Disusun oleh :
Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan
Lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan penyusunan makalah Ulumul Quran dengan judul “Memahami Berbagai
Hal Yang Berhubungan Dengan Ilmu Tafsir” tepat pada waktunya.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek
lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah
ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa
bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah
berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................................3
A. Latar Belakang.........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................................5
A. Pengertian Tafsir......................................................................................................................5
B. Sejarah Ilmu Tafsir..................................................................................................................7
C. Kaidah Tafsir..........................................................................................................................24
D. Fungsi Kaidah Tafsir.............................................................................................................26
E. Kaidah – Kaidah Tafsir.........................................................................................................26
BAB III............................................................................................................................................34
PENUTUP.......................................................................................................................................34
Kesimpulan.....................................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................35
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh
umat manusia, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat jibril. Sebagai petunjuk bagi semua umat manusia, Al-
Qur’an harus dijagakemurniannya. Salah satu manfaat dari penjagaan keaslian
dan kesucian Al-Qur’an iniyaitu agar manusia bisa menjalani kehidupannya.
Setelah Nabi Muhammad Sawwafat, para sahabat dan para ulama khawatir akan
kelangsungan kemurnian Al-Qur’anini di masa yang akan datang, untuk itulah ada
Ulumul Qur’an yang mengkaji tentanghal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
salah satunya ialah Tafsir.
Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya.
Ia merupakan ilmu yang paling mulia obejk pembahasannya dan tujuannya, serta
sangat dibutuhkan bagi umat Islam dalam mengetahui makna dari Al-Qur‟an
sepanjang zaman. Tanpa tafsir seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-
mutiara berharga dari ajaran Ilahi yang kandung dalam Al-Qur‟an,
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami, menerangkan maksud,
mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya ini telah dilakukan sejak masa
Rasulullah SAW, sebagai utusan-Nya yang ditugaskan agar menyampaikan ayatayat
tersebut sekaligus menandainya sebagai mufassir awwal (penafsir pertama).
Sepeninggalan nabi hingga saat ini, tafsir telah mengalami banyak perkembangan
yang sangat bervariatif dengan tidak melepas kategori masanya. Dan tak lepas
keanekaragaman secara metode (manhaj thariqah), corak (laun’) maupun
pendekatan-pendekatan (alwan) yang digunakan merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dalam sebuah karya tafsir hasil manusia yang tak pernah sempurna.
B. Rumusan Masalah
Adapun dalam penulisan makalah ini, penulis membuat beberapa rumusan masalah,
yaitu :
1. Apa pengertian dari tafsir?
2. Jelaskan sejarah perkembangan ilmu tafsir?
3. Jelaskan kaidah tafsir?
4. Sebutkan apa saja urgensi mempelajari ilmu tafsir?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Memenuhi tugas perkuliahan Ulumul Quran
2. Mengetahui pengertian tafsir
3. Mengetahui sejarah perkembangan ilmu tafsi
4. Mengetahui kaidah tafsir
5. Mengetahui urgensi mempelajari ilmu tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Secara bahasa, tafsir berasal dari kata al-fasru, yaitu menyingkap sesuatu
yang tertutup. Secara istilah, tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an Al-
Karim. Mempelajari tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka mentadabburi (merenungi) ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad: 29)
Dan berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Maka apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
(QS. Muhammad: 24)
Istidllal (kesimpulan yang dipahami) dari ayat pertama adalah bahwa Allah
Ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur’an yang penuh berkah ini adalah
agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran yang terkandung
di dalamnya. Tadabbur adalah memperhatikan, mempelajari, dan merenungi lafazh-
lafazh untuk mencapai maknanya. Jika hal itu tidak dilakukan, maka luputlah
hikmah diturunkannya Al-Qur’an, dan jadilah Al-Qur’an hanya sekedar lafazh-
lafazh yang menjadi bacaan rutinitas yang tidak dapat memberikan pengaruh bagi
orang-orang yang membacanya. Hal ini disebabkan karena pengambilan ibrah
(pelajaran) itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa memahami makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
Istidllal (konklusi) dari ayat yang kedua adalah bahwa Allah Ta’ala mencela
orang-orang yang tidak memperhatikan AlQur’an, serta mengisyaratkan bahwa hal
tersebut termasuk penutup dan penghalang hati mereka, sehingga kebenaran itu
tidak sampai kepada hati mereka. Dulu, para Salaful Ummah (umat terdahulu)
berada di atas jalan yang wajib ini. Mereka mempelajari Al-Qur’an, baik lafazhnya
maupun maknanya, karena dengan cara itulah mereka mampu mengamalkan Al-
Qur’an sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala. Karena mengamalkan sesuatu
yang tidak diketahui maknanya adalah hal yang mustahil.
