Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

STUDI AL-QURAN DAN TAFSIR TARBAWI

Tugas ini disusun guna memenuhi mata kuliah Studi Al-Quran dan
Tafsir Tarbawi

Dosen Pengampu : Dr. Mohammad Zaini, MM

Nama : Ach Nurhadi Setiawan T20189057

JURUSAN TADRIS IPS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH AHMAD SIDDIQ

JEMBER

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah


Ta’ala.  atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul,
“Studi Al-quran dan Tafsir Tarbawi” dapat kami selesaikan dengan baik. Penulis
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT
karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa
sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.

Penulis tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam


penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada
makalah ini, kami mohon maaf. Penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya
dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan
berikutnya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jember,26 November 2021

Ach Nurhadi Setiawan

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................6

A. Definisi Hadits.........................................................................................................6
B. Fungsi Hadits...........................................................................................................8
C. Kaedah kesahihan....................................................................................................10
D. Urgensi Hadits.........................................................................................................12
E. Pengertian Tafsir......................................................................................................13
F. Metode tafsir............................................................................................................15
G. Karakteristik tafsir...................................................................................................20

BAB III PENUTUP.............................................................................................................21

A. Kesimpulan..............................................................................................................21
B. Saran........................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini sebagai pemelihara
kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah
membuat  sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan
tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang
telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan,
hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas
sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi
untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari
sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana
kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.
     Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan
dalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada
sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits,
sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi,
mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an
dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena
tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya
merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-
lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang
mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga,
seluruh halayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan
mempunyai aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik
peribadatannya kelak. Dan dalam hal ini penulis akan memaparkan makalah
tentang hadits dan yang berkenaan dengan hadits dalam pendidikan islam.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :   
1. Apa definisi dari hadist ?
2. Apa saja fungsi hadits terhadap Al Qur`an ?
3. Bagaimana kaedah kesahihan hadits ?
4. Bagaimana urgensi hadits dalam pendidikan ?
5. Apa yang dimaksud dengan pengertian tafsir tarbawi ?
6. Bagaimana metode tafsir tarbawi ?
7. Apa saja karakteristik tafsir tarbawi ?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis dapat
menentukan tujuan pembahasan sebagai berikut :
1. Untuk  mengetahui definisi dari hadist.
2. Untuk mengetahui tentang fungsi hadits terhapat Al Qur`an.
3. Untuk mengetahui kaedah kasahihan hadits.
4. Untuk mengetahui urgensi hadits dalam pendidikan.
5. Untuk mengetahui pengertian tafsir tarbawi.
6. Untuk mengetahui metode tafsir tarbawi
7. Untuk mengetahui karakterisrik tafsir tarbawi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits
1. Secara Etimologi
Kata hadits berasal dari bahasa arab yaitu dari kata hadits, jamaknya
ahadits, hidtsan dan hudtsan. Namun yang terpopuler adalah al-hadits, dan
lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadits selama ini. Hal ini
terbukti dengan adanya kitab-kitab hadits atau kumpulan hadits yang diberi
nama dengan ahadits seperti kitab mukhtar al-ahadits, al-Jami as-Shaghir fi
ahaditsal-Basyir an-Nadzir dan lain sebagainya.1 Dari segi etimologi/bahasa
kata ini memiliki banyak arti, diantaranya‫د يد‬HH‫( الج‬al-jadid) yang berarti
sesuatu yang baru. yang merupakan lawan dari kata ‫(القديم‬al-qadim) yang
berarti sesuatu yang lama. Bisa diartikan pula sebagai ‫( الخبر‬al-khabar) yang
berarti berita atau riwayat dan ‫ريب‬HH‫( الق‬al-qarib) yang berarti sesuatu yang
dekat.2

2. Secara Terminologi
Secara terminologis atau istilah, hadits dirumuskan dalam pengertian
yang berbeda-beda di antara pandangan para ulama. Perbedaan-perbedaan
pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan
masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu
yang dialaminya dan karena adanya perbedaan tujuan masing-masing ahli
diberbagai bidang ilmunya.3
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”. Lebih jelasnya
pengertian hadits dijelaskan oleh sudut pandang para ulama sebagai berikut :

1 M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010, hal. 20


2 Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010, hal. 60
3 Mushthafa As-Siba`i, As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyi` Al Islam, terjemahan
Djafar Abd. Muchith, Bandung : Diponegoro, 1979, hal. 70

