Anda di halaman 1dari 23

Studi Qur’an Hadits

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qur’an Hadits


Dosen Pengampu :
Moh.Ali Abd.Somad,S.Ag.,M.PdI NIDN

KELOMPOK 4

Disusun Oleh:
1.Titi Intan Permatasari (126101203189)
2.Nur Hidayah (126101203227)
3.M Gilang Darmawan (126101203211)
4.Angelia Fitri Kasanah (126101203230)

SEMESTER 1

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH 1E


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
OKTOBER 2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang. Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Studi Qur’an
Hadits” Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW yang kita nanti syafaatnya di hari penghabisan kelak..
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. H. Maftukhin, M. Ag. selaku Rektor IAIN Tulungagung, yang telah melindumgi,
menaungi, dan memberikan sarana dan prasarana serta izin dalam pembuatan skripsi.
2. Dr. H. Ahmad Muhtadi Anshor, M. Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum
yang telah bekerja keras mengurus dan mengatur fakultas kami.
3. Moh.Ali Abd.Shomad,S.Ag.,M.PdI NIDN,selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Qur’an
Hadits yang tulus dan ikhlas memberikan bimbingan dan pembelajaran kepada kami.
4. Dan semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan yang tidak dapat
disebutkan satu-satu, kami mengucapkan terima kasih
Makalah ini disusun dan dirancang sebagaimana tugas yang telah diberikan. Harapan
kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dan kedepannya
dapat menjadi lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Tulungagung, 15 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................2

BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................3
A. Pengertian Munasabah...........................................................3
B. Cara Mengetahui Munasabah................................................4
C. Macam-Macam Munasabah...................................................4
D. Manfaat Munasabah...............................................................8
E. Pendapat Ulama’ Mengenai Munasabah................................8
F. Pengertian Periwayatan Hadist...............................................9
G. Ketentuan Periwayatan Hadis Secara Makna………………9
H. Periwayatan Hadist Pada Zaman Nabi……………………..12
I. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat……………………..13
J. Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in…………………….14

BAB III
PENUTUP......................................................................................15
A. Kesimpulan............................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. alQur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, namun yang menjadi masalah dan pangkal
perbedaan adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas dalam memahami alQur’an. Karena
pada kenyataannya tidak semua yang pandai bahasa Arab, sekalipun orang Arab
sendiri,mampu memahami dan menangkap pesan Ilahi yang terkandung di dalam al-Qur’an
secara sempurna. Terlebih orang ajam (non-Arab). Bahkan sebagian para sahabat nabi, dan
tabi’in yang tergolong lebih dekat kepada masa nabi, masih ada yang keliru menangkap
pesan al-Qur’an.Kesulitan-kesulitan itu menyadarkan para sahabat dan ulama generasi
berikutnya akan kelangsungan dalam memahami al-Qur’an. Mereka merasa perlu membuat
rambu-rambu dalam memahami al-Qur’an. Terlebih lagi penyebaran Islam semakin meluas,
dan kebutuhan pada pemahaman al-Qur’an menjadi sangat mendesak. Hasil jerih payah para
ulama itu menghasilkan cabang ilmu al-Qur’an yang sangat banyak. Adanya permasalahan
tersebut menjadi urgensi dari ilmuilmu al-Qur’an sebagai sarana menggali pesan Tuhan, serta
untuk mendapat pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka
permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Pengertian Munasabah
2. Cara Mengetahui Munasabah
3. Macam-Macam Munasabah
4. Manfaat Munasabah
5. Pendapat Ulama’ Mengenai Munasabah
6. Pengertian Periwayatan Hadist
7. Ketentuan Periwayatan Hadis Secara Makna
8. Periwayatan Hadist Pada Zaman Nabi
9. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
10. Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan menjawab semua permasalahan sebagaimana
dipaparkan dalam rumusan masalah sebelumnya yaitu :
1. Pengertian Munasahabah
2. Cara Mengetahui Munasabah
3. Macam-Macam Munasabah
4. Manfaat Munasabah
5. Pendapat Ulama’ Mengenai Munasabah
6. Pengertian Periwayatan Hadist
7. Ketentuan Periwayatan Hadis Secara Makna
8. Periwayatan Hadist Pada Zaman Nabi
9. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
10. Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in

