Anda di halaman 1dari 88

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333078441

BUKU AJAR SOSIOLOGI AGAMA

Book · May 2019

CITATIONS READS

0 425

1 author:

Agus Fauzi
Universitas Negeri Surabaya
14 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Kebijakan Lokal View project

Politic View project

All content following this page was uploaded by Agus Fauzi on 14 May 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i
KATA PENGANTAR

Sosiologi Agama adalah mempelajari agama dari perspektif sosiologi.


Belajar agama biasanya menggunakan metode indoktrinasi sebab agama turun dari
Tuhan kepada manusia agar menjadi pedoman hidup dan kehidupan. Manusia
membutuhkan pedoman hidup yang bisa menyelamatkan kehidupannnya di dunia
dan pada kehidupan selanjutnya (akhirat) juga selamat.
Pembelajaran dan pemahaman agama dengan indoktrinasi menghasilkan
manusia doktriner. Dia melihat hitam dan putih atau salah dan benar terhadap
ajaran agama. Truth Claim menjadi pola pikir manusia dalam kehidupan bersama
sehingga terjadi jurang pemisah antara kelompok-kelompok keagamaan.
Indoktrinasi agama mengakibatkan manusia sulit hidup bersama dalam
heteroginitas kehidupan. Indonesia sebagai negara yang didirikan oleh beragam
agama, ia kesulitan mengelola warganya untuk hidup bersama memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Buku Ajar Sosiologi Agama merupakan jawaban dari problem kehidupan
beragama di Indonesia. Ragam agama dan sub varian agama hidup dan menghiasi
kehidupan sosial. Agama menjadi identitas bagi masyarakat Indonesia. Bahkan tidak
boleh hidup di bumi pertiwi tanpa mempunyai identitas agama.
Sosiologi Agama adalah cara pandang sosiologi terhadap agama. Bisa
dikatakan agama dilihat dan dipelajari dari perspektif sosiologi, berbeda dengan cara
penglihatan dan pembelajaran dari doktrin. Ia melahirkan pengetahuan yang
menarik bagi manusia sebab memmahami dan mempelajari agama dari perspektif
sosial.
Sosiologi Agama berbeda pelajaran agama dalam pemahamannya. Jika
dalam perkuliahan mahasiswa, maka ajaran agama akan didapatkan mahasiswa pada
salah satu semester dengan menempuh 2 SKS, sedangkan Sosiologi Agama
biasanya didapat oleh para mahasiswa sosiologi yang mengikuti perkuliahan
sosiologi agama. Mahasiswa non sosiologi agama bisa mendapatkan ilmu tersebut

ii
tanpa mengikuti perkuliahan dengan membaca buku sosiologi agama secara
mandiri. Begitu juga masyarakat pada umumnya bisa mendapatkan Sosiologi
Agama dengan cara membaca buku sosiologi agama dan melakukan pemahaman
secara langsung terhadap kehidupan agama dalam suatu kelompok agama dengan
perspektif sosiologi atau kemasyarakatan baik pada ajaran agamanya atau praktek
kehidupan sosial agama.
Dalam Buku Ajar Sosiologi Agama ini dibahas tentang beberapa sub tema
sosiologi agama yang selanjutnya digunakan untuk perkuliahan Mata Kuliah
Sosiologi Agama. Misalkan pada bab satu Pengertian Sosiologi, Agama, Sosiologi
agama, objek kajian sosiologi agama, manfaat dan urgensi mempelajari sosiologi
agama; bab kedua Sejarah Sosiologi Agama di era klasik, modern, dan kontemporer.
Tema-tema kajian yang berkembang; bab ketiga Pengertian modernism dan
tahapan-tahapannya, Sekularisme dan sekularisasi, bentuk-bentuk sekularisasi; bab
keempat Pendekatan fungsionalisme, fenomenologisme, strukturalisme, humanisme
dalam mengkaji agama; bab keempat Relasi Gender dalam agama Yahudi, Islam,
Kristen, Hindu, Budha; bab kelima Etika Ekonomi dalam agama, Etika Protestan
dan Spirit Kapitalisme, organisasi dagang berbasis agama; bab keenam Teori
hubungan agama dan agama, teokrasi, sekularisme, konvergernsi, praktek-praktek
agama dan agama; bab kedelapan Asal-usul fundamentalisme agama, benturan
fundamentalisme agama dan modernism.
Semoga bermanfaat, Selamat Membaca!

Surabaya, Oktober 2017

Penulis,
Ttd.
Dr. Agus Machfud Fauzi, M.Si.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iiv
BAB 1 MENGENAL SOSIOLOGI AGAMA ......................................................................... 1
1.1 Sosiologi .................................................................................................................................. 1
1.2 Agama ..................................................................................................................................... 3
1.3 Sosiologi Agama................................................................................................................... 4
1.4 Objek Kajian Sosiologi Agama ........................................................................................ 6
1.5 Urgensi Mempelajari Sosiologi Agama ........................................................................ 8
1.6 Soal-Soal Latihan……………………………………………………………… 10
BAB 2 SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA .............................................................................. 11
2.1 Sosiologi Agama di Era Klasik ...................................................................................... 11
2.2 Sosiologi Agama di Era Modern ................................................................................... 14
2.3 Sosiologi Agama di Era Kontemporer ........................................................................ 17
2.4 Soal-Soal Latihan............................................................................................................23
BAB 3 SOSIOLOGI AGAMA DALAM TEORI SOSIOLOGI KLASIK ..................... 24
3.1 Teori Agama Karl Marx ................................................................................................... 24
3.2 Sumbangan Pemikiran Auguste Comte dalam Sosiologi Agama ...................... 27
3.3 Teori Agama Emile Durkheim ..................................................................................... 28
3.4 Teori Agama Max Weber ................................................................................................ 33
3.4.1 Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme ............................................................... 34
3.4.2 McDonaldisasi dan Agama .................................................................................... 36
3.5 Agama dalam Konstruksi Sosial Peter Berger .......................................................... 38
3.6 Soal-Soal Latihan………………………………………………………………41

BAB 4 PENDEKATAN SOSIOLOGI AGAMA ................................................................. 42


4.1 Pendekatan Fungsionalisme-struktural ...................................................................... 42
4.1.1 Agama Secara Struktural .......................................................................................... 42
4.1.2 Fungsionalisme-struktural ...................................................................................... 44
4.2 Pendekatan Strukturalisme ............................................................................................ 47
4.3 Pendekatan Fenomenologisme ..................................................................................... 49

iv
4.4 Pendekatan Humanisme ................................................................................................ 52
4.5. Soal-Soal Latihan …………………………………………………………….54
BAB 5 SOSIOLOGI AGAMA DALAM TEORI KRITIS................................................. 55
5.1 Agama dalam Perspektif Kaum Materialisme .......................................................... 57
5.2 Agama dalam Perspektif Orientalisme Edward Said ............................................. 60
5.3 Agama dalam Perspektif Feminis ................................................................................ 63
5.4 Agama dalam Culture Studies (Kajian Budaya) ...................................................... 66
5.5 Soal-Soal Latihan ……………………………………………...………70
BAB 6 AGAMA DALAM PERSPEKTIF POSMODERN ............................................... 71
6.1 Agama bagi Foucault ....................................................................................................... 72
6.2 Agama bagi Nietzsche ..................................................................................................... 76
6.3 Soal-Soal Latihan ………………………………………………………………80

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 81

v
BAB I
MENGENAL SOSIOLOGI AGAMA

Sejak berabad-abad lalu, ketika manusia mengenal peradaban mereka juga


mengenal keyakinan dan agama. Seiring perkembangan zaman, manusia
menempatkan agama (dan keyakinan) dalam posisi yang penting dalam kehidupan
mereka. Bahkan, kemudian hak kebebasan untuk memeluk agama menjadi bagian
dari hak asasi yang dilindungi oleh peraturan perundangan di beberapa negara.
Namun, manusia bukan hanya hidup dengan Tuhan atau dewa atau sesuatu lain
yang ia sembah. Ia juga merupakan mahluk sosial atau homo socius yang hidup
bersama manusia lain dalam masyarakat. Jika fenomena spiritual ditelaah dalam
ilmu agama dan fenomena sosial ditelaah dengan sosiologi, maka adanya fenomena
spiritual dalam masyarakat sepatutnya ditelaah dalam perspektif sosiologi agama.
Sosiologi agama bukanlah topik pembicaraan baru dalam kajian ilmu
sosiologi. Seperti diketahui, sosiologi memiliki banyak cabang konsentrasi yang
menyandingkan –atau mengkolaborasikan– antara ilmu sosiologi dengan ilmu
lainnya. Namun, sosiologi agama bisa saja menjadi topik baru bagi yang sebelumnya
hanya mempelajari tentang agama dengan perspektifkeagamaan. Makadari itu, perlu
selayang pandang perkenalan mengenai sosiologi, agama, dan sosiologi agama.

1.1 Sosiologi
Sosiologi secara sederhana seringkali dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari
dan berkenaan tentang masyarakat. Kemudian, lebih kompleks sosiologi memiliki
banyak definisi dari beberapa tokoh yang sering dijumpai dalam buku-buku
pengantar sosiologi atau buku pegangan pelajaran sosiologi sekolah menengah.
Pertama, mari membredel kata perkata dari sosiologi. Sosiologi terdiri dari dua kata,
yakni socius dan logos. Socius mempunyai arti masyarakat, sosial, dan logos mempunyai
arti ilmu. Maka, diperolehlah pemaknaan sederhana seperti pada kalimat di awal
paragraf.

1
Definisi bukanlah suatu hal yang pasti dan statis, karena setiap orang dapat
memberikan arti lain dan berbeda pada satu hal yang sama. Sosiologi pun tidak
dapat hanya dimaknai dari satu arah. Bagaimana cara seseorang mendefinisikan
sosiologi, dapat menjelaskan kecenderungannya berada pada paradigma mana ia
saat itu. Sosiologi mempunyai tiga paradigma besar yang paling sering digunakan.
Paradigma ini berasal dari penggolongan yang dilakukan oleh George Ritzer dalam
bukunya Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, meliputi paradigma
fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial.
Paradigma fakta sosial cenderung memandang segala fenomena berasal dari
luar diri individu. Mereka mengutamakan adanya aturan, norma, nilai, dan
menyukai keteraturan. Jika paradigma ini memberi makna pada sosiologi, maka
sosiologi akan menjadi ilmu yang mempelajari pola hubungan dan berbagai
interaksi sosial dalam masyarakat yang melibatkan nilai, norma, dan peraturan
dalam rangka membentuk dan mempertahankan keteraturan sosial (order). Ciri lain
dari paradigma ini adalah penggunaan perspektif teori fungsionalis dan strukturalis.
Paradigma selanjutnya yang dipergunakan adalah paradigma definisi sosial.
Kebalikan dari fakta sosial, paradigma ini mengutamakan analisis fenomena dari
dalam diri individu (subjektif). Pemaknaan, perspektif, dan pendapat seseorang
menjadi sangat penting dalam meneliti sebuah fenomena. Jika memberikan
pengertian atau definisi mengenai sosiologi, kemungkinan besar paradigma ini
memberikan banyak sekali opsi. Alasannya, paradigma ini sangat menghargai
keunikan individu. Namun, jika dirangkum, garis besarnya mengenai sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari nilai, makna, fenomena dan segala interaksi individu
yang berkenaan dengan kehidupan kelompok, komunitas, dan masyarakat luas.
Paradigma ketiga adalah paradigma perilaku sosial. Ciri khas paradigma ini
adalah penggunaan perspektif teori pertukaran sosialnya. Jika paradigma ini
memberikan definisi mengenai sosiologi, kurang lebih adalah mempelajari perilaku
manusia dalam interkasinya dengan manusia lain sebagai mahluk sosial dan sebagai
bagian dari masyarakat. Selain ketiga paradigma ini, terdapat perspektif lain yang
juga sering digunakan seperti kritis, cultural studies dan posmodern. Sekali lagi,

2
definisi mungkin dapat membantu kita mempelajari sesuatu sebagai perkenalan
awal, namun juga dapat menghambat kita memperoleh hakikat dan esensi itu
sendiri karena definisi dapat membatasi (reduksi)perspektif kita.

1.2 Agama
Pembahasan mengenai agama masih menjadi hal yang cukup sensitif,
meskipun kini kesadaran mengenai pentingnya topik ini dibahas di depan umum
dalam berbagai perspektif sudah banyak bermunculan. Pembahasan mengenai arti
agama telah lama menjadi bahan diskusi diantara teolog, antropolog, dan sosiolog.
Namun, tulisan ini tidak berfokus pada hal itu. Pertanyaan „apa itu agama?‟
sebenarnya bisa muncul dalam dua bab dalam sebuah tulisan, yakni di bab pertama
dan di bab terakhir. Membahas definisi agama pada bab pertama dapat menjadi
pengantar untuk memahami bab-bab selanjutnya. Membahas definisi pada bab
pertama juga memberikan petunjuk kepada pembaca bagaimana memahami
kerangka berpikir penulis serta kecenderungan perspektif yang ia gunakan.
Pilihan kedua adalah membahas definisi agama pada bab terakhir sebagai
tahap akhir dalam sebuah tulisan. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat memahami
esensi seluruh bab dan bersama-sama sepakat menarik kesimpulan dengan garis
besar yang sama untuk diletakkan pada bab terakhir. Bryan S. Turner memilih
model ini dalam bukunya yang berjudul Relasi Agama dan Teori Sosial
Kontemporer (2012). Turner menekan dirinya untuk menghindari definisi agama,
karena agama dapat dimaknai berbeda setiap orang dan cenderung bersifat
subjektif. Sebagai gantinya, ia menampilkan sekilas pandangan beberapa tokoh
mengenai agama.
Secara garis besar, terdapat dua macam pendapat mengenai agama, yakni
perspektif reduksionis dan non-reduksionis.Perspektif reduksionis melihat agama
sebagai tindakan irrasional, karena yang dirujuk adalah kriteria logis pemikiran
(Turner, 2012: 470). Namun, kemudian Turner menjelaksan perspektif lain
mengenai agama dengan mengambil pendapat dari Durkheim, yakni tidak ada
agama yang salah, karena agama benar dengan gayanya masing-masing (Turner,
2012: 471). Penjelasan Durkheim lebih bersifat kompromis meskipun ia masih

3
dipengaruhi perspektif yang sama. Kemudian, adakah jawaban lain mengenai
agama? Tentu saja. Beragam perspektif memiliki jawabannya sendiri. Pertanyaan
lain yang selanjutnya muncul adalah, adakah jawaban yang bersifat menyeluruh
untuk menjelaskan persoalan agama? Justru jawaban yang akan muncul untuk
pertanyaan semacam ini lebih mungkin menjadi distortif dan reduktif.
Agama dalam arti sempit dimaknai sebagai segala hal yang berhubungan
dengan keyakinan religius dan bersifat spiritual. Namun, bagaimana dengan yang
dikatakan Voltaire (dalam Ibrahim, 1997): “dalam perkara uang semua orang
mempunyai „agama‟ yang sama.”(?) Apakah Voltaire dalam hal ini juga memaknai
agama sebagai hal yang religius? Apakah agama yang dimaksud juga mempunyai
hubungan dengan spiritualitas? Voltaire membicarakan agama melalui perspektif
cultural studies. Agama dalam konteks ini dimaknai sebagai sebuah sudut pandang
yang mungkin juga aturan main dan keyakinan dalam melihat uang, atau lebih
tepatnya cara manusia „memuja‟nya.Agama lebih dimaknai sebagai sebuah fetis.
Jadi, pertanyaan „apa itu agama?‟ nampaknya tidak dapat digeneralisasi.

