Anda di halaman 1dari 16

WUDHU DAN BERSESUCI DALAM SURAH AL-MA’IDAH AYAT 6

(Studi Tafsir Ahkam)

Makalah:

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Tafsir Ahkam

Disusun Oleh:

Alghaniy Pramudya R 07010320006

Ana Firdatul M 07040320113

Barrotut Taqiyah 07030320091

Chintya Alya Kharisma 07040320116

Dosen Pengampu:

Moh. Fathurrozi, Lc. M. Th. I.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt., yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas makalah yang berjudul “Studi Tafsir Ahkam (Wudhu Dan Bersesuci
Dalam Surah Al-Ma’idah Ayat 6)” ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga senantiasa
kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Studi Tafsir Ahkam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan terkait tema
yang dikaji.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Moh. Fathurrozi, Lc. M. Th. I., selaku
dosen pembimbing mata kuliah Studi Tafsir Ahkam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan pembelajaran yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 01 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii

BAB I....................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN................................................................................................................................4

A. Latar Belakang........................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................5

BAB II..................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN...................................................................................................................................6

A. Pengertian Thaharah dan Wudhu..........................................................................................6

B. Penfsiran Surah Al-Maidah Ayat 6........................................................................................6

C. Pandangan Para Ulama.........................................................................................................12

BAB III...............................................................................................................................................15

PENUTUP..........................................................................................................................................15

A. Kesimpulan.............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an memuat banyak pembahasan yang terdiri dari berbagai tema. Ayat-ayat yang
mengandung persoalan hukum (ayat al-ahkam) merupakan bahasan yang paling banyak
mendapat sorotan dari ulama tafsir generasi awal hingga sekarang. Meskipun jumlah ayat-ayat
hukum terhitung sedikit (sekitar 250 ayat) 1 bila dibandingkan dengan tema ayat lainnya. Namun,
status Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan yang utama dalam Islam membuat ayat-
ayat ini justru mendapat perhatian lebih.

Salah satu pembahasan ayat ahkam yang popular, sebagai bab pembuka pada
kebanyakan kitab fiqih adalah thaharah. Sebab Islam adalah agama yang mencintai kebersihan
dan kesucian, Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. Al-Baqarah: 222) 2. Baik
menyangkut ihwal kesucian fisik, jiwa, pikiran, dan lain sebagainya. Hal ini tergambar pada ayat
Al-Qur’an dan hadis yang mensyaratkan kesucian dan kebersihan sebagai salah satu aspek
terpenting dalam banyak bentuk peribadatan, yakni tolok ukur diterima atau tidaknya suatu amal
ibadah, semisal salat, puasa, tawaf, memegang mushaf Al-Qur’an dan sebagainya. 3

Allah dalam firman-Nya QS. Al-Maidah: 6 memerintahkan hambanya mensucikan


dirinya terlebih dahulu dari hadas kecil dan besar sebelum menghadap pada-Nya dengan
berwudhu, tayamum, mandi. Bahkan bila hambanya tidak memungkinkan menggunakan air,
boleh menggantinya dengan tayamum. Ini menunjukkan bahwa kebesaran Allah, Maha Pemurah
yang tidak ingin menyulitkan hambanya.

Meskipun perintah thaharah dengan wudhu, tayamum, mandi telah jelas, terkadang antar
ulama memiliki penafsiran dan pemahaman yang sedikit berbeda mengenai hukum-hukum
tersebut, sebab salah satunya karena keumuman lafadz pada QS. Al-Maidah: 6 ini.

Sedikit pemaparan di atas, pada makalah sederhana ini. Penulis ingin mencoba
menjelaskan tafsir ahkam QS. Al-Maidah: 6 mengenai bersesuci terutama wudhu yang akan kami
fokuskan di sini untuk menambah keilmuan, wawasan dan menambah keyakinan kita dalam
bersesuci dan beribadah.

1
(Mengutip dari Wawancara Zaglul an-Najjar dengan Majalah Tasawuf Mesir, Edisi Mei 2001.) Lajnah
Pentashihnan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kemenag, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2016) h. xxiii
2
Mochammad Syafi’ie al-Bantanie, Dahsyatnya Terapi Wudhu, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2010) h.2
3
Abdul Aziz Ali Fikri, dkk., Konsep Thaharah dalam Perspektif Al-Qur’an, Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Fak. Ushuluddin & Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya
iv
5

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud wudhu dan thaharah?