6
a) Menurut para Ulama Hadits.
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal
dari Rasulullah baik berupa perkataan/sabda, perbuatan, ketetapan
(taqrir), sifat fisik dan tingkah laku beliau baik sebelum diangkat
menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun
sesudahnya”. Karena para ulama hadits meninjau bahwa pribadi
Nabi Muhammad itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga
segala yang berasal dari beliau baik ada hubungannya dengan
hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.4
b) Menurut para ahli ushul fiqh.
Para ushul fiqih mendefinisikan hadits sebagai segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an Al
Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan
(taqrir) beliau , yang bersangkutpaut dengan hukum syara`. Para
Ushul fiqih meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah
sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada dalam
Al-Qur’an) yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid
yang datang sesudahnya dan menjelaskan kepada umat islam
tentang aturan hidup.5
c) Menurut para Fuqaha (ahli fiqih).
Hadits yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh Nabi
Muhammad yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah
fardhu atau wajib.6
d) Menurut jumhur ulama.
Terdapat dua pengertian hadits yaitu pengertian hadits
yang terbatas dan pengertian hadit secara luas.

4 Muhammad Ajaj Al-Khathib, As-Sunnah Qabla At-tadwin, Kairo : Maktabah Wahdah,


1975, hal. 19
5 Ibid
6 Ibid

7
1) Secara Terbatas, hadits diartikan sebagai sesuatu yang
dinisbahkan kepada nabi Muhammad, baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), dan sebagainya.
2) Secara luas, hadits diartikan sesungguhnya hadits itu bukan
hanya yang dimarfukan kepada nabi Muhammad saja,
melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang maukuf
(dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat),
dan pada apa yang maqthu` (dinisbatkan pada perkataan dan
sebagainya dari tabi`in).7

Menurut pengertian diatas, pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan


kepada Nabi Muhammad SAW disebut berita yang marfu’, sedangkan yang
disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada
tabi’in disebut maqthu’.

B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an


Fungsi hadits terhadap Al Qur`an adalah sebagai bayan atau penjelas dari
Al Qur`an. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Ali Imran : 164
Artinya : Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan
Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.
Dalam ayat tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hikmah yaitu keterangan-keterangan agama yang diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad mengenai hikmah dan hukum yang dinamai Hadits atau As-
sunnah.8

7 Fatchur Rahman , Ikhtisar Mushthalah Hadits, Bandung : Al-Ma`arif, 1991, hal. 6


8 Badri Khaeruman, Op. Cit, hal. 45

8
Menurut jumhur ulama, secara terperinci fungsi hadits terhadap Al Qur`an
adalah bayan atau menerangkan dan menjelaskan Al Qur`an, yang dibedakan
secara garis besar menjadi 3, yaitu sebagai berikut :
1.      Bayan at-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-
itsbat. Yang artinya menetapkan dan memperkuat/menegaskan kembali
apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini
hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadist
yangdiriwayatkan bukhori dan muslim yang artinya sebagai berikut:
Berpuasalah kamu sesudah nelihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya. (Muttafaq `alaih).

2.      Bayan al-Tafsir


Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis
berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal),
memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat
mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
masih bersifat umum.9 Diantara contoh tentang ayat-ayat yang masih
mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya
jual beli, nikah, qhisas, hudud, dsb. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini
masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebanya,
syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Rasulullah
saw, melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah
tersebut.
Contoh fungsi hadis sebagai bayan al-tafsir yaitu: Artinya:
)‫صلّي (رواه البخارى‬
َ ُ‫صـلُّوْ ا َكمـَا َراَ ْيتُ ُمـوْ نِي ا‬
َ
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhori).
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam
Al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan
shalat adalah :

9 M. Nawawi, Pengantar Studi Hadits, Surabaya : Kopertais IV Pres, 2012, hal 40

9
Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah.
(Qs. Al Kautsar : 2).10

