Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Perbandingan Mazhab Hukum Membaca Doa Qunut dalam Shalat


Subuh dan Pandangan Ulama Fikih tentang Rakaat Shalat Tarawih

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Muqarin Wal Ushul

Dosen Pengampu: Muhammad Idzhar Lc., M.H.

Disusun Oleh : Kelompok 10

Aqil Zidni Amrillah (2121508005)

Savira Ayuningtyas (2121508010)

Zaera Anisa Adya (2121508030)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS


SAMARINDA

2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. serta berbagai upaya, tugas makalah mata kuliah Fikih
Muqarin Wal Ushul yang membahas tentang Implemtasi pelayanan publik di Indonesia.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu
yaitu Bapak Muhammad Idzhar Lc., M.H. yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak lagi kekurangan hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang saya miliki baik dari segi kualitas maupun kuantitas, oleh karena itu
saya mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga dengan makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada diri saya sendiri maupun pembaca.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Samarinda, 27 November 2022

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................4
A. Latar belakang........................................................................................................4
B. Rumusan masalah...................................................................................................4
C. Tujuan masalah.......................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
A. Pengertian qunut.....................................................................................................6
B. Menurut 4 madzhab................................................................................................7
C. Hadis-hadis tentang qunut...................................................................................10
D. Tempat berqunut..................................................................................................12
E. Macam-macam qunut...........................................................................................13
F. Pengertian shalat terawih.....................................................................................15
G. landasan disyariatkannya shalat tarawih...........................................................15
BAB III...........................................................................................................................19
PENUTUP......................................................................................................................19
A. Kesimpulan............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................20

3
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Qunut adalah mengharap doa kepada allah namun disini banyak perbedaan dagan
VI madzab dalam hal pelaksanaannya ada yang sebelum ruku’ dan ada juga yang
sesudah ruku’.

Shalat Tarawih adalah shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan
setelah shalat Isya’. Mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan atau
shalat tarawih itu hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan.

P ad a r e a l i t as s os i a l s a a t in i , n o t a be n e b an ya k s e k a l i o rg
an i s as i ma s y ar ak a t y ang mengatas namakan agama. Dari organisasi ini
muncul lah berbagai perbedaan yang bersifat furu’iyah. Salah satu yang menjadi
objek perdebatan mereka yaitu masalah terkait jumlah rakaat shalat Tarawih.

Banyak sekali hadits yang menjelaskan masing-masing pendapat yang


kualitas haditsnya sama-sama kuat. Dari permasalahan inilah timbul keinginan
untuk mengkaji dan mencari informasi yang benar mengenai hal tersebut. Yang
akhirnya dengan paparan yang luas dalam makalah kami ini dapat memberi
pencerahan bagi pembaca khususnya dalam permasalahan jumlah rakaat shalat
Tarawih ini.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian qunut?
2. Apa pendapat qunut 4 madzhab?
3. Apa saja hadis-hadis tentang qunut?
4. Di mana tempat qunut?
5. Apa saja macam-macam qunut?
6. Apa pengertian shalat tarawih?

4
7. Apa landasan disyariatkannya shalat tarawih?
8. Bagaimana perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat tarawih?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian qunut
2. Untuk mengetahui pendapat 4 madzhab
3. Untuk mengethui hadis-hadis tentang qunut
4. Untuk mengetahui tempat qunut
5. Untuk mengetahui macam-macam qunut
6. Untuk mengetahui pengertian sholat terawih
7. Untuk mengetahui landasan disyariatkannya shalat tarawih
8. Untuk mengetahui perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat tarawih

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian qunut

Menurut bahasa, qunut berarti qiyam yang berasal dari kata qama-yaqumu-qauman
dan qamatan yang artinya berdiri, bangkit, tegak, berada ditengah-tengah, lurus, bangun,
mengerjakan, menunaikan dan melakukan selain itu diartikan juga dengan makna doa,
berdiri dalam sembahyang, berdiam diri dalam sembahyang. Doa qunut ialah doa yang
dibaca waktu berdiri dalam sembahyang.1

Sedangkan menurut Syara’, adalah do’a tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih
dalam keadaan berdiri. Menurut Drs. M. Suparta (1996:189), asal makna qunut adalah
“diam, berdoa”. Yang dimaksud qunut dalam bahasa fikih ialah doa yang diucapkan
pada raka’at kedua dalam shalat subuh atau pada shalat witir sejak malam enam belas
Ramadhan sampai akhir.

Abul A’la Maududi (1998), mengungkapkan qunut adalah menegaskan kerendahan,


sikap tunduk dan mengabdi kepada Allah SWT. Drs. Fatchurrahman (1982:56),
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan qunut ialah permohonan kepada Allah agar
di jauhkan dari malapetaka atau dikaruniai kebajikan-kebajikan yang diucapkan sesudah
rukuk dari suatu shalat. Menurut KH. Drs. Muchtar Adam (2006: 3), qunut artinya
menghambakan diri dengan menunjukkan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Menurut Imam Al-Hafid Zaenuddin Al-Iraqie sebagaimana yang telah dinadhamkan/


dipuisikannya, yang mempunyai arti: “Lafadz Qunut, hitunglah maknanya, kamu akan
menemukan, Leih bari sepuluh makna yang diakui; Do’a, Khusuk, Ibadah dan
Ta’at, Pengakuan ibadah dan pelaksanaannya, Diam, Shalat, melaksanakan shalat dan
lama shalat, begitu juga langgeng Ta’at yang menguntungkan yang diraihnya.”.2

1
Lahmuddin Nasution, Fiqh Ibadah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 77
2
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Kiliah Ibadah,(Semarang: PT. Pustaka Rizky
Putra,2000).hlm.167.