Berkata Abu Abdirrahman As-Sulami, “Telah menceritakan kepada kami
orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan,
Abdullah bin Mas’ud, dan juga yang lainnya; bahwa apabila mereka mempelajari
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepuluh ayat, mereka tidak menambahnya
sampai mereka mempelajari pelajaran apa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut,
kemudian berusaha untuk mengamalkannya. Mereka berkata, ‘Maka kami
mempelajari Al-Qur’an, mengambil ilmu dari Al-Qur’an, dan sekaligus
mengamalkannya.”
Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, “Sudah dimaklumi bersama bahwa
orang-orang tidak dibenarkan membaca sebuah kitab tentang suatu macam ilmu,
seperti ilmu kedokteran dan ilmu hisab, tanpa menuntut syarah (penjelasan/tafsir)
untuk hal itu. Maka bagaimana dengan Kalamullah Ta’ala yang merupakan tali
pegangan mereka, dan dengannyalah (dapat diraih) keselamatan dan kebahagiaan
mereka, serta tegaknya agama dan dunia mereka? Wajib atas ahli ilmu untuk
menjelaskan tafsir kepada umat manusia, baik dengan tulisan maupun dengan lisan,
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan
janganlah kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran [3]: 187)
Menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia itu bersifat menyeluruh, meliputi
menjelaskan lafazh-lafazh dan maknamaknanya. Jadi, tafsir Al-Qur’an itu termasuk
janji yang akan Allah minta pertanggungjawabannya kepada ahli ilmu untuk
menjelaskannya.
Tujuan mempelajari ilmu tafsir adalah tercapainya tujuan yang terpuji dan
buah yang mulia, yaitu membenarkan kabar-kabar Al-Qur’an dan mengambil
manfaat dari kabarkabar tersebut serta menetapkan hukum-hukumnya sesuai dengan
yang dimaksud oleh Allah, yaitu agar dalam menyembah Allah Ta’ala didasari atas
bashirah (ilmu).
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan bertaqwa” (QS. Yunus [11]: 63)
“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (Surga) dan
tambahannya.” (QS. Yunus: 26)
“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (Surga) dan
tambahannya.” (QS. Yunus [11]: 26)
2. Masa Sahabat
Dari kedua contoh ayat 1 dalam surat al-Maidah diatas bisa dilihat,
bahwasanya ada kata yang masih universal, yaitu “tidak menghalalkan
berburu” atau bisa dikatakan “haram”, kemudian ditafsiri dengan ayat 3, yaitu lebih
mengkhususkan lagi hewan-hewan yang haram ُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah...dst.”
Sunnah atau hadits Nabi adalah merupakan sumber yang penting dalam
menafsirkan al-Qur’an. Para sahabat selalu akan merujuk terlebih dahulu kepada
sunnah. Hadits dijadikan sebagai sumber dalam menafsirkan al-Qur’an oleh para
sahabat karena banyak hadits yang terdapat penjelasan ayat-ayat yang musykil yang
ditanyakan para sahabat kepada Nabi. Namun, walaupun hadits merupakan penafsir
al-Qur’an perlu diteliti kembali otentisitas hadits, apakah ia benar-benar hadits yang
berasal dari Nabi atau bukan. Contoh mengenai tafsir sahabat berdasarkan hadits
adalah ketika Ibnu Mas’ud menafsirkan firman Allah :
Ibnu mas’ud merujuk kepada hadits yang menyatakan bahwa shalat wustha
adalah shalat ashar, sebagaimana riwayat berikut
“Diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW berkata, shalat
wusthaa yaitu shalat ‘ashr, Abu ‘isa berkata, bahwsanya hadits ini adalah hasan
shahih.”
Sedangkan menurut Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Imam Jalal al-Din Al-
Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain Al-Qur’an Al-‘Adzim, yang dinamakan shalat
al-whustha yaitu shalat lima waktu itu sendiri.47
Sumber atau metode ijtihad adalah proses yang dilakukan oleh para sahabat
dalam menafsirkan al-Qur’an dengan cara pendapat atau pemikirannya sendiri. Jika
mereka tidak mendapatkan penjelasan dari Rasulullah, maka mereka melakukan
ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan. Para sahabat melakukan ijtihad
atau istinbath dengan memanfaatkan kekuatan akal sehat, berbekal kepada
pengetahuan dan aspek bahasa yang dikuasai. Pada mulanya menafsirkan dengan
menggunakan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa
serta arti yang dikandungnya pada suatu kosakata. Contoh penafsiran dengan
menggunakan ijtihad terdapat pada surat al-Taubah ayat 37 :
d) Ragam Qira’at
“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit.
Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu
turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.‛ Katakanlah, "Mahasuci Tuhanku,
bukanlah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
Kata min zukhrufin menurut qira’at Ibnu Mas’ud dibaca dengan min dzahab
(dari emas). Walaupun qira’at tersebut syaddzah (menyalahi aturan mutawatirah),
para ulama membolehkannya sebagai salahsatu rujukan penafsiran.