2
BAB II
PEMBAHASAN

Munasabah Dalam Al-Qur’an serta Periwayatan Hadist

Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia yang menghendaki kebahagiaan, baik
di dunia lebih-lebih di akhirat. Seluruh ajaran Islam pada prinsipnya telah tertuang dalam
kitab suci ini. Isinya sangat universal, sesuai untuk segala zaman dan makan. Sebagai kitab
suci yang diagungkan oleh umat Islam, tentulah dalam memahami Al-Qur’an tidak semudah
memahami kitab-kitab yang lain. Munculnya ilmu tentang Al-Qur’an (baca: Ulumul Qur’an)
sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an merupakan bukti bahwa kajian tentang Al-
Qur’an bukanlah hal sepele yang dapat dipahami dengan metode yang asal. Meskipun istilah
Ulumul Qur’an baru muncul pada abad kelima Hijriyah, namun benih-benih itu telah muncul
sejak masa Nabi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan gairah para sahabat untuk mengkaji
Al-Qur’an dengan bersungguh-sungguh. Ulumul Qur’an sebagai metode untuk memahami
Al-Qur’an pada perkembangan selanjutnya ternyata menjadi disiplin ilmu yang sangat
penting diantara ilmu-ilmu lain yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Kemudian
muncullah istilah-istilah baru di dalam pembahasannya, seperti ilmu asbab an-nuzul,
muhkam mutasyabih, ilmu qira’at, nasikh-mansukh, dan lain sebagainya.
Seiring dengan berkembangnya ilmu tersebut, permasalahan baru pun muncul.
Turunnya Al-Qur’an selama 22 tahun 2 bulan 22 hari secara berangsur-angsur memicu
perdebatan di antara ulama peneliti Al-Qur’an. Timbul pertanyaan apakah setiap ayat atau
surat yang diturunkan secara berangsur-angsur itu mempunyai kaitan antara satu sama lain
ataukah tidak. Dalam pembahasan selanjutnya akan kami bahas mengenai Ilmu Munasabah.
Yakni salah satu bagian dari disiplin Ulumul Qur’an yang digunakan untuk mengetahui
kaitan atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain atau suatu surat dengan surat
yang lain. Dan juga, selain menjelaskan tentang definisi dari munasabah, di dalam makalah
ini juga akan dijelaskan mengenai sikap para ulama terhadap munasabah, cara mengetahui
munasabah, macam-macam munasabah, dan manfaat munasabah beserta contohnya.

3
A. Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi berarti al-musyakalah
(keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut:
Fulan yunasib Fulan, berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan
menyerupainya. Dari kata itu lahir pula kata an-nasib yang berarti kerabat yang mempunyai
hubungan, seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Sedangkan Muhammad Quraish
Shihab menjelaskan munasabah berarti al-musyaakalah dan al-muqaarabah yang artinya
keserasian dan kedekatan. Kemudian beliau menyatakan bahwa munasabah adalah adanya
keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surat, dan kalimat yang mengakibatkan
adanya hubungan. Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit
ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari
penjelasannya di ayat atau di surat lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Karena
jika ayat dipahami secara parsial (pemahaman suatu ayat tanpa menyertakan pemahaman
terhadap ayat lain) akan sangat mungkin terjadi kesalahpahaman.
Adapun menurut pengertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar
ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Qur’an)” (Manna’ Al-Qaththan).
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti
akal itu akan menerimanya” (Az-Zarkasyi). “Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-
Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna
dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung” (Ibn Al ‘Arabi).
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan
atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat” (Al-
Biqa’i).

