Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tafsir (Aliran metode dan Syarat mufassir)

Dosen Pengampu : Aidul Fitriawan M.Ag

Disusun Oleh : Kelopok 9


Raini Safitri220601175)
Rabi`atul Adawiah:(220601146)

KELAS II E

JURUSAN ILMU AL QUR`AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

T.A.2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur di ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok
mata kuliah ulumul qur`an, dengan judul: kisah-kisah dalam al qur`an.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yangdengan tulus memberikan do`a, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaika.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna di
karenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki oleh karna itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dalam mata kuliah ulumul qur`an.
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................................


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................
C. Tujuan penulisan ............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Aliran tafsir ....................................................................................................


B. Metode Tafsir ................................................................................................
C. syarat-syarat mufassir ...................................................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ..........................................................................................................

Penutup .............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur‟an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al Qur‟an juga
menjadi penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu
menjadi pembeda (furqaan) antara yang baik dan yang buruk. Disinilah manusia
mendapatkan petunjuk dari Al Qur‟an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan
meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap Al Qur‟an tersebut.
Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Al Qur‟an
diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al quran mempunyai peranan yang sangat besar dan penting
bagi kemajuan dan perkembangan umat islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian
para ulama untuk memahami dan menggali dan memahami makna yang terkandung
dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tarfsir dengan corak dan
metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan
jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al quran serta corak pemikiran para
penafsirnya sendiri

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Aliran-aliran Tafsir
2. Apakah metode-metode tafsir
3. Apakah Syarat-syarat menjadi mufassir

C. Tujuan Penulisan
1. Uuntuk mengetahui aliran aliran tafsir
2. Untuk mengetahui metode-metode tafsir
3. Untuk mengetahui syarat-syarat menjadi mufassir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran-aliran tafsir
a. Tafsir bi al-Riwayah
Manna al-Qattan mendefinisikan: Tafsir bil riwayah(bil ma‟tsur) ialah tafsir yang
disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shahih secara tertib yang sebagaimana telah
diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkan Al-Quran dengan Al-
Quran, atau dengan sunnah karena sunnah merupakan penjelas bagi kitabullah, atau
dengan riwayat-riwayat yang diterima dari para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui
kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat para tabi‟in besar, sebab mereka telah
menerimanya dari para sahabat.
Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy adalah “tafsir dengan ayat sendiri atau dengan
hadits, atau dengan pendapat para shahabat “
Tafsir bi al Riwayah memiliki keistimewaan antara lain :
(a). Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur‟an.
(b). Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
(c). mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus
dalam subyektivitas yang berlebihan.
Sedangkan kelemahannya adalah
(a). Terjerumusnya muffasir ke dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele sehingga
mengaburkan pesan pokok al-Qur‟an
(b). Masuknya unsur Israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan
nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an.
Diantara kitab-kitab tafsir bil ma‟tsur atau tafsir bil riwayah diantaranya:
1. Tafsir Jamiul Bayan karya Ibn Jarir ath Thabari
2. Tafsir Bustan karya Abu Laits Samarqandyi
3. Tafsir Ma‟alimut Tanzil karya Al-Baghawy
4. Tafsir Al-Quran al Adzim karya al Hafidz Ibn Katsir. Dll
b. Tafsir bi al-Dirayah
Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra‟yi adalah Ijtihad yang didasarkan
kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan
sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur‟an atau mendalami
pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan kata hati
atau kehendak sendiri.”
Tafsir Bi Al-Ra‟yi yaitu menafsirkan Al-Qur‟an dengan kekuatan penalaran dan unsur-
unsur keilmuan yang berkembang didunia Islam yang memang berkaitan dengan teks
serta isyarat-isyarat ilmiah yang datang dari Al-Qur‟an sendiri atau dengan kata lain
seorang mufassir menafsirkan makna teks dengan menggunakan akal / penalaraan
(Rasio). Yang dimaksud dengan rasio adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh
karena itu, dinamakan dengan tafsir bi al-Dirayah, (dengan rasio) sebagai antitesis tafsir-
tafsir bir-riwayah (dengan riwayat). Al-Bhaihaqi meriwayatkan dalam asy-Sya‟ab dari
Imam Malik, beliau berkata bahwa “jika ada seseorang yang tidak mengetahui ilmu
bahasa arab, kemudian ia menafsirkan kitab Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya
akan aku hajar dia”.

