Anda di halaman 1dari 37

MEMAHAMI BERBAGAI HAL YANG BERHUBUNGAN

DENGAN ILMU TAFSIR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Quran

Dengan Dosen Pengampu :


Drs. H. Misran Nuryanto, M.Pd

Disusun oleh :

1. Ahda Aulia Azhari 20223415056


2. Ainun Sa’ah 20223415059
3. Azizah Zaylanti Khofifah 20223415060
4. Sri Wahyuningsih 20223415053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBITIDAIYAH (PGMI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BANI SALEH
TAHUN PELAJARAN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan
Lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan penyusunan makalah Ulumul Quran dengan judul “Memahami Berbagai
Hal Yang Berhubungan Dengan Ilmu Tafsir” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan


dukungan dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu
kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu
kami dalam rangka menyelesaikan makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek
lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah
ini.

Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa
bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah
berikutnya.

Bekasi, 07 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................................3
A. Latar Belakang.........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................................5
A. Pengertian Tafsir......................................................................................................................5
B. Sejarah Ilmu Tafsir..................................................................................................................7
C. Kaidah Tafsir..........................................................................................................................24
D. Fungsi Kaidah Tafsir.............................................................................................................26
E. Kaidah – Kaidah Tafsir.........................................................................................................26
BAB III............................................................................................................................................34
PENUTUP.......................................................................................................................................34
Kesimpulan.....................................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................35
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh
umat manusia, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat jibril. Sebagai petunjuk bagi semua umat manusia, Al-
Qur’an harus dijagakemurniannya. Salah satu manfaat dari penjagaan keaslian
dan kesucian Al-Qur’an iniyaitu agar manusia bisa menjalani kehidupannya.
Setelah Nabi Muhammad Sawwafat, para sahabat dan para ulama khawatir akan
kelangsungan kemurnian Al-Qur’anini di masa yang akan datang, untuk itulah ada
Ulumul Qur’an yang mengkaji tentanghal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
salah satunya ialah Tafsir.
Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya.
Ia merupakan ilmu yang paling mulia obejk pembahasannya dan tujuannya, serta
sangat dibutuhkan bagi umat Islam dalam mengetahui makna dari Al-Qur‟an
sepanjang zaman. Tanpa tafsir seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-
mutiara berharga dari ajaran Ilahi yang kandung dalam Al-Qur‟an,
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami, menerangkan maksud,
mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya ini telah dilakukan sejak masa
Rasulullah SAW, sebagai utusan-Nya yang ditugaskan agar menyampaikan ayatayat
tersebut sekaligus menandainya sebagai mufassir awwal (penafsir pertama).
Sepeninggalan nabi hingga saat ini, tafsir telah mengalami banyak perkembangan
yang sangat bervariatif dengan tidak melepas kategori masanya. Dan tak lepas
keanekaragaman secara metode (manhaj thariqah), corak (laun’) maupun
pendekatan-pendekatan (alwan) yang digunakan merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dalam sebuah karya tafsir hasil manusia yang tak pernah sempurna.
B. Rumusan Masalah
Adapun dalam penulisan makalah ini, penulis membuat beberapa rumusan masalah,
yaitu :
1. Apa pengertian dari tafsir?
2. Jelaskan sejarah perkembangan ilmu tafsir?
3. Jelaskan kaidah tafsir?
4. Sebutkan apa saja urgensi mempelajari ilmu tafsir?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Memenuhi tugas perkuliahan Ulumul Quran
2. Mengetahui pengertian tafsir
3. Mengetahui sejarah perkembangan ilmu tafsi
4. Mengetahui kaidah tafsir
5. Mengetahui urgensi mempelajari ilmu tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Secara bahasa, tafsir berasal dari kata al-fasru, yaitu menyingkap sesuatu
yang tertutup. Secara istilah, tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an Al-
Karim. Mempelajari tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:

“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka mentadabburi (merenungi) ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad: 29)
Dan berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Maka apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
(QS. Muhammad: 24)
Istidllal (kesimpulan yang dipahami) dari ayat pertama adalah bahwa Allah
Ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur’an yang penuh berkah ini adalah
agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran yang terkandung
di dalamnya. Tadabbur adalah memperhatikan, mempelajari, dan merenungi lafazh-
lafazh untuk mencapai maknanya. Jika hal itu tidak dilakukan, maka luputlah
hikmah diturunkannya Al-Qur’an, dan jadilah Al-Qur’an hanya sekedar lafazh-
lafazh yang menjadi bacaan rutinitas yang tidak dapat memberikan pengaruh bagi
orang-orang yang membacanya. Hal ini disebabkan karena pengambilan ibrah
(pelajaran) itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa memahami makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
Istidllal (konklusi) dari ayat yang kedua adalah bahwa Allah Ta’ala mencela
orang-orang yang tidak memperhatikan AlQur’an, serta mengisyaratkan bahwa hal
tersebut termasuk penutup dan penghalang hati mereka, sehingga kebenaran itu
tidak sampai kepada hati mereka. Dulu, para Salaful Ummah (umat terdahulu)
berada di atas jalan yang wajib ini. Mereka mempelajari Al-Qur’an, baik lafazhnya
maupun maknanya, karena dengan cara itulah mereka mampu mengamalkan Al-
Qur’an sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala. Karena mengamalkan sesuatu
yang tidak diketahui maknanya adalah hal yang mustahil.
Berkata Abu Abdirrahman As-Sulami, “Telah menceritakan kepada kami
orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan,
Abdullah bin Mas’ud, dan juga yang lainnya; bahwa apabila mereka mempelajari
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepuluh ayat, mereka tidak menambahnya
sampai mereka mempelajari pelajaran apa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut,
kemudian berusaha untuk mengamalkannya. Mereka berkata, ‘Maka kami
mempelajari Al-Qur’an, mengambil ilmu dari Al-Qur’an, dan sekaligus
mengamalkannya.”
Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, “Sudah dimaklumi bersama bahwa
orang-orang tidak dibenarkan membaca sebuah kitab tentang suatu macam ilmu,
seperti ilmu kedokteran dan ilmu hisab, tanpa menuntut syarah (penjelasan/tafsir)
untuk hal itu. Maka bagaimana dengan Kalamullah Ta’ala yang merupakan tali
pegangan mereka, dan dengannyalah (dapat diraih) keselamatan dan kebahagiaan
mereka, serta tegaknya agama dan dunia mereka? Wajib atas ahli ilmu untuk
menjelaskan tafsir kepada umat manusia, baik dengan tulisan maupun dengan lisan,

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan
janganlah kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran [3]: 187)
Menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia itu bersifat menyeluruh, meliputi
menjelaskan lafazh-lafazh dan maknamaknanya. Jadi, tafsir Al-Qur’an itu termasuk
janji yang akan Allah minta pertanggungjawabannya kepada ahli ilmu untuk
menjelaskannya.
Tujuan mempelajari ilmu tafsir adalah tercapainya tujuan yang terpuji dan
buah yang mulia, yaitu membenarkan kabar-kabar Al-Qur’an dan mengambil
manfaat dari kabarkabar tersebut serta menetapkan hukum-hukumnya sesuai dengan
yang dimaksud oleh Allah, yaitu agar dalam menyembah Allah Ta’ala didasari atas
bashirah (ilmu).