B. Cara Mengetahui Munasabah


Pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihady, artinya pengetahuan tentang itu
ditentukan berdasarkan ijtihad para ulama. Nabi tidak menetapkan pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu tidak ada kewajiban untuk mencari munasabah pada setiap ayat atau surat.
Walaupun tidak ada keharusan untuk menemukan munasabah, namun ada empat langkah
yang perlu diperhatikan bagi para peminat munasabah. Yakni: Harus diperhatikan tujuan

4
pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian, memperhatikan uraian ayat-ayat yang
sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat, menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut,
apakah ada hubungannya atau tidak. Setelah kita memahami uraian-uraian ayat, maka kita
mulai menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa
ayat atau surat ini mempunyai atau tidak mempunyai hubungan satu sama lain, dan yang
terakhir, dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan
bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

C. Macam-Macam Munasabah
1. Munasabah Antara Surat dengan Surat Sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antara satu surat dengan surat
sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat
sebelumnya. Sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 terdapat ungkapan
“alhamdulillah”. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 berikut ini :
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS. Al-Baqarah:
152). Kemudian ungkapan “rabb al-‘alamin” dalam surat Al-Fatihah berkorelasi dengan
firman Allah berikut ini: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (QS Al-
Baqarah: 21-22).
Sedangkan dalam surat Al-Baqarah, terdapat ungkapan “dzalik al-kitab la raiba fih” yang
juga berkorelasi dengan ayat di dalam surat Ali Imran sebagai berikut: “Dia menurunkan Al-
Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan
sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil” (QS Ali Imran: 3).
2. Munasabah Antara Nama Surat dengan Isi yang Dikandungnya
Nama-nama surat yang ada dalam Al-Qur’an mempunyai kaitan dengan pembahasan
yang ada pada isi surat. Misalnya surat Al-Baqarah, isinya banyak menceritakan lembu.
Contoh lainnya adalah surat Al-Fatihah yang memiliki dua nama. Pertama disebut Al-Fatihah

5
karena posisinya di awal Al-Qur’an. Kedua disebut Ummul Kitab, karena isinya memuat
berbagai tujuan Al-Qur’an dan seterusnya.
3. Munasabah Antar Bagian Suatu Ayat
Munasabah antar bagian ayat sering berbentuk pola munasabah at-tadhadat
(perlawanan) seperti berikut ini : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa yang
kamu kerjakan” (QS Al-Hadid: 4).
Di dalam surat Al-Hadid tersebut terdapat korelasi antara kata masuk (yaliju) dan kata keluar
(yakhruju), serta kata turun (yanzilu) dan kata naik (ya’ruju).
4. Munasabah Antar Ayat yang Letaknya Berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, namun
juga sering terlihat tidak jelas. Munasabah yang terlihat jelas, pada umumnya dapat diketahui
bahwasanya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan
tasydid (penegasan). Pola ta’kid tersebut dapat ditemukan di dalam surat Al-Fatihah ayat 1-2
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, “Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam” di dalam ayat pertama terdapat sifat Allah “Maha
Pemurah” dan “Maha Penyayang” yang kemudian dikuatkan oleh ungkapan ayat berikutnya
“Tuhan semesta alam”.
Pola tafsir apabila makna satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat sesudahnya.
Sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 2: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Kata “mereka yang bertakwa”
pada ayat di atas kemudian ditafsiri dengan ayat sesudahnya: “(yaitu) mereka yang beriman
pada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka”.
Pola i’tiradh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam
i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang
berhubungan dengan maknanya. Seperti di dalam surat An-Nahl: 57: “Dan mereka
menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan, Mahasuci Allah, sedang untuk mereka sendiri
(mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” Kata “Mahasuci

