Anda di halaman 1dari 21

KELOMPOK VI

MUHKAM DAN MUTASYABIH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah: Studi Qur’an

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Dr. Noorazmah Hidayati, M.Hum

Oleh:

NASIRUDDIN SIDQI
NIM. 2210160228
MUHAMMAD RAJ ULHAQ
NIM. 2210160232

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


PASCASARJANA
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 1443 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya dan tak lupa pula kita haturkan
sholawat serta salam kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, kerabat, tabi’in hingga pengikut beliau sampai
hari kiamat. Sehingga kami dapat menyelesaikan susunan makalah yang
berjudul MUHKAM DAN MUTASYABIH. Dengan baik untuk memenuhi tugas
mata kuliah Studi Qur’an.

Dalam pembuatan makalah ini tentunya kami menyadari banyak terdapat


kekurangan dalam penulisan, seperti dari perancangan, pencarian bahan, baik
dalam hal kualitas maupun kuantitas dari materi yang disajikan. Kami juga
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna sehingga membutuhkan
kritik dan saran yang bersifat membangun.

Demikian yang bisa tim penulis sampaikan, semoga makalah ini


menambah khazanah dan memberikan ilmu pengetahuan serta manfaat untuk
para pembaca dan masyarakat yang luas.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Palangka Raya, November 2022

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................1

D. Metode Penulisan.........................................................................................................1

BAB II.....................................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................................2

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih.........................................................................2

B. Contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih......................................................................3

C. Pandangan Ulama Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih..................................9

D. Rahasia Keberadaan ayat muhkam dan mutasyabih...............................................14

BAB III..................................................................................................................................17

PENUTUP.............................................................................................................................17

A. Kesimpulan.................................................................................................................17

B. Saran...........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kalam tuhan yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan kehidupan
umat Islam yang harus dipahami secara mendalam disebut Al-Qur’an. Salah
satu bagian dari ilmu yang dibahas dalam Al-Qur’an yaitu tentang Muhkam
dan Mutasyabih ayat. Muhkam dan Mutasbih ayat hendaknya dapat dipahami
secara mendalam. Hal tersebut dikarenakan keduanya termasuk dalam objek
yang penting dalam Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an ada kalimat yang jelas dan
belum jelas.1 Untuk lebih lanjut mengenai hal yang berkaitan dengan Muhkam
dan Mutasyabih akan dijelaskan pada makalah ini bagian pembahasan.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih?
b. Apa contoh-contoh ayat Muhkam dan Mutasyabih?
c. Bagaimana pandangan ulama terhadap ayat Muhkam dan Mutasyabih?
d. Bagaimana rahasia keberadaan ayat Muhkam dan Mutasyabih?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian Muhkam dan Mutasyabih.
b. Untuk mengetahui contoh-contoh ayat Muhkam dan Mutasyabih.
c. Untuk mengetahui pandangan ulama terhadap ayat Muhkam dan Mutasyabih.
d. Untuk mengetahui rahasia keberadaan ayat Muhkam dan Mutasyabih.

D. Metode Penulisan
Metode dalam penulisan makalah ini yaitu studi literatur dengan cara
menggunakan buku, jurnal, dan bahan lainnya yang relevan dengan judul
makalah.

1
AJAHARI, Ulumul Qur’an ILMU-ILMU AL-QUR’AN, Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2018, hlm. 119.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Kata muhkam berasal dari ihkam, secara bahasa bermakna kekukuhan,
kesempurnaan, kesaksamaan, dan pencegahan. Namun, semua pengertian ini
pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia
menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan. Ahkam al-fars
berarti, ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari
goncangan kata. Kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, secara Bahasa
berarti keserupaan dan kesamaan. Biasanya membawa pada kesamaran antara
dua hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti dua hal yang masing-masing
menyerupai lainnya.2
Selain pengertian berdasarkan bahasa, adapun secara istilah, muhkam dan
mutasyabih seperti yang diungkapkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Kelompok ahlussunnah berpendapat bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat
yang baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak, maksudnya dapat
diketahui dengan gamblang, Sementara itu, ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui oleh Allah, seperti saat
kedatangan hari kiamat, keluarnya Dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah.
2. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat
mutasyabih sebaliknya.
3. Ibn ‘Abbas mendefinisikan ayat-ayat muhkam sebagai ayat yang tidak
memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
yaitu ayat yang mempunyai kemungkinan sisi arti banyak.
4. Al-Mawardi mengemukakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat, kekhususan
bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayat-ayat
mutasyabih sebaliknya.