B. Sejarah Ilmu Tafsir


Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasulullah beserta para sahabatnya
mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan alQur’an setelah turunnya. Tradisi
tersebut terus berlangsung hingga beliau wafat. Sejak itu perkembangan dan
pertumbuhan tafsir seiring dengan keragaman yang mufassir miliki hingga pada
bentuk yang kita saksikan pada saat ini. Muhammad Husain alDzahabi dalam kitab
Tafsir Wa al-Mufassirun membagi periodesasi tafsir al-Qur’an menjadi tiga periode,
yaitu tafsir al-Qur’an masa Nabi Muhammad dan Sahabat (klasik atau
mutaqaddimin), tafsir masa al-Qur’an masa Tabi’in (mutaakhirin), dan masa tafsir
masa al-Qur’an kodifikasi atau periode baru (alTafsir Fi Ushur al-Tadwin). Adapun
sejarah perkembangan tafsir al-Qur’an, sebagai berikut :
1. Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa hidup Nabi Muhammad kebutuhan tafsir belumlah begitu
dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak memahami suatu ayat, mereka langsung
menanyakan kepada Rasulullah. Dalam hal ini, Rasulullah selalu memberikan
jawaban yang memuaskan, dan Nabi Muhammad disini berfungsi sebagai mubayyin
(penjelas). Semua persoalan terutama menyangkut pemahaman al-Qur’an
dikembalikan kepada Nabi Muhammad, persoalan apapun yang muncul tempo itu
senantiasa mendapat jawaban dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu wajar apabila
para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang ayat al-Qur’an, dan beliau
memberikan jawaban dan tafsirnya, namun jawaban dan tafsirnya bukan
berdasarkan fikirannya sendiri, tetapi menurut wahyu dari Allah. Beliau
menanyakan kepada malaikat Jibril dan malaikat Jibrilpun menanyakan kepada
Allah SWT. Karena itulah, Allah adalah pihak pertama yang menafsirkan al-Qur’an,
sebab Allah yang menurunkan al-Qur’an dan Allah lah yang mengetahui maksud
firmann-Nya. Karena Allah adalah Shahibul Qoul (yang berfirman).
Tafsir masa Nabi Muhammad dan masa awal pertumbuhan Islam di susun
secara pendek-pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa Arab yang
murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Qur’an,
setelah masa Nabi Muhammad penguasaan bahasa Arab mulai mengalami
peningkatan dan beraneka ragam, karena akibat percampuran bahasa Arab dengan
bahasa lain.
Setiap kali Nabi Muhammad menerima al-Qur’an, beliau kemudian
menyampaikan kepada para sahabat, disamping itu beliau menganjurkan kepada
para sahabat untuk menyampaikan kepada sahabat lain yang belum mendengarnya,
terutama kepada keluarga, masyarakat luar yang telah memeluk Islam. Begitu juga
sama halnya ketika para sahabat menerima tafsir dari Nabi Muhammad, para
sahabat kemudian menyampaikan kepada anggota keluarga dan masyarakat luar
yang telah memeluk Islam. Berdasarkan sejarah perkembangan tafsir pada masa
Nabi Muhammad, Nabi Muhammad memiliki sumber dalam menafsirkan al-
Qur’an, seperti berikut :
a) Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala Dia-lah Dzat
yang menurunkan Al-Qur’an dan Dia-lah yang paling mengetahui maksud yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an itu sebagaimana diketahui sebagian
ayatnya merupakan tafsiran ayat yang lain. Yang dimaksud yaitu bahwa sesuatu
yang disebutkan secara ringkas disuatu ayat dan diuraikan di ayat yang lain.
Misalkan firman Allah Ta’ala :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus [11]: 62)
Dalam ayat ini, kata auliyaa-Allah (wali-wali Allah) ditafsirkan oleh firman
Allah pada ayat berikutnya, yaitu:

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan bertaqwa” (QS. Yunus [11]: 63)

b) Al-Qur’an dengan Hadits


Jenis yang kedua yaitu al-Qur’an dengan hadits, baik hadits Qudsi maupun
hadits Nabawi merupakan pendamping al-Qur’an, sebagai sumber ajaranIslam
setelah al-Qur’an, hadits memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya
dengan al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad setelah menerima wahyu kemudian
menjelaskan kandungannya kepada para sahabat. Penjelasan tersebut tidak sedikit
yang kelak terkodifikasi menjadi hadits, karena itu dalam menafsirkan ayat, para
mufassirpun akan merujuk pada hadits. contoh penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits
adalah sebagai berikut Firman Allah Ta’ala:

“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (Surga) dan
tambahannya.” (QS. Yunus: 26)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menafsirkan kata ziyaadah


(tambahan) dengan: “Melihat wajah Allah Ta’ala,” sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara jelas dari hadits Abu Musa
dan Ubay bin Ka’ab, dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Ka’ab bin
‘Ujrah, dan dalam Shahih Muslim dari Shuhaib bin Sinan dari Nabi berkata:
“Maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih
mereka cintai daripada melihat Rabb mereka ‘Azza wa Jalla,” kemudian beliau
membaca ayat ini:

“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (Surga) dan
tambahannya.” (QS. Yunus [11]: 26)

2. Masa Sahabat

Pasca wafatnya Nabi Muhammad, proses penafsiran berlanjut pada generasi


sahabat, mempelajari tafsir bagi para sahabat tidaklah mengalami kesulitan, karena
mereka menerima langsung dari Shahib al-Risalah (pemilik tuntunan), mereka
mudah memahami al-Qur’an, karena dalam bahasa mereka sendiri. Setelah
mendapat tuntunan dan ajaran tafsir dari Nabi Muhammad, kemudian para sahabat
merasa terpanggil ambil bagian dalam menafsirkan al-Qur’an, penafsiran sahabat
terhadap al-Qur’an senantiasa mengacu pada inti dan kandungan al-Qur’an,
mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang
terkandung dalam ayat.

Setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian para sahabat dalam menafsirkan


al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad. Namun tidak semua sahabat melakukan
ijtihad, hanya dilaksanakan oleh para sahabat yang kapasitas keilmuannya maupun
militansinya mumpuni. Secara umum sumber dan metode yang ditempuh sahabat
dalam menafsirkan al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-
Qur’an dengan hadits, dan ijtihad, ragam qira’at dan informasi dari para ahli kitab
yahudi dan nashrani, kebahasaan.

a) Al-Qur’an dengan al-Qur’an

Sumber utama penafsiran sahabat adalah al-Qur’an sendiri, yakni pernyataan


al-Qur’an yang mempunyai relevansi yang sama dengan pernyataan al-Qur’an ialah
yang sedang dibahas ditafsirkan, sekalipun demikian, para sahabat tetap merasa
perlu untuk mendiskusikan dan mengkaji sebagian ayat yang maknanya sangat
dalam dan jauh dari yang bisa dicapai. Adapun metodologinya dilakukan dengan
cara membawa ayat yang mujmal (universal) kepada sesuatu yang mubayyan (yang
lebih jelas) untuk mendapatkan penjelasan sebagai berikut:

Ayat tersebut ditafsirkan dengan firman Allah :

Dari kedua contoh ayat 1 dalam surat al-Maidah diatas bisa dilihat,
bahwasanya ada kata yang masih universal, yaitu “tidak menghalalkan
berburu” atau bisa dikatakan “haram”, kemudian ditafsiri dengan ayat 3, yaitu lebih
mengkhususkan lagi hewan-hewan yang haram ُ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah...dst.”

b) Al-Qur’an dengan Hadits

Sunnah atau hadits Nabi adalah merupakan sumber yang penting dalam
menafsirkan al-Qur’an. Para sahabat selalu akan merujuk terlebih dahulu kepada
sunnah. Hadits dijadikan sebagai sumber dalam menafsirkan al-Qur’an oleh para
sahabat karena banyak hadits yang terdapat penjelasan ayat-ayat yang musykil yang
ditanyakan para sahabat kepada Nabi. Namun, walaupun hadits merupakan penafsir
al-Qur’an perlu diteliti kembali otentisitas hadits, apakah ia benar-benar hadits yang
berasal dari Nabi atau bukan. Contoh mengenai tafsir sahabat berdasarkan hadits
adalah ketika Ibnu Mas’ud menafsirkan firman Allah :

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk


Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (QS. Al-Baqarah : 238)

Ibnu mas’ud merujuk kepada hadits yang menyatakan bahwa shalat wustha
adalah shalat ashar, sebagaimana riwayat berikut

“Diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW berkata, shalat
wusthaa yaitu shalat ‘ashr, Abu ‘isa berkata, bahwsanya hadits ini adalah hasan
shahih.”