6
Menurut pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa qunut menurut
etimologi adalah qiyam yang berasal dari kata qama-yaqumu-qauman dan qamatan
yang berarti berdiri, tegak, lurus, bangun, mengerjakan atau menunaikan.

Sedangkan qunut dari segi istilah sangatlah beragam. Tapi setidaknya kita bisa
menarik kesimpulan dari keberagaman pendapat tersebut yaitu qunut adalah berdiri
dalam shalat untuk berdo’a dengan ikhlas, penuh ketaatan dan kepatuhan seraya
menghambakan diri kepada Allah SWT.3

B. Menurut 4 madzhab
1. Imam Hanafiyah

Beliau mengatakan bahwa qunut itu disunnahkan pada shalat witir yang dilakukan
sebelum rukuk. Sedangkan pada shalat shubuh, beliau tidak menganggapnya sebagai
sunnah, alasannya ialah hadis dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan: “Rasulullah pernah
berqunut pada salat subuh selama satu bulan, kemudian ditinggalkannya” (HR. Ahmad
bin Hambal). Bila seorang makmum shalat shubuh di belakang Imam yang melakukan
qunut, hendaknya dia diam saja dan tidak mengikuti atau mengamini Imam. Namun
Abu Yusuf, salah seorang tokoh dari Madzhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa bila
Imamnya melakukan qunut, maka makmumnya harus mengikutinya, karena imam itu
harus diikuti.4

Menurut Abi Hanifah, hukum membaca qunut dalam shalat witir adalah wajib,
adapun keterangan bahwa Nabi Saw, membaca qunut dalam shalat shubuh selama
sebulan, menurut mazhab Hanafi, sudah di mansukh atau dihapus berdasarkan ijma
(kesepakatan para ulama). Menurut mazhab ini doa qunut dapat dibaca dengan bersuara
(jahr) dan bisa juga dibaca tanpa bersuara (sirr). Namun yang paling baik adalah Imam
membacanya dengan suara yang tidak keras dan tidak pula terlalu lembut, dan makmum
mengikutinya.

3
Ahmad Abdul Latif Uwaidhah, Tuntunan Shalat berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, (Bogor : Thariqul
izzah, 2001), hlm. 45
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op, Cit, hlm. 168

7
Jika seseorang lupa membaca qunut dalam shalat witir, lalu rukuk, dan baru ingat
sesudah mengangkat kepala dari rukuk, maka ia tidak perlu mengulangnya. Ketika itu,
kewajiban membaca qunut menjadi gugur, dan demikian pula jika baru ingat ketika
rukuk. Jika dia tetap berqunut dalam setelah rukuk tetapi tidak mengulang rukuknya,
maka shalatnya tidak batal karena rukuknya sudah sempurna. Dapat disimpulkan bahwa
menurut mazhab ini, membaca qunut hanya boleh dilakukan dalam shalat witir, dan
qunut tidak boleh dibaca dalam shalat-shalat lain, kecuali qunut nazilah yang boleh
dibaca dalam shalat fardu.

2. Imam Maliki

Dikalangan pengikut mazhab Imam Maliki, qunut hanya dibaca pada shalat shubuh
dengan bacaan tak bersuara (sirr). Menurut mazhab ini, tidak qunut dalam shalat witir,
atau solat lainnya. Sementara itu, qunut pada shalat-shalat lain dimakruhkan. Membaca
qunut sebelum rukuk lebih utama, tetapi boleh juga membacanya sesudah
rukuk. Adapun doa qunut yang dipilih ialah Allahumma inna nasta’inuka… (dan
seterusnya), seperti yang dipilih dalam mazhab Hanafi.

Menurut mazhab Imam Malik qunut dapat dikerjakan dalam shalat


munfarid atau berjama’ah tetapi dengan bacaan sirr. Boleh mengangkat tangan ketika
membaca qunut dan boleh juga tidak mengangkat tangan.

3. Imam Syafi`i

Imam Syafi’i mengatakan bahwa qunut disunnahkan pada shalat shubuh dan
dilakukan sesudah rukuk pada raka’at kedua. Bukan pada solat witir atau solat yang
lainnya, Adapun alasannya ialah hadis dari Anas bin Malik yang menyatakan:
Rasulullah SAW. Senantiasa membaca qunut dalam solat subuh hingga beliau
wafat.”(HR.Ahmad bin Hambal, Abdul Rozak, ad-Darukutni dan Idhaq bin rahawaih).

Imam hendaknya berqunut dengan lafadz jama’ dan menjaharkan (mengeraskan)


suaranya dengan diamini oleh makmum hingga lafadz (waqini syarra maa qadhaita).
Setelah itu dibaca sirr (tidak dikeraskan) mulai lafadz (fa innaka taqdhi…) dengan

8
alasan bahwa lafadz itu bukan doa tapi pujian (tsana’). Disunnahkan pula untuk
mengangkat kedua tangan namun tidak disunnahkan untuk mengusap wajah. Menurut
beberapa hadits, disunnahkan pula membaca shalat kepada Rasul Saw. dan keluarganya
pada akhir doa qunut.

Imam Al-Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar, menjelaskan mengapa imam harus


menggunakan lafadz jama’ dalam qunutnya, yaitu karena Nabi Saw. memakruhkan
imam yang berdoa khusus untuk dirinya sendiri. Rasulullah Saw. bersabda, yang
artinya: “Seseorang tidak boleh mengimami suatu kaum lalu ia berdoa lhusus untuk
dirinya sendiri, tanpa mendoakan orang lain. Jika dia melakukan hal itu, maka ia telah
mengkhianati mereka” (HR. Al-Tirmidzi dan menilainya hadits hasan).

