Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BIL RA’Y

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits

Dosen Pengampu :

ABDUL FATTAH, M. Th. I

Kelompok 2:

ARINA ROSYADA 17110079

AYU FACTIHATUL ULA 17110154

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahNya kepada kami sehingga dapat menyeleseikan makalah yang berjudul “Tafsir bil
Ma’tsur dan bil Ra’y” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami juga
berterima kasih pada Bapak Abdul Fattah, M. Th. I selaku Dosen mata kuliah Studi al-Qur’an
dan al-Hadits UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita terhadap metode tafsir al-Qur’an. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang telah kami buat ini.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun. Sekiranya makalah yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami maupun orang lain yang membacanya.

Malang, September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................

1.1......................................................................................................................... Latar
Belakang...............................................................................................................
1.2......................................................................................................................... Rumusan
Masalah................................................................................................................
1.3......................................................................................................................... Tujuan
penulisan..............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................

2.1. Definisi Tafsir Bil-Ma’tsur..................................................................................

2.2. Definisi Tafsir Bil-Ra’yi......................................................................................

2.3. Sejarah Munculnya Tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi.........................................

2.4. Sejarah Munculnya Tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi.........................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................

3.1. Kesimpulan.........................................................................................................

3.2. Saran....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al- Qur’an adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan
keunikannya tidak pernah sirna dan habis ditelan waktu. Al-Qur’an diturunkan dengan
menggunakan bahasa arab dengan segala keberagaman leksikalnya, ada yang jelas, ada
yang bersifat kiasan, hakikat, khusus, umum, terbatas dan ada yang tak terbatas. Manusia
sendiri dalam memaknai Al-Qur’an memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Disamping
itu Al-Qur’an juga diturunkan dengan berbagai sebab dan latar belakang tertentu, yang
apabila hal itu diketahui akan mengantarkan manusia ke makna yang dikehendaki,
sehingga diperoleh suatu pemahaman yang benar. Karena sebab-sebab in ilah ilmu tafsir
sangat perlu untuk dipelajari.
Tafsir sendiri menurut pengertian bahasa memiliki makna menjelaskan atau
menerangkan. Kata tafsir diambil dari kata al-fasr, yang berarti pengungkapan dan
menampakkan. Para ulama mengatakan tafsir lebih sering digunakan dalam masalah
lafadz-lafadz sehingga menjadi sebuah kepastian bahwa yang dimaksud dari suatu lafadz
adalah begini1. Dalam pandangan islam secara umum, ilmu tafsir merupakan ilmu yang
mulia dan sangat dianjurkan untuk dipelajari, karena dengan ilmu tafsir kita mampu
merenungi kalam-kalam Allah, serta menjadikan Al-Qur’an sebagai petujuk keselamatan
dan kebahagiaan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat.
Calon mufasir atau seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an haruslah
memiliki keyakinan bahwasanya Al-Qur’an berisi berbagai informasi keilmuan yang
telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bertujuan untuk kebaikan manusia
itu sendiri. Lebih dari hal itu, calon mufasir selalu melakukan introspeksi diri dengan cara
memberikan pertanyaan pada dirinya sendiri apakah ia telah melaukan hal-hal yang
diperintahkan Al-Qur’an atau malah mengabaikan semua hal yang diperintahkan dalam
Al-Qur’an. Selanjutnya calon mufasir hendaknya menjadikan tata cara penafsiran Al-
Qur’an sebagai seluruh pandangan dan pemikiran, serta menggunakannya untuk
mengamati berbagai hal yang telah lalu maupun yang akan datang.2

1 Yusuf Al-Qaradhawi and Kathur Suhardi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar,
2000), 210.

2 Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qu’an (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), 21.
Kemudian lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang berbeda dan
beraneka ragam. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang dua metode dalam
penafsiran Al-Qur’an, yaitu dengan tafsir Bil-Ma’tsur dan tafsir Bil-Ra’yi.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis telah merumuskan beberapa permasalahan,
yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan metode tafsir Bil-Ma’tsur?
2. Apa yang dimaksud dengan metode tafsir Bil-Ra’yi?
3. Bagaimana sejarah munculnya tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi?
4. Apa saja contoh kitab tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari tafsir Bil-Ma’tsur.
2. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari tafsir Bil-Ra’yi.
3. Untuk mengetahui dan memahami sejarah dari munculnya tafsir Bil-
Ma’tsur dan tafsir Bil-Ra’yi.
4. Untuk mengetahui contoh-contoh kitab yang menggunakan metode tafsir
Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Tafsir Bil-Ma’tsur


Tafsir bil-ma’tsur adalah menjelaskan makna-makna dari ayat-ayat Al-Qur’an
dengan ayat Al-Qur’an ataupun sunnah yang sahih ataupun perkataan sahabat r.a3. Tafsir
bil-ma’tsur mencakup tafsir yang datang dalam Al-Qur’an, juga mencakup tafsir yang
bersumber dari Nabi saw dalam sunnahnya, sahabat r.a yang hidup pada saat Al-Qur’an
turun. Bentuk term al-ma’tsur adalah isim maf’ul yang bermakna al-manqul (yang
diriwayatkan). Sementara itu definisi tafsir bil-ma’tsur menurut Muhammad Husein al-
dzahabiy rohimahullah Ta’ala: “Penjelasan yang datang dari Al-Qur’an itu sendiri untuk
menerangkan dan merinci bagian ayat-ayat lainnya, kemudian sesuatu yang dinuqilkan
dari Rasululloh saw, dari sahabat Ridwanulloh alaihim, sesuatu yang dinuqilkan dari
tabi’in.”