2
Amroeni Drajat, ULUMUL QUR’AN Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Depok: KENCANA,
2017, hlm. 75.

2
5. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam
pemaknaannya), sedangkan ayat-ayat mutasyabih bergantung pada ayat
lain.
6. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tanpa pentakwilan, maksudnya segera
dapat diketahui, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan pentakwilan
untuk mengetahui maksudnya.
7. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan,
ancaman, dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang
kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.3
Muhkam adalah kata yang dipakai oleh Al-Qur’an untuk menunjuk ayat
yang terang makna dan lafalnya yang diletakkan untuk suatu makna yang kuat
dan mudah dipahami. Sedangkan mutasyabih adalah kata yang dipakai oleh Al-
Qur’an untuk menunjuk ayat yang bersifat global (mujmal) yang membutuhkan
ta’wil (mu’awal) dan sukar dipahami (musykil), sebab ayat-ayat yang mujmal
membutuhkan rincian; ayat-ayat yang mu’awal, baru dapat diketahui
maknanya setelah dita’wilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya
dan sukar dimengerti.4
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa muhkam adalah ayat-ayat
yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Adapun mutasyabih adalah ayat-
ayat yang maknanya belum jelas sehingga memerlukan pentakwilan untuk
mengetahui maksudnya.5

B. Contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih


1. Ayat-ayat muhkam
Secara umum para ulama berpendapat, sebab adanya ayat-ayat muhkam
itu sudah jelas, yakni kebanyakan para ulama mengacu pada keterangan ayat
1 surah Hud yang artinya: “Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
3
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007, hlm. 121-122.
4
Diah Rusmala Dewi dan Ghamal Sholeh Hutomo, Hikmah Dan Nilai-Nilai Pendidikan
Adanya Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an, Islamika: Jurnal Keislaman
Dan Ilmu Pendidikan, Volume 2, Nomor 1, Januari, 2020, hlm. 66-67.
5
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima
Yasa, hlm. 72.

3
rapi”. Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Al-Qur’an itu
rapi dan urut, maknanya juga mudah dicerna akal pikiran karena tidak samar
artinya sehingga dapat dipahami dengan mudah.
Adapun contoh ayat-ayat muhkam sebagai berikut:
- Q.S. Al-Baqarah: 21

‫َّاس ا ْعبُ ُد ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ ْي َخلَ َق ُك ْم َوالَّ ِذيْ َن ِم ْن َق ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُق ْو ۙ َن‬ ٓ
ُ ‫ٰياَُّي َها الن‬
Artinya: “Hai Manusia, Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”

- Q.S Al-Baqarah: 43

‫الراكِ ِع ْي َن‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا‬


َّ ‫الص ٰلو َة َو ٰاتُوا‬
َّ ‫الز ٰكو َة َو ْار َكعُ ْوا َم َع‬
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku‟lah beserta
orang-orang yang ruku.”

- Q.S Al-Baqarah: 275

ِّ ‫َواَ َح َّل ال ٰلّهُ الَْب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربٰو ۗا‬
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

- Q.S Al-Insyirah: 5-6

‫ ِإ َّن َم َع الْعُ ْس ِر يُ ْس ًرا‬, ‫فَِإ َّن َم َع الْعُ ْس ِر يُ ْس ًرا‬


Artinya: “Sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

- Q.S Al-Lail: 13
ۗ‫َواِ َّن لَنَا لَاْل ٰ ِخ َرةَ َوااْل ُ ْو ٰلى‬
Artinya: “Sesungguhnya kepunyaan kami akhirat dan dunia.”

- Q.S Al-Ikhlas: 4
‫َولَ ْم يَ ُك ْن لَّهُ ُك ُف ًوا اَ َح ٌد‬

Artinya: “Dia tidak ada satupun yang menyerupai-Nya.”

4
- Q.S Thaha: 8
ِ ِ ٰ
ُ ‫اَللّهُ ٓاَل ا ٰلهَ ااَّل ُه ۗ َو لَهُ ااْل َ ْس َماۤءُ ال‬
‫ْح ْسنٰى‬
Artinya: “(Dia) Allah, tidak ada Tuhan, Kecuali Dia. Bagi-Nya ada
beberapa nama yang terbaik.”

2. Ayat-ayat mutasyabih
Adapun, adanya ayat-ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an secara rinci
disebabkan oleh tiga hal yaitu: kesamaran lafal, kesamaran makna dan
kesamaran pada lafal dan makna.6
1. Kesamaran pada lafal
Sebab kesamaran pada lafal ini ada dua macam, yaitu:
a. Kesamaran pada lafal mufrad
Kesamaran pada lafal mufrad (lafal yang belum tersusun dalam
kalimat) maksudnya yaitu terdapat lafal-lafal mufrad yang artinya tidak
jelas, baik disebabkan lafalnya yang gharib (asing) atau musytarak
(bermakna ganda). Adapun contoh kesamaran lafal mufrad gharib
(asing)
- Q.S Abasa 80: 31

‫َو فَ ِك َهةً َوَأبًّا‬


Artinya: “Dan buah-buahan dan serta rumput-rumputan.”