1.3 Sosiologi Agama


Setelah membaca dua subab di atas, sudahkah mendapatkan gambaran
mengenai sosiologi agama? Mengapa dua keilmuan ini dapat dipertemukan? Agama
yang ditampilkan sebagai spiritualitas, pemujaan dan aktivitas rohaniah tentu akan
berseberangan dengan sosiologi (terutama aliran positivis) yang mengutamakan
kriteria ilmiah dan empiris dalam menilai suatu fenomena. Lalu, bagaimana
keduanya bertemu? Sebagai keilmuan, selain empiris dan ilmiah sosiologi bersifat
debatable dan dialektik. Sosiologi juga mempunyai paradigma dan perspektif yang
jamak. Jika satu paradigma mempertentangkan sosiologi dengan agama, ada
paradigma lain yang bisa menerimanya.
Perdebatan mengenai apakah kajian terhadap agama dapat diukur dengan
ilmiah terjadi, salah satunya karena agama cenderung “bersifat intelektual dan
emosional serta lebih bersifat individualistik” (James dalam Ghazali, 2011: 3).
Sampai kemudian, agama menjadi bahan penting dalam kajian-kajian keilmuan
seperti teologi, antropologi, dan sosiologi. Kajian agama dalam teologi tentu

4
menjadi hal yang amat wajar karena kajian pokoknya adalah agama. Antropologi
sebagai ilmu yang mempelajari tentang „artefak‟ kebudayaan juga tentu tidak akan
melewatkan agama sebagai bagian dari peradaban manusia dan tujuh unsur
kebudayaan. Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, tentu
akan terlibat dengan agama karena seperti kata Durkheim,“sumber agama adalah
masyarakat itu sendiri” (Raho, 2007).
Agama juga menjadi penting dalam keilmuan sosiologi. Bahkan terdapat satu
konsentrasi khusus, yakni sosiologi agama. Namun sebelum itu, sebagai sesama
ilmu yang berhubungan erat dengan masyarakat, perlu sedikit diketahui mengenai
perbedaan antara antropologi agama dan sosiologi agama. Perbedaan utamanya
ialah wilayah kajian. Antropologi agama memiliki wilayah kajian agama (sebagai
bagian dari kebudayaan) dan manusia. Sedangkan, sosiologi agama lebih kepada
wilayah agama (sebagai bagian dari realitas sosial yang berhubungan dengan
masyarakat) termasuk seperangkat nilai dan norma yang ada di dalamnya.
Sosiologi agama muncul sebagai bagian dari sosiologi yang membahas
tentang agama. Agama dalam paradigma fakta sosial diletakkan dalam struktur
sebagai bagian dari norma dalam masyarakat, yakni norma agama. Meskipun
paradigma ini cenderung menolak bahwa agama yang epifenomena disandingkan
dengan sosiologi yang empiris, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka
mengakui agama menjadi bagian dari realitas sosial. Alasan paradigma ini cenderung
menolak bahwa agama itu empiris, karena agama bersifat emosional dan berasal
dari suatu hal yang tidak konkret. Paradigma ini kemudian menemukan bagian dari
agama yang berkaitan dengan masyarakat, yakni „penerapan konkret nilai-nilai‟ dari
Tuhan(Ghazali, 2011). Para antropolog menyebutnya kepercayaan.
Penganut definisi sosial lebih serius dalam menanggapi setiap pemaknaan
individu terhadap agama. Paradigma ini terdiri dari beberapa perspektif utama,
diantaranya adalah fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan rasionalitas. Makna
agama yang berbeda oleh setiap orang mencermikan bagaimana ia menerima nilai
agama dalam kelompoknya. Fenomena ini dapat dikaji dengan fenomenologi.
Agama yang sarat akan simbol-simbol menjadi objek kajian menarik oleh perspektif

5
interaksionisme simbolik. Ritzer juga membuktikan bahwa rasionalitas dapat
digunakan untuk menganalisis agama dalam fenomena McDonaldisasi.
Sosiologi menempatkan agama sebagai salah satu bagian dari fenomena sosial
yang hadir dalam masyarakat. Entah itu di luar individu, sebagai bagian dari
struktur, atau dari dalam individu itu sendiri. Tokoh paradigma kritis, Karl Marx
memandang agama sebagai candu dan melemahkan. Paradigma kritis terutama
teori-teori gender, kadang pesimis jika nilai-nilai dalam ajaran agama dapat
membantu keadilan dan kesetaraan gender. Foucault pun menilai bahwa agama
hanya menjadi salah satu pengekang kebebasan tubuh seorang individu. Sedangkan,
nihilis seperti Nietzsche berpendapat bahwa „Tuhan telah mati‟. Namun, secara
positif Weber menemukan adanya spirit yang sama antara etos kerja dan ajaran
Protestan dalam karyanya yang terkenal “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.”

1.4 Objek Kajian Sosiologi Agama


Objek kajian dalam sosiologi agama ada dua, yakni objek material dan objek
formal. Objek material meliputi manusia sebagai mahluk sosial bagian dari
masyarakat dan agama sebagai salah satu unsur penting dalam membentuk realitas
sosial. Sedangkan, objek formalnya berisi epistemologi sosiologi agama itu sendiri.
Objek formal dalam sosiologi agama ditentukan dari paradigma yang digunakan.
Sebenarnya, paragraf-paragraf pada subab sebelumnya telah membahas mengenai
objek formal ini secara sekilas.
Objek formal berhubungan erat dengan pendekatan yang digunakan dalam
menelaah sebuah fenomena. Cara pandang sebuah pendekatan bisa berbeda dengan
pendekatan yang lain. Terutama jika pendekatan tersebut di bawah naungan
paradigma yang berbeda. Paradigma fakta sosial memiliki pendekatan fungsional-
struktural. Paradigma definisi sosial memiliki pendekatan fenomenologi,
interaksionisme simbolik, dan pemikiran Weber. Paradigma perilaku sosial memiliki
pendekatan pertukaran sosial. Pendekatan-pendekatan lain seperti dari penganut
materialis dan nihilis juga mempunyai perspektif yang berbeda.
Penganut pendekatan struktural-fungsional percaya bahwa setiap bagian dari
masyarakat memiliki fungsi, termasuk kemiskinan, peperangan, atau kematian

6
(Raho, 2007: 49). Sistem dalam masyarakat memiliki norma-norma yang membuat
masyarakat selalu berada dalam keteraturan. Diantaranya adalah norma agama
sebagai kontrol sosial. Contoh sumbangan pemikiran dari tokoh yang menganut
pendekatan ini untuk menganalisis sosiologi agama adalah Durkheim dengan
konsep sekularnya „profan dan sakral‟.
Pendekatan fenomenologi dan interaksionisme simbolik akan berfokus pada
pemaknaan individu. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan interpretatif.
Artinya, individu dalam sebuah kelompok dapat berbeda dalam mengintrepetasi
suatu hal dengan individu dalam kelompok lain karena perbedaan nilai. Pendekatan
ini memandang objek kajian utama sosiologi adalah kesadaran subjektif individu
sebagai aktor dalam memandang sebuah realitas sosial (Raho, 2007). Satu pemikiran
yang terkenal muncul di bawah paradigma yang sama dari kedua pendekatan di atas,
yakni sebuah analisis Weber mengenai agama Protestan dan semangat kapitalisme.
Pendekatan yang digunakan oleh Weber lebih berfokus pada tindakan sosial sebagai
objek kajiannya.
Pendekatan selanjutnya adalah pertukaran sosial. Objek kajian utama
pendekatan ini adalah tingkah laku manusia yang didasari pertimbangan untung dan
rugi (Raho, 2007: 171). Bryan Turner menganalisis adanya fenomena-fenomena
pertukaran sosial dalam karya Weber, The Protestant Ethics and the Spirit of
Capitalism.Pertukaran-pertukaran yang dimaksud dalam hal ini berhubungan dengan
kebiasaan para penganut agama untuk memberikan persembahan –kalau bukan
„sesajen‟, berupa pengorbanan (altruistis)– demi menuju „surga‟.
Seorang materialis terkenal, Karl Marx memandang agama sebagai „candu
sosial‟. Marx dengan yakin berpendapat bahwa agama merupakan sebuah
penghambat menuju jalan revolusi. Nilai-nilai yang terdapat dalam agama
cenderung mencegah manusia untuk melakukan perubahan yang fundamental.
Kapitalis memanfaatkan agama untuk menundukkan para buruh dan melingkupinya
dengan kesadaran palsu. Kesadaran palsu ini sengaja dilanggengkan agar para buruh
tidak sadar jika mereka ditindas oleh sistem yang kapitalistik. Lebih lanjut,
pendekatan-pendekatan dalam sosiologi agama akan dibahas dalam bab 4.

7
1.5 Urgensi Mempelajari Sosiologi Agama
Agama memberikan pengajaran mengenai nilai-nilai baik dan buruk, salah
dan benar, hitam dan putih yang tersurat jelas dalam aturan-aturannya. Sebagaimana
sifat norma, agama juga mempunyai sifat hukum yang mengikat dan sanksi yang
tegas. Bahkan dalam masa sebelum abad pencerahan, hukum-hukum di negara
barat tidak lain adalah hasil perumusan dari gereja. Sedangkan, sosiologi tidak
pernah memberikan justifikasi mengenai yang benar dan yang salah. Sosiologi
mempelajari kausalitas, pola, interaksi, kronologi, sampai bagaimana dampak
sebuah fenomena sebagai jalinan yang komprehensif.
Tidak semua yang kita alami dalam hidup dapat dibedakan dalam dikotomi
hitam dan putih atau salah dan benar. Kadang ada yang samar dan perlu negosiasi
dan kompromi. Perbedaan nilai antar agama atau antar aliran dalam agama dapat
menjadi faktor yang menggoyangkan konsensus jika tidak disikapi secara bijaksana.
Di sinilah perlunya kita mempelajari sosiologi agama. Sosiologi agama membantu
kita menelaah suatu fenomena keagamaan sebagai bagian dari realitas sosial dengan
lebih interpretatif. Jika kita terbiasa dengan cara pandang klasik yang hanya
menggunakan sudut pandang satu agama, sosiologi menawarkan cara lain agar kita
memahami cara pandang agama lain dengan nilainya yang berbeda.
Cita-cita semua agama pada dasarnya satu, yakni kebahagiaan dalam situasi
dan damai. Wujud cita-cita ini kadang disimbolkan dengan sebuah tempat seperti
„surga‟ dan „nirwana‟. Lalu, mengapa terjadi konflik hingga peperangan yang
dikarenakan agama? Sosiologi agama akan mengatakan karena adanya nilai yang
berbeda atau bahkan timpang. Bahkan, mungkin nilai-nilai dalam agama itu sendiri
yang kemudian ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Pelanggengan stratifikasi
sosial tertutup, penundukan, pembodohan, semuanya pernah dilakukan atas nama
agama. Kontestasi politik juga telah lama menggunakan metode pendekatan agama
untuk memperoleh dukungan. Maka, tidak salah jika Marx melalui kritiknya
mengatakan bahwa „agama adalah candu‟; menghilangkan kesadaran.
Cara manusia memahami makna agama berperan besar pada cara ia
menempatkan diri dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultur dengan

8
beragam agama. Setiap agama (atau mungkin penganut) tentu akan berlomba
mengklaim bahwa ajarannyalah yang paling benar. Hal ini berkenaan dengan
kekuatan legitimasinya dalam sebuah tatanan masyarakat. Kekuatan iniah yang
nantinya sering dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Bahkan manuver
politik bekerja untuk mendapat dukungan dengan memanipulasi skenario
„mempertahankan tempat ibadah‟ oleh politikus Ariel Sharon (Kimball, 2003: 204).
Ajaran agama yang menuntun umatnya menuju kebahagiaan gagal dan justru
digunakan untuk membuat orang lain menderita adalah menjadi paradoks atau
mungkin ironi yang harus diakui. Charles Kimball mencontohkannya melalui
kebijakan agama yang diskriminatif, terutama terhadap perempuan. Kepentingan
melindungi status quo pada akhirnya mengorbankan ajaran mulia „mencintai
tetanggamu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri‟. Pembodohan yang
dilakukan dengan membatasi akses perempuan dan kalangan tertentu untuk
memperoleh pendidikan, menjadi sebuah bentuk „permusuhan‟ terhadap
perempuan.
Kimball memberikan contoh realitas sosial dalam kasus-kasus pembunuhan
(atau diantaranya menyebabkan kematian) terhadap perempuan atas nama
kehormatan perempuan. Melindungi kehormatan perempuan, dalam ajaran Islam
merupakan suatu kewajiban. Perempuan diletakkan dalam posisi yang tinggi dengan
memberikan simbol surga berada di telapak kaki seorang ibu. Lalu anehnya, demi
melindungi kehormatan perempuan dan keluarganya, 15 orang gadis harus rela mati
dalam peristiwa kebakaran di hadapan pemadam kebakaran dan perempuan-
perempuan belia dihukum mati oleh keluarga tanpa melalui proses hukum yang
adil. Kadang-kadang alasan melindungi perempuan dan keluarganya menjadi benar-
benar absurd (Kimball, 2003: 216-219).
Ketika terdapat tindakan-tindakan melanggar kemanusiaan dan berpotensi
merusak perdamaian dengan menggunakan alasan agama, apakah agama itu yang
kita persalahkan? Seperti kata Durkheim, „tidak ada agama yang salah‟. Definisi-
definisi parsial dan teksual, juga terbatasnya perspektif kita tentang agama dapat
mengaburkan makna yang hadir dalam kehidupan kita. Lalu, siapa yang salah? Atau

9
apa? Berbagai perspektif dan pendekatan sosiologi agama mempunyai jawabannya
masing-masing.

1.6 Soal-Soal Latihan


1. Apa yang saudara ketahui tentang sosiologi agama?
2. Apa saja yang menjadi obyek sosiologi agama?
3. Bagaimana urgensi mempelajari sosiologi agama bagi mahasiswa sosiologi?

10
BAB 2
SEJARAH SOSIOLOGI AGAMA

Sosiologi agama telah hadir sejak ilmu sosiologi mulai diterapkan. Dalam
sosiologi sendiri terdapat pembabakan yang meskipun tidak dipisahkan secara rigid,
pembabakan itu antara lain era klasik, era modern, era kontemporer, dan
posmodern. Pembagian era ini dipengaruhi oleh karya Bryan Turner yang berjudul
Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer. Ia mengkritik bahwa sosiologi agama
memiliki kelemahan. Kelemahan ini dibaginya menjadi tiga, yakni kelemahan
sosiologi agama klasik, sosiologi agama modern, dan sosiologi agama kontemporer.
Meskipun bab ini terdapat pembabakan yang mirip dengan sosiologi,
penjelasan pemikiran agama oleh tokoh individual (sosiologi klasik) maupun aliran
(sosiologi modern) akan dijelaskan secara detail pada bab-bab selanjutnya.
Pembahasan kali ini lebih ditekankan kepada periode waktu dan tema-tema kajian
yang berkembang saat itu. Pemikiran Comte mengenai tiga tahap manusia juga
sedikit mempengaruhi pembabakan ini. Era klasik terinspirasi dari masa-masa tahap
metafisis (sekitar tahun 1800-an) dan era modern terinspirasi dari tahap positivis.