Sedangkan menurut Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Imam Jalal al-Din Al-
Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain Al-Qur’an Al-‘Adzim, yang dinamakan shalat
al-whustha yaitu shalat lima waktu itu sendiri.47

c) Ijtihad atau Akal

Sumber atau metode ijtihad adalah proses yang dilakukan oleh para sahabat
dalam menafsirkan al-Qur’an dengan cara pendapat atau pemikirannya sendiri. Jika
mereka tidak mendapatkan penjelasan dari Rasulullah, maka mereka melakukan
ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan. Para sahabat melakukan ijtihad
atau istinbath dengan memanfaatkan kekuatan akal sehat, berbekal kepada
pengetahuan dan aspek bahasa yang dikuasai. Pada mulanya menafsirkan dengan
menggunakan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa
serta arti yang dikandungnya pada suatu kosakata. Contoh penafsiran dengan
menggunakan ijtihad terdapat pada surat al-Taubah ayat 37 :

Berbekal pengetahuan tradisi arab, para sahabat memahami


pada ayat tersebut dengan ta’khir hurmatial-syahr ila akhar, ya’ni tahlil al-
muharraam wa ta’khiruhu ila shafar. Sebelum Islam datang, bulan Muharram,
Shafar, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah adalah bulan-bulan yang dihormati dan
dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh dilakukan peperangan. Tetapi peraturan ini
dilanggar oleh kaum musyrikin Arab dengan mengadakan peperangan.

d) Ragam Qira’at

Pengertian qira’at yaitu beberapa bacaan. Menurut alZarkasyi adalah sistem


penulisan dan artikulasi lafadz yang memiliki ragam variasi.52 Keragaman variasi
qira’at memberikan penafsiran terhadap al-Qur’an di masa sahabat. Seperti contoh :

“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit.
Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu
turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.‛ Katakanlah, "Mahasuci Tuhanku,
bukanlah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
Kata min zukhrufin menurut qira’at Ibnu Mas’ud dibaca dengan min dzahab
(dari emas). Walaupun qira’at tersebut syaddzah (menyalahi aturan mutawatirah),
para ulama membolehkannya sebagai salahsatu rujukan penafsiran.

e) Informasi dari Para Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani

Informasinya berupa pengkabaran yang berasal dari orang-orang yang ahli


kitab kalangan Yahudi dan Nashrani. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat
kesamaan antara al-Qur’an dengan kitab Taurat dan Injil dalam beberapa masalah
tertentu, seperti dalam beberapa cerita-cerita Nabi dan umat terdahulu. Tujuan al-
Qur’an memuat cerita Nabi dan umat terdahulu yaitu untuk sekedar tamsil dan
ibarat saja. Para sahabat mengambil keterangan dari ahli kitab yang telah masuk
islam, seperti ‘Abd Allah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, dan Wahhab bin Munabbih.
Contoh penafsiran yang berasal dari Para Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani :

“(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa,
Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah
petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (al-Kahfi : 10)

Didalam ayat tersebut mengisahkan tentang ash-hab alKahfi, namun al-


Qur’an tidak menyebutkan letak gua dan namanama para pemudanya.

f) Kebahasaan

Para shabatpun menggunakan bahasa Arab sendiri untuk menafsirkan al-


Qur’an. Salah satu sahabat yang menggunakan penafsiran dengan ranah kebahasaan
yaitu Ibn Abbas. Ibnu Abbas yaitu seorang sahabat yang memiliki wawasan
pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab, syair dan sejarah masa Arab jahiliyyah.
Berdasarkan hal tersebut, Ibnu Abbas dijuluki sebagai tarjuman al-Qur’an
(penerjemah al-Qur’an). Tidak ada kosakata asing dalam al-Qur’an, kecuali dia
mengetahui asal-usul pengambilannya Contoh penafsiran dengan menggunakan
kebahasaan:

“Sedang kamu melengahkan(nya)” Kata “samidun” berasal dari kata “samida”


artinya jika berasal dari Yaman yaitu al-Ghina (nyanyian).

Tokoh Mufassir Masa Sahabat

Menurut Imam Suyuthi dalam kitab al-Itqon Fi Ulum alQur’an, sahabat


yang masyhur itu ada 10. 4 Khulafaa al-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay
Bin Ka’ab, Zaid Bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abd Allah Bin
Zubair.59Adapun Khulafaa AlRasyidin, mayoritas meriwayatkan langsung dari
Nabi Muhammad. Sedangkan para sahabat yang lainnya mendapatkannya dari
Khulafaa al-Rasyidin. Para Khulafaa alRasyidin ini mempunyai ilmu dan
pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab, mereka sering berinteraksi langsung
dengan Nabi Muhammad, yang memungkinkan mereka menyaksikan langsung
ketika al-Qur’an diturunkan.60 Untuk biografi Khulafaa alRasyidin, sebagian sudah
masyhur, maka ditulisan ini akan dipaparkan biografi selain Khulafaa al-Rasyidin.
Diantara sahabat selain dari kalangan Khulafaa alRasyidin yaitu :

1) Ibnu Abbas

Nama lengkapnya yaitu, Abd ‘Allah bin Abbas bin Abd alMuthalib bin
Hasyim bin Adb al-Manaf al-Quraisy al-Hasyimi. Ia adalah sepupu Nabi
Muhammad. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah di kampung Syab Ali.
Mekah. Ibunya bernama Ummu al-Fadhil Lubabah al-Kubra binti al-Haris bin
Hilaliyyah. Ibnu Abbas adalah seorang maestro al-Qur’an. Pengetahuannya tentang
al-Qur’an sangat mendalam, sehingga dijuluki dengan Tarjuman Al-Qur’an
(penerjemah al-Qur’an). Ibnu Abbas wafat di Thaif pada usia 76 tahun. Dan
dimakamkan disana. Banyak riwayat yang beliau terima, ada yang shahiih, dhaif,
hasan dan maudhu’.

2) Ibnu Mas’ud

Ibnu Mas’ud adalah termasuk dalam golongan al-Sabiqun al-Awwalun


(orang yang pertama memeluk islam). Beliau juga terkenal dengan sebutan Ibnu
Umm Abd yang berarti “putra dari budak wanita”. Setelah masuk Islam, beliau
selalu mengikuti Nabi, bahkan dikabarkan beliau menjadi pembantu khusus Nabi,
termasuk dalam persoalan rumah tangga Nabi. Karena itu, beliau mengetahui semua
gerak-gerik Nabi Muhammad. Tak heran beliau dijuluki sebagai orang yang paling
dekat dengan Nabi Muhamad dari segi karakter. Dan pada masa pemerintahan
Khalifah ‘Umar, beliau di kirim ke Kuffah sebagai hakim dan kepala
pembendaharaan negara (bait al-mal). Beliau kemudian dikirim ke Madinah dan
sampai wafat di Madinah pada tahun 32 H, pada usia lebih dari 60 tahun. Beliau
banyak meriwayatkan tafsir dari ‘Ali bin Abi Thalib.

3) Ubay bin Ka’ab

Ubay bin Ka’ab lahir di Madinah. Beliau berasal dari Bani Najjar. Tidak
ditemukan lebih tepatnya beliau lahir. Namun sejarah mencatat bahwa Ubbay bin
Ka’ab masuk Islam setelah Nabi Muhammad hijrah. Ubay bin Ka’ab merupakan
salah satu dari segelintir sahabat Anshar yang pandai dalam tulis menulis dan sudah
diakui oleh orang Madinah. Selain itu, beliau dikenal dengan Sayyid AlQurra
(pemimpin para penghafal Qur’an). Minimnya informasi tentang Ubay bin Ka’ab
juga terjadi pada tahun wafatnya, sehingga tidak dapat ditetapkan dengan pasti
beliau wafat. Sumber lain menyebutkan beliau wafat pada tahun 19 H, bahkan ada
yang berpendapat pada 30 H.

4) Zaid bin Tsabit


Nama lengkap Zaid bin Tsabit bin al-dhahak bin Zaid bin Lauzan adalah
seorang penulis wahyu dan termasuk Huffadz alQur’an pada masa Khalifah Abu
Bakar, namun pada awalnnya Zaid bin Tsabit menolak dengan alasan menulis
wahyu tidak ada pada saat Nabi Muhammad masih hidup, bahkan beliau
mengatakan bahwa menulis lebih berat daripada memindahkan gunung.
5) Abu Musa al-Asy’ari

Abu Musa al-Asy’ari berasal dari Yaman. Beliau tergolong orang yang
pertama masuk Islam. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau ikut hijrah ke
Abisinia dan baru kembali lagi pada masa penaklukan Khaibar. Pada tahun 17 H,
beliau dinobatkan menjadi Gubernur Bashrah oleh Khalifah ‘Umar bin Khatab. Abu
Musa al-Asy’ari terlibat dalam perang Shiffin pada tahun 37 H antara Ali dan
Mu’awiyyah. Ketika itu beliau bertindak sebagai arbitrator untuk Khalifah. Menurut
sebuah sumber mengatakan bahwa pada tahun 42 H wafat di Kuffah.

