Anda di halaman 1dari 18

ILMU TAFSIR

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam2
Dosen Pengampu : Hj. Yulianti, S. Pd.,MM

Disusun oleh:

Kelompok : 13
Kelas : A1
Semester :2

Indriani Putri (41033402200032)


M. Reza Prayoga (41033402200049)
Hermawan Heryanto ()

MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA


2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan pokok
bahasan "Ilmu Tafsir" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan dengan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik untuk kelompok kami demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil
manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat
permasalahan-permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Bandung , Juni 2021

Penyusun
Kelompok 13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II..............................................................................................................................................2
2.1 Pengertian Ilmu Tafsir........................................................................................................2
2.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir...................................................................................3
2.3 Kaidah Tafsir........................................................................................................................4
2.4 Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir.....................................................................................10
a. Belajar Tafsir Adalah Sunnah Para Salaf......................................................................10
b. Beredarnya Kesalahan Tafsir di Masyarakat................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................13
PENUTUP.....................................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................13
3.2 Saran....................................................................................................................................14
3.2.1 Saran Bagi Penulis.......................................................................................................14
3.2.2 Saran Bagi Pembaca....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al Qur'an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al Qur'an juga menjadi
penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda
(furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Disinilah manusia mendapatkan petunjuk dari Al
Qur'an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas
pertimbangannya Al Qur'an tersebut. Maka untuk mengetahui dan memahami dalam
kandungan Al Qur'an yang diperlukan tafsir.

Penafsiran al quran memiliki peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan
perkembangan umat islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian para ulama untuk
memahami dan menggali dan memahami makna yang terkandung dalam kitab suci ini.
Sehingga lahirlah bermacam-macam tarfsir dengan corak dan metode yang beraneka ragam
pula, dan dalam itu tampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan al quran serta
pola pemikiran para penafsirnya sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian ilmu tafsir ?
b. Bagaimana perkembangan sejarah ilmu tafsir ?
c. Bagaimana kaidah ilmu tafsir ?
d. Apa saja urgensi mempelajari ilmu tafsir?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian ilmu tafsir
b. Untuk mengetahui sejarah perkembangan ilmu tafsir
c. Untuh mengetahui kaidah tafsir
d. Untuk mengetahui urgensi mempelajari ilmu tafsir

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Tafsir


Dalam lingkup ulumul Quran, salah satu pembahasan pokok utama adalah tentang pengertian
ilmu tafsir baik secara bahasa dan istilah. Adapun para ulama memberikan pengertian yang
berbeda tentang ilmu tafsir. Namun sebenarnya pengertian itu hanyalah berbeda dalam hal
pengungkapan dan ruang lingkupnya saja. 
Adapun dilihat dari segi bahasa kata ilmu menurut Raghib al-Ashfihani berarti mengetahui
sesuatu sesuai dengan hakikat atau kebenarannya. Kata Ilmu itu juga bisa berarti mengetahui dan
yakin.
Adapun pengertian ilmu secara bahasa salah satunya adalah:
‫ باإلضافة إلى مناهج البحث المتواجدة في جميع المؤلفات العلمية‬،‫مجموعةٌ من النظريّات والوقائع والحقائق‬
Kumpulan tentang pendapat dan kejadian serta hakikat yang didasarkan pada beberapa
metode pembahasan yang ada dalam kumpulan karya ilmiah.
Dari pengertian di atas kita bisa memahami bahwa ilmu berarti sebuah pendapat, kenyataan
dan kebenaran yang mana kebenaran itu berasal dari metode pembahasan ilmiah.Sedangkan kata
tafsir menurut bahasa berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan
mkana yang abstrak. Jadi ilmu tafsir adalah ilmu untuk menjelaskan atau menerangkan makna
yang abstrak (tersembunyi) dalam al-Quran.
Jika kita menggabungkan antara ilmu dan tafsir sebagaimana pengertian di atas, maka kita bisa
menyimpulkan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu berupa hakikat dan kebenaran yang didasarkan pada
metode ilmiah yang berhubungan dengan upaya menjelaskan makna yang ada dalam al-Quran.
Dalam pengertian yang ada, adapaun Ilmu tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk mengetahui-
memahami maksud al-Qur’an, menjelaskan maknanya, megeluarkan hukum dan hikmahnya, yang
disandarkan kepada ilmu bahasa dan sastra, usul fiqh, ilmu qiraa’at, asbab nuzul, dan nasakh-
mansukh. Sementara Ulama mendefinisikannya dengan lebih ringkas atau lebih panjang tetapi
tetap mencakup point-point tersebut.
Menurut DR. Rosihon Anwar , Ilmu tafsir adalah ilmu yang dengannya diketahui maksud kitab
Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., makna-makna Al-Qur`an dapat
dijelaskan serta hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui.
Dalam pengertian lain disebutkan:
‫األحكام الشرعيّة من‬
ِ ‫استنباط‬
ِ ‫ وإعانة ال ُمجت ِه ِد على‬،‫العل ُم الذي يُسلِّطُ الضَّو َء على بَيا ِن معاني القرآن الكريم وتفسيرها‬
ِ
‫اآليات الكريمة‬،