2.1 Sosiologi Agama di Era Klasik


Era klasik yang dimaksud adalah masa-masa awal kebangkitan sosiologi atau
masa-masa awal abad pencerahan. Kita tidak boleh melupakan bagaimana sejarah
perkembangan sosiologi itu sendiri. Sosiologi dilahirkan dari berbagai fenomena
sosial yang besar dan kekuatan intelektual saat itu. Dalam sejarah sosiologi,
peristiwa besar yang menjadi perhatian di awal perkembangannya ialah revolusi
politik (diawali Revolusi Perancis), revolusi industri, bangkitnya kapitalisme, serta
berbagai dampaknya. Selain itu, kekuatan intelektual turut berperan memunculkan
sosiologi dari berbagai negara.
Revolusi Perancis (1789) merupakan revolusi yang menjadi perhatian dunia
karena efek yang ditimbulkan begitu besar. Walau begitu, itu bukanlah satu-satunya

11
revolusi yang menjadi perhatian para intelektual saat itu. Ada juga satu revolusi yang
akan menjadi cikal bakal „keseruan‟ diskursus dalam sosiologi, yakni revolusi
industri. Sebenarnya, masalah-masalah sosial dalam masyarakat sudah menjadi
perhatian para intelek sejak lama. Masalah-masalah yang menumpuk itu yang
akhirnya menjadi salah satu alasan adanya revolusi. Tentu saja, Marx dan tokoh-
tokoh sosialis lainnya juga berperan banyak dalam hal ini.
MengenangRevolusi Perancis, revolusi yang mempengaruhi timbulnya banyak
revolusi lain di dunia, khususnya Eropa dan negara-negara Barat. Berkat revolusi
ini, kerajaan dengan pemerintahan monarki absolut dan sistem kediktatoran mulai
dijatuhkan. Deklarasi HAM pun dikumadangkan. Namun, tentu ada harga yang
dibayar untuk mendapatkannya. Pasca revolusi, perombakan besar-besaran yang
terjadi menyebabkan keadaan tegang dan tidak tertatur seperti sebelumnya. Dua
sosiolog tertarik untuk menemukan dasar-dasar baru yang menciptakan integrasi
dan ketertiban sosial (Raho, 2007: 22). Mereka adalah Auguste Comte dan Emile
Durkheim.
Revolusi besar lain yang juga memiliki sumbangsih besar dalam sejarah
perkembangan sosiologi adalah revolusi industri. Revolusi ini ditandai dengan
ditemukannya mesin uap. Temuan ini kemudian menjadi awal beralihnya
matapencaharian masyarakat, dari yang mulanya bertani menjadi industri. Karena
yang menjadi perhatian sosiolog cenderung sisi negatif daripada positifnya, maka
yang menjadi sorotan adalah tumbuhnya sistem kapitalisme sebagai ganti
feodalisme. Stratifikasi dalam masyarakat feodal yang mengutamakan kepemilikan
tanah berganti menjadi stratifikasi dengan dasar kepemilikan modal. Kebangkitan
kapitalisme ini membawa masalah-masalah baru.
Tokoh klasik yang tertarik untuk mencari jalan keluar atas permasalahan
masyarakat industri adalah Karl Marx. Jika diurutkan secara kronologis, pemikiran
Marx mengenai sosiologi agama terletak di bagian awal. Karya-karyanya telah terbit
sebelum Durkheim dan Weber. Marx adalah seorang yang intelek yang terkenal
kontroversial. Ia dengan lantang mengemukakan idenya mengenai revolusi dengan
prinsip sosialisme. Marx yakin bahwa kapitalisme hanya dapat hancur dengan jalan

12
revolusi sosial. Baru kemudian dapat dibentuk sebuah negara komunis yang
mengutamakan “sama rasa, sama rata”. Namun, idenya ini mendapat banyak kritik
dari sosiolog lain. Sebut saja Durkheim dan Weber. Sejak awal mereka menyukai
keteraturan. Mereka lebih suka memperbaiki sistem kapitalis itu daripada
mengadopsi revolusi sosial Marx (Raho, 2007:23). Perbedaan ini yang juga
kemudian membedakan mereka menjadi tokoh kanan dan kiri.
Revolusi-revolusi yang terjadi juga menimbulkan satu efek penting, yakni
runtuhnya kekuasaan absolut gereja ortodoks. Hal ini yang menjadi kajian awal
sosiologi agama. Sosiologi agama mulai lahir meskipun ketika itu tidak ada
kesepakatan mengenai adanya percabangan ini.Runtuhnya kekuasaan gereja
berdampak pada perubahan struktur dalam masyarakat. Oleh sebab itu, perubahan
kehidupan agama bukan hal yang sepele. Otoritas agama yang sebelumnya bersatu
dan menjelma sebagai hukum negara telah ditumbangkan.Agama kehilangan
kekuatannya sebagai satu-satunya otoritas dalam bidang moral (Raho, 2007).
Mengenai bagaimana agama bisa memiliki otoritas dan menjelma menjadi
hukum negara, dijelaskan Saidi dalam bukunya “Menekuk Agama, Membangun
Tahta” (2004). Saidi mengatakan bahwa hubungan antara negara dan agama
dipengaruhi dua dimensi, internal dan eksternal agama itu sendiri. Melalui dua
dimensi ini dapat dilihat sejauh mana peran agama dalam menentukan kebijakan
dalam suatu negara. Selain itu, dapat dilihat pula perkiraan pola hubungan antara
negara dan agama dalam negara tersebut.
Dimensi pertama adalah dimensi yang berkaitan dengan internal sebuah
agama. Dimensi internal ini melihat apa yang disediakan agama untuk negara.
Agama memiliki nilai-nilai dan norma yang mengatur kehidupan umat atau
penganutnya. Begitu juga negara, memiliki hukum dan politik yang berwujud aturan
dan kebijakan untuk rakyatnya. Penghubung diantara keduanya ialah “seberapa jauh
sebuah agama dianggap menyediakan cetak biru (blueprint) yang mengatur seluruh
kehidupan tata negara, termasuk relasi agama dan politik; ataukah sebaliknya, agama
dianggap wilayah private, yang tidak ada sangkut pautnya dengan penyelenggaraan
agama (Saidi, 2004: 3)”.

13
Dimensi kedua adalah dimensi eksternal agama. Dimensi ini berkaitan dengan
posisi agama dalam sebuah negara. Tentu saja hal ini merupakan kelanjutan dari
dimensi yang pertama. Ketika agama dianggap menyediakan cetak biru kehidupan,
termasuk kehidupan bernegara, maka bukan mustahil terbentuk negara khilafah
Islam atau kekuasaan Gereja ortodoks. Sebaliknya, ketika negara menganut
sekularisme, agama akan dipandang sebagai wilayah yang terpisah dari negara atau
bahkan keduanya harus dijauhkan. Namun, hal ini tidak selalu bersifat dikotomis.
Agama kadang hadir dalam pembuatan kebijakan (atau juga partai politik) dalam
sebuah negara dengan porsi tertentu sebagai wujud aktualisasi ideologi keagamaan.
Kajian-kajian agama yang banyak berkembang saat itu berputar di sekitar
pencarian esensi agama. Gagasan-gagasan mengenai definisi agama banyak
dijabarkan dalam bidang teologi dan filsafat. Sayangnya, yang muncul hanyalah
definisi yang mungkin dikatakan Comte bersifat “metafisis” atau bahkan “teologis”.
Ceramah-ceramah dan kuliah teologi sebagian besar dilakukan dengan metode
perbandingan agama dengan maksud menguatkan argumen bahwa agamanyalah
yang paling benar. „Kepatuhan buta‟ yang tidak didasarkan pada pemikiran logis
mendorong kritik dari para kaum intelek era modern.

2.2 Sosiologi Agama di Era Modern


Penjelasan Saidi tentang relasi agama dan negara mengingatkan kita mengenai
pemikiran Durkheim, sakral dan profan. Gagasan ini turut menyumbang konsep
sekularisasi meskipun tidak secara langsung. Durkheim meneliti mengenai asal-usul
agama dalam karyanya The Elementary Forms of Religious Life. Salah satu hasil yang
dijabarkan adalah bahwa pada masyarakat primitif yang menjadi subjek kajiannya
saat itu, “mendefinisikan hal-hal tertentu sebagai sakral dan hal-hal lainnya sebagai
profan” (Raho, 2007: 28). Sakral, jika boleh dimaknai secara sederhana, merupakan
hal-hal yang berkenaan dengan spiritual dan religius. Sedangkan profan sebaliknya,
lebih berkenaan dengan hal-hal yang tidak melibatkan agama.
Sekularisasi, sekularisme dan perihal sekuler lainnya tidak dibahas secara
khusus di sini. Namun, ia menjadi salah satu hal yang penting dalam kajian sosiologi
agama di era modern. Jika pada era klasik kehidupan agama sangat dipengaruhi

14
teologi dan filsafat, pada era modern tidak. Masa ini berada pada tahap positivistik
Comte. Tahap dimana manusia menyadari gejala alam terjadi karena adanya hukum-
hukum alam, bukan karena dewa-dewa atau Tuhan. Pemikiran manusia semakin
rasional dan cenderung memisahkan kehidupan agama dan kehidupan sehari-hari,
karena “hasrat untuk bahagia di dunia lebih tinggi daripada keinginan masuk surga”
(Pals, 2011: 135).
Adanya pemisahan ini juga sebagai bentuk kekecewaan atas kungkungan
agama yang menjelma menjadi kebijakan-kebijakan negara yang sifatnya otoriter di
masa lalu. Atau mungkin juga euforia memasuki era positivistik yang penuh
keilmiahan pasca runtuhnya otortitas agama. Hukum-hukum agama dirasa tidak
selalu cocok dikombinasikan dengan hukum negara, terutama jika hanya dipahami
sebatas tekstual. Akibatnya, agama cenderung dijauhkan dari ranah publik.
Meskipunkemudian,masyarakat di era modern mulai berdamai dengan hal ini
dengan menciptakan penyesuaian-penyesuaian. Baik dengan cara sekularisasi atau
dengan pembatasan porsi.
Agama di era modern abad 20dipahami sebagai suatu hal dari kehidupan yang
bersifat sebagai pelengkap, bukan lagi yang utama. Hal ini dikarenakan salah satunya
adalah paham sekuler itu sendiri.Agama dipandang „kurang ilmiah‟ dan tidak revelan
lagi jika masih diadopsi dalam kehidupan bermasyarakat. Kajian mengenai agama
pun mengalami pergeseran cara pandang. Para intelek yang menaruh perhatian pada
persoalan agama, cenderung berlomba untuk menelaah kehidupan masyarakat yang
masih percaya bahwa agama masih relevan dengan kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat religius dipandang „unik‟ dan mungkin „eksotis‟; dan
“penjelasan-penjelasan realitas yang berbau keyakinan serta merta dinyatakan salah”
(Turner, 2012: 90).
Kajian sosiologi agama di era modern ditandai dengan munculnya kajian-
kajian agama oleh tokoh-tokoh seperti Durkheim, Weber, dan Marx (lebih detail
baca bab selajutnya). Nama-nama ini mungkin muncul dalam teori-teori klasik
dalam sosiologi. Namun, di sini mereka berperan dalam kajian sosiologi agama di
era yang modern karena karya-karya mereka yang muncul pada sekitar tahun 1900-

15
an. Sebut saja The Elementary Forms of Religious Life (1912/1965) karya Durkheim, The
Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1930) karya Weber, dan Critique of Hegel’s
Philisophy of Right: Introduction (1970) karya Marx.
Sosiologi agama di era modern lebih menekankan pada kondisi setelah Eropa
memasuki abad pencerahan. Kondisi sosial, politik, ekonomi, termasuk agama
mengalami perubahan besar-besaran dan beberapa mengalami kekacauan. Beberapa
sosiolog yang berasal dari keluarga yang religius memiliki semacam keinginan untuk
kembali kepada tatanan lama dengan menguraikan hubungan antara agama dan
masyarakat (Raho, 2007: 24).Mereka berusaha mendefiniskan ulang perihal agama
dengan menemukan makna-makna dan fakta-fakta yang belum banyak diketahui
tentang agama. Beberapa kesimpulan yang didapat “dimaksudkan untuk
membantah definisi-definisi tentang agama yang telah ada sebelumnya” (Turner,
2012: 33). Harapannya, wajah agama yang „rusak‟ selama memasuki abad
pencerahan, bisa direkonstruksi dengan perspektif yang baru.
Seperti disinggung dalam era klasik, Durkheim memilih mencari makna
agama dengan mencari asal-usul agama dari masyarakat primitif. Ia mencari
hubungan antara agama dengan integrasi sosial dalam masyarakat. Hasilnya,
Durkheim menyimpulkan bahwa asal-usul agama berasal dari masyarakat itu sendiri.
Hal lain yang ditemukan dalam penelitiannya adalah fungsi agama dalam
masyarakat. Tentu saja ini dipengaruhi perspektifnya sebagai seorang fungsionalis-
strukturalis. Menurutnya, agama membagi dunia menjadi dua sisi, yakni sakral dan
profan. Agama yang memiliki sisi sakral, dapat merekatkan integrasi sosial dalam
masyarakat dengan menumbuhkan kesadaran kolektif. Kesadaran ini yang
kemudian “mengikat anggotanya ke dalam unit-unit yang homogen” (Turner, 2012:
34).
Berbeda dengan Durkheim, Weber coba menjelaskan agama dan kaitannya
dengan perkembangan ekonomi. Weber tidak bermaksud mencari esensi agama
menggunakan definisi yang implisit. Ia memilih pendekatan yang“benar-benar
bersifat historis, kaya dengan detail-detail empiris dan sangat peka terhadap
kompleksitas signifikansi “agama” dalam perbedaan kategori bangsa dan kelas

16
(Turner, 2012: 35).” Melalui The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Weber
menjelaskan bahwa terdapat persamaan prinsip antara etika agama yang dianut oleh
penganut Kristen Protestan dengan prinsip kapitalisme.
Agama Protestan seperti agama-agama pada umumnya, mengajarkan jalan
menuju keselamatan. Namun, satu hal menarik yang ditemukan Weber adalah ajaran
dalam Protestan memiliki sifat rasional pada hal tertentu.Untuk meraih keselamatan
di akhirat, penganutnya harus terlebih dahulu selamat di dunia. Karena tidak ada
jalan yang pasti untuk bisa selamat di akhirat, maka sebisa mungkin manusia harus
berusaha sedekat mungkin dengan keselamatan itu dengan melakukan hal-hal yang
menguntungkan di dunia nyata. Weber tidak menghubungkan langsung antara
rasionalitas ini dengan semangat kapitalisme. Namun ia menganalisis menggunakan
banyak unsur yang kompleks yang mempertemukan keduanya.
Durkheim dan Weber mendapat kritikan atas definisinya terhadap agama
yang dianggap reduksionis. Definisi yang mereka lakukan dinilai melupakan esensi
agama yang datang dari realitas subjektif individu atas agama dan sisi spiritual
agama. Ini merupakan konsekuensi atas konsistensi mereka dalam menjelaskan
agama sebagai bagian dari struktur yang mempengaruhi integrasi sosial, ekonomi
dan politik. Meskipun Weber merupakan tokoh yang membela otonomi individu, ia
tidak mengutamakan esensi agama itu selain direduksi dengan bidang lainnya.
Marx pun demikian. Ia tidak banyak menyinggung tentang agama secara
khusus. Namun, agama menjadi satu hal yang ia kritisi secara kasar terkait perannya
dalam mengalienasi manusia. Marx termasuk salah satu filsuf materialis historis yang
turut mereduksi esensi agama. Sasaran utama kritik Marx terhadap agama adalah
Kristianitas dan doktrin gereja yang sangat kental terasa sebelum dan mendekati
abad pencerahan. Baginya, agama sama-sama membuat candu baik bagi masyarakat
feudal maupun masyarakat industri. Meskipun sama-sama reduksionis (dengan
Durkheim dan Weber), Marx melihat agama dari sisi yang cenderung negatif.