2. Bagaimana penafsiran QS. Al-Maidah: 6?
3. Bagaimana pendapat antar ulama dalam memahami perintah QS. Al-Maidah: 6?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi dari wudhu dan thaharah.


2. Untuk mengetahui penafsiran QS. Al-Maidah: 6.
3. Untuk mengetahui pendapat antar Ulama dalam memahami perintah QS. Al-Maidah: 6.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah dan Wudhu

Secara etimologi thaharah / ‫ طَهَ َر‬adalah masdar atau kata benda yang diambil dari kata
‫ طَهَ َر يَطهُر‬yang berarti bersuci. Sedangkan thaharah menurut istilah yakni menghilangkan hadas
dari najis.4
Thaharah secara umum dapat dibersihkan dengan cara membersihkan lahir hadas, najis,
dan kelebihan-kelebihan yang ada dibadan atau dengan membersihkan hati dari dosa-dosa,
akhlak-akhlak tercela, dan membersihkan hati dari selain Allah. 5
Cara yang digunakan dalam membersihkan kotoran dari hadas tergantung pada kuat dan
lemahnya najis yang ada pada diri seseorang. Bila najisnya tergolong ringan maka cara
membersihkanya dengan berwudhu. Sedangkan najis yang ada pada diri seseorang tergolong
berat atau besar maka harus dengan mandi janabat atau mandi besar.
Sedangkan dalam surat Al–Maidah dijelaskan bahwa salah satu syarat diterimanya
ibadah yakni dengan bersuci atau disebut dengan wudhu. Adapun pengertian wudhu menurut
bahasa yakni bersih, indah dan bagus. Sedangkan menurut syara’ wudhu adalah membasuh,
mengalirkan dan membersikan dengan mengunakan air pada setiap bagian dari anggota badan
yang dimulai dengan niat untuk menghilangkan hadast.6
Menurut Sayyid Sabiq, definisi wudhu adalah kegiatan mensucikan diri dengan
menggunakan air, anggota tubuh yang dibasuh dengan air ialah wajah, kedua tangan, kepala, dan
kedua kaki.
Jadi dari penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa bersuci hukumnya sangat wajib
bagi orang-orang mukmin yang hendak melaksanakan ibadah seperti sholat atau ibadah yang
lainya apabila dalam keaadan berhadas maupun terkena najis.

B. Penfsiran Surah Al-Maidah Ayat 6

‫وة فَا ْغ ِس لُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َواَيْ ِديَ ُك ْم اِىَل الْ َمَرافِ ِق َو ْام َس ُح ْوا بُِرءُْو ِس ُك ْم‬ َّ ‫ٰيٓ اَيُّ َه ا الَّ ِذيْ َن اٰ َم ُْٓنوا اِذَا قُ ْمتُ ْم اِىَل‬
ِ ‫الص ٰل‬

‫ى اَْو َع ٰلى َس َف ٍر اَْو َج اۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم ِّم َن‬R‫ض‬ٓ ٰ ‫واَرجلَ ُكم اِىَل الْ َكعب ۗ ِن واِ ْن ُكْنتُم جنُب ا فَ اطَّ َّهرو ۗا واِ ْن ُكْنتُم َّمر‬
ْ ْ َ ُْ ًُ ْ َ ‫ْ َ نْي‬ ْ َُْ
‫الْغَاۤ ِٕى ِط اَْو ٰل َم ْستُ ُم‬
4
Abdul Azhim Badawi, Kitab Thaharah (Cet. I; Tasikmalaya: Salwa Press, 2008), hlm.5
5
B A B Ii and A Kajian Teori, “BAB II (1) Tugas,” 2012, 14–49.
6
Diah Kusumawardani, “Makna Wudhu Dalam Kehidupan Menurut Al-Qur’an Dan Hadis,” Jurnal Riset
Agama 1, no. 1 (2021): 107–18, https://doi.org/10.15575/jra.v1i1.14261.
6
7