2
Ilmu tafsir adalah ilmu yang menyorotkan pada keterangan atas penjelasan makna-makna al-
Quran dan penafsirannya, juga memfokuskan pada usaha mujtahid pada pengeluaran hukum-
hukum syariah dari ayat-ayat al-Quran.Sedang menurut Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddiqi ilmu tafsir
adalah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzūlul āyāt, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya,
sebab-sebab turunnya, tertib makiyyah dan madaniyyah-nya, muḥkam dan mutasyabih-nya,
mujmal dan mufaṣṣal-nya, ḥalal dan ḥaram-nya, wa’d dan wa’īd-nya dan amr dan nahi-nya serta
i’tibār dan amṡal-nya”.
Pengajaran ilmu tafsir adalah sebuah proses belajar mengajar yang berisi bahan-bahan untuk
menafsirkan al-Qur`an. Dibahas sejumlah teori atau ilmu yang berhubungan dengan berbagai
petunjuk dan ketentuan dalam menafsirkan Al-Qur`an. Dengan memahami ilmu ini, seseorang
dapat menafsirkan Al-Qur`an atau minimal mengerti langkah-langkah atau cara-cara mufassir
dalam menafsirkan al-Qur`an.   
2.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir

Hanya dengan membaca Alquran belum tentu seseorang paham maksud dibalik setiap firman
Allah. Bahkan, untuk seorang yang mengerti bahasa Arab sekalipun, tak menjamin ia memahami
kandungan Alquran yang kaya makna. Apalagi, untuk sebagian besar Muslimin yang hanya
membaca terjemahan. Jika tak bingung, bisa jadi ia akan sesat memahaminya.
Di sinilah fungsi tafsir sebagai penjelas Alquran. Banyak ilmu yang mesti dipahami dibalik
firman Allah yang agung, di antaraya, hadis Rasulullah, asbabun nuzul, dan nasikh-mansukh ayat,
Arab klasik, balaghah Arab, ilmu ma'ani, ilmu bayan, qiraah, usul fikih, dan masih banyak ilmu
lain yang mustahil dipahami Muslimin awam. Karena itulah, ulama hadir untuk meramunya,
kemudian menghasilkan interpretasi Alquran bernama tafsir.
Banyak karya tafsir yang dihasilkan ulama, baik ulama klasik, hingga modern. Kita mengenal
Tafsir At-Tabari, Tafsir ibn Katsir, Tafsir As Suyuthi, Tafsir As-Sa'di, dan sebagainya. Karya
tafsir ulama tersebut masih sering menjadi rujukan hingga kini. Tapi, mulanya tak ada tafsir pada
era Rasulullah. Mengingat, para sahabat kala itu dapat langsung bertanya pada Rasulullah terkait
makna ayat.
Baru, pada abad kedua atau ketiga Hijriyah, ilmu tafsir dianggap sangat penting menyusul
mulai banyaknya Muslimin yang salah memahami Quran. Apalagi, saat itu bacaan Alquran pun
mengalami banyak salah lisan karena tulisan yang gundul. Hingga, kemudian Abul Aswad ad-
Dualy membuat kaidah i'rab Arab yang memberikan harakat pada bahasa Arab.