6) ‘Abd Allah bin Zubair

Adalah salah satu orang yang mengklaim kekhalifahan setelah kematian


Mu’awiyah dan mendirikan kekhalifahan keluarga Zubair di Mekah. Ia adalah anak
dari Zubair Awwam. Karena ia masih kecil pada masa kehidupan Nabi Muhammad
SAW, maka ia disebut dengan sahabat kecil. Ia adalah kaum Muhajirin dari
kalangan anak-anak yang pertama kali lahir di Madinah. Salah seorang yang
merenovasi Ka'bah adalah Zubair dan perenovasian Ka'bah dikaitkan dengannya.
Ibnu Zubair memainkan peran penting dalam Perang Jamal dan berperang melawan
Imam Ali, namun setelah kekalahan mereka, Imam Ali memberi ampunan kepada
mereka. Ia dibunuh oleh tentara Suriah, dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf di Mekah
pada usia 72 tahun.

3. Masa Tabi’in
Periode selanjutnya yaitu perkembangan tafsir pada masa tabi’in yang
dimulai sejak berakhirnya tafsir masa sahabat. Tafsir pada masa sahabat dianggap
berakhir dengan wafatnya tokoh-tokoh mufassir sahabat yang dulunya menjadi guru
para tabi’in dan digantikan dengan tafsir para tabi’in. Penafsiran Nabi Muhammad
dan para sahabat tidak mencakup semua ayat alQur’an dan hanya menafsirkan
bagian-bagian al-Qur’an yang sulit dipahami orang pada masa tersebut,
menjadikannya muncul problem baru, yakni bertambahnya persoalan yang baru.
Pengaruh utama yang melatar belakangi dalam perkembangan tafsir pada
masa tabi’in yaitu ketika wilayah kekuasaan Islam semakin meluas, ketika ekspansi
Islam yang semakin meluas, maka hal itu mendorong tokoh-tokoh sahabat
berpindah ke daerah-daerah dan masing-masing membawa ilmu, dari tangan inilah
kemudian para tabi’in sebagai murid dari para sahabat menimba ilmu. Sebagai hasil
nyata dari penaklukan para tentara Islam ke wilayah atau negara sekitarnya para
sahabatpun banyak yang berpindah ke wilayah baru yang ditaklukkan, termasuk
juga sahabat yang ahli dalam bidang tafsir al-Qur’an. Di wilayah baru, para ahli
tafsir kalangan sahabat banyak yang mendirikan madrasah-madrasah tafsir. Dari
situlah kajian tafsir alQur’an mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat di
kalangan generasi setelah sahabat yakni kalangan tabi’in. Madrasah yang didirikan
oleh para sahabat itupun kemudian banyak yang menyebar ke wilayah-wilayah lain.
Dari madrasah-madrasah sahabat itu terhimpunlah tafsir bi al-ma’tsur (tafsir
atsariy) yang sebagainnya disandarkan pada Nabi, sedangkan kebanyakannya
disandarkan pada sahabat, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, akan tetapi
himpunan tafsir tersebut banyak dicampuri oleh israiliyyat yang dapat merusak
tafsir yang benar, atau memalingkan dari makna sebenarnya. Tatacara para sahabat
mentransfer dalam menafsirkan al-Qur’an dengan cara talaqqi (mengajari secara
langsung) seperti halnya mempelajari hadits.

Sumber dan Metode

Tafsir di Masa Tabi’in Para mufassir di kalangan tabi’in berpegang teguh


pada kitabullah dan sumber-sumber lain sebagai rujukan bagi tafsir mereka tentang
kitabullah. Sumber-sumbernya yaitu :
1. Ayat al-Qur’an yang menjadi penafsir bagi ayat yang lain yang masih universal.
2. Hadits Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrir (persetujuan).
3. Semua informasi yang didengar oleh tabi’in dari Nabi Muhammad dan para sahabat.
4. Menerima dari ahli kitab, selama keterangan tersebut tidak bertentangan dengan al-
Qur’an.
5. Hasil perenungan dan ijtihad dan pemikiran mereka atas alQur’an sebagaimana
yang telah dilakukan oleh para sahabat.
Metode yang dipakai para tabi’in sama dengan yang dipakai oleh para
sahabat. Hanya saja di kalangan tabi’in sudah mulai dimasuki oleh israiliyyat,
Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani juga
turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini. Hanya saja dalam
hal ini kaum Yahudi lebih populer dan dominan. Karena kaum Yahudi lebih
diidentikkan lantaran banyak di antara mereka yang akhirnya masuk Islam.77 Di
samping karena kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam. terlebih
itu banyak terjadi pemotongan sanad dan pemalsuan hadits. Dan kemudian metode
ijtihad masih digunakan pada masa tabi’in berdasarkan latar belakang, yaitu :
pertama, karena penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat belum mencakup
semua ayat al-Qur’an. Kedua, jauhnya sebagian tempat mereka dari pusat studi
hadits, sehingga ketika tidak mendapatkan hadits atau qaul sahabat, mereka
menggunakan ra’yu untuk berijtihad dalam memahami al-Qur’an. Bahkan mereka
bergerilya ke berbagai wilayah, sehingga berdampak pada corak tafsir yang
berbeda.

Tokoh dan Aliran Tafsir Masa Tabi’in

Secara garis besar tokoh dan aliran tafsir pada masa tabi’in dapat
dikategorikan menjadi tiga sesuai dengan tempatnya, seperti sebagai berikut :