‫ص عِْي ًدا طَيِّبً ا فَ ْام َس ُح ْوا بُِو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ِّمْن هُ ۗ َم ا يُِريْ ُد ال ٰلّ هُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم‬ ِ
َ ‫ِّس اۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َم اۤءً َفَتيَ َّم ُم ْوا‬
َ ‫الن‬
‫ِّم ْن َحَر ٍج َّو ٰل ِك ْن يُِّريْ ُد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُر ْو َن‬
Terjemahan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah
wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai
ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan
tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Tafsir Mufrodat

Firman-Nya: ( ‫ ٰلو ِة‬R‫الص‬


َّ ‫ )اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى‬idza qumtum ila ash-shalâh7 / Apabila kamu hendak
mengerjakan shalat”. Banyak dari ulama salaf yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
sedangkan kalian dalam keadaan berhadas. Sedangkan ulama lainnya berpendapat “Yaitu apabila
kalian bangun tidur dan hendak mengerjakan shalat. “ Kedua pendapat ini berdekatan. Pendapat
Yang lain lagi mengatakan, bahwa maknanya adalah lebih lebih umum dari semua. Ayat ini
memerintahkan untuk berwudhu ketika hendak shalat, tetapi hal tersebut adalah wajib bagi orang
yang berhadas, dan disukai (sunnah) bagi orang yang suci (dari hadas)”. Ada pula Pendapat yang
mengatakan baha perintah wudhu untuk setiap kali shalat adalah wajib pada masa permulaan
Islam, kemudian hal itu dihapuskan (di-nasakh).

Imam Ahmad mengatakan dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata
“Rasulullah berwudhu pada setiap shalat. Setelah peristiwa penaklukkan kota Makkah, Beliau
berwudhu dan mengusap sepatunya , serta mengerjakan beberapa shalat dengan satu wudhu.
Kemudian Umar berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau mengerjakan Sesuatu yang
belum pernah engkau lakukan”, Maka Beliau menjawab ‘Wahai Umar, Sesungguhnya aku
sengaja melakukan hal itu’”.

Firman-Nya: (‫ )فَا ْغ ِسلُوْ ا‬faghsilu/ basuhlah, berarti mengalirkan air pada anggota badan
yang dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan menggosok anggota badan saat
mengalirkan air.8

7
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrohman bin Ishaq Al-Seikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, Bogor: Pustaka
Imam As-Syafi’i, 2003, hlm. 34
7
8

ِ ِ‫ ) ْال َم َراف‬wa aydiyakum ilà al-


Kata ( ‫ )اي ِد‬aydin/ tangan pada firman-Nya: ( ‫ق اِلَى َواَ ْي ِديَ ُك ْم‬
marâfiq/ dan tangan kamu sampai dengan siku, dapat dipahami dalam arti sempit dan luas.
ِ ِ‫ ) ْال َم َراف‬ilà al-maráfiq / ke siku memberi batasan tentang makna tersebut. Hanya
Firman-Nya: (‫ق اِلَى‬
saja para ulama berbeda pendapat tentang kata ila (‫)اِلَى‬, apakah ia berarti sampai, sehingga siku-
siku termasuk yang wajib dibasuh atau tidak.

Firman-Nya: (‫ )بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َوا ْم َسحُوْ ا‬wa imsahu bi ru’usikum/ sapulah kepala kamu.
Setelah disepakati oleh ulama tentang wajibnya mengenakan air ke kepala, mereka berbeda
pendapat tentang batas minimal yang wajib. Perbedaan itu lahir dari perbedaan pendapat tentang
makna huruf ba’ (‫( )ب‬baca bi) pada firman-Nya bi ru’usikum. Ada yang memahami bahwa huruf
ba’ mengandung makna tertentu, ada juga yang menilainya sebagai huruf tambahan untuk
penguat makna yang dikehendaki.9

Firman-Nya: (‫)واَرْ ُجلَ ُك ْم‬


َ wa arjulakum, ada juga yang membaca wa arjulikum.
Perbedaan bacaan ini menimbulkan perbedaan pendapat tentang hukum berwudhu menyangkut
kaki. Walaupun kata arjul/ kaki-kaki dalam bentuk jamak, tetapi ayat di atas menggunakan
bentuk dual ketika menjelaskan mata kaki (al-ka'bain/ kedua mata kaki). Hal ini, untuk
menunjukkan bahwa kedua mata kaki harus dibasuh (diusap). Seandainya digunakan bentuk
jamak sebagai ganti bentuk dual, maka dapat dipahami bahwa yang diperintahkan hanya salah
satu mata kaki.10