b. Tafsir Bi Al Ra‟yi terbagi menjadi 2 macam :


1. Tafsir Bi Al Ra‟yi Al – Jaiz ( Mahmud)
2. Tafsir Bi Al Ra‟yi Al – Jaiz (Mazmum)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Tafsir Bi Al Ra‟yi menafsirkan Al-Qur‟an
dengan penalaran dan unsur – unsur keilmuan didunia islam atau dengan kata lain
seorang mufassir harus memenuhi kriteria keilmuan, seperti : ( Bahasa Arab, Nahwu,
shorof, Balaghoh, usul fiqh, tauhid, asbabun nuzul, sejarah, naasikh mansukh, hadist-
hadist penjelas ayat-ayat Al-Qur‟an, fakih dan terakhir ilmu pemberian dari Allah SWT).
Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid‟ah, cinta
dunia dan senang melakukan dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk
mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Hal ini seperti
firman Allah SWT :
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka
bumi tanpa alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku….”
Tafsir Bi Al Ra‟yi Al – Jaiz ( Mahmud) yaitu apabila penafsirannya itu sesuai kaidah
yang ada jauh dari segala kebodohan dan kesesatan maka tafsir ini mahmud jika tidak
maka tercela (mazmum). Tafsir Bi Al Ra‟yi wajib memperhatikan dan berpegang apa
yang dibawa nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya supaya dapat menerangi
pemikiran mufassir dengan akalnya, harus bagi seorang mufassir mengetahui kaidah-
kaidah lughoh dan mengetahui uslub-uslubnya (manhaj).
Macam-macam Kitab Tafsir bir Ra‟yi al-Mahmud :
1. Mafatih al-Ghaib oleh Fakhruddien ar-Raazi,
2. Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil oleh al-Baidhawi
3. Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Takwil oleh

c. Tafsir bi al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Quran berbeda dengan
lahirnya lafadz atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui
oleh sebagian ulul „ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau
dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain
makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur‟an. Namun, makna lain itu tidak tampak
oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.
Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah “usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran
bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya
menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud”.
Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Al Qur‟an itu mengandung banyak ancaman
dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak
terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat.
Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia
memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang
bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh”.

B. Metode-metode penapsiran
a. Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur‟an yang berusaha menjelaskan Al-
Qur‟an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh
Al Qur‟an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal
hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur‟an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh,
menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-
unsur I‟jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat
diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar‟I1 , arti secara bahasa, norma-norma akhlak,
dan lain sebagainya.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini dengan bentuk ma‟tsur
adalah:
a) Tafsir al-Quran al-„Azhim, karya Ibn Katsir.
b) Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawiy al-Bantaniy.
c) Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wil al-Qur‟an al-Karim (Tafsir al-Thabari), karya Ibn Jarir al-
Thabari.
b. Metode Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur‟an secara singkat dan global, dengan
menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga
mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki
perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan
tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan
tingkatan ilmu kaum muslimin.2
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Ijmali
a) Tafsir al-Jalalayn, karya Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli.
b) Shafwah al-Bayan Lima‟ani al-Qurân, karya Syeikh Hasanain Muhammad
Makhluf.
c) Tafsîr al-Quran al-„Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdiy.
c. Metode Muqarran

1
Habsy Asshidiqy, Ilmu Alqur`an dan Tafsir, (Semarang pustaka rizkiputra,2009),hal,241
2
Kadar M Yusuf, Study Al-qur`a, (Jakarta amzah,2010),hal,154
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat
dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan
perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu3 .
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Muqarrin
a) Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwil, karya al-Iskafi (yang terbatas pada
perbandingan antara ayat dengan ayat).
b) al-Jami‟ li Ahkam al-Quran, karya al-Qurthubiy (yang membandingkan penafsiran
para mufassir).
c) Rawa‟i al-Bayan fî Tafsir Ayat al-Ahkam, karya „Ali ash-Shabuniy .
d. Metode Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur‟an dengan
cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang mempunyai tujuan yang satu, yang
bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan
masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat
tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-
hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.4
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Maudhu‟i
a) Al-Mar‟ah fi al-Quran dan Al-Insan fii al-Quran al-Kariim, karya Abbas Mahmud
al-Aqqad
b) Ar-Ribaa fii al-Quran al-Kariim, karya Abu al-„A‟la al-Maududiy
c) Rawa‟i al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam, karya „Ali ash-Shabuniy

