Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TERJEMAH, TAFSIR, DAN TA’WIL

Disusun oleh :

1. Lalu Andika Priatna

BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji dan Syukur dipanjatkan kehadiran ALLAH SWT yangtelah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga dengan semangat yang ada, sehingga kami dari Kelompok 8
mengucapkan terima kasih karena telah menyelesaikan makalah ini dengan berjudul "Terjemah,
Tafsir, Dan Ta’wil". Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Prosmala
Hadisaputra, S.sos.I,M.Pd.I selaku dosen pengampu Mata kuliah Al-Qur’an yang telah
memberikan materinya sehingga memberikan gambaran tentang apa yang belum diketahui
selama ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk aktivitas belajar, sehingga
dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Namun, makalah ini masih belum cukup
sempurna, oleh karenanya kami mengharapkan kritik dan saran yang akan menjadikan makalah
ini lebih baik ke depannya.
Terimakasih.

Mataram, 06 November 2022

Kelompok

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................2
A. Definisi Terjemah, Tafsir, dan Ta’wil..................................................................................2
B. Macam-Macam Tafsir..........................................................................................................5
C. Metode dan Corak Tafsir......................................................................................................7
D. Syarat dan Adab Seorang Mufassir......................................................................................9
E. Sejarah Perkembangan Tafsir.............................................................................................14
BAB III PENUTUPAN................................................................................................................18
A. Kesimpulan.........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Melalui malaikat Jibril yang digunakan sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi
seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjadi sangat penting bagi kita, dan
bagi siapa yang membacanya merupakan ibadah. Untuk berpegang teguh pada firman
tersebut, yang dibutuhkan pertama kali tentu memahami kandungannya serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Qur’an itulah sumber tasyri’ pertama bagi umat Islam. Karena itu orang Islam
harus memahami artinya, mengetahuin rahasianya, dan mengamalkan isi Al-Qur’an itu
untuk mendapatkan kebahagian hidup dunia akhirat. Tidak semua orang itu dapat
memahami lafaz-lafaz dan ibarat-ibarat, disamping menjelaskan keterangan ayat-ayatnya
itu. Cara dan kemampuan berpikir orang itu berlain-lainan mengenai suatu hal. Pada
umumnya orang itu hanya memikirkan arti-artinya yang kelihatan saja memikirkan ayat-
ayat Al-Qur’an itu hanya secara gelobal. Oleh karena itu’ maka Al-Qur’an tersebut harus
dipelajari dengan mendalam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka selanjutnya rumusan masalah yang menjadi inti
pembahasa ini sebagai berikut :
a) Apa definisi terjemah, tafsir, dan ta’wil Al-Qur’an?
b) Apa saja macam-macam tafsir?
c) Apa saja metode dan corak tafsir?
d) Apa syarat dan adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir?
e) Bagaimana sejarah singkat perkembangan tafsir sejak masa nabi hingga sekarang?
C. Tujuan Penulisan
Beranjak dari rumusan masalah maka selanjutnya tujuan dari pembahasan yang
akan di bahas sebagai berikut :
a) Mencari tau apa definisi terjemah, tafsir, dan ta’wil Al-Qur’an

1
b) Mencari tau apa saja macam-macam tafsir
c) Mencari tau apa saja metode dan corak tafsir
d) Mencari tau apa syarat dan adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir
e) Mencari tau bagaimana sejarah singkat perkembangan tafsir sejak masa nabi hingga
sekarang

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Terjemah, Tafsir, dan Ta’wil