Menurut mazhab Syafi’i, jika doa qunut ditinggalkan, shalat tidak batal, tetapi harus
sujud sahwi, jika seseorang meninggalkan qunut dengan disengaja dan tidak sujud
sahwi karena ingin meringkas shalatnya, maka dia dinilai telah lalai dan telah
meninggalkan sunnah yang dituntut untuk diamalkan.

4. Imam Ahmad bin Hambali

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa qunut itu merupakan amaliyah sunnah
yang dikerjakan pada shalat witir yaitu dikerjakan setelah rukuk. Sedangkan qunut pada
shalat subuh tidak dianggap sunnah. alasannya ialah hadis dari Ibnu Mas’ud yang
menyatakan: Rasulullah pernah berkunut pada salat subuh selama satu bulan,
kemudian ditinggalkannya”(HR. Ahmad bin Hambal).

Dalil yang menunjukkan shalat syaf’ dan witir ialah firman Allah SWT. Dalam surah
Al-Fajr (89:3).

ِ ‫وال ۡ وا‬
‫ف ل ر‬
Artinya : Dan yang genap dan yang ganjil,
‫و‬
‫ۡت‬ ‫ش‬
Syaf (yang genap) juga berarti syafaat, yaitu menggenapkan
kekurangan umat Muhammad melalui syafa’at dari Rasul Saw., karena beliaulah yang
berhak memberikan syafaat di akhirat nanti. Menurut mazhab ini orang yang berqunut

9
disunnahkan menangis ketika berdoa karena takut kepada Allah dan takut pada azab-
Nya. Bahkan, jika tidak bisa menangis, berpura-puralah menangis. Lalu doakan
saudara-saudara sesama mukmin dan muslim.
Menurut mazhab ini juga, banyak doa yang dapat kita baca dalam qunut yang telah
diajarkan oleh para imam Ahlul Bait, Banyak perbedaan pendapat tentang melakukan
qunut dalam shalat, dan hal ini pula yang sering menjadi perdebatan diantara para ulama
fiqih sejak dulu, namun sebagai agama yang menjunjung tinggi dan menghargai
perbedaan, maka sudah seharusnyalah dalam menyikapi hal ini kita dapat menghargai
perbedaan itu. Tidak ada yang paling benar dan tidak ada pula yang salah, ini
dibuktikan dengan banyaknya hadits yang pro dan kontra tentang qunut dalam shalat.5

C. Hadis-hadis tentang qunut


1. Hadis yang mendasari qunut
>Diriwayatkan oleh: Ahmad, Al-Muntaqa 1 : 502
٥٠ -١ ‫ المنتقى‬.‫ب واْلَف ْ ج ِر (رواه البخارى‬ ‫كا َ ن ت ف ِ ى ال‬ ‫ما ِل ٍك ا‬ ‫ع ْ ن أَ ن س‬
)٣ ‫اْلُقنُ ْو‬ :‫ َل‬.‫رض‬ ‫ِن‬
‫َمغْ ِر‬
Artinya: Anas ibn Malik r.a. berkata: “Qunut itu, dibaca dalam sembahyang
maghrib dan shubuh”.
>Hadits sahabat Abdullah ibn Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Baihaqie:
. ‫هلال صلى هلال وسلم ُ ي ِ ِّل ُمَنا دعاء ْ د ْ و ِ ب ِه فى ا ْلُقنُ ْوت من ص ِ ة الص ْب‬
ِ ‫ كان ر ْ ول‬:‫قَال‬
‫س بل‬
٩٥٣\١ :‫السالم‬

Artinya: “Sahabat Abdullah ibn Abbas berkata: Rasul Allah saw. Mengajari do’a
kepada kita baca dalam qunut shalat fajar.”
>Hadits sahabat Anas r.a yang diriwayatkan oleh Imam ibn Khuzaimah:
:‫ صحيح مسلم‬.‫أن النبي صلى هلال عليه وسلم كان ال يقنت إال إذا دعا لقوم أو دعا على قوم‬
٦٥٣\١ :‫ سبل السالم‬-٣٧٢\٢

Artinya: “sesungguhnya Nabi saw. Tidak membaca qunut kecuali apabila


medo’akan baik untuk suatu kaum atau memdo’akan celaka bagi suatu kaum.”

>Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruqthny, Abdur Razaq, Abu Nuaim,
Ahmad, Al-Baihaqie, dan Imam Hakim:

5
Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Bulan Bintag, 1990), hlm.260

1
‫ص‬
‫ فَأَ َّما‬،‫ْو ُث َّم َت ك‬ ِ ‫أَن ال َن ِبي صلى هلال عليه وسلم َق نَ ت ش ْه ًرا ْ د ْ و علَى ا ِت صحا‬
‫ا ل ْب‬
‫َر‬ ‫َن‬ ‫َبه ر‬ ‫ِلى أ‬
‫ِح‬
‫م‬ ‫ِْبئ‬
\٢ :‫ نيل األوطار‬.‫َل ْم َزل ْ قن حَتّى فَا ق ال ُّد ْن َيا‬
٥٧٣ ‫َر‬ ‫ت‬
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw. Membaca qunut selama sebulan dengan
mendoakan kehancuran bagi pembunuh sahabatnya di sumur Ma’unah, kemudian
beliau meninggalkannya, sedangkan untuk qunut shubuh beliau selalu membacanya
sampai meninggal.”