2.3 Sosiologi Agama di Era Kontemporer


Durkheim mewarnai perkembangan awal pemikiran agama di era modern
dengan karyanya The Elementary Forms of Religious Life, yang membagi dunia dalam

17
sakral dan profan. Dengan konsistensinya yang memandang fenomena secara luas
sebagai akibat dari fakta sosial, ia dijuluki sebagai bapak sosiologi. Sekadar
mengingat, Durkheim menjelaskan kesakralan sebagai suatu hal yang mempu
mengikat individu-individu dalam masyarakat (terutama masyarakat primitif), untuk
patuh dalam satu nilai yang diyakini bersama. Nilai tersebut adalah kesakralan itu
sendiri. Namun, bagaimana jika kesakralan itu justru menjadi bencana?
Charles Kimball menguraikan hal ini meskipun tidak secara langsung
menunjuk Durkheim. Kimball, dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana (2003),
berargumen bahwa ada hubungan antara agama, mentalitas massa, dan kejahatan
terorganisasi. Ketiga variabel tersebut, dijembatani oleh satu hal penting yang
menjadi perspektif analisisnya, yakni psikologi perilaku kelompok. Dengan ciri
khasnya yang memberi contoh kasus dalam setiap argumennya, Kimball ternyata
tidak melupakan begitu saja sisi sosiologisnya. Ia juga mengaku bahwa studi yang ia
lakukan dalam buku itu bersifat pragmatis.
Kesakralan, membentuk sebuah kontrak sosial dalam bentuk ikatan antar
anggota kelompoknya. Ikatan ini sendiri yang kemudian menjadi alasan mengapa
kesakralan menjadi salah satu faktor penting pembentuk integrasi sosial. Lahirnya
pengakuan sebagai „sesama‟ anggota yang memperkuat ikatan tersebut merupakan
akibat dari penguatan identitas kelompok. Konsekuensinya, sebagai bentuk
solidaritas terhadap kelompok, akan memunculkan mentalitas massa. Mentalitas
massa dapat memaksa anggota-anggotanya melakukan tindakan didasarkan pada
keputusan kelompok; yang dalam kasus ini bersifat destruktif.
Kimball menggambarkan ini dengan mencontohkan pada dua macam kasus,
yakni dalam kitab Injil dan kejahatan dalam perang negara di era modern. Hal ini
dapat dilihat dalam argumennya:

“Meskipun Pontius Pilate tidak menemukan sesuatu yang salah pada diri
Yesus, menurut Injil Lukas, ketika massa berteriak “saliblah ia”, Pilate pun
menyetujui. Contoh-contoh kejahatan massal yang terkenal, seperti
pembunuhan massal My Lai selama Perang Vietnam dan massa yang brutal di

18
Amerika Serikat, mengingatkan kita akan konsekuensi kejahatan terorganisasi
yang mengerikan.” (Kimball, 2003: 80).

Kimball memandang agama berperan besar dalam peristiwa-peristiwa besar


yang terjadi di dunia. Biasanya, hal ini diawali dengan kitab suci yang mereka anut.
Kita tidak bisa menilai atau bahkan menghakimi ajaran suatu agama sebagai salah
atau benar secara tegas, sebab yang menjadikan ajaran itu baik atau buruk adalah
penafsiran dan pengamalan oleh penganutnya. Kadang, ajaran agama (terutama
agama-agama Ibrahim) mengakui bahwa manusia memiliki „keterbatasan rasio‟.
Bagaimana bentuk agama yang muncul kemudian, tergantung dari cara manusia
mengejawantahkannya.
Keterbatasan rasio manusia dalam menafsirkan menjadi latar belakang
munculnya aliran-aliran dalam agama. Perbedaan-perbedaan yang timbul atas
perbedaan ini, baik dalam agama yang sama maupun antar agama, sewaktu-waktu
dapat memicu adanya konflik ketika tidak disikapi dengan bijaksana. Bahkan hal ini
menjadi suatu ancaman nyata jika aliran ekstrim radikal enggan berkompromi. Para
penganut Islam tentu akan membela agamanya sebagai agama yang benar. Islam
mengaku sebagai agamarahmatan lil alamin yang artinya berkah bagi alam semesta
dengan mengutamakan perdamaian. Namun, citra ini runtuh ketika terjadi peristiwa
pengeboman menara WTC oleh organisasi Al-Qaeda.
Anggota-anggota organisasi yang dipimpin Osama bin Laden ini mengaku
bahwa tindakan-tindakan mereka merupakan bagian dari ajaran Islam. Para tokoh
besar Islam pun tidak bersedia disangkutpautkan dengan kejadian tragis pada 11
September 2011 itu. Bagi mereka, tafsir yang dianut oleh Al-Qaeda menyalahi
hakikat Islam sebagai agama perdamaian. Meskipun Presiden Brush juga berulang
kali berpesan dalam pidato-pidatonya bahwa Islam adalah agama yang baik dan
tidak perlu dimusuhi, namun hal itu rasanya tidak berdampak besar. Islamophobia
berkembang pesat di Amerika Serikat.
Selain Islam, Kristen juga memiliki sejarah aliran sejenis Al-Qaeda, namanya
Army of God. Organisasi ini memiliki nilai utama, yakni menolak aborsi. Mereka
memandang tindakan aborsi adalah sebuah pembantaian yang dilegitimasi oleh

19
pemerintah. Tindakan-tindakan penolakan mereka menjadi masalah ketika mereka
mulai menyerang sampai membunuh. Sasaran utama mereka adalah para dokter
yang melakukan praktek aborsi. Mereka merangkai empat ayat dalam injil sebagai
panduan utama. Namun, ternyata peristiwa semacam ini justru tidak diakui oleh
tokoh-tokoh besar agama mereka, karena Perintah Tuhan yang keenam justru berisi
larangan membunuh.
Kedua contoh di atas merupakan konflik yang terjadi karena perbedaan
penafsiran hasil interpretasi kaum ekstrimis. Mereka mempunyai dasar pembenaran
berupa ayat-ayat kitab suci dan ajaran yang dianut, yang tentu dengan penafsiran a la
(pemimpin) aliran mereka. Klaim-klaim kebenaran yang berserak dan
terimplementasi dalam aliran-aliran merupakan salah satu bukti wujud dari
keanekaragaman interpretasi manusia. Sebagaimana yang diistilahkan Weber dengan
verstehen. Mereka mulai menjadi jahat “ketika para pengikut yang taat dan
bersemangat mengangkat ajaran dan kepercayaan agama mereka hingga ke tingkat
klaim kebenaran mutlak” (Kimball, 2003: 88).
Tentu saja akan ada pendapat yang mengkritik bahwa konflik-konflik
keagamaan yang terjadi di dunia ini bukan murni hanya persoalan perbedaan aliran.
Juga bukan hanya persoalan agama. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, peristiwa konflik
dengan judul agama seperti Perang Salib, pengeboman menara WTCdan serangan-
serangan yang dilancarkan Israel, tidak sesederhana sebatas konflik agama. Namun,
mengapa kemudian yang manjadi judul utama atas peristiwa-peristiwa itu adalah
konflik agama? Dari sini kita tahu, bahwa meskipun semua agama mengajarkan
kebaikan dan perdamaian, agama juga bisa berubah menjadi jahat dengan sebab-
sebab tertentu.
Shindunata menulis pengantar untuk buku Kimball, bahwa terdapat
setidaknya lima hal yang menjadi tanda bahwa agama telah rusak. Pertama, ketika
sebuah agama mengajukan klaim kebenaran mutlak. Kedua, ketika penganut
memiliki ketaatan buta terhadap pemimpin agama mereka. Ketiga, ketika agama
mulai merindukan masa kejayaannya sebagai zaman ideal dan dimanifestasikan
dalam pembentukan negara-agama. Keempat, ketika agama membenarkan berbagai

20
cara, asalkan tujuan akhirnya adalah demi kepentingan agama. Kelima, ketika agama
sudah pada tahap melancarkan perang suci dalam rangka membela agamanya.
Sosiologi agama kontemporer, lebih berfokus pada agama sebagai salah satu
unsur pembeda dalam masyarakat multikultur. Kajian ini memang bukan sesuatu
yang baru. Namun, setelah memasuki abad pencerahan, juga masa-masa yang jauh
setelah itu (termasuk saat ini), persoalan agama dalam sosiologi agama mengalami
pergeseran (dari era modern). Tentu saja akar pemikiran yang digunakan sebagai
pisau analisis dipengaruhi oleh sosiologi agama era modern. Namun, yang lebih
mendominasi adalah pemikiran-pemikiran dari Teori Kritis dan posmodern.
Tradisi kajian agama era klasik dan modern sering menggunakan metode
perbandingan agama, baik itu teologi maupun antropologi. Mereka memiliki
kecenderungan untuk membagi dunia menjadi Barat dan Timur. Hal ini menarik
Edward Said untuk mendiskusikannya dalam diskursus Orientalisme. Said membuat
diskursusnya sendiri mengenai Orientalisme ini. Orientalisme lama, membagi dua
bagian dunia (Barat dan Timur) cenderung berdasar pada etnosentrisme.
Penyebutan tersebut tentu saja bukan hanya mengenai pembagian geografis saja,
namun juga termasuk stigma-stigmanya. Said yang dipengaruhi Foucault menyadari
bahwa bahasa memiliki kuasa, yang dalam hal ini adalah kekuatan untuk
menciptakan kategori-kategori dan pembedaan: Barat penuh dengan keilmiahan,
rasionalitas, dan berbudaya; sedangkan Timur adalah eksotis, mistis, dan biadab.
Said menolak kategorisasi yang etnosentris ini. Bahkan untuk pembatasan
Barat dan Timur itu sendiri masih absurd dan menjadi polemik. Menyangkut soal
agama, Kristianitas diidentikkkan dengan Barat dan Islam diidentikkan dengan
Timur. Padahal, jika hal ini didasarkan pada sejarah dan wilayah perkembangannya
(secara geografis), Islam justru banyak ditemui di wilayah Barat. Orientalisme
membandingkan keduanya dengan penuh prasangka. Jika Barat dengan
peradabannya telah menciptakan berbagai teknologi mutakhir, maka Timur
(termasuk Afrika) masih terkesan dengan hal-hal yang berbau mistis atau lainnya
yang membuat mereka belum menghasilkan apa-apa. Ketika muncul intelek-intelek
dari Islam, mereka hanya dianggap sebagai penerjemah temuan dari Yunani.

21
Said mencoba menjelaskan diskursusnya tentang Orientalisme. Tolok ukur
etnosentrisme yang selama ini dianggap wajar dalam tradisi Orientalisme, dikiritisi
oleh Said. Said membongkar Orientalisme yang cenderung memperbandingkan
dengan penuh prasangka bahwa Barat akan selalu superior dan Timur adalah
inferior. Satu nilai lagi yang menjadi tolok ukur Orientalisme teistik adalah
“mengadopsi nilai-nilai Kristen sebagai alat untuk mencap Islam sebagai agama
sempalan”; namun, “Orientalisme agnostik memandang Islam sebagai bentuk
monotheisme yang lebih rasional ketimbang Kristianitas” (Turner, 2012: 71-72).
Tokoh lain yang mewarnai sosiologi agama kontemporer adalah Nietzsche.
Seperti ciri khas tokoh posmodern, gagasan yang ditawarkan cederung „gila‟.
Persamaan antara Said dan Nietzsche adalah pandangan negatif mereka terhadap
Kristen dan (sedikit) pembelaan terhadap Islam yang selalu mendapat cap inferior.
“Nietzsche melihat moralitas budak Kristianitas sebagai lawan dari gaya heroik
Socrates dan Nabi Muhammad.” (Turner, 2012: 74). Sorotannya ada pada doktrin
mental budak dalam nilai-nilai Kristen. Kristen menghalangi kreativitas individu dan
mencegahnya untuk merdeka (dengan nilai-nilai altruistik yang dianut, misal
pengorbanan Jesus).
Hal serupa dirasakan oleh Marx. Perlu kita ingat bahwa salah satu akar
pemikiran Nietzsche dipengaruhi oleh Marx. Marx memandang bahwa agama
bagaikan sebuah candu. Ia memberikan kebahagiaan semu dan kesadaran palsu. Hal
ini dimanfaatkan oleh kapitalis borjuis dan tuan tanah untuk menundukkan kelas di
bawahnya (proletar). Dengan janji-janji surga sebagai kebahagiaan yang akan datang
jauh di masa depan, manusia akan menahan segala keinginan untuk melawan. Bagi
mereka, kebahagiaan akan bersama orang-orang yang sabar dan kebaikan akan
datang pada orang yang lemah.
Penundukan-penundukan ini sayangnya tidak terlalu mendominasi dalam era
kontemporer. Ajaran-ajaran doktriner sudah jarang digunakan. Penundukan
menjelma menjadi bentuk-bentuk lain yang lebih halus, namun tetap memberi
kesadaran palsu. Hal ini yang juga kemudian dikritisi oleh tokoh-tokoh Teori Kritis
tentang pemikiran Marx. Kegagalan Marx untuk memprediksi bahwa masyarakat

22
kapitalis berubah menjadi lebih „canggih‟, sehingga kelas proletar sudah tidak lagi
bersemangat untuk melakukan revolusi.

2.5 Soal-Soal Latihan


1. Apa yang melatarbelakangi perkembangan sosiologi agama di zaman klasik?
2. Bagaimana perkembangan sosiologi agama di zaman modern?
3. Bagaimana sosiologi agama digunakan di zaman kontemporer?

23
BAB 3
SOSIOLOGI AGAMA DALAM TEORI
SOSIOLOGI KLASIK

Sosiologi klasik merupakan penggolongan masa yang didasarkan pada model


perkembangan teori pada awal kelahiran sosiologi. Pada masa ini yang menjadi
fokus utama adalah tokoh-tokoh yang mencetuskan gagasan. Berbagai macam
gagasan yang dikeluarkan oleh seorang tokoh, dipelajari dalam satu bagian besar.
Tokoh-tokoh yang muncul pun merupakan orang-orang yang berjasa besar dalam
perkembangan sosiologi awal. Namun, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua
tokoh sosiologi klasik akan memiliki subab khusus dalam bab ini.

3.1 Teori Agama Karl Marx


Nama Karl Marx adalah nama yang amat familiar bagi seorang mahasiswa
sosiologi masa ini. Ide-idenya paling mudah melekat dalam pikiran (meskipun tidak
semua setuju) karena gagasannya yang amat kritis. Ketika baru berkenalan dengan
ide-ide Marx, mahasiswa sosiologi baru biasanya akan menggebu-gebu dan berlaku
seperti seorang Marxis baru. Marx merupakan seorang sosiolog, ekonom, juga filsuf
yang namanya banyak dikenal oleh para intelek berkat gagasannya yang radikal,
yakni komunisme. Sayangnya, dalam hal ekonomi Marx mempunyai reputasi buruk
karena semua pemikirannya tidak berpihak kepada kelas atas termasuk pengusaha
dan pedagang besar (dalam terminologi khas Marx disebut borjuasi kapitalis).
Marx bersama dengan teman-teman Hegelian Kiri-nya juga berperan besar
tentang gagasan materialisme historis. Gagasan ini menjadi antitesis dari filsafat
Hegelian yang tengah berkembang pesat ketika pertengahan abad 19, yaitu filsafat
idealis. Menurut Pals, Marx bersama „teman-temannya‟ yang mengembangkan
filsafat materialis yakin “bahwa semenjak manusia pertama kali muncul di muka
bumi ini, mereka bukan hanya dimotivasi oleh “ide-ide besar”, namun lebih

24
dikendalikan oleh kebutuhan materi, kebutuhan yang dapat membuat mereka
bertahan hidup” (Pals, 2011: 187).
Marx tidak mempunyai ketertarikan khusus tentang agama. Ia hanya
menyisipkan pembahasan perihal agama ketika membahas alienasi. Marx membahas
agama sebagai bagian dari suprastruktur dan kaitannya dengan ekonomi dan politik.
Uniknya, Marx sendiri mungkin telah menjadi Tuhan bagi „penganutnya‟, yakni para
Marxian dan penganut komunisme. Pals bahkan menganalogikan kesakralan tulisan
Marx dengan kitab Injilbagi umat Kristen. Hal ini samasekali tidak mengherankan,
sebab Marx bersama teman sejati dan juga teman seideologinya, Engels, telah
bersama-sama menciptakan karya yang sangat berpengaruh dalam paham
komunisme; juga perannya dalam gagasan revolusi.
Sebelum membahas mengenai agama, perlu dipahami sekilas mengenai
pemikiran Marx. Inti utama gagasan Marx adalah segala realitas sosial yang
terbangun di dunia ini didahului oleh keinginan manusia untuk hidup dengan layak.
Hal ini tentu diraih dengan usaha-usaha yang besifat ekonomis. Marx juga
mengatakan bahwa sejarah umat manusia itu sendiri berasal dari pertentangan antar
kelas yang diawali dengan adanya privatisasi. Masalah-masalah yang selanjutnya
timbul adalah sebagai dampak dari dinamika sektor ekonomi. Maka, bagi Marx,
ekonomi adalah pondasi dari struktur masyarakat atau juga disebut sebagai basis
struktur.
Marx (dan juga Engels) memandang agama sebagai bagian dari skenario
pertentangan kelas. Berkat ini, mereka berdua bersama dengan tokoh-tokoh lain
seperti Weber dan Durkheim, mendapat „gelar‟ reduksionis dalam mendefinikan
agama. Marx menganggap agama tidak lebih dari sebuah bentuk ideologi. Marx
yang dari awal mengadopsi materialisme historis, melihat agama sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan dan menjaga status quo. Kaum borjuis menggunakan
agama untuk melakukan alienasi dan penundukan kepada kelas-kelas di bawahnya.
Namun, menurut Turner, untuk memahami sosiologi agama Marx, lebih baik
menyimak sumbangan Engels yang relatif lebih jelas dalam membahas agama.