6
Allah” di atas merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarnya. Kata tersebut
merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi
Allah.
Pola munasabah berikutnya, yakni yang menggunakan pola tasydid. Yaitu apabila suatu ayat
atau bagian ayat mempertegas arti ayat sebelumnya. Misal: “Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus”, “yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka;
bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah:
6-7).
Di dalam surat Al-Fatihah di atas, pada ayat keenam terdapat ungkapan “jalan yang lurus”
yang kemudian ayat tersebut ditegaskan oleh ayat selanjutnya yakni “bukan jalan mereka
yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”.
Sedangkan untuk munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui hubungan
makna (qara’in maknawiyyah) yang terlihat dalam empat pola munasabah, yaitu
perbandingan (at-tanzir), perlawanan (al-mudhadat), penjelasan lebih lanjut (istithrad), dan
perpindahan (at-takhallush).
At-Tanzir yaitu membandingkan dua hal yang sebanding, menurut kebiasaan orang yang
berakal. Misal: “Itu adalah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka itu
akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan mendapat keampunan
serta rezeki yang mulia” (QS Al-Anfal: 4). Dan ayat berikutnya adalah: “Sebagaimana
Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran (berangkat perang), padahal
sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya” (QS Al-
Anfal: 5).
Dalam pembahasan ini terdapat dua keadaan yang sebanding, yaitu mereka yang mengikuti
perintah Tuhannya akan mendapat imbalan sesuai dengan kerjanya. Imbalan tersebut adalah
kebaikan dunia dalam bentuk materi dari harta rampasan, dan imbalan akhirat adalah pahala
yang berlipat ganda serta keampunan dari pemberi perintah (Allah).
Perlawanan (Al-Mudhodat), misalnya di dalam surat Al-Baqarah ayat 6 menjelaskan tentang
sifat-sifat orang kafir, sedangkan pada ayat sebelumnya menjelaskan sifat dari orang-orang
mukmin.
Pola peralihan kepada penjelasan lain (Al-Istithrad). Contohnya seperti berikut ini: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian (nikmat) untuk menutupi auratmu

7
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (senantiasa bertakwa kepada Allah)
itulah yang lebih baik” (QS Al-A’raf: 26). Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah,
sedang ditengahnya dijumpai kata “libasut taqwa” yang mengalihkan perhatian pada
penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini, munasabah yang dapat dilihat adalah antara menutup
tubuh atau aurat dengan kata-kata takwa.
Pola yang terakhir adalah peralihan (At-Takhollus). Yang dimaksudkan dengan peralihan
adalah peralihan pembicaraan terus menerus dalam suatu ayat dan tidak kembali lagi pada
pembicaraan pertama. Misalnya: “Apakah mereka tidak melihat bagaimana unta itu
diciptakan, dan melihat kepada bagaimana langit di tinggikan”. Ayat ini mengandung
pembicaraan terus menerus. Yakni mulai dari unta, langit, dan seterusnya.

5. Munasabah Antara Suatu Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat di Sampingnya


Pada surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 20, Allah memulai penjelasan tentang kebenaran dan
fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat yang berikutnya
dijelaskan tentang tiga kelompok manusia beserta sifat-sifatnya seperti mukmin, kafir, dan
munafik.
6. Munasabah Antara Pemisah (Fashilah) dan Isi Ayat
Setidaknya ada dua tujuan pada jenis munasabah ini. Yang pertama adalah menguatkan
(tamkin) seperti dapat diketahui dalam surat Al-Ahzab ayat 25: “Dan Allah menghalau
orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak
memperoleh keuntungan apapun. Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan. Dan Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
7. Munasabah Antara Awal Surat Dengan Akhir Surat yang Sama
Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashash, pada awal surat yakni pada ayat
1-32 menjelaskan perjuangan Nabi Musa, sementara di akhir surat (ayat 83-88) memberikan
kabar gembira kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang sedang menghadapi tekanan dari
kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Mekah (di awal surat tidak menolong orang yang
berdosa, sedangkan di akhir surat, Nabi Muhammad s.a.w. dilarang menolong orang-orang
kafir). Munasabah tersebut terletak pada kesamaan kondisi antara Nabi Musa dan Nabi
Muhammad s.a.w. yang sama-sama mengalami berbagai tekanan.