Lafal ٌ‫َأب‬
ّ pada ayat tersebut mutasyabih karena jarangnya
digunakan, sehingga asing. Kata ٌ‫َأب‬
ّ diartikan rumput-rumputan
berdasarkan penamaan dari ayat berikutnya, yakni:
Q.S Abasa 80: 32

‫اعا لَّ ُك ْم َواِل َْن َع ِام ُك ۗ ْم‬


ً َ‫َمت‬
Artinya: “Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang
ternakmu.”

6
Muhamad Turmuzi dan Fatia Inast Tsuroya, ibid., hlm. 455.

5
b. Contoh kesamaran pada lafal mufrad yang musytarak (bermakna ganda)
- Q.S As-Saffat 37: 93

‫ض ْربًا ۢبِالْيَ ِم ْي ِن‬


َ ‫غ َعلَْي ِه ْم‬
َ ‫َف َرا‬
Artinya: “Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya
dengan tangan kanannya/kuatnya.”

Lafal ‫ لْيَ ِم ْي ِن‬dalam ayat tersebut adalah lafal mufrad yang musytarak

(bermakna ganda). Kata ‫ لْيَ ِم ْي ِن‬tersebut bisa berarti tangan kanan atau

kekuatan. Arti tersebut semuanya relevan untuk kata ‫ لْيَ ِم ْي ِن‬sehingga

mengakibatkan kesamaran.7 Apakah arti tangan kanan, sehingga ayat itu


berarti Nabi Ibrahim memumukul berhala-berhala itu dengan tangan
kanannya, sebab beliau tidak kidal tentunya. Ataukah arti kuat,
sehingga ayat itu berarti Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala dengan
kuat karena berhala-berhala itu kebanyakan terbuat dari batu. Begitu
juga beberapa huruf Muqaththa’ah (penggalan-penggalan huruf di
pembukaan atau permulaan surat-surat dalam Al-Qur’an).
c. Kesamaran dalam lafal murakkab
Kesamaran dalam lafal murakkab itu disebabkan karena lafal-lafal
yang murakkab (lafal yang tersusun dalam kalimat) itu terlalu ringkas,
terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
1. Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas
- Q.S An-Nisa’: 3

‫ِّس ِاء‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫َوِإ ْن خ ْفتُ ْم َأاَّل ُت ْقسطُوا في الْيَتَ َام ٰى فَانْك ُحوا َما ط‬
َ ‫اب لَ ُك ْم م َن الن‬
‫ت‬ ِ ‫ث ورباع ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتم َأاَّل َتع ِدلُوا َفو‬
ْ ‫اح َد ًة َْأو َما َملَ َك‬ َ ْ ُْ َ َ ُ َ َ ‫َم ْثنَ ٰى َوثُاَل‬

َ ِ‫َأيْ َمانُ ُك ْم ۚ َٰذل‬


‫ك َأ ْدنَ ٰى َأاَّل َتعُولُوا‬
Artinya: “Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu
7
Diah Rusmala Dewi dan Ghamal Sholeh Hutomo, ibid., hlm. 69.

6
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat.”

Ayat tersebut masih sukar dipahami karena susunan kalimatnya


terlalu singkat sehingga membutuhkan keterangan tambahan untuk
melengkapinya agar dapat memperjelas maksudnya, yaitu jika takut
tidak dapat berlaku adil terhadap hak istrinya yang yatim harus
dijaga status dan hartanya sebagai anak yatim, maka supaya
menikahi wanita yang tidak yatim dimana lebih bebas sedikit
penjagaan terhadap hak-haknya.
2. Contoh kesamaran lafal murakkab yang terlalu luas
- Q.S Asy-Syura: 11
ِ ‫الس ِم ْيع الْب‬
‫ص ْي ُر‬ ِِ ِ
َ ُ َّ ‫س َكمثْله َش ْيءٌ ۚ َو ُه َو‬
َ ‫لَْي‬
Artinya: “Tidak ada sesuatu apapun seperti yang seperti-Nya.”

Pada ayat tersebut kelebihan huruf kaf dalam kata kamitslihi.


