KELAS : MTK1
KELOMPOK : 6
Disusun Oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah pertama-tama kami panjatkan puji dan puja syukur atas rahmat dan
kehadirat Allah swt. Karena tanpa karunianya kami tidak akan bisa menyelesaikan
Makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah kami yaitu “ILMU MUHKAM
DAN MUTASYABIH”.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada Dr. H.
Abdullah B, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Ulumul Al-Qur’an yang
membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam pembuatan makalah ini, serta
kami mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang selalu setia membantu dalam
hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami
membahas tentang Ilmu Muhkan dan Mutasyabih.
Makalah ini mungkin jauh dari kata sempurna. Oleh karena keterbatasan waktu
dan kemampuan kami, maka kami mengharapkan kritik & saran dari para pembaca agar
pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna
khususnya bagi bagi pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar Belakang..........................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................6
C. Tujuan......................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7
Kesimpulan..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan wujud dari gagasan, kehendak, dan kekuasaan Allah
SWT sebagai Dzat yang tidak berbatas ruang dan waktu, karenanya upaya manusia
dalam memahami kehendak-Nya terkerangkeng oleh kemampuan dan pengetahuan
manusia yang terbatas. Tidak mudah untuk menjelaskan gagasan-Nya, namun bukan
suatu hal yang mustahil juga bagi manusia untuk menjelaskan gagasan-Nya1
walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Namun, redaksi ayat-ayat
Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya dengan pasti, kecuali oleh pemilik redaksi
tersebut yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, wajar saja apabila terjadi perbedaan atau
variasi dikalangan para mufassir dalam memahami AlQur’an sebagai firman-Nya yang
mengandung nilai-nilai kebenaran yang selalu sesuai dengan ruang dan waktu.2
Untuk itu para mufassir dengan berbagai latar belakang pendidikannya
mencoba menuliskan tafsir-tafsir Al-Qur’an, dimana salah satu alat untuk lebih
memahami kurang lebih empat kali lipat dari 309.800 kata dalam Al-Qur’an yang
memiliki empat dimensi makna lahir (eksoteris), bathin (esoteris), serta memiliki had
dan matha, adalah menguasai 77.450 cabang ilmu yang terkait langsung dengan Al-
Qur’an.3 Salah satu persoalan Ulum Al-Qur’an yang dirasa penting untuk mendorong
dan membantu para mufassir untuk mendefinisikan secara tepat, sesuai dengan
kandungan ayat-ayat tersebut adalah perihal muhkam dan mutasyabih. Ilmu ini juga
berguna dalam penafsiran untuk mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam ayat-
ayat-Nya sesuai dengan kemampuan, sehingga dalam penafsirannya bisa terungkap
baik aspek materi, tujuan, dan tingkat kebutuhan terhadapnya,4dan untuk membantu
memberikan pemahamanlebih kepada masyarakat muslim pada umumnya dalam
memahami AlQur’an.
Kata muhkam diambil dari kata ahkama yang artinya mencegah, al hukmu
artinya memisahkan yang haqq dan bathil. Maka kata hikmah artinya mencegah
pelakunya dari hal yang tidak layak. Dan muhkam artinya diyakinkan atau dipastikan.
Dengan demikian muhkam secara bahasa yaitu sesuatu yang dikokohkan, jadi kalam
1
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Stukturalisme, Semantik, Semiotik,
Hermenutik), Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm.10
2
Quraish Shihab, Mengebumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1999, hlm.75
3
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Tafakur, Bandung, 2009,hlm. 28
4
Muhammad Anwar Firdaus, Membincang Ayat-Ayat Dan Mutasyabih, Ulul Albab Volume 16, No.1, UIN Maulana
Malik Ibrahim, Malang, 2015, hlm. 87
4
muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan demikian Allah SWT
mensifati Al-Qur’an bahwa seluruh isinya adalah muhkam. Ketika Al-Qur’an dikatakan
seluruhnya muhkam, maksudnya adalah Al-Qur’an kata-katanya kokoh, fasih, indah,
jelas dan membedakan antara yang haqq dan bathil atau antara yang benar dan yang
dusta.5
Mutasyabih secara bahasa berarti syubhah, yakni adalah keadaan dimana
salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan karena ada perbedaan diantara
keduanya secara konkret maupun abstrak. Dikatakan pula mutamatsil (sama atau
serupa) dalam perkataan dan keindahan. Dan dengan ini Allah SWT mensifati Al-
Qur’an seluruhnya mutasyabih, maksudnya adalah sebagian kandungan Al-Qur’an
serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahan, dan sebagian
membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.6
Pengertian muhkam dan mutasyabih diatas merupakan pengertian umum yang
tidak menyisakan perdebatan bagi para ulama. Namun ketika term ini mulai diartikan
secara terminologi menimbulkan perdebatan diantara para ulama. Sebagaimana ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan ayat muhkam dan mutasyabih terdapat dalam surah Ali
Imran ayat 7 yang artinya “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Sejak kelahirannya 15 abad yang lalu hingga sekarang, ummat Islam selalu
menghadapi persoalan kemanusiaan yang kompleks dan semakin berkembang
terutama dalam persoalan hukum, sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keyakinan.