3.     Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’ adalah Ketentuan tambahan
dalam hal ini mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-
pokoknya  (ashl) saja.11 Hadits Rasulullah Muhammad saw, dalam segala
bentuknya  (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan
suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an. Hadits-hadits Rasul saw, yang termasuk ke
dalam kelompok ini diantaranya hadits tentang penetapan haramnya
mengumpulkan dua wanita (antara istri dengan bibinya), hukum merajam
pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi
seorang anak.12 Suatu contoh, hadits tentang mengharamkan mengumpulkan
dua wanita sepersusuan, sebagai berikut:
Artinya: Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seseorang
wanita dengan `ammah (saudari bapak)nya dan seseorang wanita dengan
khalah (saudari ibu)nya. (HR. Bukhori-Muslim)13
C. Kaidah Keshahihan Hadits
Dalam kamus besar bahasa Indonesai (KBBI), pengertian kaidah adalah
rumusan asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, patokan.14 Dalam hal
ini dihubungkan dengan keshahihan hadits berarti patokan atau aturan yang sudah
pasti yang melekat atau yang harus ada di dalam hadits yang shahih. Hadits yang
shahih menurut istilah muhaditsin adalah “hadits yang dinukil atau diriwayatkan
oelh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya (dhabit), sanadnya bersambung-

10 Badri Khaeruman, Op. Cit, hal. 49


11 M. Nawawi, Op. Cit, hal. 40
12 Badri Khaeruman, Op. Cit, hal. 53
13 Fatur Rahman, Op. Cit, hal. 49
14 Http://kbbi. Web. Id/ komputer

10
sambung sampai terikhir kepada rosulullah atau sahabat atau tabi`in, tidak
ber`illat, dan tidak janggal.15
Menurut ta`rif diatas kaedah kesahihan hadits harus memenuhi beberapa
syarat yaitu sebagai berikut :
1. Perawi bersifat `Adil.
Menurut Ibn As-Sam`ani, keadilan harus memenuhi syarat selalu
memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama, dan meninggalkan perbuatan-
perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti
pendapat pendapat salah satu mahzab yang bertentangan dengan dasar
syara`.
Dan pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan hadits
berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam persaksian (syahadah),
dikatakan adil jika terdiri atas dua orang laki-laki yang merdeka, adapun
dalam periwayatan hadits dapat dikatan adil cukup seorang saja, baik
orang laki-laki, perempuan, budal ataupun merdeka.16
Keadilan rawi merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang
untuk bertaqwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-
hal lain yang merusak harga diri (muru`ah) seseorang perawi.17
2. Perawi sempurna ingatan atau dhabit.
Dhabit ialah orang yang terpelihara, kuat ingatannya atau daya
hafal yang kuat, ingatannya lebih banyak dari kesalahannya dan tidak
pelupa serta hafal terhadap apa yang didektekan kepada muridnya dan
menguasai apa yang diriwayatkannya.18
3. Sanad-nya bersambung, matannya marfu`.
Pengertian sanad adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran, sedangkan menurut istilah sanad adalah jalan yang dapat
menghubungkan matan/isi hadits kepada nabi Muhammad saw. Dalam hal
ini sanadnya bersambung maksudnya tiap-tiap perawi saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya) hingga
15 Subhi As-shalih, (1995), Membahas ilmu-ilmu hadits, Jogjakarta: Pustaka Firdaus,
hal. 132
16 Ibid, hal. 120
17 Nurudin `Itr, (2012), `Ulumul Hadits, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 241
18 Badri Khaeruman, Op. Cit, hal. 121

11
sampai terakhir kepada nabi Muhammad saw. Matan yang marfu` adalah
sabda nabi yang disebut setelah sanad.19
4. Tanpa `Illat.
`Illat hadits ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai atau membuat cacat kesahihan hadits. `Illat pada hadits dapat
terjadi pada sanad maupun matan ataupun pada keduanya secara bersama-
sama. Namun demikian, `illat yang paling banyak terjadi adalah pada
sanad, seperti menyebutkan muttasil/yang didengar terhadap hadits yang
munqati`(tidak bersambung sandnya) atau mursal.20
5. Tidak ada kejanggalan/syadz.
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima
periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih
kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad
dalam kedhabitan atau segi-segi tarjih lainnya.21

D. Urgensi Hadits dalam Pendidikan


Seluruh umat islam, tanpa terkecuali telah sepakat bahwa hadits
merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang
sangat penting setelah Al Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat islam
sama wajibnya dengan mengikuti Al Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin
(Penjelasan) terhadap Al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits
siapapun tidak bisa memahami Al Qur’an.
Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami
Al Qur’an karena Al Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya
berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang
didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian antara