Sehingga sulit dimengerti maksudnya.
3. Contoh kesamaran lafal murakkab yang tidak tertib
- Q.S Al-Kahfi: 1

‫ٰب َولَ ْم يَ ْج َع ْل لَّهُ ِع َو ًجا‬ ِ ِِ ٰ ْٓ ‫ْح ْم ُد لِ ٰلّ ِه الَّ ِذ‬


َ ‫ي اَْن َز َل َعلى َع ْبده الْكت‬ َ ‫اَل‬
Artinya: “Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-kitab (al-
Qur‟an) dan dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya,
sebagai bimbingan yang lurus.”
Seandainya susunan kalimat ditertibkan dengan memindahkan
kata qayyiman sebelum kata walam yaj’al maka maknanya lebih
jelas misalnya seperti:

‫ٰب َولَ ْم يَ ْج َع ْل لَّهُ ِع َو ًجا‬ ِ ِِ ٰ


َ ‫اَْن َز َل َعلى َع ْبده الْكت‬

Artinya: “Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-kitab (Al-


Qur’an sebagai bimbingan yang lurus, dan tidak mengadakan
kebengkokan didalamnya”.

7
2. Kesamaran pada makna ayat
Kesamaran itu karena makna dari lafal-lafalnya tidak terjangkau
oleh akal pikiran manusia. Contohnya seperti makna dari sifat-sifat Allah,
sifat Qudrat, Iradat-Nya, maupun sifat-sifat lainnya. Dan termasuk juga
dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur dan lain sebagainya.

3. Kesamaran pada lafal dan makna ayat


Contohnya dalam Q.S al-Baqarah: 189

‫س الْبِ ُّر بِاَ ْن تَْأتُوا‬ ‫ي‬ ‫ل‬


َ ‫و‬ ۗ ‫ج‬
ِّ ‫ْح‬‫ل‬‫ا‬‫و‬ ِ
‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ل‬ِ‫ت ل‬
ُ ‫ي‬ ِ‫ك َع ِن ااْل َ ِهلَّ ِة ۗ قُل ِهي مواق‬
َ َ‫يَسـَٔلُ ْون‬
َ ْ َ َ َ ْ ََ َ ْ
‫ت ِم ْن اَْب َوابِ َها ۖ َو َّات ُقوا‬
َ ‫ت ِم ْن ظُ ُه ْو ِر َها َو ٰل ِك َّن الْبِ َّر َم ِن َّات ٰق ۚى َوْأتُوا ال ُْب ُي ْو‬
َ ‫ال ُْب ُي ْو‬

‫ال ٰلّهَ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ْو َن‬


Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah
“bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadah) haji. Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa.”
Kesamaran pada ayat tersebut yaitu: pertama, dari lafal terlalu
ringkas. Kedua dari segi makna tidak jelas yang dimaksud, karena
termasuk adat kebiasaan khusus orang Arab yang tidak mudah diketahui
oleh bangsa lain. Maka akan lebih mudah dipahami, jika ditambah
ungkapan

‫إن كنتم محر مين بحج او عمر ة‬

(Jika kalian sedang melakukan ihram untuk haji atau umroh).


Apalagi jika sudah mengetahui syarat dan rukun ihram, sehingga
tidak akan ada masalah baginya.
Beberapa contoh ayat Al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa di
dalam Al-Qur’an terdapat lafal-lafal mutasyabih yang makna-maknanya
serupa dengan makna yang kita ketahui dalam kehidupan di dunia tetapi

8
pada dasarnya kata-kata tersebut tidaklah sama dengan makna yang
diketahui manusia. Misalnya kata “bersemayam, wajah Allah, tangan
Allah, di atas hambanya”.
Dengan demikian, kajian muhkam dan mutasyabih basisnya adalah
teks (nash) Al-Qur’an, jelas dan tidak jelasnya makna dilihat dari teks
tersebut menunjuk pada satu arti ataukah menunjuk pada arti banyak atau
teks tersebut menunjukkan pada makna yang jelas dan mono tafsir ataukah
menunjukkan pada makna yang samar dan multi tafsir. Oleh karena itu,
kajian muhkam dan mutasyabih dapat dikatakan bisa bersifat objektif dan
juga bisa bersifat subjektif.8 Dikatakan objektif, disebabkan oleh letak
kejelasan/kesamaran makna pada teks itu sendiri dan dikatakan subjektif,
dengan alasan setiap orang memiliki tingkat pemahaman yang berbeda,
sehingga bagi seseorang apabila satu ayat dianggap sudah jelas maknanya,
sedang bagi yang lain dianggap ayat tersebut masih samar maknanya. Oleh
karenanya jelas ataupun tidaknya sebuah kata atau ayat bukan hanya
terletak pada teks tetapi juga pada tingkat pemahaman setiap individu.9

C. Pandangan Ulama Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih


Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat muhkam atau
mutasyabih. Adapun pendapat-pendapat mereka antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Pendapat Fakhrurrazi
Pendapat pertama muhkam adalah yang dinamai oleh para ahli Ushul
Fikih sebagai mubin (jelas) dan mutasyabih adalah mujmal (global). Format
pandangan ini bisa muncul dalam modus yang berbeda-beda tetapi mungkin
penjelasan Fakhrurazi dalam Tafsir al-Kabri-nya dapat mewakili keterangan
modus-modus tersebut.

