HALAMAN JUDUL
Disusun oleh :
Kelas 1C kelompok 6
Akuntansi Syariah
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah
sehingga kami dapat menyusun makalah berjudul “Pemikiran Islam dan Metode Studinya”.
Selawat serta salam, kami curahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang
telah menuntun umat Islam dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.
Kami sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Metodologi Studi
Islam Bapak Samud, M.H.I yang telah membimbing kami. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada rekan-rekan yang telah mencurahkan waktu dan tenaga dalam proses
penyusunan makalah ini. Kami menyadari jika makalah yang telah kami susun masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya masukan, kritik, dan
saran sebagai bahan evaluasi kami dalam pengerjaan berikutnya.
i
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................1
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Studi Al-qur’an................................................................................................................2
1. Studi Tafsir..................................................................................................................2
2. Studi Living Qur’an.....................................................................................................6
3. Studi Manuskrip..........................................................................................................7
B. Studi Hadist.....................................................................................................................9
1. Studi Otentisitas...........................................................................................................9
2. Studi Metode Pemahaman Hadits.............................................................................11
3. Makna living hadits...................................................................................................17
BAB III PENUTUP..................................................................................................................18
A. Simpulan.......................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita tahu selama ini tentang al-qur’an dan hadist adalah mereka saling
berkaitan satu sama lain dan tidak dapat di pisahkan. Menyadari hal itu maka keberadaan
ilmu munasabah menjadi penting dalam memahami Al-Quran secara utuh agar kegunaan
mempelajari ilmu munasabah dapat dijelaskan, secara hal ini menimbullkan kecemasan
dikalangan sahabat. Saran Inilah yang dapat kami paparkan dalam makalah ini yang tentunya
pembahasan tentang Alquran wahyu dan hadits di sini masih sangat sedikit serta perlu
diperdalam dan diperluas lagi.
Latar belakang sebuah makalah sebaiknya dibuat dengan bahasa yang lugas dan mudah
untuk dipahami. Seperti studi al-Qur'an adalah sekumpulan ilmu yang membahas mengenai
al-Qur'an, baik apa yang ada didalam al-Qur'an itu sendiri, maupun yang ada disekitarnya.
Dan Studi hadis adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu
tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbab alwurud dan pemahamannya yang disertai
dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tertentu.
Panduan yang Allah gariskan dalam Al-Quran menjadi cahaya dalam kehidupan dengan
mengeluarkan manusia daripada taghut kepada cahaya kebenaran daripada kesesatan dan
kejahilan kepada kebenaran ilmu daripada perhambaan sesama manusia kepada mengabdikan
diri semata-mata kepada Yang Maha Mencipta.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ilmu tafsir dan macam-macam ilmu tasir?
2. Apa itu studi living al-qur’an?
3. Apa itu manuskrip al-qur’an?
4. Apa itu metode pemahaman hadis?
5. Apa itu living hadis dan macam-macam hadis?
6. Apa itu otentisitas hadis?
C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang ilmu tafsir dan macam-macam ilmu tafsir
2. Menjelaskan tentang living al-qur’an
3. Menjelaskan tentang manuskrip al-qur’an
4. Menjelaskan tentang pemahaman hadis
5. Menjelaskan tentang living hadis dan macam-macam hadis
6. Menjelaskan tentang otentisitas hadis
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Studi Al-qur’an
1. Studi Tafsir
Kata Tafsir diambil dari kata fassara yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya,
pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna al-idhah
(menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar (menampakan),
dan al-ibanah (menjelaskan). Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama
mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda.
Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil, tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an,
menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau
tujuan.1
Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahih At-Taujih, tafsir pada hakikatnya adalah
menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha
mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dilalah-nya.2
Menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata Al-
Qur’an sera cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan
makna-makna yang terkandung didalamnya.
Menurut Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan
menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya,
Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan
hikmahnya.
Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumber-sumbernya
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
Menurut Al-Farmawy, tafsir bi Al-Matsur adalah penafsiran Al-Quran yang berdasarkan
pada penjelasan Al-Quran sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat melalui
ijtihadnya, dan pendapat (aqwal) tabi’in. Ada 4 otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi
al-ma’tsur.3
1. Al-Quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Quran sendiri.
1
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005) Hal 141
2
Ibid hal 142
3
Ibid hal 143
2
3
2. Otoritas hadits Nabi memang berfungsi, diantaranya sebagai penjelas (mubayyin) atau
penafsir Al-Quran.