“(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa,
Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah
petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (al-Kahfi : 10)
f) Kebahasaan
1) Ibnu Abbas
Nama lengkapnya yaitu, Abd ‘Allah bin Abbas bin Abd alMuthalib bin
Hasyim bin Adb al-Manaf al-Quraisy al-Hasyimi. Ia adalah sepupu Nabi
Muhammad. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah di kampung Syab Ali.
Mekah. Ibunya bernama Ummu al-Fadhil Lubabah al-Kubra binti al-Haris bin
Hilaliyyah. Ibnu Abbas adalah seorang maestro al-Qur’an. Pengetahuannya tentang
al-Qur’an sangat mendalam, sehingga dijuluki dengan Tarjuman Al-Qur’an
(penerjemah al-Qur’an). Ibnu Abbas wafat di Thaif pada usia 76 tahun. Dan
dimakamkan disana. Banyak riwayat yang beliau terima, ada yang shahiih, dhaif,
hasan dan maudhu’.
2) Ibnu Mas’ud
Ubay bin Ka’ab lahir di Madinah. Beliau berasal dari Bani Najjar. Tidak
ditemukan lebih tepatnya beliau lahir. Namun sejarah mencatat bahwa Ubbay bin
Ka’ab masuk Islam setelah Nabi Muhammad hijrah. Ubay bin Ka’ab merupakan
salah satu dari segelintir sahabat Anshar yang pandai dalam tulis menulis dan sudah
diakui oleh orang Madinah. Selain itu, beliau dikenal dengan Sayyid AlQurra
(pemimpin para penghafal Qur’an). Minimnya informasi tentang Ubay bin Ka’ab
juga terjadi pada tahun wafatnya, sehingga tidak dapat ditetapkan dengan pasti
beliau wafat. Sumber lain menyebutkan beliau wafat pada tahun 19 H, bahkan ada
yang berpendapat pada 30 H.
Abu Musa al-Asy’ari berasal dari Yaman. Beliau tergolong orang yang
pertama masuk Islam. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau ikut hijrah ke
Abisinia dan baru kembali lagi pada masa penaklukan Khaibar. Pada tahun 17 H,
beliau dinobatkan menjadi Gubernur Bashrah oleh Khalifah ‘Umar bin Khatab. Abu
Musa al-Asy’ari terlibat dalam perang Shiffin pada tahun 37 H antara Ali dan
Mu’awiyyah. Ketika itu beliau bertindak sebagai arbitrator untuk Khalifah. Menurut
sebuah sumber mengatakan bahwa pada tahun 42 H wafat di Kuffah.
3. Masa Tabi’in
Periode selanjutnya yaitu perkembangan tafsir pada masa tabi’in yang
dimulai sejak berakhirnya tafsir masa sahabat. Tafsir pada masa sahabat dianggap
berakhir dengan wafatnya tokoh-tokoh mufassir sahabat yang dulunya menjadi guru
para tabi’in dan digantikan dengan tafsir para tabi’in. Penafsiran Nabi Muhammad
dan para sahabat tidak mencakup semua ayat alQur’an dan hanya menafsirkan
bagian-bagian al-Qur’an yang sulit dipahami orang pada masa tersebut,
menjadikannya muncul problem baru, yakni bertambahnya persoalan yang baru.
Pengaruh utama yang melatar belakangi dalam perkembangan tafsir pada
masa tabi’in yaitu ketika wilayah kekuasaan Islam semakin meluas, ketika ekspansi
Islam yang semakin meluas, maka hal itu mendorong tokoh-tokoh sahabat
berpindah ke daerah-daerah dan masing-masing membawa ilmu, dari tangan inilah
kemudian para tabi’in sebagai murid dari para sahabat menimba ilmu. Sebagai hasil
nyata dari penaklukan para tentara Islam ke wilayah atau negara sekitarnya para
sahabatpun banyak yang berpindah ke wilayah baru yang ditaklukkan, termasuk
juga sahabat yang ahli dalam bidang tafsir al-Qur’an. Di wilayah baru, para ahli
tafsir kalangan sahabat banyak yang mendirikan madrasah-madrasah tafsir. Dari
situlah kajian tafsir alQur’an mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat di
kalangan generasi setelah sahabat yakni kalangan tabi’in. Madrasah yang didirikan
oleh para sahabat itupun kemudian banyak yang menyebar ke wilayah-wilayah lain.
Dari madrasah-madrasah sahabat itu terhimpunlah tafsir bi al-ma’tsur (tafsir
atsariy) yang sebagainnya disandarkan pada Nabi, sedangkan kebanyakannya
disandarkan pada sahabat, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, akan tetapi
himpunan tafsir tersebut banyak dicampuri oleh israiliyyat yang dapat merusak
tafsir yang benar, atau memalingkan dari makna sebenarnya. Tatacara para sahabat
mentransfer dalam menafsirkan al-Qur’an dengan cara talaqqi (mengajari secara
langsung) seperti halnya mempelajari hadits.