1. Pengetian Terjemah
Terjemah berasal dari bahaasa Arab yang artinya “salinan dari sesuatu bahasa ke
bahasa lain” atau berarti mengganti, menyalin dan memindahkan kalimat dari suatu
Bahasa ke Bahasa lainya.1
Kata Terjemah, yang dalam bahasa Indonesia bisa kita sebut dengan Terjemah,
secara etimologi mempunyai beberapa arti :
a) Menyampaikan suatu ungkapan pada orang yang tidak tahu
b) Menafsirkan sebuah ucapan dengkan ungkapan dari bahasa yang sama
c) Menafsirkan ungkapan dengan bahasa lain
d) Memindah atau mengganti suatu ungkapan dalam suatu bahasa ke dalam bahasa yang
lain
Adapun yang dimaksud dengan terjemah Al-Qur’an adalah seperti yang
dikemukakan oleh Ash-Shabuni:
“Memindahkan Al-Qur’an kepada Bahasa lain yang bukan Bahasa Arab dan
mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti
Bahasa Arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT. Dengan perantara
terjemah.”
2. Pengertian Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari'at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah
ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, da n kebutuhan, karena judul pembicaraan
ialah kalam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala
keutamaan. Selanjutnya; bahwa yang menjadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah
yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenarnya.
Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama

1
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 212.

3
dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara'. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu
yang terdapat dalam kitab Allah SWT.2
Secara etimologi kata "tafsir" diambil dari kata "fassara-yufassiru-tafsira" yang
berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata "tafsir" menurut
pengertian bahasa adalah "Al-Kasf wa Al-izhhar" yang artinya menyingkap (membuka)
dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian "tafsir" berdasarkan bahasa tidak akan lepas
dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan),3 Al-bayan (menerangkan), Al-kasyf
(mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan). Sedangkan
menurut terminologi tafsir ialah menyingkapkan maksud dari lafaz-lafaz yang sulit dan
bias juga didefinisikan semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur'an
dan kandungannya, hukumnya yang berkenaan dengan perorangan dan kemasyarakatan,
dan pengertiannya yang dilingkupi oleh susunan lafalnya.4
Dalam Al-Qur'an dicatakan:

Artinya: "tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil
melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya (QS. Al-Furqaan 25:33)
Adapun mengenai pengertian pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda-beda.
a) Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil
Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur'an, dijelaskan maknanya, dan menjelaskan apa
yang diinginkan, dicari atau tujuan.
b) Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahih At-Taujih
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya,
atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.
c) Menurut Abu Hayyan

2
Drs.H.Kahar Masyur, Pokok-Pokokn Ulumul Qur’an, cetakan 1, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 163.
3
Dr. Rosihon Anwar. M.Ag, Ilmu Tafsir, cetakan 3, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm. 139.
4
Mana’ul Quthan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 164.

4
Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur'an serta cara
mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna yang terkandung
didalamnya.
d) Menurut Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna
kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkan
kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama tersebut,
dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha
tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang
terdapat didalam Al-Qur'an.
3. Pengertian Ta’wil
Takwil menurut lughat adalah kembali ke asal. Diambil dari kata “awwala
yu'awwilu-takwilan. "Takwil dalam istilah mempunyai dua pengertian.
Pertama, takwil mentakwilkan kalam (kata-kata). Sesuatu makna yang
kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataanya, atau
suatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Kata-kata itu dikembalikan dan
dipulangkan hanya kepada hakikatnya, yaitu apa yang dimaksud. Terbagi dua yaitu,
insyak dan ikhbar. Salah satu yang termasuk insyak adalah amr (kalimat perintah).
Kedua, takwilul kalam dalam arti menafsirkan dan menerangkan artinya.
Pengertian inilah yang dimaksud oleh Ibn Jarir at-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-
kata: "pendapat tentang 'takwil' firman Allah ini begini dan begitu..." dan kata-kata:"
Ahli 'takwil' berbeda pendapat tentang ayat ini". Jadi yang dimaksud dengan kata
"takwil" di sini adalah tafsir. Inilah arti takwil menurut ulama salaf.5
B. Macam-Macam Tafsir
Macam-macam tafsir terbagi menjadi dua, yaitu: (1) macam-macam tafsir
berdasarkan sumber-sumbernya, dan (2) macam-macam tafsir berdasarkan metodenya."6
1. Macam-macam Tafsir berdasarkan sumbernya
a) Tafsir bi Al-Ma'tsur
Ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma'tsur.
5
Manna’ Khalil Al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Litera Antarnusa, Bogor, 2009, hlm. 460.
6
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, cetak 3, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm. 143.