19 M. Alfatih Suryadilaga, Op. Cit, hal. 36


20 Badri Khaeruman, Op. Cit, hal. 121
21 Ibid

12
hadits dan Al Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak
bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.”22
Urgensi al-Qur’an dan Hadist merupakan dasar pendidikan 23, sehingga
Urgensi hadist terhadap pendidikan terutama Agama Islam banyak berperan.
Seperti pada masa Rosulullah SAW. yang mendasari pentingnya hadist terhadap
pendidikan contohnya adalah hadits nabi yang bermakna sebagai berikut :
“Artinya :Menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sufyan, menceritakan
kepada kami Fulaih, menceritakan kepada kami Hilal ibn ‘Ali, Dari ‘Atha’ ibn
Yasar, dari Abu Hurairat RA, Bahwa Rosulullah SAW. bersabda, Semua
ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan, “Para sahabat bertanya, “Wahai
Rosulullah! Siapa yang enggan ? Beliau menjawab, “Barang siapa menaatiku
maka dia masuk surga, dan siapa yang durhaka terhadapku maka dia yang
enggan.” (H.R. Bukhari)24

Uraian hadits diatas adalah salah satu contoh pendidikan agama islam
tentang ummat nabi yang masuk surga diakhirat nanti. Maka pentingnya hadist
terhadap agama islam adalah sebagai uraian dari pada Al-qur’an dan penjelasan
yang masih belum jelas dan meragukan dalam menjalankan agama islam,
sehingga hadits dalam pendidikan agama islam juga menjadi pedoman yang
sangat peting dalam merajut sistem kehidupan manusia.

E. Pengertian Tafsir Tarbawi

Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsir” diambil dari kata “fassara
yuffasiru tafsiran” yang berarti keterangan atau uraian. Sedangkan tafsir menurut
terminology (istilah), sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh
Manna Al-qatan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-
lafadz al-Quran, tentang petunjuk-petunjuk hukum-hukumnya baik ketika berdiri
sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya
tersusun serta hal-hal yang melengkapinya.

Menurut al-Kilby dalam kitab at-Tasliy sebagimana yang telah dikutip


oleh Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudhali. Tafsir ialah mensyarahkan al-

22 Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits Dirasah Islamiah 1 : Jakarta Grasindo, 2000,
hal. 138
23 Nizar Samsul, Hasibuan Zainal Efendi, Hadis Tarbawi Membangun kerangka
pendidikan ideal perspektif Rasulullah, Jakarta : Kalam Mulia, Cet. Ke-2, 2011 Hal. 11
24 Ibit, hal. 5

13
Quran menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
nashnya atau dengan isyarat ataupun dengan tujuannya.

Menurut Ali Hasan al-Arid tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara
mengucapkan lafadz al-Quran makna-makna yang ditunjukkan dan hukum-
hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau pun tersusun serta makna-makna yang
dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.

Sebatas yang dapat disanggupi manusia memiliki pengertian bahwa


tidaklah suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang
musyatabihat dan tidak dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui
apa yang dikehendaki oleh Allah.

Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat yang ada didalam al-Quran salah
satu diantaranya adalah di dalam ayat 33 dari surat al-Furqan. Yang artinya :
“tidaklah orang-orang kafir itu dating kepadamu ( membawa) sesuatu yang ganjil
melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasanya”.

Pengertian inilah yang dimaksud di dalam lisan al-Arab dengan “kasyf al-
mugatta” ( membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan
menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan
oleh para ulama tafsir dengan “al-idah wa al-taybin” (menjelaskan dan
menerangkan).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah menjelaskan dan


menerangkan tentang keadaan al-Quran dan berbagai kandungan yang dimilikinya
kepada apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.

Secara bahasa, tafsir tarbawi merupakan perpaduan dari dua kata yaitu
tafsir dan tarbawi. Tafsir menurut bahasa berarti menjelaskan, menyingkap dan
menampakan makna yang abstrak. Kata kedua adalah tarbawi yang berarti
pendidikan yang mengandung makna pembimbingan, pengasuhan,dan
pemeliharaan. Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan
kepada Muhammad, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.

Pengertian tafsir secara istilah sebagai al-tarbiyah tidak ditemukan dalam


al-Quran. Akan tetapi, ditemukan bahwa al-Quran menggunakan kata-kata yang
akar katanya mempunyai sumber derivasi yang sama dengan al-tarbiyah. Kata-
kata yang dimkasud ialah al-rabb, rabbayani, nurabi, ribbiyn, rabbani. Demikian
pula dalam hadis ditemukan penggunaan istilah rabbani. Meskipun kelihatannya

14
semua istilah tersebut mempunyai pola akar kata yang sama, namun masing-
masing mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.