25
Meskipun memiliki beberapa perbedaan, namun cara pandang Marx dan
Engels sama, yakni reduksionis dan materialis. Jika melihat arah berpikir dan
rasionalitas mereka, maka tidak heran jika Marx mengatakan bahwa agama itu
candu. Kedua tokoh materialis ini melihat bahwa:
“Agama mengalihkan perlawanan dan kemarahan kelas pekerja terhadap
dunia sekarang ini kepada dunia yang akan datang atau, sebagaimana dalam
milleniarisme, untuk saat yang jauh di masa depan. Kesenjangan antar kelas
dialihkan ke dunia yang akan datang sebagai bentuk balasan moral di Surga.
Menjadi kaya dan bahagia di dunia yang akan datang tersebut merupakan
ganjaran bagi si miskin yang mau berlapang dadamenerima penderitaan di
kehidupan ini... kelas dominan secara sadar memanfaatkan agama untuk
memistifikasi dan mengontrol para petani dalam masyarakat feudal dan para
buruh dalam masyarakat kapitalisme. Kelas tertindas akan terpantau oleh
“alat-alat moral” (Turner, 2012: 150).

Marx yang sedari muda mengikrarkan diri menjadi ateis, tidak tertarik untuk
terlibat dalam kegiatan yang bersifat religius dan berbau spiritual. Dengan
dipengaruhi ilmu psikologi, Marx menganggap bahwa agama dan kegiatan lain yang
memuja sesuatu yang sifatnya supranatural, merupakan manifestasi keputus-asaan
manusia atas ketidakmampuannya untuk bertarung dalam kontestasi pertentangan
kelas. Jika boleh disederhanakan, agama bagi Marx adalah sebuah cara untuk
„melarikan diri‟ dari kenyataan.
Agama juga membuat manusia teralienasi dari dunianya sendiri, dari dunia
nyata. Seseorang mengabdikan dirinya untuk kepentingan di akhirat dan
mengorbankan kepentingannya di dunia yang sifatnya sekuler. Hal ini akibat dari
doktrin-doktrin agama, terutama askestisme tradisional yang mengajarkan untuk
menjunjung tinggi kesederhanaan. Konsep alienasi oleh Marx digunakan untuk
menjelaskan keadaan keterasingan seseorang dalam dunia yang melingkupinya
selama ini. Mereka terasing dari realitas yang sebenarnya dilakukan sehari-hari dan
tanpa merasa terbebani akan hal itu.
Agama yang sebagai candu, juga berfungsi sebagai perekat sosial. Fungsi
perekat ini akan banyak dibahas dalam tokoh fungsonalis seperti Durkheim. Kedua

26
hal ini bagaikan dua mata pisau yang tajam. Keadaan damai yang semu berkat
kontrol sosial agama, menyebabkan kaum proletar pasrah dalam menerima
nasibnya sebagai kaum tertindas. Bahkan mungkin mereka samasekali tidak merasa
tertindas. Janji-janji akan kebahagiaan yang akan diperoleh di akhirat nanti menjadi
pelipur lara dan meredam kemarahan mereka akan kemiskinan dan segala
keterbatasan akses. Bagi Marx, hal ini diakibatkan kesadaran kelas proletar yang
cenderung candu terhadap agama (saat itu di Jerman, Kristianitas).
Teologi Kristen dan filsafat Hegelian adalah dua hal yang ditolak oleh Marx
dan menjadi sasaran kritiknya. Terkait dengan perannya dalam menciptakan
alienasi, “keduanya telah merampas apa yang seharusnya dimiliki oleh manusia
dengan memberikannya kepada sesuatu yang sebenarnya asing, yaitu Yang Absolut
atau Tuhan” (Pals, 2011: 203). Perlu diketahui, pemikiran Marx tentang agama
banyak dipengaruhi oleh karya-karya Feuerbach. Kutipan tersebut juga berlaku
ketika Marx menjelaskan perihal kapitalisme.

3.2 Sumbangan Pemikiran Auguste Comte dalam Sosiologi Agama


Sumbangan pemikiran Comte mengenai agama tidak terlalu banyak. Ia hanya
mengantarkan kita terhadap awal-awal kemunculan positivismeyang dikaitkan
dengan agama dalam sosiologi agama di masa sekitar abad pencerahan. Maka dari
itu, subab ini tidak diberi judul Teori Agama Auguste Comte.
Auguste Comte, seorang intelektual yang termasuk dalam jajaran yang
dipengaruhi Teori Evolusi Darwin. Seperti halnya Herbert Spencer, Comte juga
seorang Darwinian sosial. Ia berada di bawah naungan paradigma fakta sosial dan
aliran positivistik. Pemikiran Comte yang terkenal adalah hukum tiga tahap. Bagi
Comte yang Darwinian, masyarakat sangat mirip dengan organisme. Mereka
tumbuh dan berkembang, juga melakukan evolusi. Hukum tiga tahap Comte
menganalogikan evolusi yang terjadi pada organisme, pada masyarakat.
Pemikiran manusia berevolusi sejak zaman primitif sampai dengan zaman
modern. Ia membagi tahap-tahapnya dengan mendasarkan pada kemampuan
manusia untuk merespon realitas yang ada di sekitarnya (terutama gejala alam).
Masyarakat paling awal ditempatkan pada tahap pemikiran paling sederhana, yakni

27
teologis. Tahap ini dijelaskan sebagai keadaan ketika manusia yang tidak mampu
mencerna dan mencari tahu sebab-sebab terjadinya peristiwa di sekitarnya, dengan
menyerahkannya kepada kekuatan-kekuatan supranatural. Kemudian, manusia
mengalami perkembangan tahap pemikiran dengan mulai mencari-cari sebab
terjadinya sesuatu, meskipun masih sangat terbatas. Comte menamai tahap ini tahap
metafisis.
Perkembangan manusia paling modern berada di tahap tiga, yakni tahap
positivis. Pemikiran manusia tidak lagi berupa kepercayaan dan perkiraan coba-
coba. Manusia sudah mampu berpikir secara logis dengan menggunakan
rasionalitas mereka untuk menemukan kebenaran ilmiah.Teori yang diungkapkan
Comte ini juga digunakan oleh antropologi dalam meneliti evolusi agama.
Antropologi agama menyimpulkan isi dari hukum tiga tahap adalah “kepercayaan
manusia mula-mula berkembang dari kepercayaan terhadap Tuhan yang banyak
kepada yang satu, dari politheisme ke monotheisme dan dari syirik ke tauhid”
(Ghazali, 2011: 94).
Masyarakat modern adalah masyarakat positivistik. Pernyataan ini seolah
menjadi kredo yang hidup dalam perkembangan keilmuan abad 20. Fenomena-
fenomena spiritual dan supranatural adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak
dapat diukur dengan syarat-syarat kebenaran ilmiah. Agama seringkali diidentikkan
dengan hal-hal mistis, meskipun pada perkembangan lebih lanjut agama dan mistis
dijelaskan sebagai dua hal yang berbeda. Terkait dengan tahap teologis yang
berhubungan erat dengan agama, agama dipandang “sebagai penghalang kemajuan
rasional” (Turner, 2012: 79). Maka, tidak heran jika kemudian paham sekularisme
berkembang pesat di sekitar abad pencerahan.

3.3Teori Agama Emile Durkheim


Emile Durkheim merupakan seorang sosiolog Perancis yang pemikirannya
akan selalu hadir dalam diskusi sosiologi klasik dan modern. Ia mendapat julukan
bapak sosiologi karena telah membidani kelahiran sosiologi. Ketika para intelektual

28
era 1800-an menganggap bahwa masyarakat merupakan hal yang abstrak,
Durkheim menegaskan bahwa:

“Sebuah masyarakat bukan hanya sekelumit pemikiran yang ada dalam kepala
seseorang, tapi merupakan kumpulan sekian banyak fakta –mulai dari bahasa,
hukum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik, sampai kepada aneka jenis produk
yang dihasilakn masyarakat tersebut (Pals, 2011: 139).”

Pemikiran-pemikiran Durkheim terpengaruh dari antropologi dan filsafat.


Hal ini terlihat dari caranya memberikan definisi terhadap agama. Bryan Turner
dalam bukunya Teori Agama dan Teori Sosial Kontemporer (2012), mengatakan
bahwa definisi agama yang ditawarkan Durkheim dan antropolog William Smith
memiliki kemiripan. Mereka berdua mendefinisikan agama melalui praktek-praktek
sosial keagamaan dalam masyarakat.
Daniel Pals, penulis buku Seven Theories of Religion, memasukkan Durkheim
sebagai salah satu tokoh penting yang menyumbang gagasan mengenai agama.
Buku ini membahas tentang tujuh teori tentang agama dipandang dari berbagai
perspektif keilmuan. Karya Pals ini sering digunakan sebagai referensi bagi
antropolog maupun sosiolog. Baginya, teori Durkheim termasuk dalam “teori-teori
klasik yang dianggap sebagai bentuk paling asli dan orisinil, bukan teori yang sudah
dalam kemasan yang kompleks” (Pals, 2011: 22). Meskipun Durkheim bukan satu-
satunya tokoh sosiolog yang dimasukkan (ada juga Karl Marx), namun ia
menempati posisi khusus dengan ciri khasnya dalam memandang agama sebagai
fakta sosial.
Durkheim berada di tengah-tengah pemikiran sekuler awal abad 20 yang
sedang populer. Maka, tidak heran jika “tema utama sosiologi agama Durkheim
adalah keberadaan dikotomi yang sakral dan yang profan dan dampak sosial dari
praktek-praktek yang berkaitan kategori-kategori religius” (Turner, 2012: 93).
Durkheim meletakkan agama sebagai fakta sosial. Ia mengkritik definisi-definisi
agama yang hanya berkutat pada makna agama secara spiritual dan magis.
Menurutnya, definisi-definisi tersebut tidak berusaha mencari peran agama dalam

29
realitas sosial. Padahal agama sebagai bagian fakta sosial memiliki peran penting
dalam integrasi sosial masyarakat.
Durkheim melihat adanya fungsi magis dan spiritual dari agama. Upacara-
upacara keagamaan dan segala ritual yang dilakukan secara bersama-sama
menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai konsekuensi dari realitas yang dialami
bersama. Kesadaran ini berupa identitas yang diakui bersama bahwa mereka bagian
dari kelompok yang sama, yakni agama. Kohesi sosial ini yang kemudian menjadi
faktor pemersatu dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, Durkheim membuat
fenomena sakral dan profan yang biasanya dijauhkan dan dianggap tidak
berhubungan, menjadi berhadapan meskipun masih dalam domain yang dikotomi.
Beberapa kajian tentang agama menggunakan metode perbandingan agama.
Biasanya, akan ada hasil akhir berupa konklusi bahwa terdapat sebuah agama yang
paling benar. Bahkan para filsuf abad 19 cenderung berakhir pada kesimpulan
bahwa agama sendiri merupakan sesuatu yang salah. Namun, Durkheim justru
menilai bahwa tidak ada agama yang salah, karena “fenomena yang riil dan objektif
yang ada dibalik sombol-simbol religius bukanlah Tuhan atau dewa, melainkan
masyarakat” (Turner, 2012: 95). Sekali lagi, Durkheim melihat agama dari sisi fungsi
praktek religiusnya dalam meningkatkan keeratan masyarakat.
Turner menjelaskan secara sederhana peta pemikiran Durkheim dengan
sebuah bagan yang isinya adalah upacara kolektif, kegembiraan kolektif, sentimen
bersama, dan keyakinan bersama. Upacara kolektif yang dilakukan dan
menghasilkan kegembiraan kolektif, dapat memantik sentimen bersama karena
adanya rasa berbagi pengalaman yang sama. Kohesi yang terjadi berdampak pada
timbulnya sebuah nilai yang diyakini bersama, yang kemudian dimanifestasikan
dalam tindakan sosial dalam masyarakat. Sayangnya, upacara kolektif ini tidak hanya
ada dalam sebuah upacara ritual keagamaan. Durkheim mendapat kritik bahwa efek
yang sama bisa saja didapat ketika kita mendatangi acara lain, pesta misalnya.
Keyakinan bersama yang ditimbulkan oleh sentimen bersama juga hadir dalam
kasus nasionalisme. Lalu, apakah keduanya juga disebut agama?

30
Masalah muncul ketika kohesi sosial semacam ini dihadapkan pada
masyarakat bertipe solidaritas organis. Karya terdahulu Durkheim, The Division of
Labour, membagi masyarakat dalam dua tipe (yang mungkin juga berupa tahapan
perkembangan masyarakat), yakni masyarakat dengan solidaritas mekanis dan
solidaritas organis. Masyarakat mekanis adalah tipe masyarakat yang cenderung
mendasarkan kesadaran kolektif mereka dengan mengandalkan homogenitas
diantara mereka. Masyarakat ini bersifat tradisional dan sederhana. Tidak ada
diferensiasi yang mencolok, sehingga kohesi sosial mudah terbentuk. Sedangkan
masyarakat bertipe solidaritas organis, terdapat pembagian kerja dan diferensiasi
yang tinggi. Kohesi sosial oleh rasa persamaan identitas tidak mungkin didapat dari
rasa heterogenitas.
Perbedaan antara karakteristik masyarakat solidaritas mekanis dan organis,
nampaknya berdampak pada dasar-dasar kohesi sosial mereka. Jika menurut
Durkheim upacara ritual religius yang membimbing masyarakat tradisional menuju
keyakinan bersama, hal serupa nampaknya tidak berlaku untuk masyarakat modern
yang mulai meninggalkan upacara semacam itu. Upacara religius banyak dilakukan
oleh masyarakat tradisional mekanis. Namun, dalam masyarakat modern yang
organis, upacara tradisional dan religius sudah mulai hilang, Durkeim menawarkan
kembali konsep awalnya seperti yang digambarkan oleh Turner. Masyarakat
modern tetap dapat merasakan keyakinan bersama, karena “Durkheim memandang
sentimen kaum nasionalis dan upacara-upacara kebangsaan dapat dijadikan sebagai
akar utama kohesi sosial” (Turner, 2012: 104).
Durkheim menaruh perhatian lebih terhadap integrasi sosial. Hampir dalam
setiap karya-karyanya, ia membahas mengenai integrasi sosial, kohesi sosial,
keteraturan dan kesadaran kolektif. Maka, tidak salah jika Durkheim termasuk
dalam golongan positivistik yang memperjuangkan idenya karena kerinduan akan
tatanan lama masyarakat yang teratur. Salah satu karyanya yang cukup terkenal,
Suicide (1895), membahas tentang kaitan antara kekuatan integrasi sosial masyarakat
dengan tingkat bunuh diri yang terjadi. Durkheim berpendapat bahwa peristiwa
bunuh diri bukan hanya dilihat dari perspektif internal saja (psikologi), namun ada

31
suatu kenyataan (fakta sosial) yang ada di luar individu yang tuurt menggerakkan.
Salah satu kriteria pemilihannya adalah masyarakat dengan berbagai macam agama
dan keyakinan.
Durkheim meneliti tingkat bunuh diri di berbagai tipe masyarakat yang
memiliki beberapa kesamaan. Hasilnya, ia mendapat kesimpulan pertama bahwa
“semakin kuat ikatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka akan semakin
rendahlah rata-rata bunuh diri yang terjadi di dalamnya” (Pals, 2011: 142). Hasil ini
berlaku untuk masyarakat yang sementara dideferensiasi menurut perbedaan agama.
Namun, agama dalam hal ini bukan satu-satunya yang menjadi variabel utama,
sebab setiap agama menilai bahwa bunuh diri adalah sebuah dosa yang tidak
seharusnya dilakukan penganutnya.
Kembali pada Elementary Form of Religious Life, Durkheim memasukkan
penjelasan-penjelasannya tentang agama dari karya-karyanya terdahulu. Ia turut
andil dalam diskusi sekularisme sebagai seseorang mennetang pandangan lama
tentang agama. Berbeda dengan sekuler, konsep sakral sama sekali tidak terpisah
dari masyarakat. Terdapat kesepakatan antara individu-individu penganut agama
yang disetujui bersama dan bersifat mengikat. Kesepakatan ini, meskipun jika
dilihat sekilas hanya bersifat individual, namun ikatannya berpengaruh dalam
kehidupan kelompok masyarakat. Alasannya, karena hasil dari kesepakatan antar
individu ini menghasilkan kontrak sosial.
Mengapa kontrak sosial berhubungan dengan kesakralan? Durkheim
menjawabnya dengan realitas keagamaan yang ada dalam masyarakat primitif.
Sesuatu yang disakralkan identik dengan pengkultusan, atau paling tidak dihormati
dan istimewa. Setiap individu sepakat untuk menempatkan suatu hal ini (dewa, roh,
Tuhan, benda, hewan, atau yang lainnya) dalam satu tempat yang sakral; tidak
mudah dijamah. Kesepakatan ini yang kemudian menjadi kontrak bersama atau
kontrak sosial dalam kelompok masyarakat. Sedangkan profan sendiri adalah hal-
hal yang menyangkut keseharian dan sifatnnya biasa-biasa saja.
Tentu saja sebenarnya ringkasan ide-ide Durkheim dalam satu paragraf
pendek di atas tidak menggambarkan keseluruhan pemikirannya. Secara bertahap,

32
gagasan-gagasannya saling berkaitan dari karyanya Suicide, The Division of Labour, The
Rule of Sociological Method, dan The Elementary Form of Religious Life.