5
1) Al-Quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Quran sendiri.
2) Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi, diantaranya, sebagai penjelas
(mubayyin) Al-Qur'an.
3) Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui
Al-Qur'an.
4) Otoritas penjelasan yang disampaikan secara lisan oleh Tabi'in.
Mengingat corak tafsir yang merujuk di antaranya kepada Al-Qur'an dan Hadis-
maka dapat dipastikan bahwa tafsir bi al-ma'tsur memiliki keistimewaan tertentu
dibandingkan corak penafsiran lainnya. Di antara keistimewaan keistimewaan itu,
sebagaimana dicatat Quraisy Shihab, Yaitu:
1) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur'an.
2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan pesannya.
3) Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak
terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Adz-Dzahabi mencatat kelemahan-kelemahan tafsir bi al-ma'tsur, yaitu:
1) Terjadi pemalsuan (wadh') dalam tafsir.
2) Masuknya unsur israiliyyat yang didefinisikan sebagi unsur-unsur Yahudi dan
Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an.
b) Tafsir bi ar-ra'yi
Kemunculan tafsir bi ar-ra'yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat Islam dengan
peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir bi ar-
ra'yi ditemukan peranan akal yang sangat dominan. Mengenai keabsahan tafsir bi ar-ra'yi,
pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok. (1) Kelompok yang melarangn dan (2)
kelompok yang mengizinkan.
1) Kelompok yang melarangnya: Menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan ra'yi berarti
membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan, sudah merupakan tradisi di
kalangan sahabat dan tabi'in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-
Qur'an.
2) Kelompok yang mengizinkannya: Di dalam Al-Qur'an banyak ditemukan ayat yang
menyerukan untuk mendalami kandungan kandungan Al-Qur'an, seandainya tafsir

6
bira'yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan, para sahabat Nabi biasa berselisih
pendapat mengenai penafsiran suatu ayat
c) Tafsir al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah takwil Al Qur'an berbeda dengan
lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui
oleh sebagian ulul 'ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya. Atau
dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain
makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur'an. Namun, makna lain itu tidak tampak
oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi tafsir
isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya
melarangnya.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat

Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina."
Yang mempunyai makna zhahir adalah".....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina..." tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan
".....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah..."
C. Metode dan Corak Tafsir
1. Metode Tafsir
a. Metode Tafsir Tahlili
Metode Tafsir Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al Qur'an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan
yang terdapat dalam mushaf Utsmani.
Metode tafsir ini telah ada sejak masa para sahabat Nabi, sejak zaman klasik dan
zaman pertengahan. Pada mulanya tafsir Tahlili terdiri atas beberapa bagian ayat saja,
kadang kala mencakup penjelasan mengenai kosa katanya. Dalam perkembangan
selanjutnya, para ahli tafsir merasakan kebutuhan untuk menafsirkan AL Quran
seluruhnya.
b. Metode Tafsir Ijmali

7
Metode Ijmali adalah metode penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran dengan cara
singkat, padat dan global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al
Quran secara global, sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Al Quran, sehingga
makna maknanya dapat saling berhubungan.
Dalam menafsirkan ayat Al Quran dengan metode ijmali ini para mufassir ini juga
meneliti, mengkaji, dan menyajikan sabab nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi
turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
c. Metode Muqarran
Metode Muqarran ialah suatu metode tafsir dengan menggunakan perbandingan
antara satu dengan lainnya. Misalnya, seperti filsafat, hukum dan sebagainya.
d. Metode Madlui
Metode Madlui ialah suatu metode tafsir dengan menggunakan pilihan topik-topik
al-Quran. Metode tematik yang memilih persoalan persoalan social politik, social
ekonomi dan sebagainya. Awalnya untuk kepentingan penelitian tetapi kemudian
berkembang menjadi jenis tafsir kontemporer.
2. Corak Tafsir
Tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan
disiplin ilmu yang ditekuni oleh mufassirnya, oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai
berbagai corak pemikiran dan madzhab. Di antara corak tafsir yaitu adalah sebagai
berikut.7
a) Tafsir Shufi: yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf,
baik tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf
al-'amali).
b) Tafsir Falsafi: Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya dalam
menjelaskan suatu ayat, mufassir merujuk pendapat filosof Persoalan yang
diperbincangan dalam suatu ayat dimaknai berdasarkan pandangan para ahli filsafat
c) Tafsir Fiqhi: Yaitu penafsiran al-Qur'an yang bercorak fiqh, diantara isi kandungan
al-Qur'an adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun mamalah. Tafsir
fiqh ini selain lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum, juga kadang-

7
Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 158.