2. Hadis penentang qunut

‫سُه‬
‫من‬ ‫رفَع‬ َ ِ .‫م‬.‫ص‬
‫إذا‬ ‫ س ر ُ س‬.‫ َ ر رض‬:‫عن سا ِل ِم بن ع ِبِ د هلال بن َ م َر قَال‬
‫رأ‬ ‫ِمع َم ْول‬ ‫ِإ ن‬
َ ‫ِ مع‬ ‫قُ ْول‬ ‫نًا وفُ ناً َ بع‬ ‫ناً وف‬ ‫ اََّلل ُه َّم‬:‫ال ُّرك ع فى ال َّر ْك ِ ة من اْلَفج ِر ق ل‬
‫م‬ ‫ُهلال س‬ ‫ما‬ ‫َد‬ ‫ْال َعن‬ ‫ْو‬ ‫اْآل ِخ َر ِة‬ ‫ْو‬
‫ن‬
‫ل‬
." ‫ْ م أَ ْو ت عَل ِإَّنُه ظا ِل‬ ‫أل ْ أَ ْو‬
َ ْ‫ك من ا‬ ‫ ل ُ لهال "ل‬،‫ر َّبناَ ولَك ا ْلح ْم ُد‬ ‫ح ِم‬
‫ن‬ ‫ُم ْو‬ ‫ْوب ِذ َب ُه ْي ِه‬ ‫ِمر ي ُي ئ‬ ‫ْي س‬ ‫ف َأ َ ْ ن َ ز‬ ‫َد ُه‬
‫ْم‬
‫ش‬
)٣٠٥‫ـ‬١ ‫ المنتقى‬.‫(رواه أحمد والبخارى‬
Artinya : Salim ibn ‘Abdullah ibn Umar menerangkan:“Bahwasannya Ibn ‘Umar
mendengarkan Rasulullah, apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ dalam raka’at
yang akhir dari shubuh membacakan Allahummal ’an fulanan wa fulanan wa fulanan.
Nabi membaca yang tersebut, sesudah membaca: “Sami’allahuliman hamidah
rabbanna wa lakal hamdu”; maka Allahpun menurunkan ayat;” Laisa laka minal amri
syai-un au yu’adzdzibahum au yatuuba ‘alaihim fa innahum zhaalimun” (Engkau ya
Muhammad, tidak mempunyai urusan apa-apa terhadap mereka. Allah akan
mengadzab mereka, ataupun menerima taubat mereka. Mereka sesungguhnya orang-
orang yang dzalim)”.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Turmidzi; Al-Muntaqa 1 : 501 Anas Ibnu


Malik r.a menerangkan:
‫ َنت ش ْه ًرا ثم تركه‬.‫م‬.‫أَن النَّ ِبي ص‬:‫عن أَ نَ س بن ما ِلك قال‬
Artinya : “Bahwasannya Nabi SAW pernah berqunut sebulan lamanya sesudah
itu, tidak pernah lagi.”
1
Jadi, banyak terdapat dalil yang memperkuat dibolehkan atau melarang qunut dibaca
dalam shalat. Ulama dari Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan Hanafiyah
serta mazhab-mazhab yang lainpun memiliki dasar hadits yang berbeda-beda tentang
pelaksanaan qunut dalam shalat.

1
D. Tempat berqunut
Tempat atau masa berqunut memiliki perbedaan pendapat, ada yang berpendapat,
bahwa qunut itu sebelum rukuk. Ada juga yang berpendapat bahwa qunut itu sesudah
rukuk. Mazhab Malikiyah mengatakan bahwa qunut subuh dikerjakan sebelum
ruku',dan menurut Maliki itu lebih afdol, adapun dalilnya ialah hadis riwayat umar bin
al-Khattab,Ali bin Abi thalib,Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ubay bin Ka’b yang
menyatakan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW membaca kunut pada solat witir sebelum
rukuk.(HR.Abu Daud) sedangkan Syafi'iyah berpendapat bahwa qunut Subuh
dikerjakan setelah i'tidal.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Drs. Fatchurrahman (1982:56) bahwa menurut


Imam Syafi’I dan Imam Malik, qunut dalam shalat subuh dilakukan setelah rukuk pada
raka’at kedua secara permanent. Mereka mengemukakan Hadits Anas ketika ia ditanya
salah seorang sahabat.

Kata penanya “Apakah Rasulullah Saw, berqunut dalam shalat subuh?” Jawab Anas:
“Ya, demikianlah. Beliau berqunut sebentar sesudah rukuk”. (H.R. Lima Ahli Hadits
selain At-Turmudzi).

Imam Ahmad ketika ditanya tentang qunut dalam witir, apakah dilakukan sebelum
rukuk atau sesudahnya? Serta apakah harus mengangkat tangan ketika berdoa dalam
witir? Beliau menjawab: “Qunut dikerjakan setelah rukuk sambil mengangkat kedua
tangan dengan mengqiyaskan pada perbuatan Rasulullah ketika beliau qunut pada
waktu pagi sebelum matahari terbit.”

Sementara itu menurut KH. Drs. Muchtar Adam (2006: 20-62), qunut sebelum
rukuk. Ada dua riwayat mengenai hal ini. Jadi, sesudah menjaga shalat lima waktu,
dilakukan shalat wustha dengan melaksanakan qunut subuh, yaitu memperpanjang
berdiri di dalam shalat subuh dan berdoa sebelum rukuk dengan mengangkat tangan
sambil mengucapkan doa qunut. Pendapat ini diriwayatkan oleh sahabat di antaranya,
Abdul bin Abbas, dan haditsnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Qunut witir menurut
banyak hadits Nabi Saw, ialah sebelum rukuk pada raka’at ketiga, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan beberapa sahabat seperti Umar bin Al-
Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Ubay
bin Ka’ab.

Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu merupakan ibadah sunnah pada shalat
subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum rukuk. Meskipun bila dilakukan sesudahnya
tetap di bolehkan. Fuqaha hadits, seperti Ahmad dan lain-lain membolehkan kedua
macam qunut, karena ada sunnah yang sahih mengenai kedua-duanya, walaupun
mereka

1
memilih qunut sesudah rukuk, karena lebih banyak dan lebih berpadanan dengan tempat
jika ditinjau dari jurusan hikmat.