8
8. Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya
Contoh dari munasabah ini dapat ditemukan pada ayat terakhir surat Al-Ahqaf dengan
awal ayat pada surat Muhammad. Pada ayat terakhir surat Al-Ahqaf disebutkan: “Pada hari
mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal
(di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak
dibinasakan kecuali kaum yang fasiq”. Pada ayat pertama surat Muhammad dikatakan:
“(Yaitu) orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi dari jalan Allah, Allah menghapus
segala amal-amal mereka.”
Pada ayat terakhir surat Al-Ahqaf dijelaskan mengenai ancaman dan siksa bagi orang-orang
fasiq, sedangkan pada ayat pertama surat Muhammad dijelaskan karakteristik dan ciri-ciri
orang fasiq.
9. Munasabah Karena Adanya Keterkaitan atau Adanya Suatu Peristiwa
Contohnya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 245 dengan surat Ali Imran ayat 181.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 245 disebutkan: “Siapakah yang mau memberikan pinjaman
kepada Allah, dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka
Allah akan melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan berlipat ganda. Allah
menyempitkan dan melapangkan rezeki dan kepada-Nya kamu dikembalikan”. Kemudian di
dalam surat Ali Imran ayat 181 disebutkan: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya. Kami akan
mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang
benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): Rasakanlah olehmu azab yang
membakar”.
Untuk memahami mengapa Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 181 maka ayat
tersebut harus dikorelasikan dengan surat Al-Baqarah ayat 245. Dari penjelasan tersebut
menunjukkan bahwasanya untuk memahami surat Al-Baqarah ayat 245 dan surat Ali Imran
ayat 181 maka harus dimunasabahkan keduanya.

D. Manfaat Munasabah
Az-Zarkasyi menjelaskan manfaat munasabah, yaitu “menjadikan sebagian
pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat,
bentuk susunannya kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang

9
amat kokoh.”Sementara Abu Bakar ibn al-Arabi menerangkan bahwa kegunaan munasabah
“dapat mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat satu dengan yang lain sehingga
semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur
merupakan ilmu yang besar.”
Sedangkan menurut Sayyidina Utsman bin Affan, terdapat tiga kegunaan munasabah,
yakni: Pertama, dari sisi balaghah, keterkaitan antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan
yang indah dalam tata bahasa Al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan, dan
keindahan kalimat yang teruntai akan menjadi hilang. Kedua, munasabah dapat memudahkan
orang dalam memahami makna ayat atau surat. Ketiga, sebagai ilmu kritis, munasabah akan
sangat membantu seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam Al-Qur’an diwakili oleh
Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras menentang menggunakan munasabah untuk menafsirkan
ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an. Ia mengatakan, “maka termasuk usaha yang tidak
perlu dilakukan adalah mencar-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.”
Karena menurutnya, “Al-Qur’an dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya
mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah) saja.
Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan memaksakan diri
mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tafshil.”
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, juga kurang setuju dengan analisis munasabah
dan menolak menjadikan munasabah sebagai bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ia tidak
setuju dengan mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan Al-Qur’an.

E. Pendapat Ulama’ Mengenai Munasabah


Lahirnya teori tentang korelasi ini (baca munasabah) bermula dari kenyataan bahwa
sistematika Al-Qur’an sebagaimana di dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan
kronologis turunnya surat. Itulah yang menjadikan perbedaan pendapat di antara para ulama’.
Ada tiga pendapat yang berbeda mengenai tertib surat dalam Al-Qur’an , yaitu: Tauqify,
menurut jumhur ulama’ bahwa tertib surat sebagaimana yang dijumpai dalam mushaf
sekarang ini adalah tauqify alasannya dikarenakan setiap tahun Jibril datang menemui Nabi
dalam rangka mendengarkan atau menyimak bacaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi,
selain itu pada mu’aradlah yang terakhir dihadiri oleh Zaid bin Tsabit dan di saat itu Nabi