3. Otoritas penjelasan sahabat Nabi yang dipandang sebagai orang yang banyak
mengetahui Al-Quran.
4. Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap sebagai orang yang bertemu langsung
dengan sahabat.4
Otoritas penjelasan tabi’in sebagai sumber penafsiran Al-Quran masih diperdebatkan oleh
para ulama. Karena mereka tidak hanya mendasarkan pada riwayat yang diterimanya dari
sahabat, tetapi juga terkadang memasukan ide-idenya. Dengan kata lain, mereka melakukan
ijtiahad dan memberikan interpretasi terhadap Al-Quran. Disamping itu, mereka berbeda
dengan sahabat, tidak mendengar langsung dari Nabi, dan tidak menyaksikan langsung situasi
dan kondisi ketika Al-Quran turun.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi al-ma’tsur menempuh 3 periode, yaitu:
Periode pertama, yaitu masa nabi, sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika tafsir
belum ditulis. Pada periode ini, periwayatan tafsir secara umum dilakukan dengan
lisan (musyafahah).
Periode kedua, dimulai dengan masa mengodifikasi hadis secara resmi pada masa
pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101 H). Tafsir bi al-ma’tsur ketika itu
ditulis bergabung dengan penulisan hadis dan dihimpun dalam salah satu bab hadis.
Periode ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi al-ma’tsur yang berdiri
sendiri. Salah satu kitab yang dipandang menempuh corak bi al-ma’tsur adalah Tafsir
Ad-Durr Al-Mantsur karya As-Suyuthi.5
Bila hendak menggunakan corak bi al-ma’tsir dibutuhkan pengembangan. Pengembangan
yang dimaksud adalah tidak hanya sekedar menyerap apa adanya produk penafsiran bi al-
ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksinya, mana yang dapat
menyelesaikan persoalan masa kini dan mana yang tidak6.
b. Tafsir bi Ar-Ra’yi
Definisi tafsir ar-ra’yi menurut Al-Farmawi adalah menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad
setelah si mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab
ketika berbicara dan mengetahui kosakata-kosakata Arab beserta muatan artinya. Diantara
penyebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-
4
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005) Hal 144
5
Ibid hal 146
6
Ibid hal 150
4
ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para
ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar dibidangnya masing-masing..7
Mengenai keabsahan tafsir bi ar-ra’yi, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok,
yaitu:
1. Kelompok yang melarangnya. Ulama yang menolak menggunakan corak tafsir bi ar-
ra’yi mengemukakan argumen-argumen berikut:
Menafsirkan Al-Quran berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa
pengetahuan. Dengan demikian, hasil pemikirannya hanya bersifat perkiraan semata.
Yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Nabi.
Sabda Rasulullah “Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya
semata, atau atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah
mengambil tempat dineraka.”
Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati dalam
berbicara tentang penafsiran Al-Quran.8
7
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005) Hal 151
8
Ibid hal 152-154
9
Ibid hal 154-155
5
a. Metode Tahili
Metode Tahili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan meneliti aspeknya dan
menyikapi seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud
setiap ungkapan, kaitan antar pemisah, hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan
bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.
Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per-ayat, dan surat per-surat.
b. Metode Ijmali (Global)
Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Quran dengan
uraian singkat, sehingga mudah dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang
berpengetahuan sekedarnya, sampai orang yang berpengetahuan luas. Ketika menggunaka
metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Quran dengan bantuan asbab an-nuzul, peristiwa
sejarah, hadis Nabi, atau pendapat ulama saleh. Prosedur yang dilakukan sama dengan
menggunakan metode tahili.
c. Metode Muqaran (Perbandingan/Komprasasi)
Metode Muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan merujuk kepada
penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan
metode ini adalah sebagai berikut:
Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Quran.
Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau
bi ar-ra’yi.
Menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi secara subjektif.11
10
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005) Hal 156
11
Ibid hal 159-160
6
seseorang kecuali Allah Yang Maha Esa. Kedua, hukum-hukum praksis yang
mengatur tentang interaksi manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Ketiga,
perilaku mulia, yang mendidik manusia untuk berbuat baik, baik dari segi zahir
maupun batin, kelakuan bagi zahir menjadikan manusia harmonis dan batin yang
mengontrol ego dan sebagainya. Keempat, berisi janji dan ancaman Tuhan kepada
hamba yang beramal baik dan mematuhi perintah serta menjauhi larangannya untuk
tidak berbuat.