Menurut pendapat para ulama yang dikemukakan di atas, terdapat perbedaan


pendapat tentang dimana qunut itu dilakukan, baik setelah ruku’ ataupun sebelum ruku’.

Ulama mazhab Malikiyah mengatakan bahwa qunut subuh itu dikerjakan sebelum
ruku' karena Imam Malik mengatakan bahwa qunut ibadah sunnah pada shalat subuh
yang lebih afdhal jika dilakukan sebelum ruku’, namun demikian beliau
juga membolehkan qunut sesudah ruku’, sedangkan ulama mazhab Syafi'iyah
berpendapat bahwa qunut Subuh dikerjakan setelah i'tidal.

Dalam mengemukakan pendapatnya mereka juga menggunakan hadits-hadits yang


mereka anggap menguatkan pendapat mereka. Namun seperti yang telah diuraikan di
atas Fuqaha hadits membolehkan kedua cara melakukan qunut dalam shalat baik
sebelum ruku’ maupun setelah ruku’.

E. Macam-macam qunut
Qunut ada tiga macam, yakni qunut nazilah, qunut shalat witir dan qunut subuh.
Berikut adalah Macam-macam qunut dan hukumnya :

1. Qunut Nazilah

Qunut nazilah, yakni doa yang dibacakan setelah ruku’ (I’tidal) pada rakaat terakhir
shalat. Al-Jauhari mengatakan bahwa “nazilah” berarti kesulitan yang dihadapi
manusia. Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (musibah) yang menimpa,
seperti bencana alam dll. Qunut nazilah ini mencontoh Rasulullah Saw yang
memanjatkan doa qunut nazilah selama satu bulan atas musibah terbunuhnya Qurra’
(Para sahabat Nabi Muhammad Saw yang hafal Al-Qur’an) di sumur Ma’unah. Juga
diriwayatkan dari Abi Huraira r.a. bahwa “Rasulullah Saw kalau beliau hendak
mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau
doa qunut setelah rukuk” (H.R Bukhori dan Ahmad).

Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbas disebutkan bahwa Rasulullah Saw. membaca
qunut selama satu bulan berturut-turut dalam shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya dan
subuh. Beliau mendoakan kabilah Ri’l, Dzakwan dan ‘Ashiyyah. Beliau membacanya
setelah membaca sami’allahu liman hamidah (I’tidal) pada rakaat terakhir. Para
makmum mengamini doa yang dibacakan beliau.

2. Qunut Witir

1
Qunut shalat witir, menurut pengikut Imam Abu Hanifa (Hanafiyah) qunut yang
dilakukan dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah. Menurut
pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’.
Menurut Imam Syafi’I (Syafi’iyah) qunut witir dilakukan setelah ruku’ pada separuh
bulan Ramadhan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak
disunnahkan.

Menurut Drs. M Suparta (1996: 189), doa qunut pada shalat witir mulai malam enam
belas pada bulan Ramadhan sampai akhir. Jumhur ulama sepakat “disunatkan”, kecuali
Imam Malik yang mengatakan bahwa riwayat-riwayat yang menerangkan doa qunut
pada shalat witir bulan Ramadhan itu tidak sah.

3. Qunut Subuh

Qunut pada raka’at kedua shalat subuh, menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad doa qunut shalat subuh hukumnya disunnahkan karena hadits Nabi
Muhammad Saw. bahwa beliau pernah melakukan doa qunut pada shalat Fajar selama
sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud “Nabi Saw telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas
orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi Saw. meninggalkannya.” (H.R
Muslim).

Menurut pengikut Imam Malik (Malikiyyah) doa qunut shalat subuh hukumnya
sunnah tetapi disyaratkan pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyyah hukumnnya
sunnah Ab’adl (kalau lupa tertinggal disuntkan sujud sahwi) dilakukan pada raka’at
yang kedua shalat subuh. Sebab rasul Saw ketika mengangkat kepala dari ruku’ (I’tidal)
pada raka’at kedua shalat subuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu “Rasul Saw
lakukan sampai meninggal dunia (wafat).”(H.R. Ahmad dan Abd Raziq). Sedangkan
menurut Imam Ja’far, qunut disunnahkan baik dalam shalat fardu maupun shalat
sunnah, yaitu pada setiap raka’at kedua, kecuali dalam shalat witir, yaitu sesudah
membaca surah dan sebelum rukuk.

Permasalahan qunut shubuh sejak dulu memang sudah menjadi polemik. Para ulama
dari kalangan Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa qunut pada shalat
shubuh tidaklah dianjurkan. Maka janganlah kita heran atau su'udhan apabila kita
melihat kelompok tertentu ketika melakukan shalat subuh tidak membaca doa qunut,
karena bisa jadi mereka adalah para pengikut Madzhab Hanafi ataupun Madzhab
Hanbali. Mereka yang tidak membaca doa qunut pada shalat shubuh bersandar pada
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dan dishahihkannya
dari Sahabat Anas r.a., bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah melakukan qunut shubuh

1
kecuali ketika terjadinazilah(bencana). Sedangkan dari kalangan Madzhab Syafi'i dan
Maliki berpendapat bahwa qunut shubuh hukumnya adalah sunnah.6

F. Pengertian shalat terawih


Shalat Tarawih adalah shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan setelah
shalat Isya’. Mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan atau shalat tarawih itu
hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah, yang artinya, “Dari Abu Hurairah r.a
katanya, “Rasulullah SAW. menganjurkan untuk mengerjakan shalat pada malam bulan
Ramadhan, tetapi tidak mewajibkannya. Beliau bersabda, “Barang siapa yang bangun
pada malam bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan keridhaan Allah SWT,
maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Jama’ah).7

Adapun pemberian nama terhadap shalat yang ditambahkan atas shalat yang berlaku
dengan nama “tarawih” karena para sahabat beristirahat setelah dua salam dan membaca
niat utuk setiap dua rakaatnya.