3
2.3 Kaidah Tafsir

Kaidah Dasar Tafsir


Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an
yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini
seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat
dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian
menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal
yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka
diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis
shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk
menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya,
apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus menggunakan
penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak
benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam
menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur
dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya
sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.

Kaidah Umum Tafsir


Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu
bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu
qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-
Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah
makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang
mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata
dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki
makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui
karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika
(ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan
(badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan
dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk
mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.

4
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu
tersebut.

Dhamir (kata ganti)


Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:

 Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan


 Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
 Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat

Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)


Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan
macamnya;

 Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan


 Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
  Pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S.
48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
 Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa
sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan
menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk
dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan
mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak
dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
 Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk
menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab
lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat
(Q.S. 33:69)
 Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui
karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui
pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada
saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala
karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni
keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan
yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:

5
 Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat
yang pertama (Q.S. 1:6-7)
 Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S.
30:54)
 Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang
sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
 Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang
dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa
keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk
mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:

 Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad
berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada
adzab-Nya
 Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-
dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan
kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga
berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.

Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)


Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir
harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda.
Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:

 al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk
menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak
yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut
yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu
merupakan hal yang kecil.
 al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih
dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan
dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya
ditanyakan.(Q.S. 2: 189)

6
Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran al-Qur’an
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:

 Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum,


bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
 Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan
yang wajib (Q.S. 62:9)
 Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu
berarti perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)
Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah tentang al-
jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana, kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan
kaidah-kaidah tersebut dibahas secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi
Ulum al-Qur’an.
Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan
wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna tafsir menjadi
sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah
ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif
keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya
adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam
perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara
tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif
keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam. Adanya
perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modern. Arus
perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya
pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah. Dus pemahaman terhadap informasi yang
bersumber dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.
Misalnya ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih dalam
perut ibunya, maka pemahaman terhadap teks “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap
perempuan (hamil)” (Q.S. 13:8) tidak lagi ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau
perempuan. Melainkan mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat
dan perincian yang lain.
Rasionalitas modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modern. Para mufasir
modern melakukan penafsiran dengan menggunakan kacamata yang bisa dikonsumsi masyarakat
saintifik. Salah satu cirinya adalah adanya upaya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran
yang tidak rasional yang dilakukan para mufasir sebelumnya.

7
Beberapa kaidah khusus terkait dengan tafsir modern ini diantaranya adalah:
Memetakan masalah-masalah dalam al-qur’an menjadi wilayah bukan nalar dan
wilayah nalar.
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan
yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama,
apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena
sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan
penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua
menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an
Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni
Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i al-
Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas
baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat
dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan
yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatih al-ghayb yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan
wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi pada konsep syariat yang
selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat
qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat
ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran
Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan
usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya
keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan
untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti
empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan sebagai suatu
metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.
Kaidah Penafsiran Kontemporer
Tafsir kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para
pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang tumbuh dan
berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju
masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki celah
konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini
kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini.

8
Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat
banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran
yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan
intratektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah
sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain,
yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda
adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari suatu teks
dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau
yang berlawanan (paradigmatik).
Kaidah lain yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak
terdapat sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi memiliki
lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih
tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks logis dalam suatu teks di mana kata itu
disebutkan. Inilah yang disebut dengan analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna
setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
Fazlur Rahman
Metode tafsir yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan
ganda (double movements). Metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan
oleh Fazlur Rahman dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang
menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini dikembangkanlah
metode gerakan ganda.
Metode ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an
diturunkan, lalu ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah
sebagai berikut:
Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi atau
problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu kesimpulan ke arah nilai-nilai
moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka panjang. Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian
ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan
menilai berbagai persoalan kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir di atas masih ada sederetan pemikir Islam kontemporer yang
mengembangkan kaidah penafsiran secara unik sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya
masing-masing. Seperti Nasr Abu Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-
lain

9
2.4 Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir

a. Belajar Tafsir Adalah Sunnah Para Salaf


Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa
tidaklah datang suatu zaman kecuali zaman itu lebih buruk dari pada zaman sebelumnya. 