8
kadang diwarnai oleh ta'asub (fanatik). Buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula
dikategorikan kepada corak hain yaitu tafsir fiqhi hanafi, maliki, syafi'i, dan hambali
d) Tafsir limi: Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan modem, khususnya sains
eksakta. Tafsir ini selalu mengutip teori-teori ilmiah yang berkaitan dengan ayat yang
sedang ditafsirkan Seperti biologi embriologi, geologi, astronomi, pertanian,
pertermakan, dan lain-lain. Contoh tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi
Tafsir Al-Qur'an Al karim karya Thanthawi Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-
Razi, Khalq Al-Insan Bayna Ath-Thib Wa Al-Qur'an karya Muhammad Ali Al Bar.
e) Corak Al-Adabi Wa Al-Ijtimai: Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan sosial.
Dengan corak ini mufassir mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur'an yang
meliputi aspek balagah, mukjizat, makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha
menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan sistem sosial yang terdapat dalam
Al-Qur'an, dan berusaha memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan
umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an.8
D. Syarat dan Adab Seorang Mufassir
1. Syarat Seorang Mufassir
Seseorang yang akan menjadi mufassir harus memiliki beberapa persyaratan, baik
yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat diniah (keagamaan) dan terutama
syarat-syarat yang bersifat akademik.2 Seseorang yang hendak menjadi mufassir, ia harus
orang yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat. Anak kecil walaupun berakal sehat
dan orang dewasa tetapi tidak berakal sehat penafsirannya tidak dapat diterima. Selain
seorang yang sudah baligh dan berakal sehat, seorang mufassir harus beragama Islam.
Seorang non-Islam penafsirannya tidak dapat diterima karena dikhawatirkan akan
menimbulkan kekacauan atau penyelewengan terhadap ajaran agama Islam melalui
penafsiran yang dilakukannya. Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga harus
mempunyai etika dalam menafsirkan yang lebih dikenal dengan adab al mufassir.
Selain syarat psikis dan fisik, adapun persyaratan akademik bagi seorang
mufassir. Para ulama berbeda pendapat mengenai banyaknya persyaratan akademik yang
harus dipenuhi oleh seorang calon mufassir. Beberapa pendapat tersebut, yaitu:

8
Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 158-162

9
1) Imam Jalaluddin as-Suyuthi(w. 911 H/1505 M) menyebutkan terdapat lima belas
ilmu yang harus dikuasai oleh seorang yang ingin menafsirkan al-Qur'an.
Kelimabelas ilmu tersebut yaitu bahasa, nahwu, saraf, isytiqaq, ilmu ma'ani, bayan,
badi', ilmu qira'at, ushuluddin, ushul fiqh, asbab al-nuzul, nasikh mansukh, fiqih,
hadis hadis yang menjelaskan ayat yang masih global dan umum, dan ilmu
mauhibah.9
2) Muhammad 'Abd al-Adzim al-Zarqani mengatakan bahwa macam ilmu yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir yaitu bahasa, nahwu, saraf, balaghah, ilmu ushul fiqh,
ilmu tauhid, mengetahui asbab al-nuzul, qashash, nasikh dan mansukh, hadis-hadis
penjelas bagi yang mujmal dan mubham, dan ilmu mauhibah."
3) Al-Farmawi menjelaskan terdapat empat macam persyaratan dan berbagai ilmu di
dalamnya.
a) Memiliki I'tiqad atau keyakinan yang benar dan mematuhi ajaran agama.
b) Memiliki tujuan yang benar, seorang mufassir menafsirkan semata-mata dengan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
c) Berpegang pada dalil naq/ (al-Qur'an, hadis, dan sahabat) serta menjauhi
periwayatan-periwayatan bid'ah.
d) Memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, sebagaimana yang telah
dikatakan al-Suyuthi dan al-Zarqani terdapat 15 ilmu, yaitu:
1) Ilmu bahasa, dalam hal ini yang dimaksud yaitu bahasa Arab mengingat bahwa
bahasa yang digunakan dalam al Qur'an adalah bahasa Arab bukan bahasa Ajami.
Seorang mufassir harus mengetahui arti dan maksud kosakata yang digunakan dalam
al-Qur'an
2) Ilmu nahwu (tata bahasa). Dengan ilmu ini mufassir akan mengetahui perubahan
makna yang terjadi pada kalimat seiring dengan perubahan i'rab
3) Ilmu sharaf, untuk mengetahui bentuk asal dan pola perubahan sebuah kata
4) Ilmu isytiqaq, jika diambil dari dua kata dasar yang berbeda maka akan memiliki
makna yang berbeda pula. Contohnya al masih, apakah diambil dari kata al-siyasah
atau al mash