8
Muhamad Turmuzi dan Fatia Inast Tsuroya, ibid., hlm. 459.
9
Musta’in, Arah Baru Pengembangan Ulumul Qur’an (Telaah Metodelogis Ilmu Muhkam-
Mutasyabbih), MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir, Volume 4, Nomor 2, 2019, hlm.
198.

9
Lafal yang diciptakan untuk satu makna bisa juga mengandung makna
yang lain atau tidak. Jika lafal yang ditetapkan untuk sebuah makna tidak
mengandung makna yang lain, maka inilah nash dan jika mengandung
makna lain, maka ada beberapa kemungkinan: Salah satu makna itu lebih
kuat dari yang lain, atau lebih lemah, atau bahkan mungkin sepadan. Jika
satu makna lebih kuat dari pada makna yang lain, maka hubungan lafal itu
dengan yang kuat adalah zhair sementara dengan yang tidak kuat daripada
makna yang lain adalah mu’awal. Sementara itu, jika kemungkinan
hubungannya sepadan, maka hubungan lafaz itu dengan keduanya disebut
musytarak dan jika dinisbatkan salah satu dari masing-masing, maka disebut
mujmal.
2. Pendapat Ar-Raghif Al-Asfahani
Ar-Raghif Al-Asfahani, mendefinisikan bahwa mutasyabih adalah yang
sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran dengan yang lain, baik dari sisi
lafal maupun makna. Ia mengatakan bahwa mutasyabih terbagi menjadi tiga
bagian: 1) Mutasyabih dalam lafal. 2) Mutasyabih dalam makna 3)
Mutasyabih dalam lafal dan makna sekaligus.10
3. Pendapat Asham
Pendapat yang dikemukakan Asham bahwa muhkam adalah ayat
dalilnya jelas, seperti dalil tentang ke Esaan, kekuasaan, dan hikmah Allah
sementara mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan perenungan dan
pemikiran untuk menjelaskan. Fakhrurrazi menisbatkan pendapat ini kepada
Asham.
Pendapat tentang muhkam dan mutasyabih yang dipegang Asham
menuntut faktor eksternal dan bukan faktor internal dari Al-Qur’an itu
sendiri. Faktor eksternal adalah sejauh mana kejelasan dan kesamaran dalil
konsep-konsep Al-Qur’an itu sendiri. Padahal saat yang sama, dalam QS.
Ali Imran ayat 7 Allah berfirman:

10
AJAHARI, ibid., hlm. 123-124.

10
ِ ‫ت ه َّن اُ ُّم ال‬
ِ ‫ْكت‬
‫ٰب َواُ َخ ُر‬ ٌ ‫ٰب ِم ْنهُ ٰا ٰي‬
ُ ٌ ‫ت ُّم ْح َك ٰم‬
ِ َ ‫ي اَْنز َل َعلَي‬
َ ‫ك الْكت‬
ِ
ْ َ ْٓ ‫ُه َو الَّذ‬

‫شابَهَ ِم ْنهُ ابْتِغَاۤ َء ال ِْف ْتنَ ِة‬


َ َ‫ت ۗ فَاََّما الَّ ِذيْ َن فِ ْي ُقلُ ْوبِ ِه ْم َزيْ ٌغ َفيَتَّبِعُ ْو َن َما ت‬
ٌ ‫ُمتَ ٰشبِ ٰه‬

‫اس ُخ ْو َن ِفى ال ِْعل ِْم َي ُق ْولُْو َن ٰا َمنَّا بِ ۙ ِه‬ َّ ‫َوابْتِغَاۤ َء تَْأ ِويْلِ ۚ ِه َو َما َي ْعلَ ُم تَْأ ِو ْيلَ ٓهُ اِاَّل ال ٰلّهُ ۘ َو‬
ِ ‫الر‬

ِ َ‫ُكلٌّ ِّم ْن ِع ْن ِد َرِّبنَا ۚ َو َما يَ َّذ َّكر آِاَّل اُولُوا ااْل َلْب‬
‫اب‬ ُ
Artinya: “Dia yang menurunkan Kitab kepada engkau, di antaranya ada
ayat-ayat muhkamat (terang maknanya), sekaliannya itu ibu kitab dan
yang lain mutasyabihat (kurang terang maksudnya). Adapun orang-orang
yang miring hatinya (suka kepada yang batil), maka diikutinya apa-apa
yang mutasyabihat, karena menghendaki fitnah dan mencari-cari
takwilnya, melainkan Allah; dan orang-orang yang dalam ilmunya
berkata: Kami beriman kepada yang mutasyabihat, semuanya dari sisi
Tuhan Kami; dan tiadalah yang menerima peringatan, melainkan orang-
orang yang berakal”.