10
membacanya sesuai dengan tertib surat sekarang ini. Alasan berikutnya adalah adanya
pendapat bahwa Nabi sering membaca Al-Qur’an dengan urutan surat seperti sekarang ini.
Ijtihady, kelompok ini berkata demikian berdasarkan argumen bahwa tidak ada petunjuk
langsung dari Rasulullah s.a.w. tentang urutan surat dalam Al-Qur’an, terdapat sahabat yang
pernah mendengar Rasul membaca Al-Qur’an dan susunan suratnya berbeda dengan susunan
yang sekarang ini. Maka dari itu kemudian muncullah empat buah mushaf yaitu Mushaf Ali,
Mushaf Ubay, Mushaf Ibn Mas’ud, dan Mushaf Ibnu Abbas. Argumen yang terakhir dari
kelompok ini adalah adanya perbedaan pada catatan mushaf sahabat sehingga hal ini
membentuk asumsi bahwa susunan surat tidak mendapatkan petunjuk resmi dari Nabi.
Tauqifiy dan Ijtihady, pendapat ketiga ini menyatakan bahwa urutan Al-Qur’an sebagian
tauqifiy dan sebagian lagi ijtihady. Ini berdasarkan bahwasanya nama-nama surat di dalam
Al-Qur’an tidak semuanya diberikan oleh Allah, sebagian nama surat ada yang diberi nama
oleh Nabi, dan bahkan ada yang diberi nama oleh sahabat.
Ada yang berpendapat bahwa surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran diberi nama
langsung oleh Allah, sedangkan surat Thaha dan Yasin merupakan nama yang diberikan oleh
Nabi, dan surat Al-Baro’ah merupakan nama surat yang diberikan oleh sahabat.
Pendapat pertama (tauqify) ini didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu
pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua
didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan ibn Al-Faris.
Pendapat yang terakhir dianut oleh Al-Baihaqi.

F. Pengertian Periwayatan Hadist


Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhori dan
shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat
al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan
periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa
disebut dengan riwayat.
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis
ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak
meriwayatkan hadis tersebut apbila menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-

11
katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yanh hanya sesuai dengan
pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan
hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah
diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan
rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadis”.
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai
makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits adalah proses
penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah
dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan
disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayat tersebut.

G. Ketentuan Periwayatan Hadis Secara Makna


Membicarakan hadist harus bertolak dari sejarah. Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis
ditulis oleh para sahabat nabi. Hadis nabi disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain
lebih banyak berlangsung secara lisan. Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara
lafal oleh sahabat sebagaipertama hanyalah hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang hadis
yang tidak dalam bentuk sabda hanya di mungkinkan dapat diriwayatkan secara makna. [5]
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan
kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis.
Adapun Sahabat yang membolehkan periwayatan hadis secara makna adalah:
1. ‘Abd Allah ibn Mas’ut
Dalam meriwatkan hadis beliau menggunakan kata-kata”Bersabda Rasulullah SAW
begini,atau seperti itu,atau mendekati pengertian ini.
2. ‘Ainsyah r.a.
Dalam periwayaan hadis dengan redaksi yang berbeda,namun maknanya sama tidak
mengapa yaitu boleh dilakukan.

12
Dikalangan tabi’in dan ulama yang membolehkan periwayatan hadis secara makna
adalah Al-Hasan al-bashri,Ibrahim al-Nakha’i, dn ‘Amir al-Sya’bi.

Beberapa Ketentuan Dalam Periwayatan Hadis Secara Makna:


Pada masa Abu baker r.a. dan Umar r.a.periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak
akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain. Dan Kebanyakan ulama
hadis membolehkan periwayatan hadis secara makna meskipun dilakukan oleh selain
sahabat,ketentuan-ketentuan yang disepakati para ulama hadis adalah:

A. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar- benar
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam.
B. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya karena lupa
susunan secara harfiah.
C. Yang diriwatkan dengan makna bukanlah sabda nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya
ta’abbudi,seperti bacaan zikir,doa azan’takbir dan syahadat,dan juga bukan sabda nabi yang
dalam bentuk jawami”al-kalim
D. periwayatan yang meriwayatkan hadis secara makna,atau yang mengalami keraguan
akan susunan matan hadis yang diriwayatkannnya,agar menambakan kata-kata, atau yang
semakna dengannya,setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
E. kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas padas masa sebelum
dibukannya,maka periwayatan hadis harus secara lafaz.[6]

F. Cara – Cara Periwayatan Hadis


Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara [7]penerimaan dan
penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
· As-Sama’ Al-Mukatabah
· Al-Qira’ah Al-I’lam
· Al-Ijazah Al-Wasiyyah
· Al-Munawalah Al-Wijadah

G. Macam-MacamPeriwayatanHadits

13
Macam-Macam Periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
A.Riwayat Al-Aqran dan Mudabbaj
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang
sebaya umurnya atau yang sama-sama belajar dari seorang guru, maka
periwayatannya disebut riwayat al-aqran.sedangkan jika masing-masing rawi yang
segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits, periwayatannya disebut riwayat
mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa terjadi untuk setiap thabaqhah rawi,
sahabat, tabi’in,dan lain-lain.
B.Riwayat Al-Akabir an’ Al-Ashaghir
Maksudnya adalah periwayatan hadis oleh seorang yang lebih tua atau yang lebih
banyak ilmunya kepada orang yang lebih muda atau lebih sedikit ilmunya. Seperti
contoh, riwayat shahabat dari tabi’in (Ibn ‘Abbas dari Ka’ab al-Akhbar), tabi’in dari
tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari Malik), ayah dari anak (Ibn Abbas dari Fadhal,dll.

C.RiwayatAn’ At-Tabi’in ‘An Ash-Shahabat


Maksudnya periwayatan seorang sahabat yang menerima hadist dari seorang
tabi’in yang telah menerima hadis dari sahabat lain. Seperti contoh ,riwayat Sahal ibn
Sa’ad (sahabat) yang menerima hadist dari Marwan ibn Hakam (tabi’in) yang
menerima hadist dari Zaid ibn Tsabit (Sahabat).

D. Riwayat As-Sabiq Dan Riwayatal-Lahiq


Apabila dua orang rawi pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang
guru, kemudian salah seorang darinya meninggal dunia, namun sebelum meninggal
dunia ia pernah meriwayatkan hadits tersebut. Maka riwayat rawi yang meninggal
tersebut disebut riwayat as-sabiq, sedangkan riwayat yang disampaikan oleh rawi
yang meninggal lebih akhir tersebut disebut riwayat al-lahiq.

E.Riwayat Musalsal
Dalam bahasa arab kata musalsal artinya tali-temali. Maksudnya terdapat satu
sifat, keadaan atau perkataan yang selalu sesuai, bias terjadi pada rawi dan pada
periwayatannya. Musalsal fi al-riwayah dapat mengenai:

14
a) Shighat meriwayatkan hadits, yakni bila masing-masing rawi yang meriwayatkan
hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat sami’tu, haddatsaniy, dan lain-
lain, rawi yang kemudian pun melakukan hal yang demikian.
b) Masa meriwayatkan, misalnya meriwayatkan suatu hadits selalu pada masa tertentu.
c) Tempat meriwayatkan, yakni hadits selalu diriwayatkan atau dibacakan di tempat-
tempat tertentu.

F.Riwayat Mutafiq Dan Muttariq


Apabila ada penyesuaian riwayat antara rawi yang satu dengan yang lain
mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan maupun
tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut disebut
muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq. Misalnya rawi yang bernama
Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn Salamah.
G.Riwayat Mu’talif Dan Mukhtalif
Apabila terjadi kesamaan nama rawi, kuniyah dan laqab itu pada bentuk tulisan
sedangkan pada lafazh atau ucapannya tidak disebut mu’talif dan sebagai lawannya
disebut mukhtalif. Misalnya, rawi Sallam (dengan satu huruf yang dirangkap)
tulisannya sama dengan Salam (tidak ada huruf yang dirangkap).