3.4Teori Agama Max Weber


Maximillian Weber atau lebih dikenal Max Weber merupakan salah satu
sosiolog Jerman yang pemikirannya berada di bawah paradigma definisi sosial.
Meskipun sebagian besar paradigma ini berada dalam kategori sosiologi mikro,
namun analisis Weber terhadap tindakan sosial masih memperhatikan fakta sosial
dan struktur (dalam porsi tertentu). Sedikit berbeda dengan teori yang lain
meskipun dalam satu paradigma yang sama, seperti fenomenologi yang sangat
mengutamakan definisi individual. Sosiologi Weber berkisar pada tindakan sosial
individu dan rasionalitas. Weber juga menjadi bagian dari tokoh sosiologi
interpretatif karena menurut Schutz “Weber membela metode yang disebutnya
verstehen” (Raho, 2007: 133). Sumbangan Weber dalam sosiologi agama terdapat
dalam karyanya The Sociology of Religion (1966) dan The Protestant Ethics and the Spirit of
Capitalism (1930).
Meskipun dipuji memiliki pemikiran brilian dan penting dalam teori agama,
Daniel Pals tidak mengikutsertakan teori Weber dalam bukunya Seven Theories of
Religion (2011). Menurut Pals, syarat pemilihan teorinya adalah orisinalitas dan
konsistensi. Weber tidak memenuhinya “karena kemampuannya yang luar biasa
dalam melihat kompleksitas masyarakat dan kesanggupannya menggabungkan
berbagai perspektif demi mencapai kombinasi penjelasan yang kaya dalam teorinya”
(Pals, 2011: 22). Ia juga mengatakan bahwa lebih baik jika kajian mengenai Weber
dibahas pada karya lain yang khusus menjelaskan pemikirannya.
Telah disebutkan bahwa sebagian besar pembahasan Weber berkutat pada
tindakan sosial dan rasionalitas. Namun, ternyata tulisan-tulisan dan pemikiran
Weber juga digunakan oleh Bryan Tuner (2012) untuk menganalisis pertukaran
sosial yang seharusnya masuk dalam paradigma yang berbeda, yakni perilaku sosial.
George Ritzer juga menggunakan rasionalitas Weber sebagai kerangka berpikir
utama dalam karyanya McDonaldization of Society (2013). Ritzer membuat pemikiran
Weber tampil lebih kritis namun tetap Weberian.

33
3.4.1 Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Weber menganalisis agama dengan analogi ekonomi. Konsep utama
yang diadopsi dalam sosiologi agama Weber adalah perpaduan antara agama
dan Calvinisme yang keduanya dihubungkan oleh rasionalitas. Sebelum itu,
mari kita sedikit mengingat mengenai dasar-dasar pemikiran Weber.
Rasionalisasi merupakan hal penting sebelum bertindak. Rasionalisasi secara
sederhana dimaknai sebagai segala macam pertimbangan yang dilakukan oleh
seseorang sebelum ia akhirnya berbuat sesuatu atau bertindak. Pemikiran ini
tentu tidak lepas dari pengaruh tren pemikiran abad 19 dimana positivistik
begitu dominan. Weber membagi tindakan rasional menjadi empat, yakni
rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai, rasionalitas agama, dan rasionalitas
tradisional. Bagi Weber, rasionalitas yang paling tinggi adalah rasionalitas
instrumental: rasionalitas yang berbentuk pertimbangan untung dan rugi.
Selain analogi ekonomi, karya Weber The Protestant Ethics and the Spirit of
Capitalism, menurut Turner, juga memuat analisis pertukaran dan stratifikasi
dalam agama. Menurut Weber “dalam hubungan antara Tuhan dan manusia,
dan antara para santo dengan orang awam, selalu terjadi pertukaran bentuk
kekayaan yang berbeda-beda” (Turner, 2012: 173). Stratifikasi yang dimaksud
Weber adalah startifikasi religius. Dasar dari stratifikasi religius adalah hasil
kualifikasi atas tingkat religiusitas. Tingkat religiusitas dapat menjadi prestise
dalam stratifikasi semacam ini. Tentu saja kualifikasi ini tidak berlaku secara
universal, karena kriteria dan nilai terhadap kharismatik bisa berbeda menurut
pada nilai kelompok tersebut.
Pertama, adanya startifikasi dalam sisi sakral secara religius. Religiusitas
dibedakan menjadi religiusitas elit dan religiusits massa. Terdapat orang-orang
yang termasuk dalam religius elit, yakni mereka yang memiliki pengetahuan
religius tinggi dan memiliki kharisma untuk itu. Untuk menjadi bagian dari
religius elit, membutuhkan banyak waktu yag digunakan untuk melakukan
praktek-praktek religius. Hal ini tidak bisa diraih oleh orang-orang awam yang
menyibukkan diri untuk mengejar kepentingan profan, seperti bekerja. Kedua,

34
karena sebagian besar waktu kelompok religius elit digunakan untuk praktek
religius, mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan hal-hal yang
sifatnya profan. Akhirnya, mereka menjadi „parasit‟ bagi kelompok religius
massa atau juga disebut kaum awam.
Pertukaran sosial terjadi dalam proses saling ketergantungan antara elit
religius dengan kaum awam. Bentuk pertukaran tersebut adalah:

“Kerja kaum awam menyediakan keperluan-keperluan yang


dipergunakan oleh kalangan yang mempunyai talenta religius untuk
beribadah dan menyucikan diri tanpa harus terjun ke dalam rutinitas
sekular. Di sini hierarki religius hampir sama dengan sistem strafikasi
sekular. Paradoks ini juga diungkapkan dengan cara lain, yaitu bahwa
kepentingan masyarakat awam dengan kepentingan kaum virtuosi sama-
sama eksklusif” (Turner, 2012: 179).

Analisis sekularisme, tindakan manusia dengan orientasi religius akan


berada di ranah sakral dan terpisah dari kegiatan sehari-hari yang bersifat
profan. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk aktivitas yang sifatnya
sakral, semakin sedikit waktu yang digunakan untuk aktivitas profan. Hal ini
dicontohkan dengan seorang santo dan wali yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk beribadah, sedangkan penganut orang biasa menghabiskan
banyak waktunya untuk bekerja. Mereka memiliki waktu yang relatif sedikit
untuk bekerja dan mengejar kepentingan dunia. Sebaliknya, orang yang lebih
banyak waktunya untuk mengejar kepentingan dunia cenderung memiliki
waktu sedikit untuk orientasi akhirat.Hal ini disebut tipologi virtuosi Weber.
Ajaran agama Ibrahimiah cenderung menjauhkan tindakan religius dari
kehidupan duniawi, maka Protestan justru mendekatkan keduanya. Weber
melihat ada rasionalitasCalvinisme dalam agama Protestan. Hubungan antara
ajaran Protestan dan kapitalisme tidak sesederhana sebab-akibat. Protestan
memiliki tradisi anti-magis yang membuat ajarannya dalam mencari „jalan
keselamatan‟ sedikit berbeda. Asketisisme dalam ajaran Protestan mirip dengan
seorang Calvinis. Seorang Protestan perlu mengkonfirmasi bahwa dirinya

35
termasuk yang beruntung yang ditetapkan oleh Allah untuk memperoleh
keselamatan akhirat. Caranya adalah dengan menerapkan etika Protestan:
bekerja keras, hidup hemat, memperbanyak laba dan investasi. Weber
menemukan bahwa etika-etika ini mirip dengan semangat kapitalisme.

3.4.2 McDonaldisasi dan Agama


George Ritzer menulis sebuah buku yang khusus membahas tentang
fenomena McDonaldisasi. Ritzer tidak membahas McDonald sebagai bisnis
dan perusahaan makanan, namun sebagai suatu proses yang kompleks yang di
dalamnya terdapat globalisasi, Amerikanisasi, standarisasi, rasionalisasi dan
culture studies. Kerangka berpikir utama dari karyanya ini banyak dipengaruhi
oleh rasionalisasi Weber. Namun, terdapat perbedaan ranah utama yang
menjadi model rasionalisasi oleh Weber dan Ritzer. Bagi Ritzer:
“McDonaldisasi merupakan amplifikasi dan perluasan dari teori rasionalisasi
Weber, khususnya dalam ranah konsumsi. Bagi Weber, model rasionalisasi
adalah birokratisasi; bagi saya, restoran cepat saji adalah paradigma
McDonaldisasi” (Ritzer, 2014: 47).
Rasionalitas sering dijadikan tolok ukur utama dalam mencirikan
manusia modern. Segala tindakan diperhitungkan dengan penuh
pertimbangan-pertimbangan untung-rugi. Termasuk saat menjalankan sebuah
bisnis: restoran McDonald. McDonald memiliki unsur-unsur rasionalitas yang
disebut Ritzer sebagai dimensi McDonaldisasi, yakni efisiensi, daya hitung,
daya prediksi dan kontrol. Namun, dimensi-dimensi ini tidak semata-mata
hanya termanifestasikan dalam restoran yang terkenal dengan hamburgernya
ini. Ia juga dapat ditemukan dalam segi-segi kehidupan manusia modern di
berbagai aspek.
Ritzer menemukan bahwa bentuk rasionalisasi telah berkembang
menjadi berbagai macam. Namun, Weber yang sebelumnya berfokus pada cita-
cita birokratisasi mengetengahkan rasionalisasi yang sifatnya formal. Ritzer
menjelaskan sedikit pemikiran teori birokratisasi Weber lengkap dengan
rasionalisasi dan kekhawatiran Weber tentang irasionalisasi. Weber khawatir,

36
suatu saat „sangkar besi‟ rasionalitas dalam bentuk birokrasi yang mendominasi
kehidupan masyarakat dalam berbagai sektor. Rasionalisasi di kantor, sekolah,
rumah sampai dengan rekreasi.
Fenomena meluasnya prinsip rasionalitas yang semakin rasional ini
secara absurd justru menjadi sangat irasional. Misalnya, saja di restoran cepat
saji dimana berbagai efisiensi ditawarkan berupa pelayanan cepat dan sajian
yang langsung bisa dinikmati. Selain itu, „harga pasti‟ yang „lebih murah‟
menjadikan membeli makanan siap saji adalah sebuah pilihan yang rasional.
Namun, ternyata biaya yang dikeluarkan jika dihitung dengan teliti justru
menjadi lebih banyak dibanding dengan memasak di rumah. Pengorbanan yang
harus dilakukan meliputi waktu perjalanan dari rumah ke restoran, biaya parkir
dan bensin, dan waktu yang digunakan mengantre dan memesan di kasir atau
waktu yang digunakan untuk mengantre jika drive-through.
Salah satu fenomena rasionalitas lain tidak terduga adalah di ranah
agama. Rasionalitas yang pada awalnya hanya diterapkan pada urusan-urusan
yang sifatnya profan dan sekular meresap dalam kehidupan religius dan sakral.
Kharisma yang sebelumnya didapat dengan mengorbankan banyak waktu dan
hanya dapat diraih oleh segelintir orang, kini tersedia dalam panduan-panduan
praktis di acara televisi, artikel di internet, juga video-video di youtube. Tidak
terkecuali quotes religius yang berserak di media sosial.
Meraih kebutuhanakan spritualitas menjadi lebih praktis di era modern.
Jaringan Al-Qaedaturut dimudahkan dalam menuntun umatnya yang ingin
„jihad‟ bersamanya. Starter pack jihad berupa “buku panduan jihad dan berbagai
pesan rekaman Osama bin Laden yang beredar luas menyusul serangan atas
World Trade Center dan Pentagon dikemas dalam bahasa agama dan dirancang
untuk memotivasi para pengikutnya” (Kimball, 2003: 32). Ritzer juga
mengatakan:

“Bahkan agama pun disederhanakan, dengan gereja drive-in dan program


agama di televisi. Toko buku umat Kristen dipenuhi dengan buku-buku
“panduan” “yang menyatakan mampu mengajarkan kita 10 langkah

37
menuju „kematangan spiritual‟ atau bagaimana menjadi orangtua yang
sukses dalam waktu 60 menit (Drane, 2001)” (Ritzer, 2014: 107).

Tujuan adanya penyederhanaan proses adalah untuk mempersingkat


waktu guna meningkatkan hasil (dalam kuantitas) atau produktivitas. Namun,
konsekuensi yang didapatkan justru penurunan kualitas dan reduksi atau
mungkin juga distorsi akan esensi yang sebenarnya. Agama yang sebelumnya
secara tradisional (atau memang akan selalu begitu), dipelajari melalui metode-
metode tertentu yang sifatnya sakral dan tidak sembarang orang, kini bisa
dengan mudah diraih dengan cara-cara yang mudah dan „tidak istimewa‟. Cara
tradisional akan menimbulkan stratifikasi dalam agama, namun rasionalisasi
yang seharusnya diterapkan pada hal-hal yang profan (biasa saja), terasa kurang
relevan untuk hal-hal yang sifatnya „istimewa‟.
Ritzer melakukan banyak kritik dalam bukunya itu (McDonaldisasi
Masyarakat (2012). Rasionalisasi dalam ranah profan pun tidak selalu cocok. Ia
mencontohkan berbagai dampak rasionalisasi yang menciptakan irasionalisasi,
seperti efisiensi waktu rekreasi, dehumanisasi berbentuk homogenisasi dalam
pendidikan tinggi, keramahan palsu pegawai restoran cepat saji yang teralienasi,
sampai pada kontrol dalam kelahiran dan kematian.