Menunjukan bahwa muhkamah dan mutasyabih adalah karena faktor


yang ada didalam dirinya dan terkait ayat itu sendiri sehingga membuka
kesempatan untuk menyalahgunakan mutasyabih menjadi alat fitnah (karena
ayat mutasyabih maknanya harus ada penerjemah). Misalnya, Jika salah satu
dalil itu tidak jelas, maka penyalahgunaan tidak dianggap mencari-cari
fitnah tetapi menyerang Al-Qur’an itu sendiri. Di samping itu, dengan
memaknai muhkamat seperti ini, maka tidak bisa memahami muhkamah
sebagai ummul-kitab kalau penjelasan dari luar itulah yang menjadi faktor
kemampuan dan keutamaan,bukan ayat itu sendiri.
4. Pendapat Ibnu Abbas
Pendapatnya adalah bahwa muhkam itu apa yang diimani dan
diamalkan sementara mutasyabih adalah apa yang diimani tapi tidak
diamalkan. Pendapat ini dijelaskan dengan berbagai jalur, yang sebagainya
dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan sebagian lainnya kepada Ibnu
Taimiyah. Penjelasan seperti ini juga ada dalam sebagian riwayat Ahlulbait.

11
Pendapat ini berdiri di atas pemahaman haramnya mengamalkan ayat-
ayat mutasyabih dan keharusan mengimaninya saja. Hal ini berbeda dengan
muhkam, yang selain harus diimani, juga harus diamalkan. Al-‘alamah
Thabathaba’i memberikan komentarnya atas pendapat ini, yakni bahwa
pendapat seperti tidak memberikan kejelasan menangani apa yang dimaksud
dengan muhkam dan mutasyabih. Namun, ia hanya menjelaskan hukum-
hukumnya saja yaitu harus mengimani dan mengamalkan ayat-ayat muhkam
dan mengimani saja ayat-ayat mutasyabih. Padahal, terlebih dahulu kita
sangat ingin memahami apa itu muhkam dan mutasyabih untuk kemudian
diamalkan atau diimani saja.
5. Pendapat Ibnu Taimiyah
Beliau berpendapat bahwa mutasyabih adalah ayat-ayat tentang sifat
khusus, baik itu sifat bagi Allah SWT, seperti Maha Mengetahui (alim),
Maha Berkuasa (Qadir), Maha Bijaksana (Hakim), dan Maha Memberi
Petunjuk (Hadi) ataupun sifat-sifat para Nabi, Seperti firman Allah SWT
tentang Isa bin Maryam: (dan yang terjadi) dengan kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan tiupan) ruh dari pada-Nya’
dan, yang serupa dengan itu (Al-Qur’an).
6. Pendapat Allamah Thabathaba’i
Pendapat yang dikemukakan Allamah Thabathaba’i dalam Al-Mijam
setelah mengoreksi tentang berbagai pendapat tentang pengertian muhkam
dan mutasyabih. Ia mengatakan, “apa yang disampaikan ayat tentang makna
mutasyabih menunjukan makna yang menyamarkan dan meragukan tetapi
itu bisa diatasi dengan metode yang biasa dipakai ahli bahasa dengan
menafsirkan yang umum menjadi khusus, mutlak menjadi bersyarat, dan
yang semacamnya. Namun, hal itu karena makna itu tidak sesuai dengan
makna di ayat lain yang tidak diragukan lagi bisa menjelaskan mutasyabih
di tempat lain, Ia berkata ,“Yang dimaksud mutasyabih adalah ayat itu tidak
jelas maksudnya dengan hanya sekedar mendengar. Ia menjadi samar,
meragukan, dan membingungkan diantara satu makna dengan makna lain
kemudian diverifikasi dengan yang muhkam sehingga jelas maksudnya,