Pembagian tafsir bil-ma’tsur ada dua, yaitu:

1. Penafsiran bil-ma’tsur yang didukung oleh dalil-dalil yang banyak jumlah


kesahihannya dan dapat diterima, dan tafsir in i m usti diterima
2. Penafsiran bil-ma’tsur yang tidak sahih, disebabkan beberapa faktor, penafsiran
seperti ini harus ditola dan tidak boleh mengamalkannya4.

Sumber-sumber penafsiran bil-ma’tsur ada 3, yaitu:

1. Al-Qur’an al-karim
Para mufasir haruslah melihat terlebih dahulu ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagai contoh
adalah:
a. Mufasir menafsirkan ayat dengan ayat lainnya yang lebih rinci
b. Menafsirkan sesuatu yang bersifat global dan merincikan pada ayat
lainnya
c. Menafsirkan dengan mengumpulkan sesuatu yang dianggap sama tapi
dengan lafadz yang berbeda
2. Sunnah Nabi saw
Imam al-Qurtubi menyatakan dalam Afrizal Nur bahwasanya: “Penjelasan Rosulullah
saw ada dua bentuk yaitu menjelaskan bagian yang mujmal dalam AL-Qur’an seperti
penjelasan tentang sholat lima waktu, sujudnya, tujuannya, waktu-waktunya dan
semua hukum-hukum lainnya, seperti penjelasan tentang zakat dan ibadah haji.”
3. Tafsir Sahabat r.a
Penafsiran sahabat memiliki kedudukan yang sangat penting setelah penjelasan dari
Rosulullah saw, dikarenakan:
a. Mereka menyaksikan langsung peristiwa turunnya Al-Qur’an
b. Mereka menguasai bahasa arab, balaghah, bayan

3 Afrizal Nur, Khazanah Dan Kewibawaan Tafsir Bi Al Ma’tsur (Pekanbaru: CV Mulia Indah Kemala, 2015), 43.

4 Nur, 46.
c. Mereka yang paling mengetahui adat istiadat masyarakat arab
d. Mereka adalah orang yang dicatat sejarah generasi yang tksada
tangdingannya dalam keilmuan, memiliki wawasan yang luas, hati dan
jiwanya harsu bersih srta selalu ikhlas terhadap Allah
4. Penafsiran Tabi’in
Beberapa hal yang memjadikan kita perlu merujuk kepada perktaan para Tabi’in
adalah:
a. Tabi’in banyak mengambil dari penafsiran sahabat
b. Mereka termasuk dari ahlul qurun yang terbaik
c. Wawasan mereka terhadap linguistik arab.5

Untuk menafsirkan Al-Qur’an melalui tafsir bil-ma’tsur, diperlukan syarat-syarat


khusus, yaitu:

1. Perawinya harus memiliki pengetahuan tentang sunnah baik riwayah ataupun


dirayah
2. Perawi harus memiliki pengetahuan yang baik tentang apa-apa yang ada dalam
sunnah berkaitan denagn tafsir, kemudian tentang perkataan sahabat, tabi’in dan
imam-imam mujtahid
3. Penafsir mampu menggabungkan dan menyusun antara periwayatan-periwayatan
yang bebeda
4. Penafsir mengetahui hakikat perbedaan antara riwayat-riwayat dalam tafsir dan
sebab-sebabnya serta harus mengetahui dengan sepenuh keyakinan bahwa Al-Qur’an
memiliki beberapa wajah
5. Penafsir harus memperhatikan hal-hal yang disebutkan dalam pembahasan
tentang apa-apa yang wajib diperhatikan ketika memindahkan perkataan-perkataan
ahli tafsir
6. Penafsiran harus mengetahui sebab turun ayat dan nasikh mansukh
7. Penafsir terikat dengan apa-apa yang termaktub dalam pembahasan sebaik-baik
cara menafsir dan pada pembahasan tentang metode yang wajib diikuti oleh penafsir
ketika mentafsir Al-Qur’an
8. Penafsir hanya menerima pendapat-pendapat yang selaras dengan pemikiran atau
akal. Tidak boleh baginya menyebutkan penafsiran yang aneh dan permasalahan-
permasalahannya yang tidak dapat diterima akal
9. Tidak berpegang teguh pada periwayatan israiliyat yang dimasukkan kepada tafsir
bi-ma’tsur6.