3.5Agama dalam Konstruksi Sosial Peter Berger


Peter L. Berger merupakan salah satu sosiolog fenomeneologi Amerika.
Pemikiran-pemikiran Berger berada di bawah naungan paradigma definisi sosial,
yang artinya teori-teori yang dikemukakan berfokus pada makna dan otonomi
individu. Pemikiran-pemikirannya banyak dipengaruhi fenomenologi Alfred Schutz
dan gagasan beberapa tokoh filsuf Jerman. Teori Berger yang terkenal ialah
kontruksi sosial. Sebagaian besar teori ini dipengaruhi fenomenologi dan sosiologi
pengetahuan.
Tradisi fenomenologi mempengaruhi persepektif Berger dalam memandang
masyarakat. Masyarakat bukan hanya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh
dan bagian dari struktur, namun di dalamnya terdapat individu-individu yang

38
berperan mempengaruhi struktur. Jika aliran positivis cenderung mengabaikan
individu karena segala tindakannya telah ditentukan sistem, maka dalam
fenomenologi individu menjadi perhatian utama karena makna yang diberikan
terhadap sistem dan struktur yang ada. Hasil interpretasi ini yang kemudian
mengarahkan bagaimana seorang individu akan bertindak.
Proses interpretasi sangat bergantung pada kemampuan individu untuk
memahami dan menerjemahkan realitas. Nilai-nilai yang kita serap kemudian kita
proyeksikan dalam tindakan adalah bagian dari proses pembentukan realitas.
Namun, satu hal yang sangat penting dalam hal ini adalah tingkat pengetahuan
seseorang. Weber mempengaruhi gagasan sosiologi pengetahuan Berger melalui
penjelasannya, bahwa “setiap perangkat “pengetahuan” (body of knowledge) pada
akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai “kenyataan” (Noor, 2010: 30). Maka,
setelah individu menginterpretasi nilai-nilai yang ada, ia harus memutuskan
tindakan yang akan dilakukan berdasarkan pertimbangan subjektifnya. Struktur
tidak bersifat deterministik dalam mempengaruhi keputusan individu.
Meskipun individu diakui aktor yang otonom, pengetahuan yang ia miliki
terbentuk dari interaksi intersubjektif dan pemaknaan yang kompleks terhadap
realitas yang ada di sekitarnya. Berger yang berangkat dari filsafat eksistensialisme,
memandang bahwa proses pemaknaan dan segala interpretasi individu terhadap
realitas yang ada di sekitarnya merupakan cara untuk menunjukkan eksistensinya.
Hal ini kemudian dirangkai dalam penjelasannya mengenai dialektika konstruksi
sosial masyarakat yang meliputi tiga proses, yakni internalisasi, eksternalisasi dan
objektifikasi. Internalisasi merupakan sebuah proses interpretasi individu terhadap
realitas objektif untuk bisa dipahami secara subjektif. Ekternalisasi merupakan
proses ketika individu memproyeksikan pengetahuan subjektifnya ke dalam
masyarakat. Objektifasi merupakan masa dimana nilai-nilai yang diproyeksikan
disepakati bersama dan memperoleh legitimasi atau telah dilembagakan.
Konstruksi sosial merupakan wujud dari kehadiran seseorang dalam sebuah
kelompok masyarakat. Ia memaknai dunia beserta realitas-realitas yang ada di
dalamnya. Dengan begitu, manusia merasakan dirinya telah menjadi bagian dari

39
realitas yang juga dialami orang lain. Jika manusia tidak melakukan pemaknaan, ia
akan terasingkan. Proses pemaknaan yang sarat akan nilai akan memberikan pilihan
pedoman moral. Keterasingan radikal juga dapat membuat individu kehilangan
makna akan dirinya (identitas diri). Lebih lanjut, Berger mengatakan bahwa “bahaya
yang paling kuat dari keterasingan adalah ketanpamaknaan (meaninglessness)” (Berger,
1969: 21-22, dalam Noor: 2010: 109).
Agama mempunyai peran penting dalam upaya manusia melindungi dunianya
dan eksistensi dirinya dari ketanpamaknaan. Agama memberikan perlindungan
berupa batasan-batasan dalam bentuk nilai-nilai yang humanis. Agama juga
memiliki kekuatan legitimasi. Pada tataran tertentu, agama dimaknai sebagai
proyeksi atas perlindungan yang diharapkan manusia. Agama memiliki banyak hal
yang sakral. Seperti kita tahu, bahwa yang sakral artinya adalah yang istimewa.
Agama diletakkan Berger pada kosmos sebagai langit suci yang memayungi
masyarakat dan kehidupan sosial. Manusia mulai mengidentifikasikan diri sebagai
bagian dari dunia yang dipayungi oleh kesakralan itu. Mereka dilindungi oleh
sesuatu yang supranatural seperti Dewa maupun Tuhan. Dengan begitu, manusia
tidak hanya mendapat pengakuan sebagai bagian dari masyarakat sosial, namun juga
sebagai bagian dari alam semesta. Bahkan ia juga mendapat pengakuan dari yang
supranatural.
Adanya „langit suci‟ agama sebagai pelindung, ternyata mendorong
munculnya teodesi masokisme. Teodesi ini membuat manusia, dengan otonomi
atas dirinya atau dijelaskan Berger dengan tranced, menyerahkan dirinya atas
masalah-masalah yang terjadi sejauh mereka terlindung oleh yang sakral. Teodesi
yang menurut Berger adalah teodesi masyarakat primitif ini kemudian berkembang
menjadi bentuk yang lebih halus. Kedirian manusia diwujudkan dengan upayanya
untuk bersatu dengan yang sakral (mistisisme). Teodesi-teodesi ini, yang digunakan
manusia untuk meminimalisir penderitaan, dapat mengantarkan manusia menjadi
„candu‟ dan enggan untuk bangkit.

40
3.6. Soal-Soal Latihan
6. Bagaimana penjelasan Marx tentang agama dan perkembangannya?
7. Bagaimana sumbangan pemikiran Auguste Comte dalam sosiologi agama?
8. Bagaimana penjelasan agama menurut Emile Durkheim?
9. Bagaimana penjelasan agama menggunakan analisa ekonomi menurut Marx
Weber?
10. Bagaimana penjelasan agama dalam konstruksi sosial Peter Berger?

41
BAB 4
PENDEKATAN SOSIOLOGI AGAMA

“Teori sosiologi klasik memusatkan analisanya pada pemikiran tokoh-tokoh


sosiologis pada awal perkembangan sosiologi. Sedangkan teori-teori sosiologi
modern memusatkan analisanya pada aliran-aliran sosiologi...” (Raho, 2007:
1).

Pendapat Raho di atas menjadi salah satu acuan dalam pembedaan antara
teori sosiologi klasik dan modern. Meskipun judul dari bab ini adalah Pendekatan
Sosiologi Agama, bab ini mengadopsi pengelompokan berdasarkan aliran seperti
tradisi sosiologi modern. Sosiologi agama yang merupakan bagian dari sosiologi,
tentu menggunakan pendekatan masalah yang sama dengan yang digunakan dalam
ilmu sosial tersebut. Pendekatan yang digunakan biasanya diwakili oleh tokoh-
tokoh sosiologi (meskipun tidak semua) yang memiliki ketertarikan perihal agama.
Misalnya saja dari fungsionalis-strukturalis diwakili Emile Durkheim, tindakan
sosial oleh Max Weber, konflik oleh Karl Marx, dan kritis oleh Edward Said.

4.1 Pendekatan Fungsionalisme-struktural


4.1.1 Agama Secara Struktural
Istilah strukturalisme dalam pembahasan ini ditujukan untuk struktur
sosial, bukan struktur lingusitik. Strukturalisme dalam konteks ini merujuk
kepada tatanan sosial dan fungsi-fungsinya. Sebagaimana sistem dalam tubuh
organisme, setiap bagian mempunyai tugasnya masing-masing demi menjaga
kestabilan dan keteraturan. Tugas dari bagian-bagian ini atau juga disebut agen
sosial inilah yang kemudian dipelajari lebih lanjut oleh fungsionalisme. Talcott
Parson mengembangkan hubungan kedua pendekatan ini menjadi
“fungsionalisme-struktural” (Noor, 2010: 3). Kunci penting untuk memahami
strukturalisme adalah bahwa tindakan manusia dipengaruhi atau bahkan pada
tataran tertentu (secara ektrem), ditentukan oleh fakta sosial yang berwujud

42
sistem. Strukturalisme juga tidak mengakui manusia sebagai individu yang
otonom. Penganut strukturalisme melihat masyarakat sebagai kesatuan dan
individu-individu manusia menjadi bagiannya.
Bagi penganut strukturalisme, posisi agama adalah bagian dari kesatuan
struktur. Agama berwujud sebagai norma, kebijakan, peraturan dan ideologi.
Posisi agama penting dalam sebuah negara menyangkut kadarnya dalam
mempengaruhi bentuk kebijakan. Agama yang sakral, dapat memasuki ranah
profan melalui politik. Peristiwa semacam ini dapat kita temukan ketika para
pemuka agama mulai „menjual‟ agamanya. Di abad 19 kita menjumpai fenomena
besar, revolusi yang salah satunya disebabkan oleh kejenuhan akan doktrin
agama dalam wujud otoritas gereja. Hal ini terjadi pada agama Kristen.
Islam juga mengalaminya. Para ulama yang biasanya disibukkan dengan
urusan „dalam negeri‟ pesantrennya, mulai merambah urusan „luar negeri‟ dengan
melangkah ke dunia politik. Islam memang tidak diartikan sebagai sekadar
agama dan sakral, namun ia juga berfungsi sebagai ideologi. Nahdlatul Ulama
(NU) merupakan suatu aliran Islam di Indonesia yang mempunyai pengikut
mayoritas. Ketika ulamanya mencalonkan diri, dengan kecenderungan dari
penganut agama yang memiliki kesamaan dengan fetisisme, akan
mendukungnya. Sayangnya, pencalonan dan dukungan ini “bukan oleh pilihan
rasional dari umat, apalagi kelayakan” (Hidayat dan Haryono, 2004: 4), namun
oleh ketergesah-gesahan dan perolehan „restu‟.
Kharisma dalam agama merupakan hal yang sangat penting. Citra dan
sejarah seseorang menjadi sebuah biografi indah, yang darinya, para
penganutnya bisa mendapatkan solusi atas segala permasalahannya (misal: Nabi).
Hal ini dapat kita lihat dari cara masyarakat religius yang sangat mensakralkan
tokoh-tokoh tertentu. Jika seorang calon legislatif mendapatkan restu dari
tokoh-tokoh ini, spekulasi akan berjalan dan prediksi persentase kemenangan
dapat ditingkatkan. Arti restu ini sebenarnya adalah kemanakah penganut si
pemberi restu (umat) akan menjatuhkan dukungannya. Maka, tidak usah heran,
jika pada tahun-tahun politik akan dijumpai para calon presiden dan para

43
pemimpin partai berlomba mencari restu dari para pemuka agama, termasuk
ulama. Cara lain yang juga diupayakan adalah dengan merekrut ulama itu sendiri.
Penganut sekularisme, dimana agama dan negara harus dipisahkan, akan
sangat terganggu dan menentang hal-hal semacam ini. Latar belakang sejarah
kenegaraan yang hancur karena campur tangan agama, membuat penganut
sekularisme ini pesimis melihat agama dapat dipadukan dengan negara tanpa
masalah. Bagi mereka, sudah sepantasnya antara yang sakral dan yang profan
harus dijauhkan. Meskipun di satu sisi mereka mungkin benar, namun kita juga
harus menyadari bahwa tidak ada kehidupan yang tidak ada agama di dalamnya.
Kehadiran agama dalam struktur sosial bukan hal yang bisa kita nafikan dengan
mudah, karena sejak zaman masyarakat tradisional primitif, pra pengandaian
eksistensi agama diakui oleh sosiologi agama Comte dan Durkheim.
Hal penting yang perlu kita garis bawahi tentang perspektif strukturalisme
terhadap agama ialah, bahwa agama sebatas proyeksi ide-ide manusia. Seperti
filsafat Hegelian, idealisme, bahwa semua realitas yang ada di dunia ini adalah
hasil dari ide manusia. Strukturalis-positivis cenderung reduksionis dan enggan
mencari esensi agama. Bagi mereka, agama cukup dinilai dari dua sisi
rasionalitas, yakni sisi rasional dan sisi irasional. Sisi rasional agama diakui ketika
agama berfungsi secara fungsional. Ketika agama mengalami disfungsional atau
nonfungsional, agama dinilai irasional.
Sisi rasional agama terasa ketika norma-normanya mampu mengontrol
tindakan individu dan masyarakat. Sehingga menciptakan kondisi keteraturan
sosial. namun sisi irasional muncul ketika ketidaklogisan terjadi. Agama yang
menjadi payung bagi tindakan-tindakan anomik atau bahkan pelanggaran,
membuat tindakan-tindakan tersebut tampak absah. Maka, tepat jika Berger
menyebut agama sebagai langit suci yang menaungi sekaligus menutupi
tindakan-tindakan anomik, karena kekuatan legitimasinya sebagai kosmos.

4.1.2 Fungsionalisme-struktural
Fungsionalisme merupakan satu aliran yang juga digunakan sebagai
pendekatan dalam sosiologi dan sosiologi agama secara khusus. Fungsionalisme

44
lahir dari pemikiran positivistik dan evolusi Darwinian yang sangat berpengaruh
saat itu. Perspektif fungsionalisme melihat bahwa pada hakikatnya masyarakat
selalu berada pada keteraturan. Bagaikan organisme dengan seluruh bagian-
bagian organ tubuhnya, masyarakat juga memiliki organ-organ sosial yang
memiliki fungsi untuk membuat masyarakat tersebut tetap hidup. Bahkan chaos,
kriminalitas, kemiskinan dan bencana alam pun mempunyaifungsi untuk
menjaga ketarutan.
Menyinggung aliran positivistik, rasanya tidak lengkap jika melewatkan
pemikiran Auguste Comte. Comte tidak membicarakan secara khusus mengenai
agama. Namun, dengan masih dipengaruhi oleh teori evolusi, Comte
menempatkan agama sebagai bagian dari hukum tiga tahap pemikiran manusia.
Tiga tahap tersebut adalah tahap teologis, metafisis, dan positivis. Posisi agama
dalam hukum ini adalah sebagai pembeda antara manusia primitif dengan
manusia modern. Comte menilai bahwa sesuatu yang disembah oleh manusia
atau keyakinan atas suatu hal yang ghaib, muncul akibat keterbatasan manusia
untuk mencerna gejala alam yang terjadi di sekitarnya.
Tahap paling primitif menurut Comte adalah tahap teologis. Manusia tidak
mampu menemukan penjelasan ilmiah terkait gejala alam yang terjadi di sekitar
mereka dan lahirlah animisme dan dinamisme. Pada tahap selanjutnya, Comte
mengandaikan jika manusia mulai mencari-cari kebenaran dengan trial and error.
Namun, manusia masih menafsirkan kekuatan alam dengan bentuk yang abstrak.
Baru ketika manusia sudah menginjak tahap positivis, manusia sudah mengerti
akan adanya hukum-hukum alam (Raho, 2007: 26).
Pemikiran ini kemudian mendapat kritik. Jika masyarakat positivis dengan
mengandalkan rasionalitas dan ilmu pengetahuan sudah cukup untuk
menjelaskan segala fenomena di dunia, lantas mengapa agama masih ditemukan
dalam masyarakat modern? Bagi penganut fungsionalisme, hal ini terjadi karena
masyarakat modern menemukan fungsi agama secara rasional. Sisi rasional
tersebut adalah “mereka akan menganut suatu agama tertentu apabila agama

45
tersebut memiliki kontribusi dan berfungsi bagi kehidupannya” (Jamaludin,
2015: 80-81).
Durkheim salah satu sosiolog yang setuju dengan hal ini. Ia melihat agama
dalam perspektif fungsionalis. Agama memiliki fungsi integratif bagi masyarakat.
Karya-karyanya menjelaskan secara berkelanjutan mengenai keterkaitan agama
dengan integrasi sosial. Durkheim melihat fungsi agama sebagai perekat sosial
melalui identitas kelompok yang dibangun. Bukan hanya itu, berkat nilai-nilai
sakral yang ada dalam agama, anggota kelompok masyarakat agama yang sama
setuju untuk menjaga yang sakral bersama-sama. Cara kerja agama menjadi mirip
dengan ideologi yang diistimewakan dan dibela bersama oleh para pengikutnya.
Hasilnya, terpupuk kesadaran kelompok.
Senada dengan Durkheim, Weber melihat sisi doktrin ajaran agama secara
positif. Jika Durkheim mendasarkan pemikirannya dengan meneliti masyarakat
primitif, Weber justru lebih kepada masyarakat modern yang sekular. Nilai-nilai
sekularisme ada dalam ajaran Protestan. Sebagai bentuk penolakan atas doktrin
Kristen Ortodok, Protestan menolak adanya asketisme lama yang mencegah
manusia untuk berlomba memenuhi kebutuhan duniawi. Hasilnya, pengamalan
etika Protestan ini sangat relevan dengan masyarakat industri yang
mengutamakan profit dan dapat bersaing dalam era kapitalisme.
Marx yang bercita-cita untuk mewujudkan negara komunis, memandang
agama justru disfungsional. Kritik ini ditujukan kepada intelektual yang
cenderung menyukai kestabilan dalam status quo. Agama memiliki stratifikasi
dan lebih mendukung kelas atas. Agama mengekang kebebasan berekspresi
dengan doktrin-doktrin ajarannya dan menunda manusia untuk merdeka. Bagi
Marx, agama lebih dipandang sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan
perkembangan masyarakat yang lebih baik (dengan ideologi komunisme yang
ditawarkan).
Nietzschejuga memiliki pandangan agama dalam perspektif
fungsionalisme. Meskipun ia lebih dikenal dengan seorang filsuf ateis yang
mendeklarasikan kematian Tuhan. Ia tidak menjelaskan agama sebagai sesuatu

46
yang struktural. Namun, dalam konteks fungsi bagi Nietzsche, agamadipandang
nonfungsional.Nietzsche melihat bahwa begitu banyak paradoks ajaran agama
yang absurd dari zaman ke zaman. Ajaran-ajaran Tuhan yang mengajarkan
kebaikan dan keselamatan, tidak lagi mampu mengontrol tindakan manusia.
Justru kadang yang terjadi adalah masalah sosial ketika tindakan dilakukan atas
nama agama. Kritik ini ia tujukan kepada agama Kristen khususnya. Maka, tidak
heran jika kemudian “Nietzsche menyimpulkan ternyata kehadiran atau
ketidakhadiran keimanan Kristen sama sekali tidak memiliki konsekuensi sosial
yang signifikan bagi kehidupan masyarakat modern” (Turner, 2012: 81).