Secara garis besar tokoh dan aliran tafsir pada masa tabi’in dapat
dikategorikan menjadi tiga sesuai dengan tempatnya, seperti sebagai berikut :
a) Tokoh dan Aliran Mekkah Aliran ini didirikan oleh murid dari ‘Abd Allah bin
Abbas, seperti ; Said bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas
dan Thawus bin Kisan Al-Yamani. Mereka semua merupakan maula (hamba sahaya
yang telah dibebaskan). Aliran ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru
tafsir yang berada di Mekkah yang mengajar tafsir pada sahabat.
b) Tokoh dan Aliran Madinah Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang
didukung oleh sahabat-sahabat yang lain berada di Madinah dan kemudian
dilanjutkan oleh tabi’in Madinah seperti Abu Aliyah, Zaid bin Tsabit, Zaid bin
Aslam Dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Aliran tafsir Madinah muncul karena
banyaknya sahabat yang menetap di Madinah. Pada aliran tafsir Madinah telah ada
sistem penulisan pada naskah-naskah dari Ubay bin Ka’ab melalui Abu Aliyah dari
Rabi Abu Ja’far al-Razy. Dengan demikian penafsiran pada masa Madinah sudah
timbul tafsir bi al-Ra’yi.
c) Tokoh dan Aliran Iraq Aliran Iraq ini dipelopori oleh Abd ‘Allah ibn Mas’ud
(dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran bi al-Ra’yi) dan dilindungi
oleh Gubernur Iraq. Berawal dari perintah Khalifah Umar menunjuk Ammar bin
Yasir sebagai Gubernur di Kuffah dari Ibnu Mas’ud sebagai ulama di Kuffah,
penafsiran ini akhirnya banyak diikuti di Iraq.
4. Masa Tabi’i Al-Tabi’in Atau Masa Pembukuan Tafsir
Generasi Tabi’i al-Tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan
ilmu yang mereka terima dari para Tabi’in. Mereka mengumpulkan semua pendapat
dan penfsiran al-Qur’an yang dikemukakan oleh para ‘ulama terdahulu, kemudian
mereka terangkan kedalam kitab-kitab tafsir. Seperti yang dikemukakan oleh
Sufyan bin Uyainah, Rauh bin ‘Ubadah al-Basri, ‘Abd alRazzaq bin Hammam,
Adam bin Abu Iyas. Tafsir golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai pada kita,
yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka, seperti
termuat dalam kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur.
Secara epistemologi, telah terjadi pergeseran mengenai rujukan penafsiran
antara sahabat dengan tabi’in dan tabi’i altabi’in. Jika pada masa sahabat, mereka
tidak begitu tertarik dengan menggunakan israiliyyat dari para ahli kitab, maka tidak
demikian halnya pada masa tabi’in dan tabi’i al-tabi’in yang sudah mulai banyak
menggunakan referensi israiliyyat sebagai penafsiran, terutama penafsiran ayat-ayat
yang berupa kisah dimana al-Qur’an hanya menceritakan secara global. Faktor
utama pengaruh adanya kisah israiliyyat dalam tafsir pada masa tabi’in dan tabi’i al-
tabi’in yaitu adalah banyaknya ahli kitab yang masuk Islam dan para tabi’in ingin
mendalami informasi dengan detail mengenai kisah-kisah yang masih global dari
mereka.
Adapun pergeseran yang terjadi, mulai dari masa sahabat ke tabi’in tersebut,
namun yang jelas tradisi penafsiran al-Qur’an itu tetap tumbuh dan berkembang
sampai dengan pada tahun 150 H dengan berakhirnya masa tabi’in yang kemudian
dilanjutkan dengan tabi’i al-tabi’in. Karena pada masa Nabi, sahabat, tabi’in
merupakan masa dimana penafsiran pada awal dan pertumbuhan dan pembentukan
tafsir, maka menurut hemat penulis, masa tersebut dinamakan dengan masa formatif
atau dengan bahasa lain disebut dengan masa pembentukan.
Meskipun demikian, al-Qur’an justru masih terbuka secara luas untuk
ditafsirkan dan belum banyak klaim-klaim kufr terhadap orang yang menfsirkan
secara berbeda dari mainstream pemikiran yang ada, kecuali beberapa saja yang
terjadi pada masa tabi’in.
Tafsir-tafsir yang muncul pada masa formatif-klasik ini masih sangat kental
dengan nalar bayani dan bersifat deduktif, dimana teks al-Qur’an menjadi
penafsiran dasar dan bahasa menjadi perangkat analisisnya. Itulah sebabnya
menurut Nashr Hamid Abu Zaid sering menyebut bahwa peradaban Arab identik
dengan peradaban teks, dengan kata lain, mereka lebih suka menggunakan ‚nalar
langit‛ (deduktif) daripada ‚nalar bumi‛ (induktif).