Ada beberapa sisi kelemahan tafsir bil-ma’tsur, diantaranya:

5 Nur, 50–52.

6 Nur, 59–60.
1. Adanya riwayat yang dha’if, munkar dan maudhu’ yang dinukili dari Rosululloh
SAW, sahabat dan tabi’in.
2. Adanya pertentangan antara sebagian riwayat dengan sebagian yang lain.
3. Di antara sebagian ma’tsur ini ada yang berupa pendapat dari orang yang
bersangkutan, sehingga tidak ada jaminan kebebasannya dari kesalahan
4. Tafsir bil ma’tsur seperti yang disampaikan kepada kita, bukan merupakan tafsir
yang sistematis, mengupas Al-Qur’an, surat demi surat mengupas surat, ayat demi
ayat, mengupas ayat, kata demi kata.7

2.2 Definisi Tafsir Bil-Ra’yi

Makna Ar-Ra’yi di sini adalah ijtihad, mengaktifkan akal dan pandangan dalam
memahami Al-Qur’an berdasarkan pengetahuan tentang Bahasa Arab, dalam lingkup
yang harus dipenuhi seorang mufasir, baik berupa piranti, syarat, pengetahuan maupun
akhlak8.

Sebagian ulama ada yang memasang beberapa syarat keilmuan bagi seseorang
mufasir, diantaranya ilmu Bahasa Arab, yang meliputi nahwu, shorof, bahasa, asal kata,
balaghoh qiro’ah usluhuddin, ushul fiqih, dan yang terakhir adalah ilmu anugrah. Mereka
juga mensyaratkan keselamatan hati dari sifat takabur, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia,
terus menerus melakukan suatu dosa, yang semua ini akan menjadi penghalang bagi hati
untuk mengetahui kebenaran yang diturunkan Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka


bumi tanpa alasan yang benar dari tnda-tanda kekuasaan-Ku.” (Q.S. Al-A’raf: 146)

Sufyan bin Uyainah berkata, “Arti ayat ini, mereka dijauhkan dari pemahaman
Al-Qur’an.”9

Namun meski begitu banyak dari kalangan ulama yang menolak keberadaan tafsir
bil-ra’yi, diantara telah disebutkan dalam hadist Ibnu Abbas secara marfu’, “Dan siapa
yang berkata tentang A-Qu’an berdasarkan pendapatnya maka hendaklah dia mengambil
tempat duduknya di neraka.” Tidak hanya itu, Abu Bakar juga telah meriwayatkan

7 Yusuf Al-Qaradhawi and Kathur Suhardi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2000), 220–21.

8 Al-Qaradhawi and Suhardi, 221.

9 Al-Qaradhawi and Suhardi, 222.


bahwa dia berkata, “Bumi manakah yang menampungku dan langit manakah yang
memayungiku jika au mengatakan kitab Allah selagi aku tidak tahu?”.10

Al-Isra’: 36 yang artinya, “dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak
kamu ketahui.”

Ath-Thabari berkata, “kabar-kabar ini menguatkan kebenaran pernyataan kami,


bahwa diantara takwil Al-Qur’an ada yang ilmunya hanya diketahui melalui nash
penjelasan rosululloh, atau petunjuk beliau tentang takwil al-qur’an. Tafsir Bil-Ra’y ini
dihukumi haram jika tafsirnya hanya mengandalkan pendapat dan ijtihad semata tanpa
dalil, sesuai dengan firman Allah dalam Maka dari itu, siapapun tidak boleh mengatakan
tentang takwil al-qur’an berdasarkan pendapat. Bahkan orang yang mengatakan tentang
takwil al-qur’an dengan pendapatnya meski benar ia tetap keliru, karena ia
menakwilkan al-qur’an dengan pendapatnya, dimana kebenaran kata-katanya bukan
kebenaran pasti, tapi hanya kebenaran berdasarkan dugaan dan perkiraan.”11

2.3. Sejarah Munculnya Tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi

Istilah ‘Tafsir’ merujuk kepada Al Qur’an sebagaimana tercantum di dalam ayat


33 dari al Furqan : ( Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan penjelasan
(tafsir) yang terbaik ). Pengertian inilah yang di maksud didalam Lisan al –‘Arab dengan
“kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup) dan “tafsir” –tulis Ibn
Manzhur- ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal.
Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh ulama tafsir dengan “al-idhah wa al-tabyin”
(menjelaskan dan menerangkan). Didalam kamus bahasa Indonesia, kata ‘tafsir’ diartikan
dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al Qur’an. Terjemahan al Qur’an
masuk ke dalam kelompok ini. Jadi, tafsir al Qur’an ialah penjelasan atau keterangan
untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al Qur’an. Dengan
demikian menafsirkan al Qur’an ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makna
yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut.

a. Tafsir bil Ma’tsur

10 Al-Qaradhawi and Suhardi, 223.

11 Manna’ Al-Qaththan and Umar Mujtahid, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Ummul Qura, 2016), 537–38.
Nabi Muhammad saw bukan hanya bertugas menyampaikan al Qur’an ,
melainkan sekaligus menjelaskan kepada umat sebagaimana ditegaskan oleh Allah di
dalam surat al Nahl ayat 44 dan 64:
…Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (al Qur’an), agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…( QS. al Nahl :
44)
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al Qur’an) ini, melainkan agar
kamu menjelaskan kepada mereka perselisihan di dalamnya…( QS. al Nahl : 64)

