Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits
Dosen Pengampu :
Kelompok 2:
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahNya kepada kami sehingga dapat menyeleseikan makalah yang berjudul “Tafsir bil
Ma’tsur dan bil Ra’y” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami juga
berterima kasih pada Bapak Abdul Fattah, M. Th. I selaku Dosen mata kuliah Studi al-Qur’an
dan al-Hadits UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita terhadap metode tafsir al-Qur’an. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang telah kami buat ini.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun. Sekiranya makalah yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami maupun orang lain yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................
1.1......................................................................................................................... Latar
Belakang...............................................................................................................
1.2......................................................................................................................... Rumusan
Masalah................................................................................................................
1.3......................................................................................................................... Tujuan
penulisan..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................
3.2. Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1 Yusuf Al-Qaradhawi and Kathur Suhardi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar,
2000), 210.
2 Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qu’an (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), 21.
Kemudian lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang berbeda dan
beraneka ragam. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang dua metode dalam
penafsiran Al-Qur’an, yaitu dengan tafsir Bil-Ma’tsur dan tafsir Bil-Ra’yi.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis telah merumuskan beberapa permasalahan,
yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan metode tafsir Bil-Ma’tsur?
2. Apa yang dimaksud dengan metode tafsir Bil-Ra’yi?
3. Bagaimana sejarah munculnya tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi?
4. Apa saja contoh kitab tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari tafsir Bil-Ma’tsur.
2. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari tafsir Bil-Ra’yi.
3. Untuk mengetahui dan memahami sejarah dari munculnya tafsir Bil-
Ma’tsur dan tafsir Bil-Ra’yi.
4. Untuk mengetahui contoh-contoh kitab yang menggunakan metode tafsir
Bil-Ma’tsur dan Bil-Ra’yi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Qur’an al-karim
Para mufasir haruslah melihat terlebih dahulu ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagai contoh
adalah:
a. Mufasir menafsirkan ayat dengan ayat lainnya yang lebih rinci
b. Menafsirkan sesuatu yang bersifat global dan merincikan pada ayat
lainnya
c. Menafsirkan dengan mengumpulkan sesuatu yang dianggap sama tapi
dengan lafadz yang berbeda
2. Sunnah Nabi saw
Imam al-Qurtubi menyatakan dalam Afrizal Nur bahwasanya: “Penjelasan Rosulullah
saw ada dua bentuk yaitu menjelaskan bagian yang mujmal dalam AL-Qur’an seperti
penjelasan tentang sholat lima waktu, sujudnya, tujuannya, waktu-waktunya dan
semua hukum-hukum lainnya, seperti penjelasan tentang zakat dan ibadah haji.”
3. Tafsir Sahabat r.a
Penafsiran sahabat memiliki kedudukan yang sangat penting setelah penjelasan dari
Rosulullah saw, dikarenakan:
a. Mereka menyaksikan langsung peristiwa turunnya Al-Qur’an
b. Mereka menguasai bahasa arab, balaghah, bayan
3 Afrizal Nur, Khazanah Dan Kewibawaan Tafsir Bi Al Ma’tsur (Pekanbaru: CV Mulia Indah Kemala, 2015), 43.
4 Nur, 46.
c. Mereka yang paling mengetahui adat istiadat masyarakat arab
d. Mereka adalah orang yang dicatat sejarah generasi yang tksada
tangdingannya dalam keilmuan, memiliki wawasan yang luas, hati dan
jiwanya harsu bersih srta selalu ikhlas terhadap Allah
4. Penafsiran Tabi’in
Beberapa hal yang memjadikan kita perlu merujuk kepada perktaan para Tabi’in
adalah:
a. Tabi’in banyak mengambil dari penafsiran sahabat
b. Mereka termasuk dari ahlul qurun yang terbaik
c. Wawasan mereka terhadap linguistik arab.5
5 Nur, 50–52.
6 Nur, 59–60.
1. Adanya riwayat yang dha’if, munkar dan maudhu’ yang dinukili dari Rosululloh
SAW, sahabat dan tabi’in.