3. Studi Manuskrip
Salinan al-Qur’an dalam berbentuk manuskrip ini adalah salinan dalam bentuk media
kertas yang ditulis tangan. Islah Gusmian mengatakan, studi manuskrip mushaf menjadi
penting dan menarik karena dapat dilihat pada dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek
eksternal.
Kajian manuskrip kuno di Nusantara mulai banyak diminati oleh para pegiat
akademik, baik dari kalangan dosen, mahasiswa maupun peneliti. Namun sejauh ini yang
banyak mendapatkanperhatian adalah manuskrip atau naskah keilmuan seperti tasawuf, fiqih
dan cabang ilmu lain. Kajian manuskrip al-Qur`an cenderung kurang mendapat perhatian,
karena kandungan al-Qur`an selalu sama, tak pernah berubah dan tidak
memberikan gambaran lebih terhadap perubahan dari waktu ke waktu. Padahal, dalam
manuskrip al-Qur`an yang ditulis oleh ulama atau profesional, bisa ditemukan hal lain yang
menceritakan tentang budaya atau lokalitas masyarakat terdahulu. Pada manuskrip mushaf
al-Qur`an ada berbagai hal menarik yang bisa dijadikan bahan kajian meliputi, umur, naskah,
jenis, kertas, rasm, Qirā`āt, tanda baca danaspek lain yang menyangkut kodikologis maupun
tekstologis.13
Mushafal-Qur`an adalah naskah yang paling banyak disalin. Penelitian mushaf kuno lebih
banyak pada aspek iluminasinya, karena memang sangat menawan untuk dikaji
dibandingkan sisi naskah lainnya. Mushaf-mushaf Al-Qur’an dari Nusantara banyak
menyimpan khazanah ilmu-ilmu Al-Qur‟an.14 Di Nusantara, penyalinan mushaf dimulai sejak
akhir abad ke-13 ketika Pasai resmi menjadi kerajaan Islam. Seperti yang tertulis dalam buku
Rihlah Ibnu Batuṭah (1304-1369) ketika melakukan perjalanan ke Aceh sekitar tahun 1345
M, ia menuturkan bahwa Sultan Aceh sering mengikuti acara pembacaan al-Qur`an di masjid.
13
Ahmad Jaelani dkk, Mushaf Kuno Nusantara, Sulawesi dan Maluku, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur`an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2018), hlm. vii.
14
Abdul Hakim, “Metode Kajian Rasm, Qira`āt, Waqafdan ḌabṭPada Mushaf Kuno”, SuhufJurnal Pengkaijan Al-
Qur’an dan Budaya vol. 11, no. 1(2018), hlm. 77. (https://doi.org/10.22548/shf.v11i1.322)
8
Kendati demikian mushaf tertua di Asia Tenggara yang ditemukan adalah mushaf dari Johor,
Malaysia yang bertahun 1606 M. Di Indonesia sendiri, mushaf tertua ditemukan di Singaraja,
Bali yang ditulis oleh Abd al-Sufi al-Din, selesai ditulis pada hari Kamis 21 Muharram 1035
(23 Oktober 1625). Pemilik mushaf tersebut adalah Muhammad Zen Usman.15
Penulisan mushaf pada zaman dahulu biasanya diinisiasi oleh: Kerajaan (Kesultanan), elite
sosial jugapesantren. Mushaf yang ditulis oleh kerajaan atau dihadiahkan kepada raja-raja
biasanya mempunyai iluminasi yang indah dan berwarna. Berbeda dengan mushaf yang
ditulis oleh perseorangan atau pesantren yang mempunyai iluminasi biasa saja.16Penyalinan
manuskrip Al-Qur`an berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 di berbagai
kota dan pusat-pusat Islam masa lalu, seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon,
Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makasar,
Ambon, Ternate, dan lainnya. Tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, kolektor dalam
negeri maupun luar negeri, pesantren atau ahli waris.17Termasuk manuskrip mushaf al-Qur`an
yang disimpan oleh ahli waris adalah manuskrip mushaf yang saat ini tersimpan
di perpustakaan pondok pesantren Al-Yasir di Dukuh Kauman, Desa Jekulo, Kecamatan
Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Penelitian naskah mushaf meliputi sisi fisik maupun isi teks. Untuk mengungkap sisi fisik
naskah diperlukan cabang ilmu dari filologi, yaitu kodikologi. Kodikologi diambil dari
bahasa latincodex, dalam konteks nusantara diterjemahkan menjadi naskah. 18Kodeks
adalah gulungan atau buku tulisan tangan terutama dari teks klasik, setelah ditemukan
mesin cetak, arti kodeks mengalami pergeseran menjadi buku tertulis.Kodikologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk naskah. 19 Disebut juga sebagai ilmu kritik
naskah20atau deskripsi fisik naskah.21Kodikologi seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, adalah ilmu tentangseluk beluk naskah, maka objek kajian dari ilmu
ini adalah beberapa aspek pernaskahan, yaitu: bahan naskah, umur naskah, tempat
15
3Ahmad Jaelani dkk, Mushaf Kuno Nusantara, Sulawesi dan Maluku, hlm.v.