Kecuali penafsiran dari Nabi saw, ayat-ayat tertentu juga berfungsi


menafsirkan ayat lain. Ada yang langsung ditunjukkan oleh Nabi bahwa ayat ayat
tersebut ditafsirkan oleh ayat lain, ini masuk kelompok tafsir bi al-ma’tsur (tafsir
melalui riwayat) seperti kata Zhulm (aniaya) di dalam al-an’am ayat 82.
Ditafsirkan oleh Rasul Allah dengan syirk (menyekutukan Allah) yang terdapat
di dalam ayat 13 dari Luqman.
Dan ada pula yang di tunjukkan oleh ulama berdasarkan ijtihad, ini masuk
kategori tafsir bil Ra’yi sebagaimana yang akan dibahas.
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi saw secara musyafahat
(dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa
tadwin (pembukaan) ilmu-ilmu islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-3 H. Cara
penafsiran serupa itulah itulah, yang merupakan cikal bakal apa yang disebut dengan
‘tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga ‘tafsir bi al-riwayat’. Dengan demikian, para
sahabat umumnya dapat menafsirkan al-Qur’an. Namun yang paling menonjol di
antara mereka ada sepuluh orang yaitu khalifah yang empat, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas,
Ubayy bin Ka’b, Zayd bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan ‘Abd Allah bin al-
Zubayr.
Para ulama tidak sepakat mengenai batasan tafsir bi al-ma’tsur. Al Zarqani,
misalnya membatasi pada “tafsir yang diberikan oleh ayat-ayat al-Qur’an, sunnah,
dan para sahabat”. Dalam batasan itu, jelas terlihat tafsir yang diberikan oleh tabi’in
tidak masuk kelompok al-ma’tsur, sementara ulama lain seperti al-Dzahabi
memasukkan tafsir tabi’in ke dalam al-ma’tsur karena menurut pendapatnya
meskipun tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari Nabi saw, namun kitab-kitab
tafsir tafsir bil al-ma’tsur, demikian al-Dzahabi, tidak hanya berisi tafsiran dan Nabi
dan sahabat, melainkan juga tafsiran dari tabi’in.
Keengganan al-Zarqani memasukkan penafsiran tabi’in ke dalam al-ma’tsur
dilatarbelakangi oleh kenyataan, banyak diantara tabi’in itu yang terlalu terpengaruh
oleh riwayat-riwayat israi’iliyyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab
lainnya seperti terlihat dalam kisah para Nabi, penciptaan alam, ashhab al-kahfi, kota
Iram, dan sebagainya. Kisah-kisah semacam ini (tulis al-Zarqani mengutip dari Ibn
Katsir) “lebih banyak bohongnya daripada benar”. Para perawi dari kalangan tabi’in
membenarkannya, bahkan juga sebagian sahabat. Karena itulah (tambahannya) Imam
Ahmad berkata, “ada tiga hal yang tidak punya dasar, yaitu tafsir, kisah pertempuran,
dan peperangan”.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap kedua pendapat itu yang menjadi
persoalan dalam kajian al-ma’tsur ialah 1) apakah yang dimaksud dengan al-ma’tsur
tersebut, penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat, atau 2) penafsiran
al-Qur’an berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa al-Qur’an dan
Sunnah, seperti pendapat sahabat, yang menurut al-Hakim, sama nilainya dengan
hadits marfu’.
Dalam hal yang pertama, ma’tsur menjadi sifat bagi sumber-sumber yang
digunakan di dalam penafsiran. Kedua permasalahan ini mempunyai implikasi yang
besar dalam penafsiran. Jika yang pertama diterima, maka tafsir al ma’tsur ialah
sesuatu yang telah baku dan tidak dapat dikembangkanlagi. Dalam hal ini, tugas
mufasir hanya meneliti sanadnya, apakah shahih atau tidak? Jika ternyata shahih,
maka penafsiran tersebut diterima, tapi jika tidak, maka penafsiran itu ditolak.
Apabila pengertian yang kedua diterima, maka tafsir bil ma’tsur dapat dikembangkan
sesuai dengan tuntutan zaman karena dalampengertian yang kedua itu masih terbuka
bagi mufasir untuk mengembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat al
Qur’an.
Kedua pemahaman itu tidak bertentangan karena yang pertama, merupakan
pengertian sempit bagi al ma’tsur, sementara yang kedua adalah pengertian yang
lebih luas. Walaupun pengertian yang kedua memberikan peluang bagi ulama untuk
berijtihad dalam penafsiran, namun tidak sampai kepada wilayah tafsir bil ra’yi.
Dengan perkataan lain , tafsir al ma’tsur itu tetap menjadikan riwayat sebagai dasar,
sedangkan tafsir bil ra’yi berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari
argument berupa ayat-ayat al Qur’an, sunnah Nabi, dan sebagainya untuk
mendukung penafsiran tersebut. Dengan demikian tafsir bil ma’tsur lebih banyak
memakai riwayat ketimbang tafsir bil ra’yi sebagaimana dijumpai di dalam kitab-
kitab tafsir bil ma’tsur antara lain tafsir al Thabari, Ibn Katsir, al Durr al Mantsur
karangan al Suyuthi, dan lain-lain.
Kegiatan pengumpulan tafsir pada mulanya sejalan dengan pengumpulan
hadits sehingga tafsir pada masa itu merupakan bagian integral dari hadits. Itulah
sebabnya dalam kitab hadits seperti Shahih Bukhari, terdapat dua bab mengenai
tafsir yaitu Kitab Tafsir al Qur’an dan Kitab Fadha’il al Qur’an yang menurut al
fandi meliputi seperdelapan bagian dari keseluruhan isi kitab hadits tersebut.
Namun perlu diingat bahwa penafsiran Nabi itu terdiri atas dua kategori : 1)
Sudah terinci. Ini biasanya menyangkut masalah ibadah seperti kewajiban sholat,
zakat, puasa , haji , dan sebagainya. Semua ini sudah terinci dan tak dapat
dikembangkan lagi. Artinya apa yang telah digariskan oleh Nabi saw berkenaan
dengan masalh-masalah ibadah tidak perlu ditafsirkan lagi tapi cukup dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan tersebut, tak boleh diubah sedikitpun, dan 2) dalam garis
besarnya, atau boleh disebut pedoman dasar yang dapat dikembangkan oleh generasi
selanjutnya. Ini biasanya berhubungan dengan masalah-masalah
muamalah(kemasyarakatan) seperti hokum, urusan kenegaraan, kekeluargaan, dan
sebagainya.
Dalam lapangan inilah diperlukan ijtihad supaya pedoman-pedoman yang telah
digariskan oleh Nabi saw dapat diaktualisasikan dan diterapkan ditengah masyarakat
sesuai tuntunan zaman. Dengan demikian, al Qur’an akan selalu terasa mosern dan
updated serta mampu membimbing umat ke jalan yang benar. Di sinilah diperlukan
tafsir bil ra’yi yang berdasarkan al Qur’an dan hadits bukan berdasarkan pemikiran
semata.