a) Tokoh dan Aliran Mekkah Aliran ini didirikan oleh murid dari ‘Abd Allah bin
Abbas, seperti ; Said bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas
dan Thawus bin Kisan Al-Yamani. Mereka semua merupakan maula (hamba sahaya
yang telah dibebaskan). Aliran ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru
tafsir yang berada di Mekkah yang mengajar tafsir pada sahabat.
b) Tokoh dan Aliran Madinah Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang
didukung oleh sahabat-sahabat yang lain berada di Madinah dan kemudian
dilanjutkan oleh tabi’in Madinah seperti Abu Aliyah, Zaid bin Tsabit, Zaid bin
Aslam Dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Aliran tafsir Madinah muncul karena
banyaknya sahabat yang menetap di Madinah. Pada aliran tafsir Madinah telah ada
sistem penulisan pada naskah-naskah dari Ubay bin Ka’ab melalui Abu Aliyah dari
Rabi Abu Ja’far al-Razy. Dengan demikian penafsiran pada masa Madinah sudah
timbul tafsir bi al-Ra’yi.
c) Tokoh dan Aliran Iraq Aliran Iraq ini dipelopori oleh Abd ‘Allah ibn Mas’ud
(dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran bi al-Ra’yi) dan dilindungi
oleh Gubernur Iraq. Berawal dari perintah Khalifah Umar menunjuk Ammar bin
Yasir sebagai Gubernur di Kuffah dari Ibnu Mas’ud sebagai ulama di Kuffah,
penafsiran ini akhirnya banyak diikuti di Iraq.
4. Masa Tabi’i Al-Tabi’in Atau Masa Pembukuan Tafsir
Generasi Tabi’i al-Tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan
ilmu yang mereka terima dari para Tabi’in. Mereka mengumpulkan semua pendapat
dan penfsiran al-Qur’an yang dikemukakan oleh para ‘ulama terdahulu, kemudian
mereka terangkan kedalam kitab-kitab tafsir. Seperti yang dikemukakan oleh
Sufyan bin Uyainah, Rauh bin ‘Ubadah al-Basri, ‘Abd alRazzaq bin Hammam,
Adam bin Abu Iyas. Tafsir golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai pada kita,
yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka, seperti
termuat dalam kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur.
Secara epistemologi, telah terjadi pergeseran mengenai rujukan penafsiran
antara sahabat dengan tabi’in dan tabi’i altabi’in. Jika pada masa sahabat, mereka
tidak begitu tertarik dengan menggunakan israiliyyat dari para ahli kitab, maka tidak
demikian halnya pada masa tabi’in dan tabi’i al-tabi’in yang sudah mulai banyak
menggunakan referensi israiliyyat sebagai penafsiran, terutama penafsiran ayat-ayat
yang berupa kisah dimana al-Qur’an hanya menceritakan secara global. Faktor
utama pengaruh adanya kisah israiliyyat dalam tafsir pada masa tabi’in dan tabi’i al-
tabi’in yaitu adalah banyaknya ahli kitab yang masuk Islam dan para tabi’in ingin
mendalami informasi dengan detail mengenai kisah-kisah yang masih global dari
mereka.
Adapun pergeseran yang terjadi, mulai dari masa sahabat ke tabi’in tersebut,
namun yang jelas tradisi penafsiran al-Qur’an itu tetap tumbuh dan berkembang
sampai dengan pada tahun 150 H dengan berakhirnya masa tabi’in yang kemudian
dilanjutkan dengan tabi’i al-tabi’in. Karena pada masa Nabi, sahabat, tabi’in
merupakan masa dimana penafsiran pada awal dan pertumbuhan dan pembentukan
tafsir, maka menurut hemat penulis, masa tersebut dinamakan dengan masa formatif
atau dengan bahasa lain disebut dengan masa pembentukan.
Meskipun demikian, al-Qur’an justru masih terbuka secara luas untuk
ditafsirkan dan belum banyak klaim-klaim kufr terhadap orang yang menfsirkan
secara berbeda dari mainstream pemikiran yang ada, kecuali beberapa saja yang
terjadi pada masa tabi’in.
Tafsir-tafsir yang muncul pada masa formatif-klasik ini masih sangat kental
dengan nalar bayani dan bersifat deduktif, dimana teks al-Qur’an menjadi
penafsiran dasar dan bahasa menjadi perangkat analisisnya. Itulah sebabnya
menurut Nashr Hamid Abu Zaid sering menyebut bahwa peradaban Arab identik
dengan peradaban teks, dengan kata lain, mereka lebih suka menggunakan ‚nalar
langit‛ (deduktif) daripada ‚nalar bumi‛ (induktif).
Pada masa tabi’i al-tabi’inilah mulai disusun kitab-kitab tafsir yang
berukuran besar yang cukup banyak. Tafsir pada masa ini biasanya menggunakan
aqwal al-shahabah (perkataan shahabat) dan tabi’in. Diantara nama-nama yang patut
disebut dari angkatan ini ialah : Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin Al-Jarrah, Syu’bah
bin AlHajjaj, Yazid bin Harun, ‘Abd Al-Razzaq, Adam bin Abi Ilyas, Ishaq bin
Rahawaih, Rawah bin Ubadah, Abid bin Humed, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ali
bin Abi Thalhah, Al-Bukhari dan lainlain.
Pada masa ini kemudian mulai muncul kitab-kitab tafsir bi alma’tsur.
Kemudian angkatan berikutnya muncul : Ibnu Jarir AlThabari Dengan Kitabnya
yang Mashur, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Majjah, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Ibnu
Hibban dan lain-lain.84 Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah
dan awal dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadits mendapat prioritas utama
pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah satu
dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini belum dipisahkan secara
khusus yang hanya memuat tafsir surat demi surat daan ayat demi ayat dari awal al-
Qur’an sampai akhir.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan
pada Nabi Muhammad, sahabat atau tabi’in sangat besar disamping perhatian
terhadap hadits. Dan adapun tokoh-tokohnya yang sudah disebutkan diatas. Sesudah
golongan ini, kemudian datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara
khusus dan independent serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan
terpisah sendiri. Mereka menfsirkan alQur’an sesuai dengan sistematika tertib al-
Qur’an.
Tafsir di masa ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in dan terkaadang disertai pen-tarjih-
an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbath)
sejumlah penjelasan kedudukan kata (i’rob) jika diperlukan, sebagaimana yang
dilakukan oleh Ibnu Jarrir Al-Thabari.
Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan,
cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-
masalah ‚kalam’ semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius dan ilmu-
ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap
golongan berupaya mendukung madzhabnya masing-masing. Ini semua
menyebabkan tafsir ternoda polusi udara tidak sehat. Sehingga mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an berpegang teguh pada pemahaman pribadi dan mengarah ke
berbagai kecenderungan.
5. Masa Kontemporer
Pada masa ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat
ini dan mendatang. Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah
oleh bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam telah
merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan
mereka telah dirusak dan dinodai.
Maka terkenallah periode modernisasi Islam yang antara lain dilakukan di
Mesir oleh Jamal al-Din al-Afghani (1254-1315 H/1838-1897 M), Syekh
Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849- 1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridho
(1282-1354 H/1865-1935 M). Dua orang yang disebutkan terakhir yakni Syekh
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridho, berhasil menafsirkan alQur’an
dengan nama kitabnya yaitu tafsir al-Qur’an al-Hakim atau dikenal dengan sebutan
tafsir al-Manar. Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh
yang cukup besar bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab-kitab tafsir yang semasa
dengannya dan terutama bagi kitab-kitab tafsir yang terbit setelahnya hingga
sekarang. Cikal bakal tafsir al-Qur’an yang lahir pada abad ke-20 dan 21 banyak
yang mendapat inspirasi dari tafsir al-Manar, diantara contohnya ialah tafsir al-
Maraghi, tafsir alQasimi dan tafsir al-Jawahir karya Thantawi Jauhari.
Pada saat itu bersamaan dengan upaya pembaruan Islam dan gerakan
penafsiran al-Qur’an di Mesir dan negara-negara lainnya, para ilmuan muslim di
Indonesia juga melakukan gerakan penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an ke
dalam bahasa Indonesia. Diantaranya yang tergolong ke dalam tafsir yang
berekualitas dan monumental adalah al-Qur’an dan tafsirnya yang diterbitkan oleh
Kementrian Agama Republik Indonesia dan tafsir al-Azhar karya Prof. Dr. Buya
HAMKA (1908-1981).
Awal pertumbuhan dan perkembangan keilmuan agama Islam lebih
khususnya tafsir yaitu berasal dari al-Azhar Mesir, karena al-Azhar adalah lembaga
pendidikan Islam tertua yang menjadi pusat dunia yang pada awal mula berdirinya
dari Masjid dibawah kekuasaan 4 dinasti, yaitu Dinasti Fathimiyah (361-567 H/972-
1171 M), Dinasti Ayyubiyah (567-648 H/1171-1250 M), Dinasti Mamalik (648-922
H/1250-1517 M) dan Dinasti Utsmaniyah (923-1213 H/ 1517-1798 M).87
Perkembangan karya tafsir al-Qur’an yang berada di Indonesia terbagi
menjadi dua. Yaitu, tafsir al-Qur’an kalangan pesantren (nonformal), dan kalangan
akademis (formal). Pertama, kalangan pesantren, Faid ar Rahman fī Tarjamah
Kalam Malik alDayyan karya Syekh Muhammad Salih ibn Umar as-Samarani yang
dikenal dengan nama Kiai Saleh Darat (1820-1903), Tafsir Surah Yasin (1954) dan
al-Ibriz li Ma’rifa Tafsir al-Qur’an al- ‘Aziz (1960), karya KH. Bisri Mustafa, Iklil
fi Ma’anī al-Tanzil (1980-an) dan Tajul Muslimin karya K.H. Misbah Zainul
Mustofa, dan ada juga KH. Bahauddin Nursalim atau yang terkenal dengan Gus
Baha adalah seorang tokoh mufassir yang murni dari kalangan pesantren dan lain-
lain. Kedua, kalangan akademis, Tafsir AlNur dan Tafsir Al-Bayan karya Prof. Dr.
T.M. Hasbi AshShidiqiey (1322-1395 H/1904-1975 M), Al-Mishbah Karya Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A, dan lain-lain.
Satu hal yang penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran al-
Qur’an sebelum masa kontemporer, hampir semua kitab-kitab tafsir ditulis oleh
orang-orang muslim berkebangsaan Arab dan berbahasa Arab. Kemudian semakin
berkembangnya keilmuan zaman sekarang, geliat para pelajar Indonesiapun ikut
andil dalam kegiatan menafsirkan al-Qur’an dengan berbahasa Indonesia.

