1994, halaman: 59).

Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut :

Pertama: Ulama Malikiyyah


Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja.
Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.

Kedua: Ulama Syafi’iyyah


Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika
separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima
waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik
kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga
berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut
nazilah).

Ketiga: Ulama Hanafiyyah


Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat
lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah,
namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca
qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika
shalatnya munfarid (sendirian).

Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)


Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak
disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar
selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya
berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.

Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang


menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan
qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.

12
E. . Dalil dan Penerapan Serta Tradisi Tarawih 20 Rakaat

Taräwih berasal dari bahasa Arab yang artinya: menyenangkan. Oleh karena
di dalam shalat taräwih diadakan masa untuk beristirahat sejenak, di antara
empat-empat raka'at atau dua-dua raka'at, maka dinamai shalat tarawih.
Abdullah bin Hijazi Al-Syarqawi menjelaskan bahwa maksud taräwih adalah:
Taräwih adalah bentuk jamak dari tarwihah artinya sekali istirahat, arti asalnya
adalah nama untuk duduk. Nama tersebut diberikan untuk shalat berjama'ah di
malam-malam ramadan. Karena mereka mula- mulanya berkumpul untuk
shalat, beristirahat di antara dua kali salam.

NU memiliki basis massa tidak hanya dipelosok-pelosok pedesaan, tetapi


juga di pesantren-pesantren. Praktik shalat tarawih di lingkungan pesantren dan
luar pesantren yang nota bene masih sama-sama NU ternyata memiliki ciri khas
sendiri-sendiri. Jumlah raka' atnya kalangan NU me nyepakati yang 20 raka'at
ditambah dengan 3 raka'at witir. Ciri khas tersebut terletak pada suratan yang
dibaca setelah fatihah.

Dasar-dasar yang digunakan NU berkaitan dengan shalat taräwih. Bahwa


shalat tarawih secara berjamaah adalah mengikuti tuntunan dari shahabat Umar
bin Khaththab r.a. dan Sahabat Umar beserta pada shabat yang lain
menjalankannya 20 raka'at ditambah 3 raka'at witir. Mereka mendasarkan pada
hadis riwayat dari Imam Malik dari Sahabat Yazid bin Rumman sebagai
berikut:

"Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan: Orang-orang


mengerjakan (Shalat tarawih) pada zaman Umar bin Khathab sebanyak 23
rakaat". (HR. Imam Malik, dalam kitab al-Muwatha', Juz I hlm. 138).

13
Dasar berikutnya adalah: "Para sahabat melakukan ibadah ramadlan
(tarawih) di masa pemerintahan Umar bin Khattab ra. sebanyak dua puluh (20)
rakaat" (HR. al-Baihaqi).

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Niat dalam shalat merupakan rukun yang pertama, bahkan yang paling
utama. Sebelum masuk ke rukun-rukun yang lain, seorang mushalli (orang
yang melaksanakan shalat) terlebih dahulu haruslah berniat melakukan shalat.

Untuk urusan kewajiban berniat melakukan shalat, semua ulama sepakat.


Kendati berbeda dalam hal teknis dan kapan seorang mushalli harus
memasang niatnya. Namun, masalah melafalkan niat, mereka berselisih
pandang. Menurut sekalian penganut mazhab Syafi’i (Syafi’i sentris),
melafalkan niat shalat hukumnya sunnah. Karena sangat membantu terhadap
kekhusyukan seseorang.

Dalilnya menggunakan qiyas atau analogi hukum terhadap kesunnahan


melafalkan niat haji dan umrah. Dengan titik temu bahwa keduanya (haji dan
shalat) sama-sama rukun Islam.

Hukum mengeraskan basmalah saat membaca Al-Fatihah. Pendapat yang


paling kuat dalam madzhab Syafi’i, wajib bagi imam dan makmum serta
munfarid untuk membaca basmalah dalam setiap raka’at sebelum membaca
Al-Fatihah, baik shalat tersebut wajib ataukah sunnah, begitu pula berlaku
dalam shalat sirr (Zhuhur dan Ashar) dan shalat jaher (Maghrib, Isya dan
Shubuh).

Sayyid bermakna junjungan atau tuan, seperti halnya kalimat as-Sayyidul


Masiih yang berarti laqabun nabi 'Isa ibni Maryam yakni gelar atau panggilan
kehormatan untuk nabi 'Isa'alaihissalam, atau as- Sayyidatul 'Adzraa' yaitu
laqab Maryam al 'Adzraa'.

Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan mengucap kata sayyidina selalu


digunakan oleh muslim di Nusantara khususnya. Kebiasaan tersebut dilakukan
baik pada saat melaksanakan shalat ataupun di luar shalat, termasuk saat nama

15
Nabi Muhammad SAW disebutkan. Sebab, hal tersebut termasuk amalan yang
utama sebagai salah satu bentuk pengagungan dan penghormatan kepada Nabi

Qunut memiliki banyak arti di antaranya adalah berdiri. Sebagaimana


Rasulullah SAW bersabda, "Sholat yang paling utama adalah yang lama
berdirinya."(HR.Muslim).

Qunut termasuk amalan yang disunahkan dalam shalat. Qunut yang


disunahkan ada tiga macam: qunut subuh, qunut witir pada separuh akhir
Ramadhan, dan qunut nazilah.

Taräwih berasal dari bahasa Arab yang artinya: menyenangkan. Oleh


karena di dalam shalat taräwih diadakan masa untuk beristirahat sejenak, di
antara empat-empat raka'at atau dua-dua raka'at, maka dinamai shalat tarawih.
"Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan: Orang-orang
mengerjakan (Shalat tarawih) pada zaman Umar bin Khathab sebanyak 23
rakaat". (HR. Imam Malik, dalam kitab al-Muwatha', Juz I hlm. 138).

16
DAFTAR PUSTAKA

https://www.laduni.id/post/read/53531/takbiratul-ihram-dan-masalah-niat
https://www.suaramerdeka.com/jawa-tengah/pr-04110985/melafalkan-
niat-dalam-shalat-haruskah
https://islam.nu.or.id/shalat/ihwal-perdebatan-hukum-melafalkan-niat-
shalat-Kiukt
https://cariustadz.id/artikel/detail/kapan-seharusnya-niat-
shalat#:~:text=Ada%20sebagian%20orang%20yang%20mengatakan,takb%C
3%AErah%20al%2Dihr%C3%A2m
https://islam.nu.or.id/syariah/memahami-beda-pendapat-bacaan-basmalah-
surat-al-fatihah-dalam-shalat-
nNoeL#:~:text=Ulama%20yang%20menyebutkan%20bahwa%20basmalah,m
embacanya%20tidak%20wajib%20dalam%20shalat
https://jabar.nu.or.id/ubudiyah/dalil-tentang-keutamaan-mengucapkan-
sayyidina-Tw4Km
https://pwmu.co/240747/05/13/hukum-mengucapkan-sayyidina-untuk-
rasulullah/
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-
malang/corporate-law/makalah-kelompok-7-amalan-aswaja-an-
nahdliyah/51226663
Dalil Qunut Subuh dan Ketentuan Bacaannya | NU Online Jatim
Qunut Shubuh dalam Pandangan Empat Madz-hab - Rumaysho.Com

17

Anda mungkin juga menyukai