Pada masa tabi’i al-tabi’inilah mulai disusun kitab-kitab tafsir yang
berukuran besar yang cukup banyak. Tafsir pada masa ini biasanya menggunakan
aqwal al-shahabah (perkataan shahabat) dan tabi’in. Diantara nama-nama yang patut
disebut dari angkatan ini ialah : Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin Al-Jarrah, Syu’bah
bin AlHajjaj, Yazid bin Harun, ‘Abd Al-Razzaq, Adam bin Abi Ilyas, Ishaq bin
Rahawaih, Rawah bin Ubadah, Abid bin Humed, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ali
bin Abi Thalhah, Al-Bukhari dan lainlain.
Pada masa ini kemudian mulai muncul kitab-kitab tafsir bi alma’tsur.
Kemudian angkatan berikutnya muncul : Ibnu Jarir AlThabari Dengan Kitabnya
yang Mashur, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Majjah, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Ibnu
Hibban dan lain-lain.84 Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah
dan awal dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadits mendapat prioritas utama
pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah satu
dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini belum dipisahkan secara
khusus yang hanya memuat tafsir surat demi surat daan ayat demi ayat dari awal al-
Qur’an sampai akhir.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan
pada Nabi Muhammad, sahabat atau tabi’in sangat besar disamping perhatian
terhadap hadits. Dan adapun tokoh-tokohnya yang sudah disebutkan diatas. Sesudah
golongan ini, kemudian datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara
khusus dan independent serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan
terpisah sendiri. Mereka menfsirkan alQur’an sesuai dengan sistematika tertib al-
Qur’an.
Tafsir di masa ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in dan terkaadang disertai pen-tarjih-
an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbath)
sejumlah penjelasan kedudukan kata (i’rob) jika diperlukan, sebagaimana yang
dilakukan oleh Ibnu Jarrir Al-Thabari.
Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan,
cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-
masalah ‚kalam’ semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius dan ilmu-
ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap
golongan berupaya mendukung madzhabnya masing-masing. Ini semua
menyebabkan tafsir ternoda polusi udara tidak sehat. Sehingga mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an berpegang teguh pada pemahaman pribadi dan mengarah ke
berbagai kecenderungan.
5. Masa Kontemporer
Pada masa ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat
ini dan mendatang. Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah
oleh bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam telah
merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan
mereka telah dirusak dan dinodai.
Maka terkenallah periode modernisasi Islam yang antara lain dilakukan di
Mesir oleh Jamal al-Din al-Afghani (1254-1315 H/1838-1897 M), Syekh
Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849- 1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridho
(1282-1354 H/1865-1935 M). Dua orang yang disebutkan terakhir yakni Syekh
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridho, berhasil menafsirkan alQur’an
dengan nama kitabnya yaitu tafsir al-Qur’an al-Hakim atau dikenal dengan sebutan
tafsir al-Manar. Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh
yang cukup besar bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab-kitab tafsir yang semasa
dengannya dan terutama bagi kitab-kitab tafsir yang terbit setelahnya hingga
sekarang. Cikal bakal tafsir al-Qur’an yang lahir pada abad ke-20 dan 21 banyak
yang mendapat inspirasi dari tafsir al-Manar, diantara contohnya ialah tafsir al-
Maraghi, tafsir alQasimi dan tafsir al-Jawahir karya Thantawi Jauhari.
Pada saat itu bersamaan dengan upaya pembaruan Islam dan gerakan
penafsiran al-Qur’an di Mesir dan negara-negara lainnya, para ilmuan muslim di
Indonesia juga melakukan gerakan penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an ke
dalam bahasa Indonesia. Diantaranya yang tergolong ke dalam tafsir yang
berekualitas dan monumental adalah al-Qur’an dan tafsirnya yang diterbitkan oleh
Kementrian Agama Republik Indonesia dan tafsir al-Azhar karya Prof. Dr. Buya
HAMKA (1908-1981).
Awal pertumbuhan dan perkembangan keilmuan agama Islam lebih
khususnya tafsir yaitu berasal dari al-Azhar Mesir, karena al-Azhar adalah lembaga
pendidikan Islam tertua yang menjadi pusat dunia yang pada awal mula berdirinya
dari Masjid dibawah kekuasaan 4 dinasti, yaitu Dinasti Fathimiyah (361-567 H/972-
1171 M), Dinasti Ayyubiyah (567-648 H/1171-1250 M), Dinasti Mamalik (648-922
H/1250-1517 M) dan Dinasti Utsmaniyah (923-1213 H/ 1517-1798 M).87
Perkembangan karya tafsir al-Qur’an yang berada di Indonesia terbagi
menjadi dua. Yaitu, tafsir al-Qur’an kalangan pesantren (nonformal), dan kalangan
akademis (formal). Pertama, kalangan pesantren, Faid ar Rahman fī Tarjamah
Kalam Malik alDayyan karya Syekh Muhammad Salih ibn Umar as-Samarani yang
dikenal dengan nama Kiai Saleh Darat (1820-1903), Tafsir Surah Yasin (1954) dan
al-Ibriz li Ma’rifa Tafsir al-Qur’an al- ‘Aziz (1960), karya KH. Bisri Mustafa, Iklil
fi Ma’anī al-Tanzil (1980-an) dan Tajul Muslimin karya K.H. Misbah Zainul
Mustofa, dan ada juga KH. Bahauddin Nursalim atau yang terkenal dengan Gus
Baha adalah seorang tokoh mufassir yang murni dari kalangan pesantren dan lain-
lain. Kedua, kalangan akademis, Tafsir AlNur dan Tafsir Al-Bayan karya Prof. Dr.