Karnanya penafsiran Al-Qur’an yang disesuaikan dengan zamannya sangat
dibutuhkan untuk menjawab persoalan-persoalan baru selama pemahaman dan
penafsiran Al-Qur’an dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan kesadaran. Oleh
karena itu penulis menjadi tertarik membahas penafsiran mengenai ayat-ayat
mutasyabihat dari sudut pandang dua mufassir yang karya nya sama-sama dianggap
5
Ansori Lal, Ulumul Qur’an (Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan), PT RajaGrafindo Pustaka, Jakarta, 2013, hl.
133
6
Ibid, hlm. 134
5
sebuah rujukan oleh mufassir yang lainnya, yaitu Tafsir Jami’ AlBayan Fi Tafsir Al-
Qur’an karya Imam Al-Thabari dan Tafsir Anwar AlTanzil karya Imam Al-Baidhawi 7
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
2. Sikap ulama terhadap ayat Muhkamat dan Mutasyabih
3. Sebab-sebab adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
4. Hikmah dan kegunaan mempelajari ayat Muhkam dan Mutasyabih
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian muhkam dan Mutasyabih
2. Mengetahui sikap ulama terhadap ayat Muhkamat dan Mutasyabih
3. Mengetahui sebab-sebab adanya ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabih.
4. Mengetahui hikmah dan kegunaan mempelajari ayat muhkamat dan
Mutasyabih,
BAB II
PEMBAHASAN
7
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Stukturalisme, Semantik, Semiotik,
Hermenutik, hlm. 3
6
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Devirasi kata muhkam berasal dari ihkam, secara bahasa bermakna kekukuhan,
kesempurnaan, kesaksamaan, dan pencegahan. Namun semua pengertian ini pada
dasarnya kembali pada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia
menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan. Ahkam al-fars
berarti, ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.
Kata mutasyabih bersal dari kata tasyabaha berarti dua hal yang masing-masing
menyerupai lainnya.8 Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua
kata ini, atau kata jadiannya.
Secara terminologi, pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat beragam
redaksi dan ungkapan yang ditampilkan dikalangan para ulama’ baik mutaqaddimin
maupun muta’akhkhirin, antara lain sebagai berikut:
1) Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat
yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan shalat, kekhususan bulan
Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
sebaliknya.
2) Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya),
sedangkan ayat-ayat mutasyabih bergantung pada ayat lain
3) Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa
penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk
mengetahui maksudnya.
4) Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafal-lafalnya tidak berulang-ulang,
sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
5) Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari Adh-Dhadak bin Al-
Muzahim (w.105 H) yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat tidak
dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus
6) Ibn Abi Hatim dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah
ayat yang harus di imani dan di amalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang harus di imani, tetapi tidak harus di amalkan.9
7) Ulama golongan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan, muhkam adalah lafal
yang diketahui maksudnya, baik karena sudah jelas maknanya maupun karena
ditakwilkan. Sedangkan mutasyabih adalah lafal yang maksud dan maknanya
8
Muhammad ‘Abdal al-Zarqani, Manahil al-ifran fi’Ulumul Al-Quran, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 9T.Th), h. 270
9
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung:Pustaka Setia, 2004. hlm 126-127
7
hanya diketahui oleh Allah SWT., dan tidak dapat diketahui manusia, seperti saat
akan terjadi hari kiamat, makna dari huruf-huruf muqaththa’ah, keluarnya dajjal.10
8) Mayoritas ulama ahl al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafal yang tidak dapat
ditakwilkan kecuali hanya satu dari segi makna saja. Mutasyabih ialah lafal yang
artinya dapat ditakwilkan kedalam beberapa segi karena masih terdapat
kesamaran, seperti masalah surga, dan lain sebagainya.
10
Usman, of cit., hlm., 221
11
Usman, of cit., hlm., 219-222 & 224.