C. Kaidah Tafsir

Dalam bahasa Arab kata ‫( قاعدة‬kaidah) diartikan asas atau fondasi jika dikaitkan dengan
bangunan, dan bermakna tiang jika dikaitkan dengan kemah. Dalam pengertian
istilah, Shari>f `Ali> bin Muh}ammad al Jurja>ni> dalam bukunya al Ta`ri>fa>t
menuliskan bahwa kaidah adalah ‫قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها‬Rumusan yang bersifat kulli
(menyeluruh mencakup semua bagian-bagiamya Ada juga yang merumuskannya sebagai

‫حكم كلي يتعرف بها على أحكام جزئية‬

Ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan menyangkut rincian Kata


tafsir yang berasal dari kata fassara mengandung makna kesungguhan membuka atau
keberulang-ulangan melakukan upaya membuka sehingga berarti kesungguhan dan
keberulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang tertutup dan menjelaskan apa yang
muskil atau sulit dari makna sesuatu antara lain kosakata Bermacam-macam definisi yang
dikemukakan para pakar terkait maksud tafsir al-Qur'an. Salah satu definisi yang singkat
tetapi cukup mencakup adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesual
dengan kemampuan manusia.
Kaidah-kaidah tafsir dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah Qawȃid at tafsȋr, terdiri
dari dua kata yaitu Qawȃid at tafsȋr. Qawaid adalah kata jamak (plural) dari kata mufrad
(singular) qaidah, bentuk feminin (muannats) dari kata mudzakkar (maskulin) qa‟idah.
Secara harfiah,

qaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip, atau dapat juga diartikan dengan peraturan,
model, contoh dan cara. Menurut ahli tafsir kaidah adalah Hukum (aturan) yang bersifat
menyeluruh atau umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali
hukum-hukum yang partikular (juz‟i). Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
Qawȃid at tafsȋr seperti yang didefinisikan Khalid Utsman al-Sabt yakni kaidah-kaidah
tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan (menuntun)
seseorang (mufassir) untuk mengistibatkan (menggali) makna-makna Al-Qur‟an al Azhim
dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri. Dengan
mengacu kepada definisi qawaid al-tafsir yang dikemukakan oleh al-Sabt diatas, dapat kta
pahami yang dimaksud dengan kaidah-kaidah tafsir adalah suatu aturan yang mengatur
tentang tata cara serta mekanisme penafsiran Al Qur’an yang harus dipegang oleh mufassir
dalam membuat penafsiran Al Qur’an yang benar, baik serta tepat secara isi dan makna.
Jika tidak memiliki tata cara penafsiran yang baku justru ini dapat menyesatkan para
mufassir dalam menafsirkan ayat Al Qur’an dan berdampak pada masyarakat luas.Tafsir itu
lahir dari upaya sungguh-sungguh dan berulang-ulang penafsir untuk ber-istinbat{ menarik
dan menemukan makna-makna pada teks ayat-ayat al-Qur’an serta menjelaskan apa yang
sulit dan samar dari ayat-ayat tersebut sesuai kemampuan dan
kecenderungan sang mufasir. Menurut M. Quraish Shihab, kaidah tafsir adalah
ketetapan yang membantu mufasir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’an, dan
menjelaskan apa yang muskil dari kandungan ayat-ayatnya. Menurut Khalid bin `Uthma>n
al Sabt, kaidah tafsir adalah

‫ألحكامةفرعموميظعالنأرقاليناعمطابنتساىإلاهبلصوتييتالةيلكالكيفية اإلستفادة منها‬

Ketentuan umum yang membantu seseorang untuk menguak makna al-Qur’an dan sebuah
pengetahuan metode untuk mengambil faedah darinya.
Para ulama sepakat untuk menetapkan bahwa tujuan utama dari kaidah-kaidah tafsir
adalah untuk memberikan pedoman bagi mufasir agar tidak menyimpang dari kebenaran ketika
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman makna dan isi al-Qur’an dengan benar menjadi
penting, karena dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam wahyu ilahi dapat dimengerti dan
selanjutnya dilaksanakan dalam perbuatan. Tanpa bantuan kaidah tafsir sebagai pedoman, ada
kemungkinan seseorang tidak dapat mengetahui maksud dari tuntunan-tuntunan Allah dengan
benar. Dengan demikian, ia tentu tidak akan mendapat petunjuk dari kitab suci ini. Situasi yang
demikian akan membuat al-Qur’an menjadi tidak bermakna bila berkaitan dengan fungsinya
sebagai petunjuk bagi manusia. Selain itu, orang yang terus berupaya untuk memahaminya
tanpa bantuan kaidah-kaidah tafsir tersebut sangat mungkin akan terperosok dalam kesalahan
ketika memahami ayat-ayat al-Qur’an. Akibatnya, ketika melaksanakan ajaran-ajarannya, bisa
jadi ia akan melakukan kesalahan.

D. Fungsi Kaidah Tafsir


Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an mufassir perlu memahami kaida-kaidah penafsiran,
sehingga tidak lepas dari aturan pokok didalam menafsirkan Al Qur’an. Dalam arti, menarik
makna-makna yang mengantarnya mengungkap rahasia dan menjelaskan kemusykilan yang boleh
jadi timbul dari ungkapan-ungkapan al-Qur‟an. Oleh karena itu, kaidah-kaidah tafsir ibarat alat
yang membantu terhindar dari kesalahan, membedakan antara penafsiran yang diterima dengan
penafsiran yang hendaknya ditolak. Sehingga kaidah ini berfungsi untuk menjelaskan makna yang
diinginkan dari setiap ayat.

Misalnya ayat kedua dari surat Al Baqarah Arab-Latin: żālika al-kitābu lā raiba fīh, hudan lil-
muttaqīn Terjemah Arti: Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa Disini kata “żālikal” isyarat yang menunjuk jauh, apakah ini yang dimaksud dalam
ayat tersebut yang dikaitkan dengan Al Qur’an, ternyata “żālika” bukan dimaknai secara harfiah
tetapi lebih kepada makna kedekatan, karena, untuk dapat memahami Al Qur’an dengan baik maka
seseorang itu harus ada kedekatan yang terkait dengan Al Qur’an yang bisa di buktikan dengan
gemar membacanya, senang memahami maknanya, serta selalui siap untuk melaksanakan ajaran-
ajarannya, dengan demikian “żālika” ini tidak dimaknai secara harfiah menunjuk yang jauh tetapi
lebih kepada pengagungang Al Qur’an memiliki nilai sakral, hebat, serta dapat dijadikan pedoman-
pedoman kehidupan.

Sehingga dapat dikatakan fungsi dari kaidah tafsir adalah untuk memberikan pemahaman yang
lebih jelas terhadap isi dari Al Qur’an itu sendiri sehingga maknanya gampang dipahami dan
mudah dilaksanakan. Menjadi tolak ukur bagi mufassir dalam penafsiran yang dia temukan atau
kemukakan serta patokan yang dapat menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana fungsi
kaidah-kaidah yang lain.