T.M. Hasbi AshShidiqiey (1322-1395 H/1904-1975 M), Al-Mishbah Karya Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A, dan lain-lain.
Satu hal yang penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran al-
Qur’an sebelum masa kontemporer, hampir semua kitab-kitab tafsir ditulis oleh
orang-orang muslim berkebangsaan Arab dan berbahasa Arab. Kemudian semakin
berkembangnya keilmuan zaman sekarang, geliat para pelajar Indonesiapun ikut
andil dalam kegiatan menafsirkan al-Qur’an dengan berbahasa Indonesia.
C. Kaidah Tafsir
Dalam bahasa Arab kata ( قاعدةkaidah) diartikan asas atau fondasi jika dikaitkan dengan
bangunan, dan bermakna tiang jika dikaitkan dengan kemah. Dalam pengertian
istilah, Shari>f `Ali> bin Muh}ammad al Jurja>ni> dalam bukunya al Ta`ri>fa>t
menuliskan bahwa kaidah adalah قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتهاRumusan yang bersifat kulli
(menyeluruh mencakup semua bagian-bagiamya Ada juga yang merumuskannya sebagai
qaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip, atau dapat juga diartikan dengan peraturan,
model, contoh dan cara. Menurut ahli tafsir kaidah adalah Hukum (aturan) yang bersifat
menyeluruh atau umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali
hukum-hukum yang partikular (juz‟i). Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
Qawȃid at tafsȋr seperti yang didefinisikan Khalid Utsman al-Sabt yakni kaidah-kaidah
tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan (menuntun)
seseorang (mufassir) untuk mengistibatkan (menggali) makna-makna Al-Qur‟an al Azhim
dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri. Dengan
mengacu kepada definisi qawaid al-tafsir yang dikemukakan oleh al-Sabt diatas, dapat kta
pahami yang dimaksud dengan kaidah-kaidah tafsir adalah suatu aturan yang mengatur
tentang tata cara serta mekanisme penafsiran Al Qur’an yang harus dipegang oleh mufassir
dalam membuat penafsiran Al Qur’an yang benar, baik serta tepat secara isi dan makna.
Jika tidak memiliki tata cara penafsiran yang baku justru ini dapat menyesatkan para
mufassir dalam menafsirkan ayat Al Qur’an dan berdampak pada masyarakat luas.Tafsir itu
lahir dari upaya sungguh-sungguh dan berulang-ulang penafsir untuk ber-istinbat{ menarik
dan menemukan makna-makna pada teks ayat-ayat al-Qur’an serta menjelaskan apa yang
sulit dan samar dari ayat-ayat tersebut sesuai kemampuan dan
kecenderungan sang mufasir. Menurut M. Quraish Shihab, kaidah tafsir adalah
ketetapan yang membantu mufasir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’an, dan
menjelaskan apa yang muskil dari kandungan ayat-ayatnya. Menurut Khalid bin `Uthma>n
al Sabt, kaidah tafsir adalah
Ketentuan umum yang membantu seseorang untuk menguak makna al-Qur’an dan sebuah
pengetahuan metode untuk mengambil faedah darinya.
Para ulama sepakat untuk menetapkan bahwa tujuan utama dari kaidah-kaidah tafsir
adalah untuk memberikan pedoman bagi mufasir agar tidak menyimpang dari kebenaran ketika
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman makna dan isi al-Qur’an dengan benar menjadi
penting, karena dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam wahyu ilahi dapat dimengerti dan
selanjutnya dilaksanakan dalam perbuatan. Tanpa bantuan kaidah tafsir sebagai pedoman, ada
kemungkinan seseorang tidak dapat mengetahui maksud dari tuntunan-tuntunan Allah dengan
benar. Dengan demikian, ia tentu tidak akan mendapat petunjuk dari kitab suci ini. Situasi yang
demikian akan membuat al-Qur’an menjadi tidak bermakna bila berkaitan dengan fungsinya
sebagai petunjuk bagi manusia. Selain itu, orang yang terus berupaya untuk memahaminya
tanpa bantuan kaidah-kaidah tafsir tersebut sangat mungkin akan terperosok dalam kesalahan
ketika memahami ayat-ayat al-Qur’an. Akibatnya, ketika melaksanakan ajaran-ajarannya, bisa
jadi ia akan melakukan kesalahan.