G. landasan disyariatkannya shalat tarawih


Shalat tarawih dikerjakan dua rakaat-dua rakaat setelah shalat isya sebelum
mengerjakan shalat witir, tapi cara ini menyalahi cara yang lebih utama. Waktunya
berlangsung sampai akhir malam. Para perawi meriwayatkan bahwa Abu Hurairah
berkata, “Rasulullah SAW. menganjurkan kaum Muslim mengerjakan shalat tarawih
tanpa mengharuskannya”. Beliau bersabda:

‫من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تق ِّدم من ذنبه‬


Barang siapa yang mengerjakan qiyam Ramadhan atas dasar keimanan dan
mengharapkan keridhaan Allah, maka dosanya yang telah lalu diampuni (oleh Allah).”

Para perawi yang meriwayatkan hadits di atas, selain Tirmidzi, juga meriwayatkan
bahwa Aisyah berkata, ”Nabi SAW. mengerjakan shalat di masjid, lalu banyak kaum
Muslim yang bermakmum di belakang beliau. Kemudian beliau mengerjakan shalat di
malam berikutnya, jumlah kaum Muslim yang bermakmum di belakangnya semakin
banyak. Ketika kaum Muslim berkumpul pada malam ketiga, Nabi SAW. tidak keluar
untuk mengimami mereka.8 Di pagi harinya, beliau bersabda:

‫ إال أِّنى خشيت أن ُت فرض عليكم‬,‫ فلم يمنعنى من الخروج إليكم‬,‫و قد رأيت صنيعكم‬.
6
Ali Hasan,Perbandingan Mazhab,Piqh (Jakarta,:pt Raja Grafindo Persada,200)hlm 40-43
7
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 2 (Bandung: Alma’arif, 1993), 61.
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah: 1, terj. Ahmad Shiddiq Thabrani, et. al. (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2013), 372.

1
“Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Aku tidak keluar untuk mengimami
kalian karena aku khawatir itu akan diwajibkan atas kalian”.

Dari dua hadits yang disebutkan terakhir, dapat disimpilkan bahwasannya hukum
shalat Tarawih adalah sunnah sebagaimana tutur Rasulullah yang tidak menginginkan
para sahabatnya menganggap shalat Tarawih itu wajib.

H. Beberapa Pendapat Terkait Bilangan Raka’at Dalam Shalat Tarawih


Mengenai bilangan rakaat Shalat Tarawih, ada beberapa pendapat:
Pendapat Pertama, jumlah rakaat shalat Tarawih sebanyak delapan Rakaat
ditambah witir. Cara melaksanakannya yaitu setiap dua rakaat salam (4 x 2 rakaat), atau
setiap empat rakaat salam (2 x 4 rakaat) ditambah dengan witir tiga rakaat sehingga
menjadi sebelas Rakaat. Sebagaimana sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh
jamaah dari ‘Aisyah r.a. yang artinya “Bahwa Nabi SAW. tidak pernah menambah
shalat sunnatnya pada waktu malam, baik dalam Ramadhan maupun lainnya lebih dari
sebelas raka’at.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa jumlah bilangan rakaat shalat Tarawih adalah
20 rakaat ditambah witir. Cara melaksanakannya setiap dua rakaat salam (10 x 2
rakaat). Pendapat kedua ini berdasarkan ijma’ sahabat yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari yang artinya, “Dari Abdurrahman ibnu Abdil Qari r.a. katanya, “Pada suatu
malam di bulan Ramadhan, saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khaththab r.a.
menuju masjid. Di dalam masjid terdapat orang-orang yang sedang mengerjakan shalat
secara terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok. Ada yang shalat sendirian, ada pula
yang shalat sedang yang di belakangnya terdapat beberapa orang yang mengikuti
shalatnya. Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Aku berpendapat apabila mereka
dikumpulkan menjadi satu, lalu mengikuti seorang qari (imam) tentu lebih baik”.
Kemudian beliau mengumpulkan orang-orang itu agar shalat mengikuti Ubay bin
Ka’ab. Pada malam lainnya, aku keluar lagi bersama Umar bin Khaththab r.a. menuju
ke masjid. Kemudian aku menyaksikan orang-orang sedang mengerjakan shalat di
belakang seorang qari (imam). Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, “ini adalah
bid’ah yang baik.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan hadits yang artinya:
“Bahwasanya Nabi SAW. telah keluar pada tengah malam di beberapa malam bulan
Ramadhan, yaitu tiga malam yang terpisah-pisah, malam keduapuluh tiga, duapuluh
lima dan duapuluh tujuh. Umat manusia mengikuti shalatnya pada malam-malam
tersebut. Beliau bersembahyang Tarawih bersama mereka 8 rakaat dan mereka
menyempurnakan sisanya di rumah-rumah mereka. Keadaannya, didengar bagi mereka
itu suara berdengung seperti dengung suara lebah”. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dari perjalanan tersebut jelaslah bahwasanya Nabi SAW. telah mensunnahkan
kepada umat manusia untuk menunaikan sholat tarawih dan berjamaah dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi beliau tidak bersembahyang tarawih bersama mereka