12 5
Ibid. H. 182-281
8
jalan untuk mengetahuinya seperti waktu-waktu kiamat. Jenis yang dapat diketahui
manusia seperti lafal-lafal yang gharib (ganji) dan hukum yang tertutup, dan jenis
yang hanya diketahui oleh ulama tertentu yang telah mendalam ilmunya. 13
3. Pendapat Asham
Pendapat yang dikemukakan Asham bahwa muhkam adalah ayat dalilnya
13
Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Quran, (Beirut: Dar al- Fikr), h. 261-262
9
jelas,seperti dalil tentang ke Esaan, kekuasaan, dan hikmah Allah sementara
mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk
menjelaskan. Fakhrurrazi menisbatkan pendapat ini kepada Asham.
Pendapat tentang muhkam dan mutasyabih yang dipegang Asham menuntut
faktor eksternal dan bukan faktor internal dari al-Qur’an itu sendiri. Faktor
eksternal adalah sejauh mana kejelasan dan kesamaran dalil konsep-konsep al-
Qur’an itu sendiri. Padahal saat yang sama, dalam QS. Ali Imrān ayat 7 Allah
berfirman:
Pendapatnya adalah bahwa mukam itu apa yang diimani dan diamalkan
10
sementara mutasyabih adalah apa yang diimani tapi tidak diamalkan.
Pendapat ini dijelaskan dengan berbagai jalur,yang sebagainya dinisbatkan
kepada Ibnu Abbas dan sebagian lainnya kepada Ibnu Taimiyah. Penjalasan
seperti ini juga ada dalam sebagian riwayat Ahlulbait.
Pendapat ini berdiri di atas pemahaman haramnya mengamalkan
ayat- ayat mutasyabih dan keharusan mengimaninya saja. Hal ini berbeda
dengan muhkam, yang selain harus diimani, juga harus diamalkan.
Al-‘alamah Thabathaba’i memberikan komentarnya atas pendapat ini, yakni
bahwa pendapa seperti tidak memberikan kejelasan menangani apa yang
dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih. Namun, ia hanya menjelaskan
hukum- hukumnya saja yaitu harus mengimani dan mengamalkan ayat-ayat
muhkam dan mengimani saja ayat-ayat mutasyabih. Padahal, terlebih dahulu
kita sangat ingin memahami apa itu muhkam dan mutasyabih untuk
kemudian diamalkan atau diimani saja.
6. Pendapat AllamahThabathaba’i
Pendapat yang dikemukakan Allamah Thabathaba’i dalam Al-Mijam setelah
mengoreksi tentang berbagai pendapat tentang pengertian muhkam dan
mutasyabih. Ia mengatakan, “apa yang disampaikan ayat tentang makna mutasyabih
menunjukan makna yang menyamarkan dan meragukan tetapi itu bisa diatasi
dengan metode yang biasa dipakai ahli bahasa dengan menafsirkan yang umum
menjadi khusus, mutlak menjadi bersyarat, dan yang semacamnya. Namun, hal itu
karena makna itu tidak sesuai dengan makna di ayat lain yang tidak di ragukan lagi
bisa menjelaskan mutasyabih di tempat lain, Ia berkata “Yang dimaksud mutasyabih
adalah ayat itu tidak jelas maksudnya dengan hanya sekedar mendengar. Ia menjadi
samar, meragukan, dan membingungkan diantara satu makna dengan makna lain
kemudian diverifikasi dengan yang muhkam sehingga jelas maksudnya, Maka, ayat
11
mutasyabih itu menjadi ayat muhkam karena di bantu ayat muhkam dan ayat
muhkam memang ayat yang muhkam (jelas, mapan, kokoh).14
Artinya: “Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan ruku’lah beserta orang-
14
Baqir Hakim, Ulumul Qur’an,Jakarta: Al-Huda, 2005. hlm., 262-265.
15
Subhi al-Shalih, Mabahitsfii ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Milāyin, 1972, hlm., 281
12
Adapun, adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an secara rinci
disebabkan oleh tiga hal yaitu: kesamaran lafal, kesamaran makna dan
kesamaran pada lafal dan makna.
a) Kesamaran pada lafal
Sebab kesamaran pada lafal ini ada dua macam, yaitu: Kesamaran
pada lafal mufrad (lafal yang belum tersusun dalam kalimat) maksudnya
yaitu terdapat lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas, baik disebabkan
lafalnya yang gharib (asing) atau musytarak (bermakna ganda)
Contoh kesamaran lafal mufrad gharib (asing)
Artinya: Dan buah-buahan dan serta rumput-rumputan. (Q.S. Abasa 80: 31)
16
Diah Rusmala & Ghamal Sholeh Hutomo, Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan Adanya Ayat-ayat Muhkamat dan
Mutasyabihat dalam Al-Qur‟an, Islamika: Jurnal Keislaman dan Ilmu Pendidikan vol. 2, No. 1, 2020 hal. 69
13
(penggalan-penggalan huruf di pembukaan atau permulaan surat-surat
dalam al-Qur’an).