Asbabun Nuzul

Mengutip dari penjelasan kitab tafsir Al-Munir bahwa asababun nuzul dari surat Al-
Maidah yakni diceritakan dalam hadis Al-Bukhari yang bersumber dari sayyidah Aisyah RA, ia
bercerita “Kalungku jatuh da hilang ditengah gurun, kemudian Rasulullah SAW menghentikan
kendaraanya lalu turun, lalu beliau meletakkan kepalanya dipangkuanku dalam keadaan yang
tertidur. Tiba-tiba Abu bakar mengampiriku dan memukulku seraya berkata “ kau telah menahan
perjalanan orang-orang karena kalung itu” kemudian Rasulullah bangun dan waktu shubuh pun
datang, lalu beliau bergegas mencari air tetapi beliau tidak menemukanya, Kemudian turunlah
surat Al-Maidah ayat 6.11

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Peran dan Keserasian Al-Qur’an Vol.3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
H. 35
9
Ibid, hal 36
10
Ibid, hal 36
11
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Munir: Akidah-Syariah-Manhaj Jilid 3, 2016,
https://ia904603.us.archive.org/8/items/terjemah-tafsir-al-munir-mktbhazzaen/Terjemah Tafsir Al Munir - 3.pdf.
8
9

Dalam Hadist Bukhari tersebut menjelaskan bahwa wudlu sebenarnya wajib bagi mereka
sebelum turunya ayat ini. Sehingga mereka merasa berat dan gusar ketika berhenti tanpa
memiliki persediaan air hal ini dibenarkan dalam sirah nabawiyah yakni bahwasanya semenjak
shalat diwajibkan, beliau tidak pernah menjalankan sholat melainkan dengan wudlu. Ibnu Abdil
Barr menjelaskan bahwa hikmah dibalik turunya ayat wudlu meskipun praktik wudlu telah
dijalankan sebelumnya agar kewajiban wudlu menjadi bagian yang dibaca dalam Al-Qur’an.
Ulama’ lain berpendapat bahwa kemungkinan bagian awal ayat ini turun bersamaan dengan
berlakunya kewajiban berwudhu. Kemudian sisa ayat ini turun dengan penyebutan tayamum. As-
suyuti berpendapat karena kewajiban bewudlu bersamaan shalat di Mekkah sedangkan ayat ini
termasuk ayat Madaniyyah.12

Munasabah

Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al-Mishbah mengutip pendapat al-Biqa’i yang
mengatakan bahwa surah Al-Maidah dibuka dengan perintah memenuhi akad-akad perjanjian,
disusul dengan uraian tentang betapa Allah telah memenuhi pemeliharaan-Nya kepada manusia
dengan menyediakan aneka kebutuhan manusia (pangan dan seks). Kemudian disebutkan
pemenuhan perjanjian yang berkaitan dengan ibadah kepada-Nya dan in dimulai dengan shalat.
Dalam konteks shalat ini, terlebih dahulu diuraikan tentang wudhu, karena wudhu adalah syarat
sahnya shalat.13

Berdasarkan lafal ayat di atas, wudhu merupakan perintah langsung dari Allah kepada
hambanya agar dalam keadaan bersih dan suci sebelum melaksanakan ibadah terutama ketika
hendak melaksanakan ibadah shalat yang mewajibkan dalam keadaan suci. Hal ini juga
dipertegas oleh Rasulullah saw dalam hadisnya:

‫يل َع ْن حُمَ َّم ِد ابْ ِن احْلَنَ ِفيَّ ِة َع ْن َعلِ ٍّي َر ِض َي اللَّهُ َعْن هُ قَ َال قَ َال‬
ٍ ‫يع َع ْن ُس ْفيَا َن َع ْن ابْ ِن َع ِق‬ِ
ٌ ‫َح َّدثَنَا عُثْ َم ا ُن بْ ُن َأيِب َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َوك‬
‫يم‬ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ِم ْفتاح الصَّاَل ِة الطُّهور وحَت ِرميها التَّ ْكبِري وحَت لِيلُها الت‬
ُ ‫َّسل‬
ْ َ ْ َُ َُ ْ َ ُ ُ ُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫َر ُس‬

“Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Abi Syaibah] telah menceritakan kepada kami
[Waki] dari [Sufyan] dari [Ibnu Aqil] dari [Muhammad bin Al-Hanafiyyah] dari [Ali radliallahu
anhu] dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kunci shalat adalah bersuci,

12
Wahbah az-Zuhaili. Ibid.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Jilid 3, (Tangerang: Lentera Hati, 2005) h.33-34
9
10

sedangkan yang mengharamkan (segala aktivitas di luar shalat) adalah takbir, dan yang
menghalalkannya kembali adalah salam” (HR. Abu Daud) 14

Rasulullah Saw juga bersabda pada hadis yang lain:

ُ ‫صالََة لَ ِم ْن الَ ُو‬


ُ‫ض ْوءَ لَه‬ َ َ‫ال‬

Dari Abi Hurairah Ra: Nabi saw bersabda: "Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu'.” (HR.
Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah) 15

Serupa dengan hadis di atas:

ِ ‫ اَل ي ْقبل اهلل صاَل َة‬: ‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‬
ِ ‫ قَ َال رسو ُل‬: ‫عن َأيِب هرير َة ر ِضي اهلل عْنه قَ َال‬
‫ضَأ‬
َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬ ْ ‫َأحد ُك ْم ِإ َذا‬
َ ‫َأح َد‬ َ َ ُ َُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُْ َ ُ َ ُ َ َ َْ َ ُ ْ ْ َ

Dari Abi Hurairah Ra: “Allah tidak menerima shalat salah seorang daripadamu apabila ia
berhadas sehingga ia bersuci.”(HR. Bukhari dan Muslim) 16

Allah Swt juga berfirman dalam Qs. An-Nisa: 43 yang kembali menegaskan bahwa
kondisi seorang hamba yang akan mendirikan shalat harus betul-betul dalam keadaan bersih suci
dan sadar sepenuhnya. Bahkan bila hambanya terlanjur pada kondisi yang tidak memungkinkan
penggunaan air seperti yang digambarkan pada ayat di bawah ini, Allah tetap memberikan
keringanan dalam bentuk tayamum, sehingga hamba dalam keadaan bersih suci dan sadar kala
hendak melaksanakan ibadah shalat :

‫الص ٰلوةَ َواَْنتُ ْم ُس ٰك ٰرى َحىّٰت َت ْعلَ ُم ْوا َم ا َت ُق ْولُ ْو َن َواَل ُجنُبً ا اِاَّل َع ابِ ِر ْي َس بِْي ٍل َحىّٰت َت ْغتَ ِس لُ ْوا ۗ َواِ ْن‬
َّ ‫ٰايَٓيُّ َه ا الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْوا اَل َت ْقَربُ وا‬

‫ص عِْي ًدا طَيِّبً ا فَ ْام َس ُح ْوا‬ ِ


َ ‫ِّس اۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َم اۤءً َفَتيَ َّم ُم ْوا‬ ٰ ِ ٍ ٰ ٓ ٰ ‫ُكْنتُم َّمر‬
َ ‫ضى اَْو َعلى َس َفر اَْو َجاۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم ِّم َن الْغَاۤ ِٕىط اَْو ل َم ْس تُ ُم الن‬ ْ ْ
‫بُِو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُف ْو ًرا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan
mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid
ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub).
Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat
buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan,156) sedangkan kamu tidak mendapati air,
14
Rohmi Kariminah, Skripsi (2019) Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Jalalain, Prodi IAT,
IAIN Bengkulu, h.38
15
Isnan Ansory, Wudhu’ Rasulullah SAW Menurut 4 Mazhab, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,2018), h. 11
16
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: H. Abdul Halim Hasan, 2006), h. 360
10
11

maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan
debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Qs. An-Nisa: 43)

Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al-Mishbah mengutip pendapat al-BiqaI yang
mengatakan bahwa surah Al-Maidah dibuka dengan perintah memenuhi akad-akad perjanjian,
disusul dengan uraian tentang betapa Allah telah memenuhi pemeliharaan-Nya kepada manusia
dengan menyediakan aneka kebutuhan manusia (pangan dan seks). Kemudian disebutkan
pemenuhan perjanjian yang berkaitan dengan ibadah kepada-Nya dan in dimulai dengan shalat.
Dalam konteks shalat ini, terlebih dahulu diuraikan tentang wudhu, karena wudhu adalah syarat
sahnya shalat. 17

Senada dengan pendapat di atas, Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya Al-Munir, juga
menjelaskan ada dua bentuk perjanjian antara hamba dengan Tuhannya, yaitu perjanjian
Rubuubiyyah dan perjanjian ketaatan. Setelah Allah SWT memenuhi janji yang pertama kepada
hamba, dengan menerangkan tentang halal dan haram menyangkut makanan dan pernikahan,
Allah SWT menuntut para hamba untuk memenuhi janji yang kedua, yaitu janji ketaatan dan
ketaatan yang paling agung setelah iman adalah shalat, sementara shalat tidak sah melainkan
harus dengan kondisi suci. Oleh karena itu, Allah SWT menuturkan kewajiban-kewajiban wudhu.
Kemudian, Allah SWT mengingatkan kita tentang kewajiban memenuhi janji, yaitu mendengar,
patuh dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. 18

Abu Daud, At-Thayalisi, Imam Ahmad, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir dari Rasulullah
Saw.,

‫اح الصَّاَل ِة الطُّ ُه ْو ُر‬ ِ ِ


ُ َ‫ َوم ْفت‬،ُ‫اح اجْلَنَّة الصَّاَل ة‬
ِ
ُ َ‫م ْفت‬

“Kunci surga adalah shalat, sedangkan kunci shalat adalah suci.” (HR. Abu Daud, At-Thayalisi,
Imam Ahmad , dan Baihaqi) 19

C. Pandangan Para Ulama

َّ ‫ اِذَا قُ ْمتُ ْم اِىَل‬.


ِ ‫الص ٰل‬
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam memahami lafaz ‫وة‬

Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz ini merupakan lafaz umum yang digunakan untuk
setiap pengerjaan sholat baik seseorang dalam keadaan suci maupun berhadas ia dianjurkan
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Jilid 3, (Tangerang: Lentera Hati, 2005) h.33-34
18
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2016) h.434
19
Wahbah Az-Zuhaili, Ibid.
11
12

untuk berwudu.20 Sekelompok ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat itu,
wudhu di setiap sholat yang hendak dilaksanakan merupakan guna mencari keutamaan, maka
merupakan sesuatu yang sunah, bukan wajib.21

Fardhu Wudhu Menurut Ulama Mazhab

- Fardhu wudhu menurut mazhab Hanafi meliputi 4 hal, sebagaimana dalam surah Al-Maidah
ayat 6, yaitu (1) membasuh wajah, (2) membasuh kedua tangan hingga siku, (3) mengusap
kepala, dan (4) membasuh kaki serta kedua mata kaki.

- Fardhu wudhu menurut mazhab Maliki ada 7, yakni niat (1) saat membasuh wajah (2),
membasuh kedua tangan hingga siku (3), mengusap kepala (4), membasuh kedua kaki hingga
mata kaki (5), muwalah (6), menggosok (7).22

- Fardhu wudhu menurut mazhab Syafi’i ada 6, yang pertama niat, kedua membasuh wajah,
ketiga membasuh kedua tangan hingga siku, keempat mengusap kepala, kelima membasuh kedua
kaki hingga mata kaki, keenam tertib.