H.Periwayatan Hadist Pada Zaman Nabi


Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah,
menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai
sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala
aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan
disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh
sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi
mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan
apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-
Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada
perintah-perintah Nabi SAW.

15
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. [8]Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan
sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:

1. umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita
yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka
‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan
memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera
menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat
Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat
memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi.

2. Malik bin al-Huwayris menyatakan :


‫ا ر ا ي‬QQ‫ق فلم‬QQ‫ا ر في‬QQ‫ا ن ر حيم‬QQ‫ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ ك‬
‫ال ة‬QQ‫ الص‬Q‫رت‬QQ‫ا ذاحض‬QQ‫لؤا ف‬QQ‫ؤ هم ؤ ص‬QQ‫ؤا فيهم ؤ علم‬QQ‫ؤ ن‬QQ‫ؤ ا فك‬QQ‫ ا ر جع‬: ‫شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل‬
)‫(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث‬.‫فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم‬
Artinya : Saya (Malik bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang
kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah
seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada
para keluarga kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga
kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
3. Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:
‫ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل هللا ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا‬
‫يكذ بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب‬
Artinya : Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw.
(Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi
ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis
Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan
(hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.

16
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat
tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima
melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan
itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada
orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah
sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan
kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah
dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi
menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin
yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah,
siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu
dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan
muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan
hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam.

I. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat


Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-
sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada

17
umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup,
yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek
kehidupan umat.
kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi
yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq kemudian
disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Aliy bin Abiy Thalib
keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan
periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.[9]
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW.
Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal
lafazh asli dari Nabi SAW.

J.Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in


Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan
hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang
dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu
mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir
periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli
hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan
kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka.

18
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Ilmu munasabah merupakan salah satu bagian dari disiplin Ulumul Qur’an yang
berfungsi untuk mengetahui relasi baik antara suatu ayat dengan ayat yang lain, maupun
suatu surat dengan surat yang lain, dan seterusnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Adapun munculnya ilmu ini merupakan solusi atas pertanyaan orang-orang yang menyatakan
bahwasanya tidak ada keselarasan dan keserasian di dalam Al-Qur’an. padahal di sisi lain Al-
Qur’an memiliki pembahasan yang saling berkaitan. Ilmu ini menjadi sangat penting karena
dapat membantu para mufasir untuk memahami kandungan yang terdapat di dalam Al-
Qur’an. Karena, ada kalanya suatu pengertian dalam surat membutuhkan penjelasan dari
pengertian surat yang lain.
Ditinjau dari segi linguistik, dengan menggunakan ilmu munasbah maka dapat diketahui
mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu
dengan yang lainnya, serta penyesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
Bahkan Jalaluddin As-Suyuthiy, salah seorang pengarang Tafsir Jalalain, mengatakan bahwa:
“Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia, sedikit sekali para ahli tafsir yang menaruh
perhatian pada ilmu tersebut. Hal ini disebabkan karena sangat halusnya ilmu tersebut. Orang
yang paling sering mengungkapkannya adalah Imam Fakhruddin. Ia mengatakan dalam
tafsirnya, banyak sekali bagian-bagian halus dari al-Quran yang tersimpan dalam susunan
ayat dan hubungan-hubungannya”.Periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan
hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah
diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan
rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan
kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist adalah
mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna
boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan
susuna matan hadist,serta periwayatan secara makna harus secara lafadz,

19
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995.


Assa’idi, Sa’dullah, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,1996.
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis, Yogyakarta: Grha Guru, 2011.
Mbah Duan, Periwayatan Hadis ,(Online), (http://www.Mbahduan. Blogspot. Com, diakses 15
maret 2013)
https://www.google.co.id/amp/s/dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/munasabah-dalam-al-
quran/amp/

20

Anda mungkin juga menyukai