9
As Suyuti, Al Itqan fii Ulum al Qur’an, hlm 213, Juz 4, CD ROOM Maktabah Syamilah versi 3. 48, Arrawdah
Software

10
5) Ilmu ma'ani, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui karakteristik susunan
sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya
6) Ilmu bayan, seorang mufassir dapat mengetahui karakteristik susunan sebuah
ungkapan dilihat dari perbedaan perbedaan maksudnya
7) Ilmu badi', untuk mengetahui sisi-sisi keindahan dari suatu kalimat atau ungkapan
8) Ilmu qiraat, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui cara-cara
melafadzkan al-Qur'an.
9) Ilmu ushuluddin. Dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui tentang apa yang wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah. Dengan illmu ushuluddin diharapkan para mufassir
akan dapat melakukan penafsiran yang sejalan dengan hakikat permasalahan.10
10) Ilmu ushul fiqh, ilmu ini untuk mempelajari cara pengambilan dalil-dalil hokum dan
perumusan dalil hokum.
11) Ilmu asbab al-nuzul, untuk mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat dan
nantinya mufassir dapat mengkontekskan dengan keadaan saat ini. mengetahui mana
hadis yang datang lebih awal dan datang akhir. Sehingga mengetahui ayat-ayat yang
muhkam daripada ayat lainnya.
12) Ilmu nasikh mansukh, dengan ilmu ini mufassir dapat
13) Ilmu fiqh
14) Hadis-hadis yang dapat menjelaskan ayat-ayat yang mujmal dan mubham
15) Ilmu al-Mauhibah yaitu sebuah ilmu yang dianugerahkan Allah keapada siapa saja
yang mengamalkan ilmunya, ilmu ini buah dari takwa dan keikhlasan.
2. Adab Seorang Mufassir
Al-Qur’an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui
perantara malaikat Jibril yang di dalamnya memuat dasar-dasar hokum dari berbagai
macam persoalan yang berkenaan dengan alam, aqidah, social, dan lain sebagainya. Allah
menjadikan al-Qur'an sebagai dasar pedoman kehidupan bagi umat manusia di samping
adanya sunnah. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi siapapun menafsirkan suatu
ayat al-Qur'an tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama.
Sebagaimana yang telah disinggung di awal, selain syarat-syarat yang berkenaan
dengan akademik, mufassir juga harus mempunyai etika yang patut ada pada mufassir.
10
Muhmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur,an:Perkenalan dengan Metodologi Tafsir,(Bandung: Pustaka, 1987),
hlm. 17.