- Fardhu wudhu menurut mazhab Hanbali ada 6, yaitu (1) Membasuh wajah termasuk
madhmadhah dan istinsyaq, (2) membasuh kedua tangan hingga siku, (3) mengusap kepala
beserta kedua telinga, (4) membasuh kedua kaki hingga mata kaki, (5) tertib, (6) muwalah.23

Membasuh Wajah

- Menurut ulama mazhab Hanafi, yang dimaksud dengan membasuh wajah berarti menyalurkan air
secara merata ke wajah. Batasan wajah yang harus dibasuh ialah mulai dari tempat tumbuhnya
rambut (atas dahi) hingga ujung dagu. Bagian putih antara jambang dan telinga termasuk wajah,
sehingga wajib untuk membasuhnya saat berwudhu. Menurut ulama mazhab Hanafi, jenggot
tidak wajib dibasuh. 24

- Menurut ulama mazhab Maliki, membasuh wajah berarti mengalirkan air ke wajah disertai
tangan yang mengusap kepadanya. Adapun batasan wajah yang harus dibasuh menurut mazhab
Maliki ialah mulai dari tempat tumbuhnya rambut (atas dahi) hingga ujung dagu, tidak termasuk
bagian putih antara jambang dan telinga, sehingga membasuh bagian itu tidak wajib, tetapi harus

20
Al-Qurthubi, ‘TerjemahTafsir Al Qurthubi 6’ (Pustaka Azzam). h. 197
21
Al-Qurthubi, Ibid., h. 198
22
Isnan Ansory, ‘Wudhu Rasulullah SAW Menurut Empat Mazhab’ (Rumah Fiqih Publishing, 2018) h. 27
23
Isnan Ansory, Ibid., h. 30
24
Susilawati, ‘PETA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM FARDU WUDU (Kajian Empat
Mazhab)’, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. h. 32
12
13

disapu karena merupakan bagian dari kepala. 25


Membasuh dengan air secara merata jenggot
yang panjang diwajibkan oleh mazhab ini , akan tetapi menyela-nyelanya saat berwudhu
26

bukanlah suatu kewajiban.27

- Menurut ulama mazhab Syafi’i batasan wajah yang dibasuh ialah dari daerah tempat tumbuhnya
rambut (atas kening) hingga bawah dagu. Bagian putih (antara pipi dan pangkal telinga) juga
wajib dibasuh karena termasuk bagian wajah. Apabila memiliki jenggot, jika tipis maka wajib
meratakan air kebagian luar dan dalam jenggot, jika tebal maka cukup bagian luarnya saja. 28

- Menurut ulama mazhab Hanbali yang termasuk bagian wajah ialah dengan panjang antara atas
dahi (tempat biasanya tumbuh rambut) hingga ujung dagu, dengan lebar antara telinga kanan dan
telinga kiri. Akan tetapi mazhab Hanbali memperluas dan melebihi usapan dari bagian yang
diwajibkan29, sehingga basuhan mengenai rambut yang berada di atas dekat telinga (al-‘izar), dan
rambut yang masuk ke daerah wajah (at-tahzif). Alis, bulu mata, jenggot, dan kumis, juga
termasuk anggota wajah yang wajib dibasuh. Mazhab Hanbali menganggap bahwa bagian dalam
hidung dan mulut termasuk wajah, sehingga wajib membasuhnya dengan cara madhmadhah dan
istinsyaq.30

Membasuh Kedua Tangan Hingga Siku

Mengenai lafaz “ila”, jumhur ulama berpendapat bahwa siku merupakan hal yang wajib
untuk dibasuh.31 Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa mereka yang berpendapat bagian
siku termasuk bagian yang dibasuh sebab jika sesuatu terletak setelah lafaz “ila”, merupakan
jenis dari sesuatu yang terletak sebelum lafaz “ila”.32 Inilah yang disepakati oleh ulama mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Menyapu Kepala

Pengertian menyapu kepala ialah menyampaikan air dengan cara diusap. Menurut
mazhab Hanafi dan Syafi’i bagian kepala yang wajib disapu adalah sebagian kepala. Mazhab
Hanafi menentukan bagian kepala yang wajib disapu yakni ¼ bagian, sedangkan mazhab Syafi’i

25
Susilawati, Ibid., h. 42
26
Susilawati, Ibid.
27
Al-Qurthubi, Op.Cit., h. 204
28
Muhammad Ajib, ‘Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy’ (Rumah Fiqih Publishing, 2019). h. 11
29
Hidayatuna, Perbedaan Tata Cara Berwudhu Menurut 4 Madzhab, Umma, https://umma.id/post/perbedaan-
tata-cara-berwudhu-menurut-4-madzhab-635359?lang=id
30
Susilawati, Op. Cit., h. 54
31
Abdul Halim Hasan, ‘Tafsir Al-Ahkam’ (Kencana, 2006). h. 361
32
Al-Qurthubi, Op. Cit., h. 210
13
14

tidak menentukan.33 Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, bagian kepala yang wajib disapu
adalah seluruh bagian.