Apabila istilah al-tarbiyah dilacak maknanya dari kata al-rabb, maka


ditemukan berbagai konotasi makna yang diketengahkan oleh para pakar bahasa
sebagai berikut :

1. Louis Ma’luf, mengartikan al-rabb sebagai


pemilik,memperbaiki,perawatan,tambah,mengumpulkan,dan
memperindah.
2. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anbari al-Qurthubi memberikan
arti al-rabb dengan pemilik,tuan,Maha memperbaiki,Maha pengatur,Maha
menambah,Maha menunaikan.
3. Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa al-rabb merupakan kata
yang seakar dengan al-tarbiyah yang mempunyai makna al-tanmiyah yang
berarti pertumbuhan dan perkembangan.

F. Metode Tafsir Tarbawi

Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa arab
menerjemahkan dengan manhaj dan dalam bahsa Indonesia kata tersebut
mengandung arti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud
(dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.
Definisi ini menggambarkaan bahwa metode tafsir al-Quran tersebut berisi
seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan.

Ketika menafsirkan al-Quran adapun metodologi tafsir adalah analisis


ilmiah tentang metode-metode menafsirkan al-Quran. Dari pemaparan di atas
dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam
menafsirkan al-Quran berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten daari awal
hingga akhir.

Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah


intelektual umat islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian tersendiri jauh setelah
tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi
tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri. Dalam perkembangan
metodologi selanjutnya, ulama-ulama mengklasifikasikan metode-metode
penafsiran al-Quran menjadi empat yaitu:

15
Metode tahliliy

Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan ayat-


ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayatayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu
mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian
ayat yang tersusun di dalam al-Qur’an. Maka, tafsir yang memakai
pendekatan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan
cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang ia
yakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-
ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama
dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam
membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil
memperhatikan konteks naskah tersebut.

Metode tahlili, adalah metode yang berusaha untuk menerangkan


arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan
ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz
lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab
turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat
para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar
belakang pendidikan dan keahliannya.

Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode tahliliy yaitu :

1. Tafsir Jami‟ al-Bayan Fi Ta‟wil Ayat al-Qur‟an karangan


Muhammad Jarir al-Thabari
2. Ma‟alim Tanzin karangan al-Bagawi
3. Al-Bahru al-Muhith karangan Abu Hayyan al-Andalusi
4. Tafsir al-Qur‟an al-Adzim karangan Abu Fida Ibnu Katsir.

Metode Ijmali

Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara


singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. ”Metode Ijmali [global]
menjelaskan ayat-ayat Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika
penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf.
Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.

16
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-
urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir
tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali
makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup
jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci
dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang
lebar.
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain
terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat
singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang
memadai.
Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali adalah :
1. Tafsir Jalalain
2. Tafsir al-Wajiz karangan al-Wahidi al-Naisaburi
3. al-Muhalla wa al-Suyuti
4. Tafsir Shofwah al-Bayan Li-Ma‟ani alQur‟an karangan Husain
Makhluf.

Metode muqaran

metode tafsir Muqaran adalah sebuah penelitian mendalam dan


pengumpulan pendapat-pendapat berkaitan dengan tafsir ayat-ayat atau
surat dalam al-Qur‟an yang memiliki hubungan tema yang sama.
Kemudian dipelajari secara mendalam untuk mengenal perkataan yang
lebih rajih(kuat).Itu semua untuk mencapai petunjuk al-Qur‟an yang
berkaitan dengan tema yang diteliti.

Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode muqaran adalah :


1. Durrat at-Tanzil wa Qurrat al-Takwil (mutiara al-Quran dan
kesejukan al-Takwil),karya al-Khatib al-Iskafi.
2. Al-Burhan fi Tajwih Mutasyabih al-Quran ( bukti kebenaran
dalam pengarahan ayat-ayat Mutasyabih al-Quran), karangan
Taj Al-Qara Al-Kirmani.

Metode Maudu’i

Metode maudu’i ialah metode yang membahas ayat-ayat al-


quran sesuai dengan tema atau judul yang telah di tetapkan. Semua ayat
yang berkaitan di himpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas
dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul,

17
kosakata dan sebagainya. Semua di jelaskan dengan rinci dan tuntas, serta
didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument yang berasal dari al-
quran, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi,dalam metode ini, tafsir al-
quran tidak dilakukan ayat demi ayat melainkan mengkaji al-quran
dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tama,
doctrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-quran .

Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat isu-isu


doctrinal kehidupan isu-isu sosial ataupun tantang kosmos untuk dikaji
dngan teori al-quran, sebagai upaya menemukan jawaban dari al-quran
terkait tema tersebut. Dari pengertisn di atas, akan timbul dua pemahaman
terkai metode maudu’i. pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam
al-quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang
merupakan tema ragam dari surat tersebut antara dengan lainnya dan juga
dengan tema tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-


quran yang di bahas suatu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-
quran dan sedapat mungkin di urut sesuai dengan urutan turunnya.
Kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk al-quran secara utuh tentang masalah yang di bahas itu.

Ciri-ciri Tafsir Maudhu’i


sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama
dari metode ini ialah:
a. Menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah
jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi,
mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah
masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari lain lain.
b. Pengkajian tema-tema yang dipilih secara tuntas dan menyeluruh dari
berbagai aspeknya sesuai dengna kapasitas atau petunjuk yang termuat di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. (Baidan, 2001: 152).

Contoh Tafsir Maudhu’i


Judul yang di ambil oleh Al-Farmawi adalah Ri’ayat Al-Yatim fi
AlQur’an Al Karim, Al-Farmawi telah mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:

18
a. Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim
sekaligus mengelompokkan ayat-ayat trsebut ke dalam Makkiyyah dan
Madaniyah. Makkiyyah sebanyak 5 ayat dan Madaniyah sebanyak 17 ayat.
b. Bertitik tolak dari ayat-ayat yang terkumpul itu, di tetapkan
subsubbahasan. Pembahasan tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan
ayat-ayat Makkiyyah dipisahkan menjadi 2 bagian, yaitu: 1) Pemeliharaan
diri/fisik anak yatim , membahas 4 ayat. 2) Masalah harta anak yatim, 1
ayat. Adapun pembahasan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Madaniyah,
terbagi ke dalam tiga subbahasan, yaitu: 1) Pentingnya pembinaan akhlak
dan pendidikan anak yatim menurut Al-Qur’an, membahas 4 ayat. 2)
Pemeliharaan harta anak yatim, 9 ayat. 3) Perintah berinfak kepada anak
yatim, 4 ayat.
c. Pada tahap pembahsan, Al-Farmawi kelihatannya memperhatikan masa
turunnya surah dan urutan ayat-ayat jika kebetulan terdapat beberapa ayat
dalam satu surah yang sedang dibahas. Munasabah (korelasi) antara ayat
dengan ayat disajikan dalam suatu kaitan yang rasional, historis, dan
semangat pedagogis. Hal tersebut dapat kita rasakan misalnya sewaktu
mengikuti penyajian yang cukup menarik surah 6 ayat):yaitu, Makkiyah
ayat tiga hubungan tentang ad-Dhuha), suatu pernyataan kepada Nabi yang
cukup menggugah bila dihubungkan dengan belakang latar Nabi, suatu
sikap yang dituntut untuk menghormati atau menyayangi anak yatim,
sedangkan ayat Semacam). 17 ayat Fajr-al surah ):berbunyi ketiga yang
kecaman Tuhan yang ditunjukkan kepada orang yang berupaya, tetapi
tidak merasa penting untuk mengurus anak yatim. Ayat yang ketiga ini
sangat menggugah perasaan orang banyak untuk segera mengurus anak
yatim, sehinnga mereka segera bertanya kepada Rasulullah apa yang
seharusnya mereka perbuat. jawaban dari pertanyaan itu diberikan Allah
pada surah Madaniyah (Baqarah-al surah 220 ayat).
Secara keseluruhan, pembahasan tertuju pada usaha menemukan
jawaban oleh ayat terhadap masalah anak yatim. Dalam contoh ini, kita
hanya menemukan penjelasan-penjelasan yang diperlukan untuk keperluan
penekanan (stressing) tertentu. Penjelasan tersebut ada kalanya dengan
menemukan hadits Nabi, kutipan-kutipan atau pendapat mufasir sendiri,
antara lain seperti berikut, yaitu: Memberikan penjelasan mengenai firman
Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 5, Al-Farmawi menerangkan bahwa
pemakaian kata “fi’ha” bukan “minha” pada ayat ini menunjukkan bahwa
pemeliharaan yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim
asuhannya yang bukan diambil dari harta asal, tetapi dari harta asal anak
yatim yang diamanahkan kepadanya. Pengertian tersebut sesuai dengan
hadits Nabi yang berbunyi: Di akhir tulisan, kesimpulan yang didapat

19
adalah menggambarkan masyarakat Islam yang bersatu dan saling
menolong, seperti sebuah bangunan yang kokoh atau laksana sebuah
tubuh. Masyarakat yang bebas dari dengki dan tidak mengabaikan
kehidupan dan nasib serta pendidikan anak yang tidak punya ayah. Hal itu
sekaligus menutup pintu terhadap kerusakan masyarakat (Syafe’i, 297-
300).