12
Maka, ayat mutasyabih itu menjadi ayat muhkam karena dibantu ayat
muhkam dan ayat muhkam memang ayat yang muhkam (jelas, mapan,
kokoh).11
7. Pendapat Subhi al-Shalih
Dalam karyanya al-Mabahits mengatakan muhkam ialah ayat-ayat yang
terang makna dan lafalnya yang di letakkan untuk suatu makna yang kuat
dan cepat dipahami. Adapun Mutasyabihah ialah ayat-ayat yang bersifat
mujmal (global), yang muawwal (memerlukan takwil), dan musykil (pelik,
sukar dipahami), dan baru dipahami maknanya setelah di takwilkan
Shubhi as-Shalih membedakan pendapat ulama kedalam dua mazhab.
1. Mazhab Salaf
Mazhab Salaf yaitu orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat
Mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.
Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini
bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an
serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah itu sendiri.
2. Mazhab Khalaf
Yaitu Ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil
kepada makna yang lain dengan zat Allah. karena itu mereka disebut pula
Muawwilah atau mazhab Takwil. Mereka memaknakan istiwa’ dengan
ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap Alam ini
tanpa merasa kepayahan.
Disamping kedua mazhab ini, masih ada pendapat ketiga sebagaimana
yang dikemukakan oleh Al-Suyuti bahwa Ibn Daqiq al-‘id mengemukakan
pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Beliau berpendapat bahwa
jika takwil itu dekat dari bahasa Arab maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu
jauh maka kita tidak memutuskannya. Kita meyakini maknanya menurut cara
yang dimaksudkan serta mensucikan tuhan dari sesuatu yang tidak layak bagi-
Nya.

11
Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Jakarta: Al-Huda, 2005, hlm. 262-265.

13
Secara teoritis, pendapat-pendapat tersebut bisa dikompromikan, dan
secara praktis penerapan Mazhab Khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang dan kritis.
Sebaliknya, Mazhab Salaf tepat sesuai bagi masyarakat yang secara intelektual
tidak menuntut penakwilan ayat-ayat Mutasyabihat. Bahkan, yang demikian
lebih menenangkan keyakinan mereka terhadap Al-Qur’an.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab Salaf lebih
aman karena tidak dikhawatirkan dalam penafsiran penakwilan yang menurut
Tuhan salah. Sedangkan Mazhab Khalaf lebih selamat karena dapat
mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli. Kemudian dengan melihat
kondisi obyektif intelektual masyarakat modern yang semakin berpikir kritis
dewasa ini, maka keduanya lebih tepat diterapkan dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasybihat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan takwil yang dikenal dalam
ilmu tafsir.12
Penyebab timbulnya perbedaan mazhab diatas, maka pada dasarnya
kembali kepada dua masalah. Pertama masalah pemahaman ayat. Kedua adalah
masalah apakah mungkin sebagian ayat Al-Qur’an tidak diketahui sama sekali
atau diketahui hanya orang-orang yang mendalami ilmunya. Menurut ulama
Salaf, boleh saja sebagian ayat Al-Qur’an tidak diketahui manusia. Sedangkan
menurut ulama Khalaf, hal yang demikian tidak mungkin terjadi. Setidaknya
ayat itu dapat dipahami oleh ulama tertentu.13

D. Rahasia Keberadaan ayat muhkam dan mutasyabih


a. Rahasia keberadaan ayat muhkam
1. Mendorong manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan
mereka dalam mengahayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan
pelaksanaan ajaran-ajarannya.

12
AJAHARI, ibid., hlm, 129.
13
Zainal, S., Dasar Pengenalan Al-Qur’an, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998, hlm. 62.

14
2. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi
ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat
menjelaskan arti maksudnya.14
3. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa
Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti
maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
4. Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya, dan juga dapat
memudahkan mereka dalam mengahayati makna maksudnya agar mudah
mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
5. Memperlancar usaha penafsiran atau penjelasan maksud kandungan ayat-
ayat Al-Qur’an.
6. Membantu para ulama dan juru dakwah lainnya dalam usaha menerangkan
isi ajaran kitab Al-Qur’an dan tafsiran ayat-ayatnya kepada masyarakat.
b. Rahasia keberadaan ayat mutasyabih
1. Ayat-ayat mutasyabih mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkap maksudnya dengan jalan lebih giat belajar, tekun mengkaji
sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2. Keberadaan ayat-ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia,
apakah mereka percaya atau tidak tentang hal-hal ghaib berdasarkan berita
yang disampaikan oleh orang benar.
3. Sebagai bukti atas kelemahan dan kebodohan manusia. Bagaimanapun
besar kesiapan dan banyak ilmunya, namun Tuhan sendirilah yang
mengetahui segala-galanya.
4. Adanya ayat-ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an merupakan sebuah bukti
kemukjizatannya.
Para ulama telah banyak mengkaji hikmah dan kegunaan ini yang
empat diantaranya disebutkan oleh Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan.

14
Muhammad Zulkarnain Mubhar, AYAT-AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH DALAM AL-
QUR’AN, Jurnal Al-Mubarak, Volume 3, Nomor 2, 2018, hlm. 53.