Termasuk buruknya fenomena di zaman akhir ini adalah betapa banyaknya kaum muslimin
yang tidak mengerti isi dari Al Quran yang mereka baca. 
Bahkan mirisnya saat ini mulai muncul banyak generasi penghafal Al Quran 30 Juz
tetapi jahil dalam masalah tafsir. 
Padahal para sahabat terdahulu tidaklah mereka menghafal dan mempelajari Al Quran
kecuali mereka mengetahui tafsirnya dan mengamalkannya. 

‫ َو ْال َع َم َل بِ ِه َّن‬،‫ْرفُ َم َعانِ ْيه َُّن‬


ِ ‫او ُزه َُّن َحتَّى يَع‬ ٍ ‫ َكانَ ال َّر ُج ُل ِمنَّا إِ َذا تَ َعلَّ َم َع ْش َر آيَا‬:‫ قَا َل‬،‫ع َْن ا ْب ِن َم ْسعُوْ ٍد‬
ِ ‫ت لَ ْم يُ َج‬

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata :


“Dahulu ketika orang-orang dikalangan kami belajar 10 ayat tidak akan melewati
pelajaran tersebut hingga ia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.”

َ ‫ أَنَّهُ ْم َكا ْنوا يَ ْستَ ْق ِرئُوْ نَ ِمنَ النَّبِ ِّي‬:‫ َحدَثَّنَا الَّ ِذ ْينَ َكانُوْ ا يُ ْق ِرئُوْ نَنَا‬:‫ قَا َل‬،‫ع َْن أَبِي َع ْب ِد الرَّحْ من‬
‫ فَ َكانُوْ ا إِ َذا تَ َعلَّ ُموْ ا‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ فَتَ َعلَّ ْمنَا ْالقُرْ آنَ َو ْال َع َم َل َج ِم ْيعًا‬،‫ت لَ ْم يُخَ لِّفُوْ هَا َحتَّى يَ ْع َملُوْ ا بِ َما فِ ْيهَا ِمنَ ْال َع َم ِل‬
ٍ ‫َع ْش َر آيَا‬

Dari Abu Abdirrahman, ia berkata : Orang-orang yang mengajarkan Al Quran kepada kami
bercerita :
Bahwa dahulu ketika mereka diajarkan Al Quran oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
maka mereka belajar sepuluh ayat dan tidak meninggalkan kesepuluh ayat tersebut hingga
mereka mengetahui maknanya agar bisa diamalkan.  Maka kamipun belajar Al Quran sekaligus
mengamalkannya.
Lihatlah para generasi salaf kita! Dimana mereka tidaklah mempelajari Al Quran hanya
hafalan dan qira’ahnya saja. Akan tetapi mereka juga mempelajari tafsir agar bisa
mengamalkannya. 

10
Berbeda dengan sebagian kaum muslimin saat ini. Mereka hanya berhenti sampai
menghafalkannya saja tanpa mempedulikan tafsirnya. 
Bahkan sebagian mereka ada yang berlomba-lomba membaguskan suara dengan mempelajari
nada-nada seperti bayyati, hijaz, nahawan dan selainnya yang pada hakikatnya hal itu bukanlah
hal yang utama. 
Bukan berarti tidak boleh mempelajari nada-nada tersebut, akan tetapi hendaknya kita lebih
memprioritaskan hal yang terpenting dari Al Quran, yakni tafsir dan pengamalannya. Karena,
hukum mempelajari tafsir Al Quran dan mengamalkannya adalah wajib bagi setiap muslim.
b. Beredarnya Kesalahan Tafsir di Masyarakat
Banyaknya beredar kesalahan penafsiran di kalangan masyarakat adalah musibah yang besar.
Ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan ayat untuk sebuah kepentingan.
Contoh umum kesalahan yang beredar saat ini, diantaranya tafsir “fitnah” pada surat Al-
Baqarah ayat 191 :

‫َو ْالفِ ْتنَةُ أَ َش ُّد ِمنَ ْالقَ ْت ِل‬

dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.