11
Orang dengan pengetahuan akademik yang kaya tanpa dibarengi dengan etika yang patut
diteladani akan sulit dipercaya oleh orang lain akan kekayaan ilmunya tersebut. Para
ulama juga merumuskan etika atau yang sering dikenal dengan sebutan adab al mufassir
yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Manna' Khalil al Qattan mengatakan terdapat
11 adab yang harus dimiliki mufassir:
1) Berniat baik dan bertujuan benar
Seorang mufassir hendaknya mempunyai tujuan dan tekad untuk kebaikan umum,
berbuat baik kepada Islam, dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah
meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya
2) Berakhlak baik
Seorang mufassir layaknya seorang pendidik yang harus bisa menjadi panutan
yang diikuti oleh didikannya dalam hal akhlak dan perbuatan. Kata-kata Kata-kata atau
perbuatan yang kurang baik menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang
diajarkan oleh pendidik
3) Taat dan beramal
Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkan ilmunya
daripada melalui orang yang berpengetahuan tinggi akan tetapi tidak mengamalkannya.
Dan perilaku mulia akan menjadikan mufassir sebagai panutan yang baik bagi
pelaksanaan masalah masalah agama yang ditetapkannya
4) Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan
Dengan berlaku jujur dan teliti, mufassir tidak akan berbicara dan menulis kecuali
telah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Sehingga dengan cara tersebut akan
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
5) Tawadhu' dan lemah lembut
Dengan tawadhu' dan lemah lembut akan menghantarkan seorang alim pada
kemanfaatan ilmunya.
6) Berjiwa mulia
Seharusnya orang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak
mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.
7) Vokal dalam menyampaikan kebenaran

12
Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak di
hadapan penguasa lalim.
8) Berpenampilan baik
Hal ini agar menjadikan seorang mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua
penampilannya, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan. Namun sikap ini hendaknya
murni dari diri sendiri bukan sebagai paksaan.
9) Bersikap tenang dan mantap
Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam hal berbicara atau pun perbuatan
tetapi hendaknya berbicara dengan jelas, tenang, dan mantap agar orang yang
mendengarnya memahami apa yang dikatakan dan tidak ragu akan ketetapan yang
dihasilkan seorang mufasiir.
10) Mendahulukan orang yang lebih utama
Seorang mufassir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang
yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak boleh merendahkan dan
mengabaikan ketika mereka telah wafat. Akan tetapi hendaknya seorang mufassir belajar
dari mereka yang lebih pandai dan belajar dari karya-karya mereka.
11) Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik
Penafsiran hendaknya dilakukan dengan melakukan persiapan sebelumnya dan
melakukan langkah-langkah penafsiran dengan baik. Misalnya dengan memulai dengan
menyebutkan asbab al nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan
segi-segi balaghah dan i'rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian
menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan umum yang
sedang dialami umat manusia pada masa itu dan kemudian mengambil kesimpulan dan
hukum.11
E. Sejarah Perkembangan Tafsir
1. Corak Tafsir pada Masa Nabi dan Sahabat
Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang datang dari sahabat,
karena merekalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan
situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka, di samping mereka mempunyai daya
pemahaman yang shahih. Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan berkata:

11
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,(Bogor: Pustaka Literal Antar Nusa 2015), hlm. 469-471.

13
"Ketahuilah Al-Qur'an itu ada dua bagian. Satu bagian penafsirannya datang
berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naqli. Yang pertama,
penafsiran itu adakalanya dari nabi, sahabat atau tokoh tabi'in. Jika berasal dari Nabi,
hanya perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan
apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa? Jika ternyata demikian maka mereka
adalah yang paling mengerti tentang bahasa Arab, karena itu pendapatnya dapat dijadikan
pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbabun
nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini tidak diragukan lagi.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Muqaddimah Tafsir-nya: “Jika kita tidak
mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur'an dan tidak pula dalam Sunnah, hendaknya kita
merujuk kepenafsiran sahabat, sebab mereka lebih mengetahui mengenai tafsir Al-
Qur'an. Merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi yang terjadi. Juga mereka
mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shaleh, terutama
para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa Ar-Rasyidin, para imam yang
mendapat petunjuk dan Ibn Mas'ud."
Dalam periode ini tidak ada sedikit pun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan
baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari
hadits, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran
mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-
ayat Al-Qur'an dan surat-suratnya di samping juga tidak mencakup keseluruhannya.
2. Corak Tafsir Masa Tabi’in
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan,
sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan
dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam
memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka
dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Pendapat yang kuat ialah jika para tabi'in sepakat atas sesuatu pendapat, maka
bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalan yang
lain.
Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu'bah bin Al-Hajjaj dan lainnya katanya,
"Pendapat para tabi'in itu bukan hujjah." Maka bagaimana pula pendapat-pendapat