16
4Disarikan dari workshop kajian mushaf kuno dalam bentuk Praktikum Kuliah Lapangan (PKL) dengan tema
Studi Manuskrip Al-Qur'an pada 18-19 November 2019 di Aula Museum Istiqlal, Gedung Bayt Al-Qur‟an &
Museum Istiqlal TMII Jakarta Timur.
17
5Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur`an Nusantara”, At-TibyanJurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, vol. 1, no. 1,
(2016), hlm.175.
18
Ibid., hlm. 144
19
Siti Baroroh Baried dkk, Pengantar Teori Filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
1985), hlm. 55.
20
Wening Pawestri dkk, “Kritik Naskah (Kodikologi) Atas Naskah Sejarah Ragasela”, JumantaraJurnal Manuskrip
Nusantara, vol. 9, no. 2(2018), hlm. 219.(https://doi.org/10.37014/jumantara.v9i2.249)
21
9Jajang A. Rahmana, “Empat Manuskrip AlQuran Di Subang Jawa Barat (Studi Kodikologi Manuskrip
AlQuran)”, WawasanJurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, vol. 3, no. 1(2018), hlm.
3.(https://doi.org/10.15575/jw.v3i1.1964).
9
B. Studi Hadist
1. Studi Otentisitas
Diskursus tentang otentisitas hadits merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan
kotroversial dalam studi hadits kontemporer. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya suatu
asumsi bahwa hadits Nabi SAW secara normatif-teologis tidak ada garansi dari Allah SWT.
Berbeda dengan al Quran yang oleh Allah SWT sendiri diberi ‘garansi’ akan
keterpeliharaanya.
Disamping itu problem otentisitas hadits dipandang sangat signifikan dan sangat penting,
karena erat kaitannya dengan pandangan teologis mayoritas umat Islam yang menjadikan
hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran pokok kedua setelah al Quran. Bahkan, ia dipandang
sebagai Miftah al Quran (kunci untuk memahami al Quran), karena untuk memahami al
Quran secara ‘syamil’ dibutuhkan hadits sebagai bayan, bahkan ada pendapat bahwa hadits
dan sunnah Nabi SAW merupakan tafsir dari al Quran itu sendiri dan juga realisasi dari al
Quran (Khairuman, 2004: 27). Orang yang meragukan hadits sebagai sumber istidlal, maka
pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar mereka menerapkan al Quran sebagai ajaran
dalam kehidupan sehari-hari? (Langaji, 2006, 67).
Maraknya gugatan atas hadits berawal dari sejarah bahwa hadits tidak terdokumentasi
secara resmi sejak awal peradaban muslim, hadits baru dibukukan secara resmi jauh setelah
22
Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi, hlm.55.
23
Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2017),
hlm. 44.
24
Oman Fathurahman, Filologi Indonesia, Teori dan Metod, hlm.117.
25
Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi, hlm. 57.
26
Mustopha, Wawancara, Jakarta, 19 November 2019.
10
Nabi SAW wafat, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, sehingga untuk mengatakan
hadits sebagai suatu sumber yang otentik sebagaimana al Quran perlu pengkajian yang
mendalam. Sebagai konsekwensinya, muncullah para pembela hadits untuk melakukan
pembelaan terhadap setiap pendapat yang mencoba meragukan atau bahkan menolak sama
sekali terhadap kemungkinan hadits-hadits Nabi SAW yang benar-benar otentik dari Nabi
SAW.