b. Tafsir bil Ra’yi


Jika ditelusuri perkembangan tafsir Alquran sejak dulu sampai sekarang, akan
ditemukan bahwa dalam garis besarnya, penafsiran Alquran itu dilakukan melalui
empat cara (metode), yaitu : ijmali (global), tahlili (analitis), muqarin
(perbandingan), dan maudhu‟I (tematik).
Nabi dan para sahabat menafsirkan Alquran secara ijmali, tidak memberikan
rincian yang memadai. Oleh karena itu, di dalam tafsir mereka pada umumnya sukar
ditemukan uraian yang detail. Dengan demikian, tidak salah bila dikatakan bahwa
bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Alquran yang pertama kali muncul.
Pada peride berikutnya, muncullah metode tahlili dengan mengambil bentuk bi al-
ma‟tsur yang selanjutnya berkembang dengan bentuk bi al-ra’yi.
Tafsir bi al-ra’yi ini muncul sebagai corak penafsiran belakangan, yaitu setelah
munculnya tafsir bi al-ma‟tsur, walaupun sebelumnya, ra’y dalam pengertian akal
sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Alquran. Terutama, bilama kita
tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Di antara penyebab kemunculan corak tafsir bi al-ra’yi adalah semakin
majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin
ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di
bidangnnya masing-masing.. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat
diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu factor
yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis, dapat melahirkan
corak penafsiran yang beragam, seperti falsafi, sufi, adabi ijtima’ i.12
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke 3 H, dan peradaban islam semakin
maju dan berkembang, maka berkembanglah sebagai madzab dan aliran di kalangan
umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-
ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan
keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan
tafsir bil ra’yi (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad).
Kaum fuqaha (ahli fiqih) menafsirkan dari sudut hokum fiqih, seperti yang
dilakukan oleh al Jashshash, al-Qurthubi, dan lain-lain. Kaum teolog seperti al-
Kasyasyaf, karangan al-Zamakhsyari dan kaum sufi juga menafsirkan al-Qur’an
menurut pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim oleh al-Tustari, Futuhat Makkiyat, oleh Ibn ‘Arabi, dan lain-lain.pendek
kata, berbagai corak tafsir bil ra’yi muncul di kalangan ulama-ulama muta’akhirin,
sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra arab
seperti tafsir al-Manar, dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir
Thanthawi dengan judul tafsir al Jawahir. Melihat perkembangan tafsir bil ra’yi yang
demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna’ al Qaththan bahwa tafsir
bil ra’yi mengalahkan perkembangan al-Ma’tsur.
Meskipun tafsir bil ra’yi berkembang dengan pesat, namun dalam penerimanya
para ulama terbagi dua, ada yang membolehkan ada pula yang tidak melarangnya.
Tapi setelah ditelilti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat
lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran
berdasarkan ra’yi (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-
kaedah dan kriteria yang berlaku. Penafsiran serupa inilah yang diharamkan oleh Ibn
Taymiyat. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan
ijtihad yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang
mu’tabarat diakui sah secara bersama.
Adapun hadist-hadist yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka
diam daripada menafsirkan al-qur’an, sebagaimana dapat dipahami dalam ucapan