1
sebanyak 20 rakaat sebagaimana amalan yang berlaku sejak masa para sahabat dan
orang sesudah mereka sampai sekarang. Setelah malam-malam tersebut beliau tidak
keluar lagi karena mengkhawatirkan kalau tarawih difardhukan. Sebagaimana
dijelaskan pada riwayat lain.
Juga tampak jelas bahwa bilangan rakaat shalat tarawih itu tidak terbatas hanya 8
rakaat yang di kerjakan oleh Nabi SAW. bersama sahabat. Realitas itu terbukti dengan
perbuatan mereka yang melanjutkan shalat Tarawih di rumah-rumah mereka. Dalam
pada itu Umar menjelaskan jumlah rakaatnya ada 20 rakaat di mana beliau pada
akhirnya mengumpulkan umat manusia dengan 20 rakaat untuk di kerjakan di masjid.
Dalam hal tersebut, pendapat beliau disetujui oleh sahabat-sahabat yang lain. Orang-
orang sesudah mereka dari Khulafa al-Rasyidin tak ada yang berbeda pendapat.
Nabi telah bersabda:
‫عليكم بسنّتى و س ّنة الخلفاء ال ّراشدين المهدّ ين ع ضوا عليها بالنواجذ‬
“Tetaplah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidin yang
mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian”. (HR. Abu
Dawud).
Mereka juga berpegang teguh pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik r.a.
dalam kitab Al-Muwaththa, yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dari Yazid Ibnu
Ruman, yang artinya, “Dahulu orang-orang zaman Umar bin Khaththab mengerjakan
shalat malam di bulan Ramadhan sebanyak dupuluh Rakaat.” Demikian pula pada masa
Umar bin Khaththab, Ustman bin affan, dan Ali bin Abi Thalib, orang-orang
mengerjakan shalat dua puluh rakaat dalam bulan Ramadhan.
Imam abu hanifah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan oleh Umar r.a., maka
beliau menjawab, “Shalat Tarawih itu Sunnah Muakkadah.” Umar tidaklah
mengeluarkannya dari pendapat pribadinya. Ia bukanlah pelaku bid’ah. Ia tidak
memerintahkannya melainkan dari dasar yang ada padanya dan janji Rasulullah
SAW.” Dan dengan adanya hadits berikut, bertambah kuatlah bahwa apa yang
dilakukan Umar itu dapat kita amalkan, hadits tersebut adalah:
‫ (رواه أحمد و الترمذى و ابن‬.‫َ م َر‬ ‫اقتدوا باللّ َذ ْي ِ ن من بعدى أبى بك ٍر و‬
)‫ماجه‬
“Patuhlah pada dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar”. (HR. Amad, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah).
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwasannya rakaat shalat Tarawih ini adalah
23 rakaat, yaitu pada masa Utsman dan Ali ra. Akan tetapi kemudian terdapat
penjelasan bahwa Ali melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat dan shalat witir sebanyak
3 rakaat. Maka terkumpullah 23 rakaat tersebut.
Pendapat ketiga, Selain pendapat yang sudah dipaparkan di atas, terdapat
perbedaan lain. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. 20 rakaat itu masih
ditambah lagi sehingga menjadi 36 rakaat. Hal ini terjadi di Madinah. Akan tetapi
tujuan penambahan tersebut adalah menyamai penduduk Mekkah dalam hal keutamaan,
karena mereka juga melaksanakan thawaf setelah melaksanakan empat rakaat Tarawih
atau setelah dua salam. Ketika itu yang menjadi imam shalat adalah Umar bin Abdul

1
Aziz. Pendapat beliau bahwasannya jumlah yang 36 ini sebagai pengganti dari thawaf
tersebut.
Demikian itu menunjukkan kebenaran ijtihad Ulama dalam hal menambah ibadah
yang disyari’atkan. Sebab tak diragukan lagi bahwasanya manusia itu diperbolehkan
mengerjakan shalat sunnah semampunya baik siang maupun malam, kecuali pada
waktu-waktu terlarang mengerjakan shalat.
Karenanya maka, shalat Tarawih berjumlah 20 rakaat tanpa witir. Demikian ini
adalah pendapat jumhur ulama’ ahli fiqih dari golongan Hanafi, Hanbali, dan Daud.
Tirmidzi berkata bahwa sebagian ahli sependapat dengan apa yang diriwayatkan dari
Umar, Ali, dan lain-lain sahabat Nabi SAW. yakni dua puluh rakaat.
Di sisi lain, Sauri, Ibnul Mubarak, dan Syafi’i memperkuatnya dengan mengatakan
bahwa, “Saya mendapatkan orang-orang di Mekah melaksanakan shalat dua puluh
rakaat.
Dalam kitab Bidayah al-Mujtahid dijelaskan bahwasannya Umar bin Khattab
berkata sebagai berikut, ”Mereka berbeda pendapat dalam memilih jumlah rakaat shalat
Tarawih. Malik memilih salah satu dari perkataan Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad
bahwasannya mereka mendirikan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat tanpa witir.
Sedangkan pendapat yang memandang 8 rakaat lebih utama itu berlandaskan
Hadits dari Aisyah bahwasannya Rasulullah tidak pernah shalat di malam bulan
Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Adapun shalat yang dikerjakan di rumah setelah
berjamaah di masjid dianggap shalat witir karena jumlahnya ganjil yaitu 11 rakaat
(4+4+3). Telah kita ketahui bahwa jumlah rakaat shalat witir peling sedikit 1 rakaat dan
paling banyak adalah 11 rakaat. Dan itu dilaksanakan Rasulullah setelah bangun tidur, 4
rakaat dengan dua salam berurutan, kemudian 4 rakaat lagi dengan dua salam berurutan,
dan terakhir 3 rakaat dengan dua salam juga. Maka jelas bahwa itu merupakan shalat
witir.
Setelah menelaah, maka benar bahwa yang dilakukan di rumah itu bukanlah shalat
Tarawih melainkan witir, karena: (1) Tarawih dikerjakan setelah shalat isya dan
sebelum tidur, (2) shalat Tarawih tidak didapati di selain bulan Ramadhan, dan (3)
Bukhari berpendapat bahwa hadits dari Aisyah itu adalah merupakan shalat witir. Yang
dengannya hilanglah pertentangan dan tercipta kompromi antara dalil-dalil.
Kompromi tersebut kami simpulkan sebagai berikut. Yang disunnahkan adalah
mengerjakan shalat Tarawih sebamyak 11 rakaat dengan witir. Sedangkan rakaat
sisanya dipandang baik dikerjakan. Al-Kamal Ibnu Hammam berkata, “Dalil itu
menjelaskan bahwa jumlah yang disunnahkan adalah 11 rakaat dari 20 rakaat. Karena
Rasulullah mengerjakan shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat, kemudian beliau tidak
mengerjakannya karena khawatir shalat itu diwajibkan kepada kita. Rakaat sisanya
dipandang baik untuk dikerjakan. Telah diriwayatkan dengan sanad shahih bahwa
rakaat shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat seperti yang telah disebutkan di dalam Shahih
Bukhari dan Muslim. Jadi, pendapat yang bisa dijadikan pegangan yaitu bahwa jumlah
rakaat shalat Tarawih yang disunnahkan sebanyak 8 rakaat dan dan jumlah rakaat yang
dipandang baik untuk dikerjakan adalah sebanyak 12 rakaat.