Sebagian kaum muslimin khususnya di negara kita memahami bahwa fitnah yang dimaksud
ayat tersebut ditafsirkan sebagai “perkataan bohong tanpa berdasarkan kebenaran yg
disebarkan dengan maksud menjelekkan orang”. 
Padahal fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut bermakna “perbuatan syirik kepada
Allah”.

Inilah kesalahan penafsiran Al Quran yang beredar di masyarakat karena tidak merujuk pada
keterangan tafsir dari para ulama’. 
Padahal menafsirkan Al Quran dengan pendapat sendiri tanpa ilmu adalah perbuatan yang
tercela. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

َ ‫ فَقَ ْد أَ ْخطَأ‬،‫اب‬
َ ‫ص‬َ َ ‫ب هَّللا ِ َع َّز َو َج َّل بِ َر ْأيِ ِه فَأ‬
ِ ‫ فِي ِكتَا‬:‫َم ْن قَا َل‬

Barang siapa yang berkata tentang firman Allah azza wajalla dengan opininya sendiri, lalu
kebetulan ia benar maka ia tetap salah.
11
ْ
ِ َّ‫آن بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ ِ ْ‫َم ْن قَا َل فِي القُر‬

Barang siapa yang berkata tentang Al Quran dengan tanpa ilmu maka hendaknya ia
menempatkan tempat duduknya di neraka..

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

ilmu tafsir adalah ilmu berupa hakikat dan kebenaran yang didasarkan pada metode ilmiah
yang berhubungan dengan upaya menjelaskan makna yang ada dalam al-Quran. Pengajaran ilmu
tafsir adalah sebuah proses belajar mengajar yang berisi bahan-bahan untuk menafsirkan al-
Qur`an. Dibahas sejumlah teori atau ilmu yang berhubungan dengan berbagai petunjuk dan
ketentuan dalam menafsirkan Al-Qur`an.
Hanya dengan membaca Alquran belum tentu seseorang paham maksud dibalik setiap firman
Allah. Bahkan, untuk seorang yang mengerti bahasa Arab sekalipun, tak menjamin ia memahami
kandungan Alquran yang kaya makna. Di sinilah fungsi tafsir sebagai penjelas Alquran. Banyak
karya tafsir yang dihasilkan ulama, baik ulama klasik, hingga modern. Namun, tidak ada ilmu
tafsir pada jaman rasulullah
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang
meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Kaidah khusus yang
dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf,
isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik)
berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata
bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan
perubahan i’rab. Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan
perspektif dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna
tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah
ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Tafsir kontemporer dapat
dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-
modernisme atau post-modernisme.
Urgensi mempelajari ilmu tafsir yaitu :
a. Belajar tafsir adalah sunnah para salaf
b. Beredarnya kesalahan tafsir di masyarakat.

13
3.2 Saran

3.2.1 Saran Bagi Penulis


Tentunya penulis telah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah diatas masih
banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah ini .

Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah ini
dengan berpedoman dari berbagai sumber serta kritik yang dapat membangun dari para
pembaca.

3.2.2 Saran Bagi Pembaca


Dengan dibuatnya makalah ini maka diharapkan bisa bermanfaat bagi para pembaca,
serta diharapkan pembaca bisa membaca dengan cermat dan teliti agar tidak ada
kesalahfahaman makna mengenai materi yang disampaikan dalam makalah ini. Adapun
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan supaya
nantinya makalah ini bisa berkembang dan diperbaiki baik dari segi isi bahasan
maupundari segi penulisan serta dari segi penyusunan makalah.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://www.nasehatquran.com/2019/01/pengertian-tafsir-al-quran.html?m=1

https://www.kangdidik.com/2019/12/pengertian-ilmu-tafsir-secara-bahasa.html?
m=1#:~:text=Ilmu%20tafsir%20adalah%20ilmu%20yang%20menyorotkan%20pada
%20keterangan%20atas%20penjelasan,ayat%2Dayat%20al%2DQuran.

https://www.republika.co.id/berita/ppzt1g313/sejarah-dan-perkembangan-ilmu-tafsir

http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.com/2010/01/kaida-kaidah-tafsir.html?m=1

15

Anda mungkin juga menyukai