Membasuh Kedua Kaki Hingga Mata Kaki

Terdapat perbedaan dalam membaca lafaz “waarjulakum”. Ada yang membaca dengan
nashab dan ada yang membaca dengan jar. Perbedaan qiraat itulah yang kemudian melahirkan
pendapat yang berbeda mengenai apakah kaki itu dibasuh atau disapu. Mereka yang membaca
dengan nashab mengemukakan bahwa kaki harus dibasuh, dengan menghubungkan pada lafaz
“wujuuhakum”. Sedangkan mereka yang membaca dengan jar menghubungkan dengan lafaz
“biruusikum” sehingga karena kepala disapu, maka begitupun dengan kaki. Adapun pendapat
mayoritas ulama ialah membacanya dengan nashab, “waarjulakum”.34

33
Moh Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan, Dan Keserasian al-Qur’an, J. 3, Cet. 6 (Ciputat,
Jakarta: Lentera Hati, 2005). h. 36
34
Moh Quraish Shihab, Ibid.
14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Thaharah berarti menghilangkan hadas dari najis. Membersihkan kotoran dari hadas
tergantung pada kuat dan lemahnya najis yang ada pada diri seseorang. Wudhu termasuk prihal
thaharah, yang mana wudhu ini menjadi syarat sah diterimanya sholat. Wudhu merupakan
mensucikan diri dengan menggunakan air dengan membasuh wajah, kedua tangan hingga siku,
kepala, dan kedua kaki hingga mata kaki. Penafsiran QS. Al-Maidah yakni menjelaskan
mengenai wudhu dan tata caranya, yang mana adanya qiraat yang berbeda berpengaruh terhadap
penafsiran lafaznya. Hal ini kemudian melahirkan silang pendapat antar ulama sebagaimana telah
penulis paparkan di atas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2003

Ajib, Muhammad .‘Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy’ (Rumah Fiqih Publishing, 2019).

Al-Bantanie, Mochammad Syafi’ie, Dahsyatnya Terapi Wudhu, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2010)

Al-Qurthubi, ‘TerjemahTafsir Al Qurthubi 6’ (Pustaka Azzam).

An-Najjar, Zaglul. Wawancara dengan Majalah Tasawuf Mesir, Edisi Mei 2001. Lajnah Pentashihnan
Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kemenag, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2016)

Ansory, Isnan. Wudhu’ Rasulullah SAW Menurut 4 Mazhab, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,2018)

Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Munir: Akidah-Syariah-Manhaj Jilid 3, 2016,


https://ia904603.us.archive.org/8/items/terjemah-tafsir-al-munir-mktbhazzaen/Terjemah Tafsir Al
Munir - 3.pdf.

Badawi, Abdul Azhim. Kitab Thaharah (Cet. I; Tasikmalaya: Salwa Press, 2008)

Fikri, Abdul Aziz Ali. dkk., Konsep Thaharah dalam Perspektif Al-Qur’an, Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Fak. Ushuluddin & Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya

Hasan, Abdul Halim. Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: H. Abdul Halim Hasan, 2006)

Hidayatuna, Perbedaan Tata Cara Berwudhu Menurut 4 Madzhab, Umma, https://umma.id/post/perbedaan-


tata-cara-berwudhu-menurut-4-madzhab-635359?lang=id

Kariminah, Rohmi. Skripsi (2019) Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Jalalain, Prodi IAT,
IAIN Bengkulu

Kusumawardani, Diah “Makna Wudhu Dalam Kehidupan Menurut Al-Qur’an Dan Hadis,” Jurnal Riset
Agama 1, no. 1 (2021): 107–18, https://doi.org/10.15575/jra.v1i1.14261.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Jilid 3, (Tangerang: Lentera Hati, 2005)

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Peran dan Keserasian Al-Qur’an Vol.3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),

Susilawati, ‘PETA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM FARDU WUDU (Kajian Empat
Mazhab)’, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

16

Anda mungkin juga menyukai