1
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Qunut adalah berdiri dalam shalat untuk berdo’a dengan ikhlas, penuh ketaatan
dan kepatuhan seraya menghambakan diri kepada Allah SWT.
Hukum qunut menurut para ulama adalah sunnah, walaupun dengan beberapa
perbedaan pandangan tentang qunut itu sendiri.
Menurut pendapat para ulama yang dikemukakan di atas, terdapat perbedaan pendapat
tentang dimana qunut itu dilakukan, baik setelah ruku’ ataupun sebelum ruku’. Qunut
dapat dibaca dengan Sirr (pelan), dan dengan suara lantang (jahr). Qunut ada 3 macam,
pertama, qunut nazilah, yakni doa yang dibacakan setelah ruku’ (I’tidal) pada rakaat
terakhir shalat. Al-Jauhari mengatakan bahwa “nazilah” berarti kesulitan yang dihadapi
manusia. Kedua, qunut witir, yakni yang dilakukan pada separuh bulan ramadhan.
Ketiga, qunut subuh, yakni qunut dalam shalat subuh.
Shalat Tarawih adalah shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan
setelah shalat Isya’. Mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan atau shalat
tarawih itu hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan.
Landasan disyariatkannya Tarawih adalah bahwa Rasulullah SAW. menganjurkan
kaum Muslim mengerjakan shalat tarawih tanpa mewajibkannya. Hal ini jelas tertera
dalam hadits beliau.
Kompromi tersebut kami simpulkan sebagai berikut. Yang disunnahkan adalah
mengerjakan shalat Tarawih sebamyak 11 rakaat dengan witir. Sedangkan rakaat
sisanya dipandang baik dikerjakan. Al-Kamal Ibnu Hammam berkata, “Dalil itu
menjelaskan bahwa jumlah yang disunnahkan adalah 11 rakaat dari 20 rakaat. Karena
Rasulullah mengerjakan shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat, kemudian beliau tidak
mengerjakannya karena khawatir shalat itu diwajibkan kepada kita. Rakaat sisanya
dipandang baik untuk dikerjakan. Telah diriwayatkan dengan sanad shahih bahwa
rakaat shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat seperti yang telah disebutkan di dalam Shahih
Bukhari dan Muslim. Jadi, pendapat yang bisa dijadikan pegangan yaitu bahwa jumlah
rakaat shalat Tarawih yang disunnahkan sebanyak 8 rakaat dan dan jumlah rakaat yang
dipandang baik untuk dikerjakan adalah sebanyak 12 rakaat.[21]
Pendapat di atas bisa dijadikan pegangan meskipun terdapat sebagian golongan
yang kebiasaannya melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat atau pun ada yang
menambahnya menjadi 36 rakaat.

2
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Lahmuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

Hasbi Ash Shiddieqy Teungku Muhammad, Kiliah Ibadah,Semarang: PT. Pustaka


Rizky Putra,2000

Latif Uwaidhah Ahmad Abdul, Tuntunan Shalat berdasarkan al-Qur’an dan


Hadits, Bogor : Thariqul izzah, 2001

Rusyd Ibnu,Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Bulan Bintag, 1990 wordpress.com

%2F2009%2F05%2F28%Do’a qunut dalam shalat subuh%2F&ei, di


akses, tanggal- 31-03-2011

Hasbi Ash Shiddieqy Teungku Muhammad, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang :


Pustaka Rizki Putra, 2001

Hasan Ali,Perbandingan Mazhab,Piqh , Jakarta,:pt Raja Grafindo Persada,200

Abidin, Slamet. Djaliel, Maman Abd. 1998. Fiqih Ibadah. Bandung: CV Pustaka Setia.

Al-Jaziri, Abdulrahman. 1994. Fiqih Empat Madzhab Jilid 1. Semarang: CV. As Syifa’.

Ma’shum, Ali. Tt. Hujjah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Jawa Tengah: Ibnu Mayshud.

Sabiq, Sayyid. 2013. Fiqih Sunnah: 1, terj. Ahmad Shiddiq Thabrani, et. al. Jakarta:
Pena Pundi Aksara.

Sabiq, Sayyid. 1993. Fikih Sunnah 2. Bandung: Alma’arif.

Taqiyuddin, Imam. 2005. Kifayah al-Akhyar. Damaskus: Haramain.

Anda mungkin juga menyukai