E. Kaidah – Kaidah Tafsir


1. Kaidah Qur’aniyah Langkah pertama bagi mufassir yang hendak menafsirkan Al Qur’an
sebelum mengacu pada yang lain harus merujuk pada Al Qur’an sendiri. Para ulama tafsir sepakat
untuk menyatakan bahwa tafsir Al Qur’an bi Al Qur’an sebagai tafsir terbaik dan paling berkualitas.
Seperti yang tertuang dalam tulisan al-Syanqithi, model tafsir yang paling utama dan paling agung
adalah penafsiran kitab Allah SWT dengan kitab Allah SWT. Beliau menyapaikan ini karena
menurut beliau tidak ada seorang pun ahli tafsir lebih mengetahui kalam Allah SWT daripada Allah
SWT sendiri. Kaidah Qur’aniyah adalah penafsiran Al-Qur’an yang diambil oleh ulumul quran dari
Al Qur’an. Hal ini didasarkan atas pernyataan Al Qur’an bahwa pada dasarnya yang mengetahui
makna Al Qur’an secara tepat hanyalah Allah SWT, dan berdasarkan petunjuk Al Qur’an:
“Tsumma inna „alaina bayanuhu “. Menurut Ibnu Katsir, model penafsiran inilah yang terbaik.
Pendapat Ibnu Katsir ini bisa dinilai sebagai pendapat yang argumentatif, di mana antara satu ayat
dengan ayat lainya saling berhubungan. Sehingga dapat berfungsi sebagai tafsir bi al-ma’tsur.
Menurut Ibnu Kasîr bahwa menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an adalah metode tafsir yang
terbaik. sesuai dengan petunjuk QS. AlQiyamah ayat 19: (kallā bal tuḥibbụnal-'ājilah) artinya
Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. Ayat ini menunjukan bahwa
pada dasarnya yang mengetahui makna Al Qur’an secara tepat hanyalah Allah. Dengan demikian,
Al Qur’an ditafsirkan dengan Al Qur’an, karena pemilik ucapanlah yang lebih paham akan makna
ucapannya pendapat Ibn Kasir dan as-Syanqithi memiliki kesepakatan yang menyatakan yang
memahami Al Qur’an hanyalah Allah SWT, sehingga menjadi kaidah Qur‟aniyah menjadi
penafsiran yang terbaik. Tentang penafsiran Al Qur’an dengan Al Qur’an ini kenyataannya memang
bisa dilakukan dalam praktik. Sebab seperti dipaparkan al-Zakarsyi dan sejumlah ulama lain, Al
Qur’an itu dilihat dari segi ada atau tidak adanya keterangan tentang dirinya, dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu: Kelompok ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan dirinya sendiri
sehingga tidak lagi membutuhkan keterangan baik dari ayat yang sama maupun ayat yang berbeda.
2. Kaidah Sunnah Yang dimaksud dengan Tafsir Al Qur’an bi as-Sunnah annabiwiyah ialah
menafsirkan Al Qur’an dengan hadits Nabi Muhammad SAW. Sunnah ini pun ada sunnah fi'liyyah,
sunnah qauliyyah, dan sunnah taqririyyahh. Di antaranya contohnya saat Nabi SAW, menafsirkan
kata “Zhulmun” dengan syirik (penyekutuan Allaw SWT), ketika menafsirkan firman Allah SWT
surat Al An’am ayat 82, yang atinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Penafsiran kata zhulmun dengan as-syirik di atas
didasarkan pada ayat Al Qur’an yang lain surat Luqman ayat 13; yang artinya Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-
benar kezaliman yang besar". Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa seorang musyrik menyerang
seorang Muslim dan mebunuhnya; kemudian menyerang muslim lain dan membunuhnya, dan lagi-
lagi dia menyerang muslim lain dan membunuhnya. Sesudah itu si musyrik bertanya kepada Nabi
Muhammad SAW, “Apakah diterima Islamnya jika dia memeluk Islam setelah bergelimpangan
dengan serentetan perbuatan membunuh orang-orang Muslimitu tadi?”. Kemudian dia memecut
kudanya dengan cepat untuk menyerbu pihak musuh Islam seraya dia membunuh beberapa orang
hingga akhirnya dia sendiri mati terbunih. Menurut Bakr bin Sadawah, para sahabat menganggap
ayat di atas QS Al-An’am ayat 82 berkenaan dengan peristiwa di atas yang menegaskan bahwa
iman seseorang yang tidak dicampuri syirik keimanannya dijamin oleh Allah SWT, sebab satu-
satunya dosa yang tidak terampuni adalah dosa menyekutukan Allah SWT. Tidaklah mengherankan
maka konsekuensinya, setiap kali Nabi menerima dan menyampaikan ayatayat Al Qur’an kepada
para sahabatnya, selama itu pula beliau menerangkan isi kandungannya. Terutama jika timbul
pertanyaan dari para sahabat yang mempelajarinya. Dan Nabi pun dengan penuh tanggung jawab
selalu saja menerangkan isi kandungan ayat-ayat Al Qur’an seiring dengan proses penurunannya.
Penjabaran dan penjelasan Rasullah SAW terhadap Al Qur’an yang kemudian menjadi Hadis atau
sunnah Rasulullah SAW. Manakala mufassir tidak mendapatkan penafsiran Al Qur’an dengan Al
Qur’an, maka mufassir dipersilahkan mencari hadis untuk menafsirkan Al Qur’an. Penafsiran Al
Qur’an dengan menggunakan al-hadis mendapatkan izin langsung dari Al Qur’an yang memberikan
otoritas penafsiran kepada Nabi Muhammad SAW, antara lain berdasarkan surat Al Nisaa ayat
105yang artinya Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah SWT wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat , An Nahl ayat 44.
3. Kaidah Bahasa Harfiah Al Qur’an yang arti utamanya adalah bacaan yang dibaca, maka
siapapun boleh, dibolehkan atau bahkan dipersilahkan dan insyaAllah mampu untuk membuktikan
sendiri perihal kewahyuan Al Qur’an ini dari segi isinya yang mana pun, termasuk dari sudut
pandang bacaannya. Kitab suci Al Qur’an, oleh Allah SWT benar-benar dimudahkan dan
diringankan pembelajarannya maupun pengajarannya bagi siapapun yang Allah kehendaki tatkalah
Al Qur’an menjadi mudah untuk dibaca, dihafal dan ditafsirkan. Keberagaman diantaranya tentang
maghfiroh dan makrifat, kemudian tentang hal-hal lain seperti tamanni taroji dan lain sebagainya
sehingga dari ini semua ayat tersebut dapat dipahami dengan baik seperti dalam surat Surat At-
Taubah Ayat 18 yang artinya “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. Penggalan ayat yang
pertama mengisahkan yang pantas, yang layak memakmurkan Masjid itu hanya orang yang beriman
dengan Allah SWT, ini diisyaratkan kalau dia tidak beriman tidak layak, karena masjid tempat
orang beriman kepada Allah SWT dan menyakini ini adanya akhirat , adanya akhirat, dimana ajaran
utama dalam Islam adalah Iman billah yaumil akhir, karena itu didalam banyak ayat, iman sering
disebutkan secara berurutan billahi yaumil akhir, seperti juga dalam surat al-Baqarah ayat 8 yang
artinya “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. Tidak disebutkan
lengkap tetapi kebanyakan yang singkat “āmannā billāhi wa bil-yaumil-ākhiri” iman kepada hari
akhir ini sangat penting karena akan berdapak pada keyakinan pada kehidupan kedua dan dalam
kehidupan kedua ini adalah saat-saat pertanggungjawaban dari semua yang dilakukan ketika di
dunia.

Membandingkan Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab & Tafsir Al-Muyassar


karya Aidh al-Qarni pada ayat ayat Tabayyun

Metode dan Corak Tafsir ‘Aidh al-Qarni dan M. Quraish Shihab berbeda, sehingga
mempengaruhi penafsiran mereka.

1. Substansi Penafsiran M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat tentang tabayyun dalam
QS Al-Hujurat:6 menjelaskan bahwa berita yang beredar di masyarakat harus diteliti kebenarannya
dan orang yang menyampaikan berita atau dalam hadis disebut para perawi hadis (orang yang
meriwayatkan hadis) apakah orang itu selalu berdusta atau tidak pernah berdusta. Sebanyak apapun
orang yang mengedarkan berita belum tentu berita itu benar, karena mereka hanya mengetahui dari
orang lain yang tidak mengetahui secara pasti asal-muasal berita itu. Orang yang mengedarkan
berita harus memenuhi syarat seperti: jujur, adil, dapat dipercaya, dan beriman.

Sedangkan menurut ‘Aidh al-Qarni dalam QS Al-Hujurat:6 menjelaskan bahwa berita harus
diteliti dan diseleksi kebenarannya jangan sampai salah orang dan jangan sampai menyakiti hati
orang yang tidak bersalah dan jangan menyesal karena kekeliruannya menuduh orang lain yang
tidak melakukan kesalahan.

2. Metodologi Penafsiran M. Quraish Shihab menggunakan metode tahlili (analisis) dalam


menafsirkan ayat tentang
Tabayyun misalnya S.Al-
Hujurat:6 Sedangkan ‘Aidh al-
Qarni menggunakan metode
ijmali (global) dalam
menafsirkan ayat tentang Tabayyun misalnya S.Al-Hujurat:6 Corak Penafsiran mereka M. Quraish
Shihab menggunakan corak tafsir al-adabi al-ijtima’i dalam menafsirkan ayat tentang Tabayyun.
Corak ini merupakan corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan masyarakat, serta usaha untuk menanggulangi masalah berdasarkan petunjuk ayat
dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar. Sedangkan ‘Aidh al-Qarni
menggunakan corak tafsir sufhi alisyari. Penta’wilan atau penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan
tidak berpijak kepada makna zhahirnya, karena ada petunjuk (isyarat) yang tersembunyi yang
tampak bagi mereka setelah melakukan suluk dan mendalami tasawuf, dan dapat menggabungkan
antara arti yang tersurat dengan yang tersirat. M. Quraish Shihab dalam menafsirkan Al-Qur’an ayat
tentang Tabayyun misalnya QS.AL-Hujurat:6 Ia menjelaskan lebih rinci, mendalam dan detail.
Sedangkan ‘Aidh al-Qarni Ia menjelaskan secara Global dan singkat.

Contoh : Penafsiran QS. Al – Hujurat : 6 oleh ‘Aidh al-Qarni (Tafsir Al – Muyassar)


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadam orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Dan Rasulnya, apabila orang yang fasik
terhadap agamanya menyampaikan berita kepada kalian maka telitilah kebenaran itu. Janganlah
kalian mempercayainya sebelum kalian mengetahui kebenarannya dan memastikan kejujurannya.
Sebab, dikhawatirkan kalian akan menyakiti seseorang yang tidak bersalah, hanya karena berita
orang fasik, lantas kalian menyesal karena terlanjur menyakiti orang yang tidak bersalah.