14
tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak
menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat
yang benar.Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa
kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka
pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi'in sendiri
maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan
kepada bahasa Al-Qur`an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat
tentang hal tersebut."
Pada masa tabi'in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin
(penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para tabi'in
banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra'iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam
tafsir. Misalnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, Wahab bin
Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini,
mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka
karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat
tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang
lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat
kontradiktif.
3. Corak Tafsir Masa Pembukuan
Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti bani Umayyah dan awal dinasti
Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadits mendapat prioritas utama dengan mencakup
berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang
dicakupnya. Pada masa ini tafsir yang hanya memuat tafsir Al-Qur'an, surat demi surat
dan ayat demi ayat, dari awal Al-Qur'an sampai akhir, memang belum dipisahkan secara
khusus dari bab-bab hadits.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang dinisbatkan kepada
Nabi, sahabat atau tabi'in sangat besar di samping perhatian terhadap pengumpulan
hadits. Tokoh terkemuka di antara mereka dalam bidang ini adalah Yazid bin Harun As-
Sulami (wafat.117 H.), Syu'bah bin Al-Hajjaj (wafat. 160 H), Waki' bin Jarrah (wafat 197
H.), Sufyan bin Uyainah (wafat. 198 H.), Rauh bin Ubadah Al-Basri (wafat. 205 H.),
Abdurrazzaq bin Hammam (wafat.211 H.), Adam bin Abu Iyas (w.220 H.), dan 'Abd bin

15
Humaid (wafat. 249 H.). Tetapi tafsir periode ini, sedikit pun tidak ada yang sampai
kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka
sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bil-ma'tsur.
Kemudian datang generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan
independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari
hadits. Al-Qur'an mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan sistematika Mushaf.
Mereka adalah Ibnu Majah (wafat.273 H.), Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat. 310 H), Abu
Bakar bin Al-Mundzir An-Naisaburi (wafat. 318 H.), Ibn Abi Hatim (wafat. 327H.), Abu
Asy-Syaikh bin Hibban (wafat. 369H.), Al-Hakim (wafat. 405), dan Abu Bakar bin
Mardawaih (wafat. 410 H.)
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah,
sahabat, tabi'in dan tabi'in-tabi'in, dan terkadang disertai pen tarjih-an terhadap pendapat-
pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbath sejumlah hukum serta penjelasan
kedudukan i'rab-nya jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir Ath-Thabari.
Kemudian muncul sejumlah mufassir yang pada dasarnya tidak lebih dari tafsir
bil-ma'tsur. Perbedaannya mereka hanya meringkas sanad-sanad yang berkaitan dengan
tafsir dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebut pemiliknya. Karena itu
persoalannya menjadi kabur dan riwayat riwayat yang shahih bercampur dengan yang
tidak shahih.
Ilmu ini semakin berkembang pesat, pembukuannya semakin sempurna, cabang-
cabangnya bermunculan, perbedaan pun terus meningkat. Permasalahan "kalam" semakin
memanas, fanatisme madzhab pun semakin serius, dan ilmu-ilmu filsafat bercampur aduk
dengan ilmu ilmu naqli, serta setiap golongan hanya membela kepentingan madzhabnya
masing-masing. Akibatnya disiplin ilmu tafsir khususnya, tercemar polusi tidak sehat.
Sehingga para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an berpegang pada pemahaman
pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan, baik kecenderungan keilmiahan,
pandangan madzhab maupun falsafi. Masing-masing mufassir memenuhi tafsirnya hanya
dengan ilmu yang paling dikuasainya tanpa memperhatikan ilmu-ilmu yang lain. Ahli
ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof
seperti Fakhruddin Ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti Al-
Jasshash dan Al-Qurthubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita-berita,