15
1. Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang
mengkajinya.
2. Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu
mazhab. Sebab, kejelasannya akan membatalkan semua Mazhab di
luarnya. Sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua Mazhab
dan tidak memanfaatkannya. Akan tetapi, jika Al-Qur’an mengandung
muhkam dan mutasyabih maka masing-masing penganut Mazhab akan
memperhatikan dan merenungkannya. Sekiranya mereka terus
menggalinya maka ayat-ayat muhkamat menjadi penafsirnya.
3. Jika Al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk
memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan
lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa,
gramatika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqih, dan sebagainya. Sekiranya hal
itu tidak demikian sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul.
4. Al-Qur’an berisi da’wah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang-
orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Jika
mereka mendengar pertama kalinya tentang suatu wujud tetapi tidak
terwujud fisik dan berbentuk, mereka menyangka bahwa hal itu tidak
benar ada dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam ta’thil (peniadaan
sifat-sifat Allah). Karena itu, sebaiknyalah kepada mereka disampaikan
lafal-lafal yang menunjukan pengertian-pengertian yang sesuai dengan
imajinasi dan khayal mereka. Ketika itu bercampur antara kebenaran
empirik (pengalaman) dan hakikat. Bagian pertama adalah ayat-ayat
mutasyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan.
Pada akhirnya, bagian kedua berupa ayat-ayat muhkamat menyingkapkan
hakikat sebenarnya.15

15
AJAHARI, ibid., hlm. 135-136.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi.
Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas sehingga
memerlukan pentakwilan untuk mengetahui maksudnya.
2. Contoh ayat muhkam yaitu terdapat pada Q.S. al-Baqarah: 21, Q.S al-
Baqarah: 43, Q.S al-Baqarah: 275, Q.S al-Insyirah: 5-6, Q.S al-Lail: 13, Q.S
al-Ikhlas: 4, Q.S Thaha: 8. Sedangkan contoh ayat mutasyabih yaitu terdapat
pada Q.S. Abasa 80: 31, Q.S As-Saffat 37: 93, Q.S An-Nisa’: 3, Q.S. Asy-
Syura: 11, Q.S Al-Kahfi: 1, Q.S al-Baqarah: 189.
3. Beberapa ulama yang memiliki pandangan tentang ayat muhkam dan
mutasyabih yaitu Fakhrurrazi, Ar-Raghif Al-Asfahani, Asham, Ibnu Abbas,
Ibnu Taimiyah, Allamah Thabathaba’i, Subhi al-Shalih.
4. Rahasia keberadaan ayat muhkam salah satunya yaitu mendorong manusia
mengetahui dan menghayati arti agar mudah mengamalkan pelaksanaan
ajaran-ajarannya. Sedangkan rahasia keberadaan ayat mutasyabih salah
satunya yaitu sebagai bukti atas kelemahan dan kebodohan manusia,
bagaimanapun besar kesiapan dan banyak ilmunya, namun Tuhan sendirilah
yang mengetahui segala-galanya.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, saya menyadari bahwa
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kami membutuhkan
kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku
AJAHARI. 2018. Ulumul Qur’an ILMU-ILMU AL-QUR’AN. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Baqir Hakim. 2005. Ulumul Qur’an. Jakarta: Al-Huda.
Drajat, Amroeni. 2017. ULUMUL QUR’AN Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Depok: KENCANA.
Muhammad Chirzin. 1998. Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa.
Rosihon Anwar. 2007. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.
Zainal, S. 1998. Dasar Pengenalan Al-Qur’an. Semarang: CV. Asy-Syifa.

Jurnal
Diah Rusmala Dewi dan Ghamal Sholeh Hutomo. 2020. Hikmah Dan Nilai-Nilai
Pendidikan Adanya Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat Dalam Al-
Qur’an, Islamika: Jurnal Keislaman Dan Ilmu Pendidikan, Volume 2, Nomor
1, Januari.
Muhamad Turmuzi dan Fatia Inast Tsuroya. 2021. Studi Ulumul Qur’an:
Memahami Kaidah Muhkam-Mutasyabih Dalam Al-Qur’an. JURNAL AL-
WAJID, Volume 2, Nomor 2, Desember.
Muhammad Zulkarnain Mubhar. 2018. AYAT-AYAT MUHKAM DAN
MUTASYABIH DALAM AL-QUR’AN, Jurnal Al-Mubarak, Volume 3, Nomor
2.
Musta’in. 2019. Arah Baru Pengembangan Ulumul Qur’an (Telaah Metodelogis
Ilmu Muhkam-Mutasyabbih), Jurnal Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir, Volume 4,
Nomor 2.

18

Anda mungkin juga menyukai