Contoh : Penafsiran QS. Al – Hujurat : 6 oleh M. Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Ayat di atas menggunakan kata ‫( ان‬in) yang berarti jika yang biasa digunakan untuk sesuatu
yang diragukan atau jarang terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada
orang-orang beriman diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan orang-orang fasik
mengetahiu bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan mereka akan meneliti kebenaran
setiap informasi sehingga seorang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongannya.

Kata ‫( فاسق‬fasiq) terambil dari kata ‫( فسق‬fasaqa) yang biasa digunakan untuk melukiskan
buah yang telah rusak atau terlalu
matang sehingga terkelupas
kulitnya. Seorang yang durhaka
adalah orang yang keluar dari
koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil.
Kata ‫( نبًا‬naba‟) digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata ‫ ( خبر‬khabar)
yang berarti kabar secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini, terlihat perlunya memilah
informasi apakah itu penting atau tidak dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat
dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari
siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak
energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.

Kata ‫( بجهالة‬bi jahȃlah) dapat berarti tidak mengetahui dan dapat juga diartikan serupa dengan
makna kejahilan, yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan
hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan
pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran Allah swt.

Ayat diatas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia
merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita. Kehidupan
manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri
tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu
ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, ٍdan ada
pula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring, khawatir jangan sampai seseorang melangkah
tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat di atas bi jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut
kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari jahalah yang
berarti kebodohan, disamping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang
ditetapkan Allah swt. Sebagai lawan dari makna kedua dari jahalah.

Penekanan pada kata fasiq bukan pada semua penyampai berita karena ayat ini turun di
tengah masyarakat muslim yang cukup bersih sehingga, bila semua penyampai berita harus
diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat
muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan masyarakat. Namun demikian, perlu dicatat bahwa,
bila dalam suatu masyarakat sulit dilacak sumber pertama dari satu berita sehingga tidak diketahui
apakah penyebarnya fasik atau bukan atau bila dalam masyarakat telah sedemikian banyak orang-
orang yang fasik, maka ketika itu berita apapun yang penting tidak boleh begitu saja diterima.
Dalam konteks serupa, Sayyidina Ali ra. berkata: “Bila kebaikan meliputi satu masa beserta orang-
orang di dalamnya, lalu seorang berburuk sangka terhadap orang lain yang belum pernah
melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah menzaliminya. Tetapi, apabila kejahatan telah
meliputi satu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap
orang yang belum dikenalnya, maka ia akan sangat mudah tertipu”.
Perlu dicatat bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan
kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan. Dahulu, ketika ulama menyeleksi
informasi para perawi hadits-hadits Nabi, salah satu yang diperbincangkan adalah penerimaan
riwayat yang disampaikan oleh sejumlah orang yang dinilai mustahil menurut kebiasan mereka
sepakat berbohong, atau yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya
masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi orang banyak itu
tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini,
sebanyak apa pun yang menyampaikannya tidak menjamin jaminan kebenarannya.

Kata ‫ ( تصبحوا‬tushbihu) pada mulanya berarti masuk di waktu pagi. Ia kemudian diartikan
menjadi. Ayat diatas mengisyaratkan bagaimana sikap seorang beriman dikala melakukan satu
kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat diatas, dilukiskan sebagai bagai ‫فتصبحوا‬
ً ‫( ما فعلتوم ناديمين على‬fa
tushbihu ala ma fa‟altum nadimin) yakni segera dan berpagipagi menjadi orang-orang yang penuh
penyesalan.

F. Urgensi Tafsir

Urgensi tafsir terkait dengan kedudukan, sistem, tujuan, serta keutamaannya, juga kaitannya
dengan kompetensi praktis-religius maupun pragmatis. Kedudukan tafsir dapat dipahami sebagai
kunci representatif untuk membuka tabir rahasia makna Al Qur’an. Kedudukan tersebut, dalam
sistem ajaran Islam berfungsi sebagai media (tariqah) untuk menggapai tujuan yang dikehendaki
dalam memahami makna Al-Qur’an, yakni memperoleh mutiara dan permata – sebagai simbol
makna tertinggi – di dalamnya.

Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pegangan yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan
yang hakiki. Sehingga, kompetensi apapun yang berorientasi pada hal-hal profanik (duniawi)
maupun eskatologik (ukhrawi) secara langsung bergantung pada equilibrium pemahaman terhadap
makna yang terkandung dalam kalamullah sebagai sumber utama yurisprudensi kehidupan.63
Demikianlah keindahan tafsir dengan kepentingan praktis-religius maupun pragmatis. Dari sini
dapat dicerna secara aksentuatif akan mendesaknya kebutuhan terhadap tafsir.

Berikut, penulis hadirkan perbandingan masukan dua ahli ulum AlQur’an. Pertama,
menurut al-Shabuniy, tafsir merupakan kunci untuk membuka gudang simpanan yang terhimpun
dalam Al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan dapat membuka gudang simpanan tersebut untuk
mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. Itulah sebabnya tafsir menjadi kebutuhan
yang begitu penting. Karena tanpa tafsir tentu tidak akan diperoleh pemahaman yang tepat terhadap
berbagai ayat Al-Qur’an. Kedua, dengan kalimat yang sedemikian romantis al-Suyutiy menyatakan
urgensi tafsir, demikian: Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Tafsir merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta
dibutuhkan. Objek pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan
tambang segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan
mencapai kebahagiaan hakiki. Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala
kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’, sedang kesejalanan ini sangat
bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah.

Menurut hemat penulis, urgensi tafsir pada saat ini sangat dibutuhkan di tengah masyarakat
modern, karena kampanye kebebasan berpikir, berekspresi, dan berbuat semakin gencar dilakukan
oleh kelompok liberal. Kondisi diperparah dengan tersedianya media massa dan media social tanpa
batas, yang menjangkau seluruh manusia di berbagai belahan dunia. Masyarakat sangat
membutuhkan penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang lebih segar, untuk mengaktifkan fungsi
Al-Qur’an itu sendiri sebagai hudan (petunjuk) atau adz-dzikr (pengingat), agar tidak terjerumus
pada kesesatan dan melampaui batas.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Tafsir adalah penjelasan makna-makna Al-Qur'an Al-Karim, dan mempelajari ilmu


tafsir adalah suatu kewajiban karena Allah menginginkan manusia untuk merenungi ayat-
ayat-Nya dan mengambil pelajaran darinya. Ilmu tafsir dimulai sejak zaman Rasulullah dan
para sahabatnya, berkembang melalui periode tafsir al-Qur'an masa Nabi Muhammad dan
Sahabat, serta tafsir masa Tabi'in. Tafsir melibatkan penggunaan kaidah-kaidah tafsir dan
penekanan pada pemahaman Al-Qur'an dengan Al-Qur'an sendiri, hadis Nabi Muhammad
SAW, dan pemahaman bahasa harfiah. Urgensi tafsir dalam masyarakat modern terletak
pada kebutuhan mendalam memahami Al-Qur'an untuk menghadapi tantangan pemikiran
bebas dan memastikan pesan Al-Qur'an disampaikan dengan benar di era media sosial yang
bebas. Oleh karena itu, studi tafsir memiliki peran penting dalam membimbing umat Islam
menuju pemahaman yang lebih dalam dan aplikatif terhadap ajaran Al-Qur'an.

DAFTAR PUSTAKA

Dina Nasicha. (2016). Makna Tabayyun Dalam Al-Qur'an. Retrieved from onesearch.id:
https://onesearch.id/Record/IOS2754.5828/TOC
Fatichatus Sa'diyah. (2021). Kaidah Tafsir. Retrieved from ejurnal.stiuda.ac.id:
http://ejurnal.stiuda.ac.id/index.php/althiqah/article/view/45/35
Hamda Hidayat. (2020, Juni). Sejarah Perkembangan Tafsir. Retrieved from
jurnalmunir.com: https://jurnalalmunir.com/index.php/al-munir/article/view/46
Idrus. (2020). Kaidah - Kaidah Tafsir. Retrieved from academia.edu:
https://www.academia.edu/50972827/Kaidah_Kaidah_Tafsir
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminDarul Musthofa. (2018). Terjemah Usul fit
Tafsir. Retrieved from ebooksunnah.com:
https://ebooksunnah.com/en/ebooks/terjemah-usul-fit-tafsir-dasar-ilmu-tafsir

Anda mungkin juga menyukai