12 Moh Arsyad Ba’asyien, “TAFSIR BI AL-RA’YI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENAFSIRAN ALQURAN,” HUNAFA:
Jurnal Studia Islamika 2, no. 2 (August 14, 2005): 177–178, https://doi.org/10.24239/jsi.v2i2.311.175-184.
Abu Bakar yang dikutip dimuka, tidak adapa dijadikan dalil utnuk melarang tafsir bil
Ra’yi sebab sebagaimana ditulis Ibnu Taymiyat: “Mereka senantiasa membicarakan
apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka
ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tah,
dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diektahuinya.”
Pendapat Ibnu Taymiyat ini ada benarnya karena didukung oleh al-qur’an antara lain
terdapat dalam Q.S. Al-Imron ayat 187 yang artinya: “Hendaklah kamu
menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Kemudian dipertegas lagi oleh hadist shohih dari Ibn Umar yang artinya: “Barang
siapa ditanya tentang sesuatu ang diketahuinya lalu dia diam, maka ia akan
dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka.”
Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau
menafsirkannya,dan bukan pula karena dilarang menafsirkannya, melainkan karena
kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk dalam apa yang disebut dengan
takhmin (perkiraan) dalam menafsirkan al-qur’an. Apabila ini terjadi, ancamannya
amat berat, yaitu masuk neraka.
Untuk mengindari terjadinya spekulasi dalam penafsiran, maka para ulama
tafsir menetapkan sejumlah kaedah dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mufasir serta metode penafsiran yang harus dikuasai. Jadi jelaslah, secara
garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua jalur,
ysitu al-ma’tsur (melalui riwayat) dan al-ra’y (melauli pemikiran atau ijtihad)
dengandemikian dapat dikatakan bahwa ma’tsur dan ra’y ini merupakan bentuk atau
jenis tafsir bukan merupakan metode atau corak tafsir.13

2.4. Contoh Kitab Tafsir al-Ma’tsur dan al-Ra’yi

Contoh ayat yang ditafsirkan dengan Bil-Ma’tsur, yaitu mengenai Adab Majlis Ilmu.

Tsabit bin Qays, yang syahid dalam perang yamamah, ternyata sahabat yang sangat rajin
menuntut ilmu. Karena pendengarannya kurang, ia sering berusaha berada di barisan paling
depan majlis (karena itu juga, ia selalu bersuara keras. Anda ingat ia pernah menangis ketika
ia merasa larangan bersuara keras ditujukan untuk dirinya).

Pada suatu jumat, nabi saw mengadakan majlis di suffah, diberanda masjid. Orang-
orang sudah duduk di sekitar Nabi. Tsabit datang terlambat. Ia berusaha mendekati Nabi
karena kelebihan cintanya kepada Nabi dank arena kekurangan pendengarannya. Sebagian

13 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 39–49.
memberi tempat kepadanya supaya Tsabit dapat lewat. Sebagian lagi sengaja menyempitkan
tempat duduk sehingga Tsabit tertahan.

Tsabit berulang kali minta izin dan menyatakan alasannya mengapa ia harus berada di
depan. Ketika orang yang menahan itu tetap di tempatnya, terjadilah sedikit kegaduhan.
Nabi saw kemudian memerintahkan para penghalang itu untuk berdiri, “Qum, ya Fulan.
Qum ya Fulan”.

Sebagian di antara mereka , kaum munafik, menunjukkan keengganan mereka. Wajah-


wajah mereka menjadi masam. Mereka berkata,”bukankah menurut kalian sahabat kalian itu
(yakni, Rasulullah) sangat adil? Demi Allah, ia berbuat tidak adil. Ia membiarkan mereka
merebut tempat agar dekat dengan Nabi mereka. Lalu ia menyuruh orang-orang untuk
berdiri dan mempersilahkan duduk mereka yang datang terlambat”.

Waktu itu turunlah ayat al-Mujadilah 11:

“Hai orang orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu – lapangkanlah
tempat dalam majlis, maka lapangkanlah, nanti Allah akan memberikan kelapangan kepada
kamu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, hendaklah kamu berdiri. Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat. Dan
Allah mengetahui akan apa-apa yang kamu kerjakan.”

Begitu besarnya perhatian al-Qur’an pada majlis ilmu sehingga ayat-ayat turun khusus
untuk mengatur etika majlis. Menurut ayat ini misalnya, etika majlis menjadi syarat
diangkatnya derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dalam Al-Nur 62, salah
satu tanda orang yang beriman ialah menjalankan etika majlis. Dalam Al-Nur 63,
mengabaikan etika majlis adalah tanda orang munafik.

Apabila sahabat berkumpul bersama dalam satu majlis, mereka tidak keluar sebelum
meminta izin lebih dahulu kepada Nabi saw pemimpin majlis supaya tidak mengganggu,
mereka memberi isyarat dengan jari tangannya.