Diantara orientalis yang pertama kali mempersoalkan otentisitas hadits adalah Alois
Sprenger, dalam tesisnya dia mengatakan bahwa hadits adalah palsu karena merupakan
kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Hal ini didukung oleh teman
sejawatnya yaitu William Muir, menurutnya, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad
SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Oleh
karenanya, katanya lebih lanjut, dari 4.000 hadits yang dianggap shahih oleh Bukhari paling
tidak separuhnya harus ditolak. Sementara itu, Ignaz Goldjiher berpendapat bahwa hadits
Nabi SAW sesungguhnya merupakan hasil evolusi social historis Islam abad kedua Hijriyah.
Menurutnya, sedikit sekali hadits yang benar-benar asli berasal dari Nabi SAW. Ini artinya
Ignaz Goldjiher berusaha memasukkan virus keraguan dalam pikiran umat Islam mengenai
otentisitas hadits, kalaupun toh ada itu sangat sedikit sekali.
Asumsi tersebut dilanjutkan Schacht dengan anggapan yang jauh lebih negatif dan juga
spekulatif dengan mengatakan bahwa tidak ada satupun hadits Nabi SAW yang benar-benar
otentik dari beliau, terutama hadits-hadits yang berkaitan dengan fiqih. Lebih lanjut, dia
menyatakan bahwa sistem isnad sesungguhnya tidak pernah ada pada zaman Nabi SAW dan
hanya ada pada masa belakangan.
Persoalan yang muncul adalah apakah otentisitas hadits secara historis dan ilmiah dapat
dibuktikan serta pendekatan apa yang mesti dipakai dan bagaimana caranya. Pertanyaan
tersebut memang cukup menggelitik dan membuat para ahli hadits tertantang untuk
menciptakan ilmu kritik hadits, baik kritik ekstern (an Naqd al Khariji) yang menyangkut
sanad hadits, maupun kritik intern (an Naqd al Dakhili) yang menyangkut matan hadits.27
dimaksud dengan pemahaman hadis tradisionalis adalah memahami hadis dengan pendekatan
tekstual, dan kontekstual historis, metode ini dapat dipilah menjadi metode tahliliy (analitis),
metode ijmaliy (global), metode muqaran (komparatif), metode maudhu’iy (tematis).
Para ulama memberikan beberapa prinsip umum sebagaimana tulisan dari Abdul
Mustaqim7 dalam memahami hadis Nabi saw:
a. Prinsip jangan terburu buru menolak hadis yang dianggap bertentangan dengan akal,
sebelum melakukan penelitian yang mendalam.
b. Prinsip memahami hadis secara tematik (maudhu’i) sehingga memperoleh gambaran
utuh mengenai tema yang dikaji. Ali Mustafa Yaqub menyatakan hadis saling
menafsirkan karena sumbernya adalah Raasulullah dan untuk memahaminya harus
dengan melihat riwayat yang lain.
c. Prinsip bertumpu pada analisis kebahasaan, mempertimbangkan struktur teks dan
konteks.
d. Prinsip membedakan antara ketentuan hadis yang bersifat legal formal dengan aspek
yang bersifat ideal moral (baca: sesatu yang hendak dituju), membedakan sarana dan
tujuan.
e. Prinsip bagaimana membedakan hadis yang bersifat lokal kultural, temporal dan
universal.
f. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw. apakah beliau sebagai manusia biasa, nabi
atau rasul, hakim, panglima perang, ayah dan lain sebagainya. Sehingga pengkaji dan
peneliti hadis harus cermat menangkap makna yang terkandung dibalik teks tersebut.
g. Meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis, baik sanad dan matan, serta
berusaha memahami segala aspek yang terkait dengan metode pemahaman hadis.
h. Memastikan bahwa teks hadis tersebut tidak bertentangan dengan nash yang lebih
kuat.29
i. Menginterkoneksikan dengan teori teori sains modern untuk memperoleh kejelasan
makna tentang isyarat isyarat ilmiah yang terkadung dalam hadis hadis sains.
Metode-metode Pemahaman Hadis
a. Metode Tahliliy (analitis)
Metode tahliliy adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung di dalam hadis-hadis yang dipahami serta menerangkan makna-makna
29
Zilfaroni “Metode pemahaman hadis tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy” diakses dari
https://zilfaroni.dosen.iain-padangsidimpuan.ac.id/2012/11/metode-pemahaman-hadis-tahliliy-ijmaliy.html?