C. Syarat-Syarat Mufassir
Orang yang hendakmelakukan penafsiran harus memenuhi syarat-syarat yang
telah disepakati oleh para ulama setelah nabi Muhammad wafat. Layaknya seorang
dokter,seorangdokter harus benar-benar memahami ilmu yang bersangkutan
dengankedokteran sebelum ia menjadi dokter. Begitu pula dengan seorang mufassir,
sebelum menafsirkan al- Qur‟an ia harus memenuhi kriteria dan persyaratanyang telah
ditetapkan oleh para ulama.Seseorang yang akan menjadi mufassir harus memiliki

3
Nasrudin Baidan, Metodologi Penapsiran Alqur`an, (Yogyakarta pusaka pelajar,2005)hal,14-16
4
Muh Amin suma`, Ulumul qur`an (Jakarta 2013,hal,391.
beberapa persyaratan, baik yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat
diniah(keagamaan) dan terutama syarat-syarat yang bersifat akademik.
1. Seseorangyang hendak menjadi mufassir, ia harus orang yang telah dewasa
(baligh) dan berakal sehat. Anak kecil walaupun berakal sehat dan orang dewasa
tetapi tidak berakal sehat penafsirannya tidak dapat diterima. Selain seorang yang
sudah baligh dan berakal sehat, seorang mufassir harus beragama Islam. Seorang non-
Islam penafsirannya tidak dapat diterima karena dikhawatirkan akanmenimbulkan
kekacauan atau penyelewengan terhadap ajaran agama Islammelalui penafsiran yang
dilakukannya. Kemudian secara psikis, seorangmufassir juga harus mempunyai etika
dalam menafsirkan yang lebih dikenaldengan adab al-mufassir.Selain syarat psikis
dan fisik, adapun persyaratan akademik bagiseorang mufassir. Para ulama berbeda
pendapat mengenai banyaknya persyaratan akademik yang harus dipenuhi oleh
seorang calon mufassir.Beberapa pendapat tersebut, yaitu:

Imam Jalaluddin as-Suyuthi(w. 911 H/1505 M)menyebutkan terdapat lima belas ilmu
yang harus dikuasai oleh seorang yang ingin menafsirkan al-Qur‟an. Kelimabelasi lmu
tersebut yaitu:

bahasa, nahwu, saraf, isytiqaq, ilmuma‟ani, bayan, badi‟, ilmu qira‟at, ushuluddin, ushul
fiqh, asbab al-nuzul,nasikh mansukh, fiqih, hadis-hadis yang menjelaskan ayat yang
masihglobal dan umum, dan ilmu mauhibah.

1. Abd al-Adzim al-Zarqani mengatakan bahwa macam-ilmuyang harus dimiliki oleh seorang
mufassir yaitu bahasa, nahwu, saraf, balaghah, ilmu ushul fiqh, ilmu tauhid, mengetahui
asbab al-nuzul, qashash,nasikh dan mansukh, hadis-hadis penjelas bagi yang mujmal dan
mubham,dan ilmu mauhibah5
2. Al-Farmawi menjelaskan terdapat empat macam persyaratan dan berbagai ilmu di dalamnya:
a. Memiliki I‟tiqad atau keyakinan yang benar dan mematuhi ajaran agama.
b. Memiliki tujuan yang benar, seorang mufassir menafsirkan semata-mata dengan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
c. Berpegang pada dalil naql (al-Qur‟an, hadis, dans ahabat) serta menjauhi
periwayatan-periwayatan bid‟ah.