Tetapi, orang-orang munafik yang tidak tahan duduk lama dalam majlis ilmu,
meninggalkan tempat acara diam-diam. Allah menyebut mereka “orang-orang yang
melanggar perintah Rasul”. Allah mengabadikan perilaku kelompok ini dalam ayat-ayat
berikut.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya ialah orang
yang percaya kepada Allah dan RasulNya, dan apabila mereka berada dalam urusan
bersama, mereka tidak pergi begitu saja sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya
orang-orang yang meminta izin kepadamu, itulah orang-orang yang percaya kepada Allah
dan rasulNya. Apabila mereka meminta izin kepadamu karena beberapa keperluan mereka,
berikan izin kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan mohonkan ampunan Allah bagi
mereka. Sesungguhnya Allah itu Pengampun dan Penyayang.

Janganlah kamu memanggil Rasul seperti panggilan di antara sesame kamu.


Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang pergi berangsur-angsur di antara kamu
dengan diam-diam. Hendaklah berhati-hati orang-orang yang melanggar perintah Rasul
akan ujian yang menimpa mereka dan siksa pedih yang menimpa mereka.” (Al-Nur : 62-63)

Kitab-kitab bil Ma’tsur yang paling ternama adalah sebagai berikut 14:

1. Tafsir Ibnu Abbas


Ibnu Abbas adalah penerjemah Al-Qur’an yang sebenarnya. Umar bin Khatthab
percaya pada tafsirnya dan memuliakannya. Dalam beberapa tempat, Ibnu Abbas
mengutip dari ahli kitab terkait penjelasan yang terdapat kesesuaian antara Al-Qur’an,
Taurat, dan Injil. Namun hanya dalam lingkup terbatas. Seperti halnya sahabat yang
lain, Ibnu Abbas tidak menanyakan apapun yang berkaitan dengan akidah kepada ulama
Yahudi yang masuk islam atau hal-hal yang berkaitan dengan asas-asas agama maupun
cabang-cabang agama. Ibnu abbas hanya menerima beberapa kisah dan berita-berita
masa lalu yang benar dan valid. Ciri khas Ibnu Abbas dalam memahami makna kata-
kata Al-Qu’an adalah merujuk ke syair, karena ia menguasai bahasa dan sastra arab.
2. Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’anI, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari
Ibnu Jarir Ath-Thabari dianggap sebagai salah seorang imam terkemuka yang ahli
diberbagai disiplin ilmu dan meninggalkan warisan islami besar yang diterima secara
turun temurun dari masa ke masa. Bahkan buku tafsir karyanya menjadi rujukan nomer
wahid dikalangan mufassir yang berkecimpung dibidang tafsir bil-ma’tsur. Selain
berpedoman pada riwayat-riwayat yang dinukil, Ibnu Jarir juga bertumpu pada
penggunaan-penggunaan bahasa berdalil pada syair kuno, memerhatikan aliran-aliran
nahwu, memilih diantara ragam bahasa arab yang dikenal, membahas hokum-hukum

14 Al-Qaththan and Mujtahid, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, 545–48.


fiqh laksa seorang ahli ijtihad, lalu menyebutkan pendapat-pendapat serta madzhab
ulama, kemudian ia simpulkan dengan pendapat yang ia pilih dan ia kuatkan.
3. Tafsir Ibnu Uyainah
4. Tafsir Ibnu Abi Hatim
5. Tafsir Abu Syeikh Ibnu Hibban
6. Tafsir Ibnu Athiyah
7. Tafsir Abu Laits As-Samarqandi, Bahrul Ulum
8. Tafsir Abu Ishaq, Al-Kasyf wal Bayan an Tafsiril Qur’an
9. Tafsir Ibnu Abi Syaibah
10. Tafsir Al-Baghawi, Mu’alimut Tanzil
11. Tafsir Abu Fida’ Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Azhimi
12. Tafsir Ats-Tsa’labi, Al-Jawahirul Hisan fi Tafsiril Qur’an
13. Tafsir Asy-Syaukani, Fathul Qadir