=1
12
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarh yang
memahami hadis-hadis tersebut. Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang
pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam
sebuah kitab hadis yang dikenal dari kutub as-sittah atau kitab-kitab hadis lainnya.
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahliliy biasanya berbentuk
ma’tsur (riwayat) atau ra’yu (pemikiran rasional). Syarh yang berbentuk ma’tsur ditandai
dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in atau ulama
hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra’yu banyak di dominasi oleh pemikiran rasional
pensyarahnya. Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahliliy mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung
di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara
berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al-wurud dari hadis-hadis
yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab al-wurudnya.
Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat,
tabi’in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
Di samping itu dijelaskna juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis
lain.
Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan pensyarah
pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti
corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.30
Metode Tahliliy memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebiham metode ini
adalah:
Ruang lingkup pembahasan yang luas. Metode tahliliy mempunyai ruang lingkup
yang luas. Diantara ruang lingkupnya adalah pembahasan kata, kalimat, asbab al-
wurud.
Deskripsi berbagai ide yang cukup banyak. Syarah dengan metode tahliliy ini
memberikan kesempatan yang luas kepada pensyarah untuk mencurahkan ide-ide dan
gagasan dalam syarah hadis, itu berarti pola pensyarah metode ini dapat menampung
berbagi ide pensyarah. Dengan di bukanya pintu bagi pensyarah untuk
30
Zilfaroni “Metode pemahaman hadis tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy” diakses dari
https://zilfaroni.dosen.iain-padangsidimpuan.ac.id/2012/11/metode-pemahaman-hadis-tahliliy-ijmaliy.html?
=1
13
Bahasa mudah dipahami Pensyarh langsung menjelaskan kata atau maksud hadis
dengan tidak mengemukakan idea atau pendapatnya secara pribadi.
Bebas dari israiliyyat. Oleh karena singkatnya penjelasan yang diberikan, metode
ijmaliy relatif lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyyat. Metode
ini juga dapat membendung pemikiran-pemikiran yang terlalu jauh dari pemahaman
hadis
Akrab dengan bahasa hadis. Uraian yang dimuat dalam metode ini singkat dan padat.
Kekurangan dari metode Ijmaliy adalah:
Menjadikan petunjuk hadis parsial. Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis
secara utuh dan dapat dijadikan petunjuk hadis bersifat parsial, tidak terkait satu
dengan yang lain, sehingga hadis yang bersifat umum atau samar tidak dapat
diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.
Tidak ada ruang untuk menggunakan analisis yang memadai. Metode ini tidak
menyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas
pemahaman suatu hadis. Namun inilah ciri khas metode ijmaliy yang jika pensyarh
tidak konsisten dengan pola ini maka ia otomatis akan keluar dari ranah metode
ijmaliy.
Metode Muqaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebiham metode ini
adalah:
Memberikan wawasan relatif lebih luas. Dengan melakukan pemahaman dengan
menggunakan metode muqaran ini akan terlihat bahwa suatu hadis dapat ditinjau dari
berbagai ilmu pengetahuan, sesuai dengan keahlian muhaddisinnya.
Membuka pintu untuk bersikap toleran. Metode ini membimbing kita untuk selalu
bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda atau
bahkan kontradiktif dengan pendapat kita. Dengan demikian dapat mengurangi
fanatisme yang berlebihan kepada suatu hadis atau golongan tertentu.
Membuktikan bahwa hadis-hadis tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur’an
karena hadis merupakan penjelas (mubayyin). Nabi Muhammad SAW itu sendiri
sebagai sumber hadis dalam segala aktifitas dan sikapnya selalu berdasarkan al-
Qur’an.
Dapat mengungkapkan keorisinalitas dan objektifitas muhaddis. Dengan melakukan
perbandingan antara hadis satu dengan hadis yang lainnya yang memiliki tema yang
sama, maka kita dapat menemukan keaslian (orisinilitas) hadis seorang muhaddis,
terkadang sebagai muhaddis hanya mengutip pendapat ulama hadis sebelumnya dan
bahkan juga terdapat ketidakjujuran dalam mengutip suatu pendapat.
Dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan pendapat di kalangan muhaddis
atau perbedaan kelompok umat Islam, yang di dalamnya termsuk masing-masing
muhaddis.