2. Adanya pertentangan antara sebagian riwayat dengan sebagian yang lain.
3. Di antara sebagian ma’tsur ini ada yang berupa pendapat dari orang yang
bersangkutan, sehingga tidak ada jaminan kebebasannya dari kesalahan
4. Tafsir bil ma’tsur seperti yang disampaikan kepada kita, bukan merupakan tafsir
yang sistematis, mengupas Al-Qur’an, surat demi surat mengupas surat, ayat demi
ayat, mengupas ayat, kata demi kata.7
Makna Ar-Ra’yi di sini adalah ijtihad, mengaktifkan akal dan pandangan dalam
memahami Al-Qur’an berdasarkan pengetahuan tentang Bahasa Arab, dalam lingkup
yang harus dipenuhi seorang mufasir, baik berupa piranti, syarat, pengetahuan maupun
akhlak8.
Sebagian ulama ada yang memasang beberapa syarat keilmuan bagi seseorang
mufasir, diantaranya ilmu Bahasa Arab, yang meliputi nahwu, shorof, bahasa, asal kata,
balaghoh qiro’ah usluhuddin, ushul fiqih, dan yang terakhir adalah ilmu anugrah. Mereka
juga mensyaratkan keselamatan hati dari sifat takabur, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia,
terus menerus melakukan suatu dosa, yang semua ini akan menjadi penghalang bagi hati
untuk mengetahui kebenaran yang diturunkan Allah, sebagaimana firman-Nya:
Sufyan bin Uyainah berkata, “Arti ayat ini, mereka dijauhkan dari pemahaman
Al-Qur’an.”9
Namun meski begitu banyak dari kalangan ulama yang menolak keberadaan tafsir
bil-ra’yi, diantara telah disebutkan dalam hadist Ibnu Abbas secara marfu’, “Dan siapa
yang berkata tentang A-Qu’an berdasarkan pendapatnya maka hendaklah dia mengambil
tempat duduknya di neraka.” Tidak hanya itu, Abu Bakar juga telah meriwayatkan
7 Yusuf Al-Qaradhawi and Kathur Suhardi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2000), 220–21.
Al-Isra’: 36 yang artinya, “dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak
kamu ketahui.”
11 Manna’ Al-Qaththan and Umar Mujtahid, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Ummul Qura, 2016), 537–38.
Nabi Muhammad saw bukan hanya bertugas menyampaikan al Qur’an ,
melainkan sekaligus menjelaskan kepada umat sebagaimana ditegaskan oleh Allah di
dalam surat al Nahl ayat 44 dan 64:
…Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (al Qur’an), agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…( QS. al Nahl :
44)
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al Qur’an) ini, melainkan agar
kamu menjelaskan kepada mereka perselisihan di dalamnya…( QS. al Nahl : 64)
12 Moh Arsyad Ba’asyien, “TAFSIR BI AL-RA’YI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENAFSIRAN ALQURAN,” HUNAFA:
Jurnal Studia Islamika 2, no. 2 (August 14, 2005): 177–178, https://doi.org/10.24239/jsi.v2i2.311.175-184.
Abu Bakar yang dikutip dimuka, tidak adapa dijadikan dalil utnuk melarang tafsir bil
Ra’yi sebab sebagaimana ditulis Ibnu Taymiyat: “Mereka senantiasa membicarakan
apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka
ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tah,
dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diektahuinya.”
Pendapat Ibnu Taymiyat ini ada benarnya karena didukung oleh al-qur’an antara lain
terdapat dalam Q.S. Al-Imron ayat 187 yang artinya: “Hendaklah kamu
menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Kemudian dipertegas lagi oleh hadist shohih dari Ibn Umar yang artinya: “Barang
siapa ditanya tentang sesuatu ang diketahuinya lalu dia diam, maka ia akan
dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka.”
Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau
menafsirkannya,dan bukan pula karena dilarang menafsirkannya, melainkan karena
kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk dalam apa yang disebut dengan
takhmin (perkiraan) dalam menafsirkan al-qur’an. Apabila ini terjadi, ancamannya
amat berat, yaitu masuk neraka.
Untuk mengindari terjadinya spekulasi dalam penafsiran, maka para ulama
tafsir menetapkan sejumlah kaedah dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mufasir serta metode penafsiran yang harus dikuasai. Jadi jelaslah, secara
garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua jalur,
ysitu al-ma’tsur (melalui riwayat) dan al-ra’y (melauli pemikiran atau ijtihad)
dengandemikian dapat dikatakan bahwa ma’tsur dan ra’y ini merupakan bentuk atau
jenis tafsir bukan merupakan metode atau corak tafsir.13
Contoh ayat yang ditafsirkan dengan Bil-Ma’tsur, yaitu mengenai Adab Majlis Ilmu.