16
seperti Ats-Tsa'labi dan Al Khazin. Demikian pula golongan ahli bid'ah berupaya
mena'wilkan Kalamullah menurut selera madzhabnya yang rusak itu, seperti Ar
Rummani, Al-Jubba'i, Qadhi Abdul Jabbar dan Az-Zamakhsyari dari kaum Mu'tazilah,
juga Muhsin Al-Kasyi dari golongan Syi'ah Imamiyah Al-Itsna 'Asyariyah, dan golongan
ahli tasawwuf hanya mengemukakan makna makna isyari (tersirat) seperti Ibn 'Arabi.
Di samping tafsir dengan corak tersebut juga banyak tafsir yang menitikberatkan
pada pembahasan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah. Demikianlah, kitab-kitab tafsir
menjadi kitab-kitab yang di dalamnya bercampuraduk antara yang berguna dengan yang
berbahaya, dan yang baik dengan yang buruk. Masing-masing golongan menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an dengan penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri
demi mendukung kepentingan madzhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga tafsir
kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan pengetahuan
mengenai hukum-hukum agama.
Dengan demikian, tafsir bir-ra'yi menang atas tafsir bil-ma'tsur. Penulisan tafsir
pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas, yaitu golongan muta'akhirin tidak
kreatif, hanya mampu mengambil penafsiran golongan mutaqaddimin, dengan cara
meringkasnya di satu sisi dan memberinya komentar di sisi lain. Keadaan demikian terus
berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern, di mana sebagian mufassir
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping upaya menyingkap dasar-
dasar kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri' dan teori teori ilmu pengetahuan dari
kandungan Al-Qur'an sebagaimana terlihat dalam tafsir Al-Jawahir, Al-Manar dan Azh-
Zhilal".

BAB III
PENUTUPAN

17
A. Kesimpulan
1. Dalam membaca Al-Qur’an kita tidak cukup hanya membaca saja namu kita
memerlukan terjemah dari yang kita baca agar mengerti artinya dan membutuhkan
tafsir dan ta’wil untuk memperdalam makna atau maksud dari surah yang kita baca
dalam Al-Qur’an.
2. Tafsir dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah Tafsir Bi al-Ma’tsur,
Tafsir Bi ar-Ra’yi, dan Tafsir al-Isyari.
3. Metode dalam penafsiran terdapat 4 metode yaitu, Metode Tafsir Tahlili, Ijmali,
Muqarran, dan Madhui. Yang di dalamnya terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Sedangkan corak dalam penafsiran terdapat 5 corak
yaitu, Tafsir Shufi, Falsafi, Fiqhi, Ilmi, dan Al-Adabi Wa Al-Ijtimal.
4. Bahwa menjadi seorang Mufassir harus lah memenuhi syarat agar dalam penafsiran
itu tidak terjadi kekacaunya maupun kesalahn dalam melakukan penafsiran itu.
Adapun adab yang harus dimiliki oleh seorang mufasssir yaitu, Berniat baik,
Berakhlak baik, Taat beramal, Berlaku jujur dalam menafsirkan, Lemah lembut,
Berjiwa mulia, Berpenampilan baik, Bersikap tenang, Mendahulukan orang yang
lebih utama, dan Mempersiapkan langkah-langkah penafsiran dengan baik.
5. Menurut para ulama tafsir pada masa nabi dan sahabat sangatlah diwajibkan
mengambil tafsir pada masa itu karena paling ahli dalam bahasa Arab dan
menyaksikan langsung konteks itu. Sementara tafsir pada masa Tabi’in ulama
berpendapat tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2005. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

Anwar, Rosihon. 2007. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

18
Khalil Al-Quttan, Manna. 2009. Studi Ilmu Ilmu Al-Qur”an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.

Masyur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Quthan, Mana’ul. 1995. Mahabits fi Ulumil Qur’an. Jakarta: Pt Rineka.

As Suyuti, Al Itqan fii Ulum al Qur’an, hlm 213, Juz 4, CD ROOM Maktabah Syamilah versi 3.
48, Arrawdah Software.

Faudah, Muhmud Basuni. 1987. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir.
Bandung: Pustaka.

Syaikh Manna Al-Qaththan. 2006/2015. Pengantar Setudi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsur.

19

Anda mungkin juga menyukai