G. Karakteristik Tafsir Tarbawi


Berdasarkan dari beberapa poin dari uraian pemateri diatas menjelaskan
bahwa tafsir adalah menyingkap, menjelaskan tentng suatu yang bersifat
abstrak dan tarbawi berarti pendidikan. Sedangkan karakteristik itu sendiri
dapat diartikan sebagai ciri-ciri khusus atau mempunyai sifat khas sesuai
dengan perwatakan tertentu. Dilihat dari beberapa pemaparan materi yang
penulis telah jelaskan sebelumnya diatas penulis dapat menyimpulkan
karakteristik dari pada tafsir tarbawi adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan pendidikan. Seperti subjek pendidikan, dan materi pendidikan yang
terdapat dalam al-Quran al-karim yang dikaji melalui pendekatan tafsir agar
pendidikan atau tujuan sebenarnya dapat terwujud.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan   
Dari segi etimologi/bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya
al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu
yang lama). Bisa diartikan pula sebagai al-khabar (berita atau riwayat) dan al-
qarib (sesuatu yang dekat). Sedangkan pengertian hadits secara terminologis
adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”
Fungsi Hadits adalah sebagai bayan atau penjelas terhadap kalamullah
yaitu Al Qur`an. Dan secara garis besar fungsi hadits terbagi menjadi 3 yaitu :
1. bayan taqrir atau bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat yang artinya
menetapkan dan memperkuat/menegaskan apa yang telah diterangkan di
dalam al-Qur’an.
2. bayan tafsir, berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran global
(mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-
Qur’an yang masih bersifat umum. dan
3. bayan al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang
tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat
pokok-pokoknya  (ashl) saja.
Kaedah kesahihan hadits harus memenuhi beberapa syarat yaitu
sebagai berikut :
1. Perawi bersifat `Adil.
2. Perawi sempurna ingatan atau dhabit.
3. Sanad-nya bersambung, matannya marfu`.
4. Tanpa `Illat.
5. Tidak ada kejanggalan/syadz.

21
Dan Urgensi atau pentingnya Hadits dalam pendidikan adalah sebagai
dasar pendidikan dalam landasan syariat atau pedoman hidup sebagaimana halnya
dengan Al Qur`an.

B. Saran
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala,
karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenal Hadits.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Kuliah Al qur`an dan Hadits.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Kami pun dari penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangannya, untuk itu mohon maaf, sekaligus kami berharap saran dan kritik
yang membangun dari para pembaca semua. Semoga makalah ini nantinya
bermanfaat untuk kita semua.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin . Nata,, (2000), Al-Qur’an dan Hadits Dirasah Islamiah 1 : Jakarta


Grasindo.

Al-Khathib . Muhammad Ajaj, (1975), As-Sunnah Qabla At-tadwin, Kairo :


Maktabah Wahdah.

As-shalih . Subhi, (1995), Membahas ilmu-ilmu hadits, Jogjakarta: Pustaka


Firdaus.

As-Siba`i . Mushthafa, (1979), As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyi` Al Islam,


terjemahan Djafar Abd. Muchith, Bandung : Diponegoro.

Itr . Nurudin, (2012), `Ulumul Hadits, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi. Muhammad, (2012), Pengantar Studi Hadits, Surabaya : Kopertais IV


Pres.

Khaeruman . Badri, (2010), Ulum Al-Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia.

Rahman . Fatchur, (1991), Ikhtisar Mushthalah Hadits, Bandung : Al-Ma`arif.

Samsul. Nizar, Hasibuan Zainal Efendi, (2011), Hadis Tarbawi Membangun


kerangka pendidikan ideal perspektif Rasulullah, Jakarta : Kalam
Mulia,Cet.Ke-2.

Suryadilaga . M. Alfatih, (2010), Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras.

23

Anda mungkin juga menyukai