Dapat menjadi sarana pendekatan diantara berbagai aliran hadis dan juga dapat
mengungkapkan kekeliruan muhaddis sekaligus mencari pandangan yang mendekati
kebenaran. Dengan kata lain seorang muhaddis dapat melakukan kompromi dari
pendapat-pendapat yang bertentangan atau bahkan mentarjih salah satu pendapat yang
dianggap paling benar.
Kekurangan dari metode Muqaran adalah:
Metode muqaran tidak dapat diberikan kepada pemula, Hal ini disebabkan
pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim,
konsekuensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka dan bahkan
mungkin bisa merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.
=1
16
=1
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pengembangan yang dimaksud adalah tidak hanya sekedar menyerap apa adanya produk
penafsiran bi al-ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksinya,
mana yang dapat menyelesaikan persoalan masa kini dan mana yang tidak.Kendati demikian
mushaf tertua di Asia Tenggara yang ditemukan adalah mushaf dari Johor, Malaysia yang
bertahun 1606 M. Di Indonesia sendiri, mushaf tertua ditemukan di Singaraja, Bali yang
ditulis oleh Abd al-Sufi al-Din, selesai ditulis pada hari Kamis 21 Muharram 1035 (23
Oktober 1625).
Kodikologi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah ilmu tentangseluk beluk
naskah, maka objek kajian dari ilmu ini adalah beberapa aspek pernaskahan, yaitu:
bahan naskah, umur, naskah, tempat penulisan naskah, perkiraan penulis naskah, sejarah
naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat naskah, penyusunan katalog, penggunaan
naskah, teknik penjilidan naskah, bahan, naskah teknologi peracikan tinta, marginaliadan
iluminasi.
Dalam memahami seluk beluk teks manuskrip mushaf al-Qur`an ada beberapa obyek
kajian, yaitu: rasm, ḍabt, qirā`āt, ‘add al-āydan waqaf, atau yang kemudian disebut
tekstologi manuskrip mushaf al-Qur`an Pendekatan teks dengan model demikian biasa juga
disebut dengan cabang ilmu ‘ulūm al-Qur`ānuntuk mengungkap raga bacaan yang ada di
dalam naskah.
Yang dimaksud dengan pemahaman hadis tradisionalis adalah memahami hadis dengan
pendekatan tekstual, dan kontekstual historis, metode ini dapat dipilah menjadi metode
tahliliy (analitis), metode ijmaliy (global), metode muqaran (komparatif), metode maudhu’iy
(tematis). Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti
sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang
dikenal dari kutub as-sittah atau kitab-kitab hadis lainnya.
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat dijadikan petunjuk
hadis bersifat parsial, tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang bersifat umum
atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.
Metode Muqaran (komperatif) Metode muqaran adalah metode memahami hadis dengan
cara membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang
18
19
sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau Membandingkan
berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
Dengan melakukan perbandingan antara hadis satu dengan hadis yang lainnya yang
memiliki tema yang sama, maka kita dapat menemukan keaslian (orisinilitas) hadis seorang
muhaddis, terkadang sebagai muhaddis hanya mengutip pendapat ulama hadis sebelumnya
dan bahkan juga terdapat ketidakjujuran dalam mengutip suatu pendapat.
20
DAFTAR PUSTAKA
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/view/2651/pdf
http://jurnal.staialanwar.ac.id/index.php/itqon/article/view/52
https://tanwir.id/islah-gusmian-kayanya-manuskrip-al-quran-di-indonesia/
#:~:text=Salinan%20al-Qur%E2%80%99an%20dalam%20berbentuk
%20manuskrip%20ini%20adalah%20salinan,internal%20itu%20adalah
%20unsur-unsur%20yang%20terdapat%20dalam%20mushaf.
Asriady, M. (2017). Metode Pemahaman Hadis.
DR. Rosihon Anwar, M. (2005). Ilmu Tafsir. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Zilfaroni. (2012, November 13). METODE PEMAHAMAN HADIS TAHLILIY,
IJMALIY, MUQARAN, DAN MAUDHU’IY l. Retrieved from
https://zilfaroni.dosen.iain-padangsidimpuan.ac.id/2012/11/metode-
pemahaman-hadis-tahliliy-ijmaliy.html
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=living+hadis&oq=living+hadi#d=gs_qabs&t=1666
085285409&u=%23p%3DqZ_HpydGBtoJ
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=studi+living+quran&btnG=#d=gs_qabs&t=166608
3908962&u=%23p%3D6QDKxQajY4oJ