5
As suyuti, Al itqan fi ulumul qur`an,hal,214
d. Memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, sebagaimanayang telah
dikatakan al-Suyuthi dan al-Zarqani terdapat 15 ilmu, yaitu:
1. Ilmu bahasa, dalam hal ini yang dimaksud yaitu bahasa Arabmengingat bahwa bahasa
yang digunakan dalam aQur‟an adalah bahasa Arab bukan bahasa „Ajami. Seorang
mufassir harus mengetahui arti dan maksud kosa kata yang digunakan dalamal-
Qur‟an
2. Ilmu nahwu (tata bahasa). Dengan ilmu ini mufassir akanmengetahui perubahan
makna yang terjadi pada kalimat seiring dengan perubahan i‟rab
3. Ilmu sharaf, untuk mengetahui bentuk asal dan pola perubahansebuah kata
4. Ilmu isytiqaq jika diambil dari dua kata dasar yang berbeda makaakan memiliki
makna yang berbeda pula. Contohnya al masih
5. ma‟ani, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahuikarakteristik susunan
sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yangdihasilkannya
6. Ilmu bayan, seorang mufassir dapat mengetahui karakteristik susunansebuah
ungkapan dilihat dari perbedaan-perbedaan maksudnya7)
7. Ilmubadi‟ untuk mengetahui sisi-sisi keindahan dari suatu kalimatatau ungkapan8)
8. Ilmuqiraat,dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui cara-cara
melafadzkan al- Qur‟an
9. Ilmu ushuluddin.Dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui tentangapa yang wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah. Dengan illmuushuluddin diharapkan para mufassir akan
dapat melakukan penafsiran yang sejalan dengan hakikat permasalahan.6
10. Ilmuushulfiqh,ilmu in iuntuk mempelajari cara pengambilan dalil-dalil hokum dan
perumusan dalil hokum.
11. Ilmu asbab al-nuzul,untuk mengetahui latar belakang turunnyasuatu ayat dan
nantinya mufassir dapat mengkontekskan dengankeadaan saat ini.
12. Ilmunasikh mansukh,dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahuimanahadis yang
dating lebih awal dan dating akhir. Sehinggamengetahui ayat-ayat yang muhkam
daripada ayat lainnya.
13. Ilmu fiqh
14. Hadis-hadis yang dapat menjelaskan ayat-ayat yang mujmal danmubham15)

6
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Alqur`an, (Bandung,pustaka,1987),hal,17
15. Ilmu al-Mauhibah
16. yaitu sebuah ilmu yang dianugerahkan Allahkeapada siapa saja yang mengamalkan
ilmunya, ilmu ini buah daritakwa dan keikhlasan.Selain ilmu-ilmu di atas, sebagian
ulama menambahkan beberapa ilmuyang harus dimiliki oleh seorang mufassir.
Syaikh Muhammad Abduh danmuridnya, Muhammad Rasyid Ridha misalnya
menyatakan bahwa seorangmufassir dituntut untuk mengetahui ilmu sejarah manusia,
ilmu riwayat
KESIMPULAN
Tafsir yaitu penjelasan tentang arti danmaksud dari suatu ayat yang dimana aliran tafsir
meliputi aliran tafsir bil riwayah,aliran tafsir bil diroyah dan tafsir bil al isyari dengan
bebarapa metode di antaranya tahlili, ijmali, muqarran dan maudhu`I dan syrat menjadi
seorang mufassir harus menguasai 15 ilmu yaitu ilmu Bahasa, nahwu, shorof, istyiqaq, ma`ani,
bayan, badi` qira`at, ushuluddin, asbabunnuzul, nasihk mansuh, fiqih, hadist, Mauhubbah
DAFTAR PUSTAKA

Habsy Asshidiqy, Ilmu Alqur`an dan Tafsir, (Semarang pustaka rizkiputra,2009),


Kadar M Yusuf, Study Al-qur`a, (Jakarta amzah,2010)
Nasrudin Baidan, Metodologi Penapsiran Alqur`an, (Yogyakarta pusaka pelajar,2005)
Muh Amin suma`, Ulumul qur`an (Jakarta 2013.
As suyuti, Al itqan fi ulumul qur`an,
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Alqur`an, (Bandung,pustaka,1987)

Anda mungkin juga menyukai