Tsabit bin Qays, yang syahid dalam perang yamamah, ternyata sahabat yang sangat rajin
menuntut ilmu. Karena pendengarannya kurang, ia sering berusaha berada di barisan paling
depan majlis (karena itu juga, ia selalu bersuara keras. Anda ingat ia pernah menangis ketika
ia merasa larangan bersuara keras ditujukan untuk dirinya).
Pada suatu jumat, nabi saw mengadakan majlis di suffah, diberanda masjid. Orang-
orang sudah duduk di sekitar Nabi. Tsabit datang terlambat. Ia berusaha mendekati Nabi
karena kelebihan cintanya kepada Nabi dank arena kekurangan pendengarannya. Sebagian
13 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 39–49.
memberi tempat kepadanya supaya Tsabit dapat lewat. Sebagian lagi sengaja menyempitkan
tempat duduk sehingga Tsabit tertahan.
Tsabit berulang kali minta izin dan menyatakan alasannya mengapa ia harus berada di
depan. Ketika orang yang menahan itu tetap di tempatnya, terjadilah sedikit kegaduhan.
Nabi saw kemudian memerintahkan para penghalang itu untuk berdiri, “Qum, ya Fulan.
Qum ya Fulan”.
“Hai orang orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu – lapangkanlah
tempat dalam majlis, maka lapangkanlah, nanti Allah akan memberikan kelapangan kepada
kamu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, hendaklah kamu berdiri. Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat. Dan
Allah mengetahui akan apa-apa yang kamu kerjakan.”
Begitu besarnya perhatian al-Qur’an pada majlis ilmu sehingga ayat-ayat turun khusus
untuk mengatur etika majlis. Menurut ayat ini misalnya, etika majlis menjadi syarat
diangkatnya derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dalam Al-Nur 62, salah
satu tanda orang yang beriman ialah menjalankan etika majlis. Dalam Al-Nur 63,
mengabaikan etika majlis adalah tanda orang munafik.
Apabila sahabat berkumpul bersama dalam satu majlis, mereka tidak keluar sebelum
meminta izin lebih dahulu kepada Nabi saw pemimpin majlis supaya tidak mengganggu,
mereka memberi isyarat dengan jari tangannya.
Tetapi, orang-orang munafik yang tidak tahan duduk lama dalam majlis ilmu,
meninggalkan tempat acara diam-diam. Allah menyebut mereka “orang-orang yang
melanggar perintah Rasul”. Allah mengabadikan perilaku kelompok ini dalam ayat-ayat
berikut.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya ialah orang
yang percaya kepada Allah dan RasulNya, dan apabila mereka berada dalam urusan
bersama, mereka tidak pergi begitu saja sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya
orang-orang yang meminta izin kepadamu, itulah orang-orang yang percaya kepada Allah
dan rasulNya. Apabila mereka meminta izin kepadamu karena beberapa keperluan mereka,
berikan izin kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan mohonkan ampunan Allah bagi
mereka. Sesungguhnya Allah itu Pengampun dan Penyayang.
Kitab-kitab bil Ma’tsur yang paling ternama adalah sebagai berikut 14:
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berikut kitab-kitab paling terkenal dibidang tafsir bil-Ra’y : Tafsir Fakhruddin Ar-Razi,
Mafatihul Ghaib. Tafsir Ibnu Hayyan, Al-Bahrul Muhith. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan
Al-Asham. Tafsir Abu Ali Al-Jubbai. Tafsir Abdul Jabbar. Tafsir Ibnu Faurak. Tafsir Al-
jalalain, Jalaulddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi.
3.2. Saran
Al-Qaradhawi, Yusuf, and Kathur Suhardi. Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2000.
Al-Qaththan, Manna’, and Umar Mujtahid. Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Ummul Qura,
2016.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qu’an. Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Nur, Afrizal. Khazanah Dan Kewibawaan Tafsir Bi Al Ma’tsur. Pekanbaru: CV Mulia Indah
Kemala, 2015.