Misalnya ayat kedua dari surat Al Baqarah Arab-Latin: żālika al-kitābu lā raiba fīh, hudan lil-
muttaqīn Terjemah Arti: Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa Disini kata “żālikal” isyarat yang menunjuk jauh, apakah ini yang dimaksud dalam
ayat tersebut yang dikaitkan dengan Al Qur’an, ternyata “żālika” bukan dimaknai secara harfiah
tetapi lebih kepada makna kedekatan, karena, untuk dapat memahami Al Qur’an dengan baik maka
seseorang itu harus ada kedekatan yang terkait dengan Al Qur’an yang bisa di buktikan dengan
gemar membacanya, senang memahami maknanya, serta selalui siap untuk melaksanakan ajaran-
ajarannya, dengan demikian “żālika” ini tidak dimaknai secara harfiah menunjuk yang jauh tetapi
lebih kepada pengagungang Al Qur’an memiliki nilai sakral, hebat, serta dapat dijadikan pedoman-
pedoman kehidupan.
Sehingga dapat dikatakan fungsi dari kaidah tafsir adalah untuk memberikan pemahaman yang
lebih jelas terhadap isi dari Al Qur’an itu sendiri sehingga maknanya gampang dipahami dan
mudah dilaksanakan. Menjadi tolak ukur bagi mufassir dalam penafsiran yang dia temukan atau
kemukakan serta patokan yang dapat menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana fungsi
kaidah-kaidah yang lain.
Metode dan Corak Tafsir ‘Aidh al-Qarni dan M. Quraish Shihab berbeda, sehingga
mempengaruhi penafsiran mereka.
1. Substansi Penafsiran M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat tentang tabayyun dalam
QS Al-Hujurat:6 menjelaskan bahwa berita yang beredar di masyarakat harus diteliti kebenarannya
dan orang yang menyampaikan berita atau dalam hadis disebut para perawi hadis (orang yang
meriwayatkan hadis) apakah orang itu selalu berdusta atau tidak pernah berdusta. Sebanyak apapun
orang yang mengedarkan berita belum tentu berita itu benar, karena mereka hanya mengetahui dari
orang lain yang tidak mengetahui secara pasti asal-muasal berita itu. Orang yang mengedarkan
berita harus memenuhi syarat seperti: jujur, adil, dapat dipercaya, dan beriman.
Sedangkan menurut ‘Aidh al-Qarni dalam QS Al-Hujurat:6 menjelaskan bahwa berita harus
diteliti dan diseleksi kebenarannya jangan sampai salah orang dan jangan sampai menyakiti hati
orang yang tidak bersalah dan jangan menyesal karena kekeliruannya menuduh orang lain yang
tidak melakukan kesalahan.
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Dan Rasulnya, apabila orang yang fasik
terhadap agamanya menyampaikan berita kepada kalian maka telitilah kebenaran itu. Janganlah
kalian mempercayainya sebelum kalian mengetahui kebenarannya dan memastikan kejujurannya.
Sebab, dikhawatirkan kalian akan menyakiti seseorang yang tidak bersalah, hanya karena berita
orang fasik, lantas kalian menyesal karena terlanjur menyakiti orang yang tidak bersalah.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Ayat di atas menggunakan kata ( انin) yang berarti jika yang biasa digunakan untuk sesuatu
yang diragukan atau jarang terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada
orang-orang beriman diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan orang-orang fasik
mengetahiu bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan mereka akan meneliti kebenaran
setiap informasi sehingga seorang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongannya.
Kata ( فاسقfasiq) terambil dari kata ( فسقfasaqa) yang biasa digunakan untuk melukiskan
buah yang telah rusak atau terlalu
matang sehingga terkelupas
kulitnya. Seorang yang durhaka
adalah orang yang keluar dari
koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil.
Kata ( نبًاnaba‟) digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata ( خبرkhabar)
yang berarti kabar secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini, terlihat perlunya memilah
informasi apakah itu penting atau tidak dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat
dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari
siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak
energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Kata ( بجهالةbi jahȃlah) dapat berarti tidak mengetahui dan dapat juga diartikan serupa dengan
makna kejahilan, yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan
hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan
pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran Allah swt.
Ayat diatas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia
merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita. Kehidupan
manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri
tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu
ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, ٍdan ada
pula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring, khawatir jangan sampai seseorang melangkah
tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat di atas bi jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut
kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari jahalah yang
berarti kebodohan, disamping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang
ditetapkan Allah swt. Sebagai lawan dari makna kedua dari jahalah.
Penekanan pada kata fasiq bukan pada semua penyampai berita karena ayat ini turun di
tengah masyarakat muslim yang cukup bersih sehingga, bila semua penyampai berita harus
diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat
muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan masyarakat. Namun demikian, perlu dicatat bahwa,
bila dalam suatu masyarakat sulit dilacak sumber pertama dari satu berita sehingga tidak diketahui
apakah penyebarnya fasik atau bukan atau bila dalam masyarakat telah sedemikian banyak orang-
orang yang fasik, maka ketika itu berita apapun yang penting tidak boleh begitu saja diterima.