Artinya: “Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Ayat tersebut masih sukar dipahami karena susunan kalimatnya
terlalu singkat sehingga membutuhkan keterangan tambahan untuk
melengkapinya agar dapat memperjelas maksudnya, yaitu “jika takut tidak
dapat berlaku adil terhadap hak istrinya yang yatim harus dijaga status dan
hartanya sebagai anak yatim, maka supaya menikahi wanita yang tidak
yatim dimana lebih bebas sedikit penjagaan terhadap hak-haknya.
14
keterbatasan sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih
sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Andaikan
akal sebagai anggota badan yang paling urgent itu tidak diuji, maka seseorang
yang berpengetahuan tinggi tidak akan menyadari kodrat kehambaannya.17
4) Menunjukkan mukjizat al-Qur‟an. Misalnya dari segi bahasa, jika ayat-ayat
mutasyabih itu dibahas lebih mendalam, terungkaplah keindahan, ketelitian dan
kehalusan bahasa al-Qur‟an. Bermacam-macam aspek ilmu balaghah akan
terungkap seperti al-ijaz, al-ithnab, al-musawah dan sebagainya.18
5) Memudahkan untuk menghafal dan menjaga al-Qur‟an, karena ungkapan al-
Qur‟an yang ringkas dan padat dapat memuat berbagai macam segi dan
aspek. Jika sekiranya semua aspek dan segi itu dungkapkan secara jelas satu
– persatu tentu akan berakibat al-Qur’an akan sangat tebal, bisa berjilid jilid
sehingga menyulitkan umat untuk menghafal dan menjaganya.
Ayat-ayat al-Qur’an baik muhkam (jelas) maupun yang mutasyabih (tidak
jelas) semuanya datang dari Allah. Jika yang muhkam maknanya jelas dan mudah
dipahami sementara mutasyabih maknanya samar dan tidak semua orang dapat
menangkapnya. Para ulama telah banyak mengkaji hikmah dan kegunaan ini
yang empat di antaranya di sebutkan oleh Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan:
1) Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang
mengkajinya
2) Sekiranya al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab.
Sebab, kejelasannya akan membatalkan semua mazhab di luarnya.
Sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak
memanfaatkannya. Akan tetapi, jika al-Qur’an mengandung muhkam dan
mutasyabih maka masing- masing penganut mazhab akan memperhatikan dan
merenungkannya. Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat
muhkamat menjadi penafsirnya
3) Jika al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk
memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan
lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika,
17
Syamsu Nahar, Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih Dalam Al-Qur‟an, Jurnal NIZHAMIYAH, Vol. VI, No.
2, 2016, hal.16
18
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur‟an,,,hal.205
15
ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqih dan sebagainya. Sekiranya hal itu tidak
demikian sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Devirasi kata muhkam berasal dari ihkam, secara bahasa bermakna kekukuhan,
kesempurnaan, kesaksamaan, dan pencegahan. Namun semua pengertian ini
pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia
menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan. Ahkam al-fars
berarti, ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.
Kata mutasyabih bersal dari kata tasyabaha berarti dua hal yang masing-masing
menyerupai lainnya. Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggunakan
kedua kata ini, atau kata jadiannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asfahani, Al-Raghib. Mu’jam Mufradat Alfadz al-Quran. Beirut: Dar al- Fikr.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdal. Manahil al-ifran fi’Ulumul Al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr, 9T.Th.
Anwar, Rosihon. 2004. Ulumul Qur’an. Bandung:Pustaka Setia.
Firdaus, Muhammad Anwar. 2015. Membincang Ayat-Ayat Dan Mutasyabih. Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim.
Hakim, Baqir. 2005. Ulumul Qur’an. Jakarta: Al-Huda, 2005.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Qur’an.
Izzan, Ahmad. 2009. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur.
Lal, Ansori. Ulumul Qur’an (Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan). 2013. Jakarta: PT
RajaGrafindo Pustaka.
Nahar, Syamsu. 2016. Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih Dalam Al-Qur‟an. Jurnal
NIZHAMIYAH, Vol. VI, No. 2.
Rahtikawati, Yayan dan Dadan Rusmana. 2013. Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Stukturalisme,
Semantik, Semiotik, Hermenutik). Bandung: Pustaka Setia.
Rusmala, Diah dan Ghamal Sholeh Hutomo. 2020. Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan Adanya
Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Al-Qur‟an. Islamika: Jurnal
Keislaman dan Ilmu Pendidikan vol. 2, No. 1.
Shihab, Quraish. 1999. Mengebumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Subhi Al-Shalih, Subhi. Mabahitsfii ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Milāyin.
18