Berikut kitab-kitab paling terkenal dibidang tafsir bil-Ra’y15


1. Tafsir Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib
Fakhruddin Ar-Razi terbilang salah satu ulama yang luas ilmunya, yang unggul
dibidang ilmu-ilmu naqli dan juga ilmu-ilmu aqli (logika). Fakhruddin Ar-Razi fokus
menyebutkan kaitan-kaitan diantara ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur’an, sering
membahas ilmu-ilmu hitung, alam, astronomi, filsafat, dan bahasan-bahasan teologi
secara panjang lebar mengikuti metode dalil-dalil filsafat logika, dan menyebut mazhab-
mazhab ahli fiqh.
Padahal, sebagian besar diantara keterangan-keterangan seperti ini tidaklah
diperlukan dalam ilmu tafsir. Dengan demikian karya Fakhruddin ini adalah
ensiklopedia ilmiah ilmu kalam dan ilmu-ilmu alam. Sehingga, kitab ini kehilangan
nilai pentingnya sebagai kitab tafsir Al-Qur’an.
2. Tafsir Ibnu Hayyan, Al-Bahrul Muhith
Dalam tafsirnya, Abu Hayyan fokus menyebut sisi-sisi i’rab, permasalahan-
perasalahan nahwu, menyebutkan perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu secara
panjang lebar, serta mendiskusikan dan mendebat permasalahan-permasalahan nahwu,
hingga kitab ini lebih mendekati kitab nahwu dari pada kitab tafsir.
Dalam tafsirnya, Abu Hayyan sering kali menukil penafsiran Az-Zamakhsyari
dan Ibnu Athiyah, khususnya terkait permasalahn-permasalahan nahwu dan sisi-sisi
I’rab. Selanjutnya, dituntaskan dengan bantahan secra panjang lebar. Sesekali Abu
Hayyan mengkritik Az-Zamakhsyari secara tajam, meski ia memuji keahlian luar biasa
yang dimiliki Az-Zamakhsyari dalam menunjukkan balaghah dan kekuatan bayan Al-
Qur’an
3. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al-Asham
4. Tafsir Abu Ali Al-Jubbai
5. Tafsir Abdul Jabbar
6. Tafsir Ibnu Faurak

15 Al-Qaththan and Mujtahid, 552–54.


7. Tafsir Al-jalalain, Jalaulddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Tafsir bil-ma’tsur adalah menjelaskan makna-makna dari ayat-ayat Al-Qur’an


dengan ayat Al-Qur’an ataupun sunnah yang sahih ataupun perkataan sahabat r.a. Tafsir
bil-ma’tsur mencakup tafsir yang datang dalam Al-Qur’an, juga mencakup tafsir yang
bersumber dari Nabi saw dalam sunnahnya, sahabat r.a yang hidup pada saat Al-Qur’an
turun. Bentuk term al-ma’tsur adalah isim maf’ul yang bermakna al-manqul (yang
diriwayatkan).
b. Makna Ar-Ra’yi di sini adalah ijtihad, mengaktifkan akal dan pandangan dalam
memahami Al-Qur’an berdasarkan pengetahuan tentang Bahasa Arab, dalam lingkup
yang harus dipenuhi seorang mufasir, baik berupa piranti, syarat, pengetahuan maupun
akhlak.
c. Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi saw secara musyafahat
(dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin
(pembukaan) ilmu-ilmu islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-3 H. Cara penafsiran
serupa itulah itulah, yang merupakan cikal bakal apa yang disebut dengan ‘tafsir bi al-
ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi ini muncul sebagai corak penafsiran belakangan, yaitu setelah
munculnya tafsir bi al-ma‟tsur, walaupun sebelumnya, ra’y dalam pengertian akal sudah
digunakan para sahabat ketika menafsirkan Alquran. Terutama, bilama kita tilik bahwa
salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
d. Kitab-kitab bil Ma’tsur yang paling ternama adalah : Tafsir Ibnu Abbas. Jami’ul
Bayan fi Tafsiril Qur’anI, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari. Tafsir Ibnu Uyainah. Tafsir Ibnu
Abi Hatim. Tafsir Abu Syeikh Ibnu Hibban. Tafsir Ibnu Athiyah. Tafsir Abu Laits As-
Samarqandi, Bahrul Ulum. Tafsir Abu Ishaq, Al-Kasyf wal Bayan an Tafsiril Qur’an.
Tafsir Ibnu Abi Syaibah. Tafsir Al-Baghawi, Mu’alimut Tanzil. Tafsir Abu Fida’ Al-
Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Azhimi. Tafsir Ats-Tsa’labi, Al-Jawahirul Hisan
fi Tafsiril Qur’an. Tafsir Asy-Syaukani, Fathul Qadir.

Berikut kitab-kitab paling terkenal dibidang tafsir bil-Ra’y : Tafsir Fakhruddin Ar-Razi,
Mafatihul Ghaib. Tafsir Ibnu Hayyan, Al-Bahrul Muhith. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan
Al-Asham. Tafsir Abu Ali Al-Jubbai. Tafsir Abdul Jabbar. Tafsir Ibnu Faurak. Tafsir Al-
jalalain, Jalaulddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi.

3.2. Saran

Dari penyusunan makalha ini, penulis menyarankan agar pembaca tidak


berpatokan pada apa-apa yang penulis tulis dalam makalah ini. Masih banyak referensi-
referensi yang lain yang bisa menunjang dan menabah wawasan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf, and Kathur Suhardi. Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2000.

Al-Qaththan, Manna’, and Umar Mujtahid. Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Ummul Qura,
2016.

Ba’asyien, Moh Arsyad. “TAFSIR BI AL-RA’YI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK


PENAFSIRAN ALQURAN.” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 2, no. 2 (August 14,
2005): 175–84. https://doi.org/10.24239/jsi.v2i2.311.175-184.

Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qu’an. Bandung: Penerbit Mizan, 1997.

Nur, Afrizal. Khazanah Dan Kewibawaan Tafsir Bi Al Ma’tsur. Pekanbaru: CV Mulia Indah
Kemala, 2015.

Anda mungkin juga menyukai