Dalam konteks serupa, Sayyidina Ali ra. berkata: “Bila kebaikan meliputi satu masa beserta orang-
orang di dalamnya, lalu seorang berburuk sangka terhadap orang lain yang belum pernah
melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah menzaliminya. Tetapi, apabila kejahatan telah
meliputi satu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap
orang yang belum dikenalnya, maka ia akan sangat mudah tertipu”.
Perlu dicatat bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan
kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan. Dahulu, ketika ulama menyeleksi
informasi para perawi hadits-hadits Nabi, salah satu yang diperbincangkan adalah penerimaan
riwayat yang disampaikan oleh sejumlah orang yang dinilai mustahil menurut kebiasan mereka
sepakat berbohong, atau yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya
masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi orang banyak itu
tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini,
sebanyak apa pun yang menyampaikannya tidak menjamin jaminan kebenarannya.
Kata ( تصبحواtushbihu) pada mulanya berarti masuk di waktu pagi. Ia kemudian diartikan
menjadi. Ayat diatas mengisyaratkan bagaimana sikap seorang beriman dikala melakukan satu
kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat diatas, dilukiskan sebagai bagai فتصبحوا
ً ( ما فعلتوم ناديمين علىfa
tushbihu ala ma fa‟altum nadimin) yakni segera dan berpagipagi menjadi orang-orang yang penuh
penyesalan.
F. Urgensi Tafsir
Urgensi tafsir terkait dengan kedudukan, sistem, tujuan, serta keutamaannya, juga kaitannya
dengan kompetensi praktis-religius maupun pragmatis. Kedudukan tafsir dapat dipahami sebagai
kunci representatif untuk membuka tabir rahasia makna Al Qur’an. Kedudukan tersebut, dalam
sistem ajaran Islam berfungsi sebagai media (tariqah) untuk menggapai tujuan yang dikehendaki
dalam memahami makna Al-Qur’an, yakni memperoleh mutiara dan permata – sebagai simbol
makna tertinggi – di dalamnya.
Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pegangan yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan
yang hakiki. Sehingga, kompetensi apapun yang berorientasi pada hal-hal profanik (duniawi)
maupun eskatologik (ukhrawi) secara langsung bergantung pada equilibrium pemahaman terhadap
makna yang terkandung dalam kalamullah sebagai sumber utama yurisprudensi kehidupan.63
Demikianlah keindahan tafsir dengan kepentingan praktis-religius maupun pragmatis. Dari sini
dapat dicerna secara aksentuatif akan mendesaknya kebutuhan terhadap tafsir.
Berikut, penulis hadirkan perbandingan masukan dua ahli ulum AlQur’an. Pertama,
menurut al-Shabuniy, tafsir merupakan kunci untuk membuka gudang simpanan yang terhimpun
dalam Al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan dapat membuka gudang simpanan tersebut untuk
mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. Itulah sebabnya tafsir menjadi kebutuhan
yang begitu penting. Karena tanpa tafsir tentu tidak akan diperoleh pemahaman yang tepat terhadap
berbagai ayat Al-Qur’an. Kedua, dengan kalimat yang sedemikian romantis al-Suyutiy menyatakan
urgensi tafsir, demikian: Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Tafsir merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta
dibutuhkan. Objek pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan
tambang segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan
mencapai kebahagiaan hakiki. Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala
kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’, sedang kesejalanan ini sangat
bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah.
Menurut hemat penulis, urgensi tafsir pada saat ini sangat dibutuhkan di tengah masyarakat
modern, karena kampanye kebebasan berpikir, berekspresi, dan berbuat semakin gencar dilakukan
oleh kelompok liberal. Kondisi diperparah dengan tersedianya media massa dan media social tanpa
batas, yang menjangkau seluruh manusia di berbagai belahan dunia. Masyarakat sangat
membutuhkan penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang lebih segar, untuk mengaktifkan fungsi
Al-Qur’an itu sendiri sebagai hudan (petunjuk) atau adz-dzikr (pengingat), agar tidak terjerumus
pada kesesatan dan melampaui batas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Dina Nasicha. (2016). Makna Tabayyun Dalam Al-Qur'an. Retrieved from onesearch.id:
https://onesearch.id/Record/IOS2754.5828/TOC
Fatichatus Sa'diyah. (2021). Kaidah Tafsir. Retrieved from ejurnal.stiuda.ac.id:
http://ejurnal.stiuda.ac.id/index.php/althiqah/article/view/45/35
Hamda Hidayat. (2020, Juni). Sejarah Perkembangan Tafsir. Retrieved from
jurnalmunir.com: https://jurnalalmunir.com/index.php/al-munir/article/view/46
Idrus. (2020). Kaidah - Kaidah Tafsir. Retrieved from academia.edu:
https://www.academia.edu/50972827/Kaidah_Kaidah_Tafsir
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-UtsaiminDarul Musthofa. (2018). Terjemah Usul fit
Tafsir. Retrieved from ebooksunnah.com:
https://ebooksunnah.com/en/ebooks/terjemah-usul-fit-tafsir-dasar-ilmu-tafsir