4.2 Pendekatan Strukturalisme


Berbeda dengan bahasan mengenai srukturalisme sebelumnya, kali ini
strukturalisme diartikan sebagai “sebuah teori yang memusatkan perhatiannya pada
struktur... linguistik” (Raho, 2007: 189). Ciri khas yang dimiliki strukturalisme ada
tiga.

“Pertama, bahwa dibalik yang tampak di permukaan (seperti fenomena sosial-


budaya dan bahasa) ada sesuatu mekanisme atau sistem yang mengatur
polanya dan bersifat tetap. Kedua, posisi peneliti dalam strukturalisme bersifat
berjarak sehingga hasil dari penelitian dengan menerapkan pendekatan
strukturalisme tersebut bersifat objektif. Ketiga, strukturalisme mementingkan
sistem atau oposisi biner pada analisis bahasa atau makna” (Lubis, 2015: 250).

Perkembangan awal strukturalisme ini hadir di lingkungan para intelektual


linguistik. Karena strukturalisme ialah ilmu bahasa, maka penting untuk memahami
dasar-dasar struktralisme. Saussure memperkenalkan sistem tanda dengan langue
dan parole. Struktur bahasa, bagaimanapun, pemaknaannya tidak sama dengan
fenomenologi yang berpijak pada pemaknaan individu. Para ahli bahasa
menganalisis dengan menggunakan bahasa formal dan objektif. Mengingat
strukturalisme memiliki karakteristik sama dengan fungsionalis-struktural, yakni
berjarak dengan yang diteliti.
Pada perkembangan selanjutnya, strukturalisme bergerak kepada analisis
semiotik. Kajian strukturalis pun meluas dan tidak lagi hanya terbatas pada lisan

47
dan tulisan, namun teks secara keseluruhan. Teks, menurut Barthes, meliputi
“sistem simbol lain, seperti ekpresi wajah, gerak-gerik tubuh, naskah sastra dan
bahkan semua bentuk komunikasi lainnya” (Raho, 2007: 191). Unit analisis pun
berkembang mencakup gambar, lisan, tulisan dan gabungan antara ketiganya
(video). Keterikatan teks dengan konteks mengharuskan strukturalis
memperhatikan dialektika sejarah. Marx dan Foucault, dalam hal ini memiliki sifat
strukturalis dalam analisisnya. Keduanya menganalisis agama secara strukturalis
sebelum kemudian mengarahkan kepada materialisme. Perbedaan antara Marx dan
Foucault dengan para strukturalis klasik adalah cara pandang mereka terhadap
individu. Marx melihat bahwa strukur tidak menentukan tindakan individu secara
determinan, namun ada dialektikanya.
Analisis strukturalisme Marx terhadap agama terlihat dari caranya melihat
doktrin-doktrin gereja yang mampu membuat penganutnya menjadi candu. Dengan
adanya agama, manusia bisa bergantung pada pengandaiannya, yakni sesuatu yang
supranatural. Feuerbach senada dengan Marx, juga memandang agama “tidak lebih
daripada proyeksi hakikat manusia. Namun, kemudian manusia lupa bahwa
proyeksi itu adalah dirinya sendiri” (Noor, 2010: 164).Strukturalisme Marx dan
Marxis sedikit berbeda dengan strukturalis pada umumnya. Mungkin, satu-satunya
persamaan antara strukturalisme Marx dan strukturalisme linguistik sama-sama
memperhatikan nilai dari sejarah. Pada akhirnya, Marx tidak terarik untuk
mempelajari strukturalisme yang berkaitan dengan pikiran (seperti strukturalis yang
lain). Ia lebih tertarik dengan analisis yang struktur yang berkaitan dengan struktur
makro seperti suprastruktur dan basis struktur dalam struktur sosial.
Foucault, dalam pandangan strukturalnya, melihat melalui diskursusnya
dalam pendisiplinan tubuh. Agama, seperti kebijakan lainnya, telah merenggut
kebebasan individu atas tubuhnya. Misalnya dengan aturan-aturan keagamaan
tentang aurat, larangan mengonsumsi makanan tertentu dan syarat-syarat
menyangkut hubungan badan (dalam hal ini Foucault lebih banyak berfokus pada
masalah seks). Anehnya, berbagai pengekangan oleh agama selalu mendapatkan
maklum dari penganutnya. Ada kekuatan yang bersifat kuasa yang mampu

48
mendorong mereka untuk patuh (meskipun ada opsi tidak). Kekuatan ini bersifat
begitu halus sehingga tidak menimbulkan semangat revolusi seperti yang dikatakan
Marx, dan kekuatan ini terdapat pada bahasa.
Kajian sosiologi agama dengan pendekatan strukturalisme di era modern
(modernisme masa kini), berkisar pada budaya-budaya populer terutama yang
berhubungan dengan revolusi teknologi media. Penyampaian ajaran-ajaran agama
tidak hanya dilakukan secara konvensional (ceramah agama di tempat ibadah),
namun juga menggunakan sarana budaya-budaya pop seperti acara televisi, musik,
majalah, novel, film dan iklan. Namun, kajian ini lebih lanjut cenderung menjadi
kajian culture studies dan posmodern, termasuk juga pos-strukturalisme.

4.3 Pendekatan Fenomenologisme


Fenomenologi, sebuah pendekatan yang muncul sebagai kritik atas paradigma
fakta sosial dan aliran posistivistik. Fenomenologisme percaya, bahwa individu
memiliki akal budi yang digunakan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.
Keputusan yang diambil dari hasil pertimbangan-pertimbangan ini merupakan hasil
dari pilihan rasionalnya. Setelah itu, baru seorang individu manusia akan
mengaktualisasikannya dalam sebuat tindakan. Alih-alih determinan, realitas sosial
(termasuk struktur) ditafsirkan tergantung pada kesadaran subjektif individu.
Fenomenologi banyak dipengaruhi filsafat eksistensialisme. Manusia
membutuhkan pengakuan akan keberadaanya. Bukan hanya cukup dengan “aku
berpikir, maka aku ada”, namun juga pengakuan bahwa setiap individu mempunyai
kesadarannya masing-masing. Marx, meskipun analisisnya strukturalis, tapi ia juga
tokoh Teori Kritis yang menyadari bahwa kesadaran setiap orang tidak dapat
dipukul rata.Ia membagi kesadaran menurut stratifikasi status kepemilikan modal
yang ia sebut dengan kesadaran kelas.
Tokoh sosiologi agama yang menggunakan pendekatan fenomenologi adalah
Max Weber dan Peter Berger. Meskipun keduanya menggunakan pendekatan yang
sama, fenomenologi yang mereka gunakan berbeda dengan fenomenologi awal.
Fokus fenomenologi awal (yang cenderung ektrem) mendasarkan analisisnya pada
unit paling kecil, yakni pemaknaan subjektif individu. Tokoh-tokohnya seperti

49
Schutz, Mead dan Blumer. Analisis fenomenologi Weber dalam sosiologi agama
lebih dikaitkan dengan ekonomi, sedangkan Berger melihat peran agama dalam
konstruksi sosial atas realitas.
Pemikiran Durkheim tentang yang sakral dan yang profan menjadi satu
pijakan yang penting dalam sosiologi agama. Definisi makna agama pun banyak
meminjam terma-terma yang diungkapkan Durkheim. Selain itu, penjelasan
Durkheim tentang asal-usul agama dalam masyarakat primitif menjadi temuan
penting terkait dengan eksistensial agama dan masyarakat. Melalui masyarakat
primitif, Durkheim juga melihat bahwa pemaknaan mereka terhadap agama
memiliki fungsi. Namun, Durkheim tidak tertarik untuk menjelaskan pemaknaan
agama secara mendalam. Ia hanya tertarik untuk melihat dari perspektif
fungsionalisme.
Konsep „yang sakral‟digunakan Weber pada analisisnya dalam sosiologi
agama. Jika Durkheim mengatakan bahwa yang sakral dan yang profan adalah dua
sisi yang terpisah, menurut Weber belum tentu. Bagi Weber, “prilaku atau nalar
religius dan magis seharusnya tidak dipisahkan dari wilayah kehidupan sehari-hari,
karena tujuan tindakan religius atau magis pada dasarnya bersifat ekonomis”
(Weber, 1996: 1, dalam Turner, 2012: 476). Ia melihat hal ini ada pada penganut
Protestan yang memiliki semangat tinggi dalam hal bisnis dan memupuk
keuntungan. Mereka melaksanakan yang sakral dan yang profan dalam satu waktu.
Sosiologi agama Weber menunjukkan bahwa pemaknaan agama tidak terbatas
pada hal-hal yang mistis maupun yang sakral. Pemaknaan agama juga dapat
membuat antara yang sakral dan profan saling bersinggungan. Hal ini tentu saja
disimpulkan Weber setelah melihat fenomena ajaran Protestan yang mewajibkan
penganutnya untuk meraih keberhasilan di dunia sebelum keberhasilan di akhirat.
Satu hal yang penting dalam pemaknaan terhadap agama adalah cara penganutnya
mendefiniskan ajaran-ajaran dalam agama tersebut. Ajaran-ajaran yang dimuat
dalam kitab yang sama dan dengan kalimat yang sama, belum tentu diinterpretasi
sama untuk setiap individu. Adanya berbagai kitab tafsir dan kemunculan aliran-
aliran dalam suatu agama adalah buktinya.

50
Protestan sendiri dalam sejarah kebangkitannya disebabkan penolakan
terhadap doktrin Kristen Ortodok. Kristianitas yang dimanfaatkan oleh gereja
hanya menghambat mereka untuk bisa meraih posisi-posisi tertentu. Eksistensi
agama pada awalnya juga berasal dari proyeksi daya pikir masyarakat. Ketika sebuah
agama tidak lagi mampu bertindak sebagai kosmos yang melindungi dunia, sudah
sepatutnya ama tersebut ditinggalkan. Ajaran yang menurut Weber memiliki
kesamaan dengan semangat kapitalisme ini, telah meninggalkan ajaran-ajaran agama
yang irasional. Rasionalitas yang diajarkan adalah cara hidup selamat di dunia
dengan hidup hemat, investasi, dan mengumpulkan keuntungan. Ajaran semacam
ini lebih bisa diterima dalam masyarakat modern.
Eksistensi suatu agama, ada karena ada yang mempercayainya dan
menganutnya. Sebaliknya, manusia juga menggunakan agama sebagai sarana
pengakuan untuk mengukuhkan eksistensi dirinya. Pengakuan oleh agama dapat
dilihat dari perlindungan yang diberikan oleh agama. Berger mengatakan, sebagai
langit suci, agama mengajarkan nilai-nilai yang menghindarkan manusia dari kondisi
hampa makna atau dalam terminologi Berger, ketanpamaknaan (meaninglessness).
Agama hadir sebagai pedoman moral dan kognitif yang mencegah manusia dari
penderitaan, misalnya mati dan sakit (akibat ulah manusia). Dengan perlindungan
yang diberikan oleh kosmos, keberadaan manusia pun diakui oleh alam semesta.
Agama dalam tradisi fenomenologisme dipandang sebagai suatu sistem
simbol. Untuk memahami agama, diperlukan pemaknaan terhadap simbol-simbol
termasuk norma, nilai dan hubungannya dengan budaya masyarakat setempat. Jika
strukturalisme percaya bahwa struktur menentukan tindakan, maka jika sebuah
agama mengajarkan pada keselamatan dengan menaati hukum-hukumnya, anomie
dan pelanggaran tidak akan terjadi. Namun, karena individu mempunyai interpretasi
subjektif terhadap agama, juga karena ia mempunyai kuasa atas dirinya untuk
memutuskan, pernyataan strukturalisme semacam itu telah ditolak. Ajaran agama
yang sama belum tentu membentuk tindakan yang sama pada masing-masing
penganutnya. Alasannya, karena struktur tidak menentukan keputusan individu
secara determinan.

51
4.4 Pendekatan Humanisme
Humanisme, suatu ketika dikategorikan dalam modernisme, pada kali lain
masuk dalam posmodernisme. Kedua periode keilmuan tersebut seolah berebut
untuk mengklaim, bahwa alirannyalah yang berhasil menemukan ilmu yang lebih
manusiawi dari periode ilmu sebelumnya. Humanisme dalam teori-teori modern,
muncul sebagai reaksi dehumanisasi yang dilakukan oleh kekuasaan agama pada
pertengahan abad 19. Jika dilihat dari pokok ajaran-ajaran agama, para filsuf sepakat
bahwa agama pada dasarnya sejalan dengan agenda-agenda humanisasi. Namun,
praktek-praktek agama yang berwujud doktrin semakin tidak rasional dan
mengasingkan manusia dari kehidupannya. Maka, muncullah kritik-kritik yang
menginginkan agar manusia kembali dimanusiakan.
Teori-teori modern merasa bahwa humanisme bisa diraih kembali dengan
mengembalikan rasionalitas manusia. Teori-teori abad 20 berusaha menunjukan
bahwa warisan intelektual manusia mirip dengan yang dikatakan oleh Darwinis
seperti Comte. Manusia modern dengan intelektual matang berada di tahap
positivistik, bukan teologis atau metafisis. Namun, analisis teori modern seperti
“strukturalisme dan teori-teori abad ke-20, di mana kaum strukturalis begitu kritis,
bukan humanis” (Turner, 2012: 106). Humanisme Abad Pertengahan yang
teosentris, digantikan dengan humanisme Abad Pencerahan yang antroposentris.
Sampai pada humanisme kontemporer, humanisme berkembang menjadi ateistik.
Analisis teori pada masa ini sangat terpengaruh tren sekularisme yang sedang
populer saat itu, dimana “para humanis mendeklarasikan diri untuk bebas dari
Tuhan” (Hadi, 2012: 116).
Agama-agama humanis pada era modern tidak selalu berhubungan dengan
kekuatan supranatural. Ajaran-ajaran yang dianggap masuk akal dan mampu dinalar
secara logis lebih mudah diterima daripada hanya mengandalkan kepercayaan pada
sesuatu yang abstrak. Pemujaan terhadap filsafat dapat melahirkan agama baru,
yakni agama manusia. Penyebutan agama manusia diperuntukkan agama yang lahir
dari proses berpikir manusia dan ditemukan oleh manusia, contohnya
Confusianisme dan Taoisme. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan

52
agama yang dikategorikan berasal dari Tuhan atau disebut juga dengan agama
Ibrahimiah.
Weber, kemudian menemukan fenomena-fenomena irasionalitas dalam
masyarakat modern. Ia sendiri mengemukakan teori yang erat hubungannya dengan
rasionalitas, yakni birokratisasi. Berangkat dari rasionalitas Weber, Ritzer lebih
konkret memberikan kritik dalam teorinya, McDonalidisasi masyarakat. Ritzer
mengungkap fenomena-fenomena irasionalitas yang sebenarnya dilakukan manusia
dengan pertimbangan rasionalitas yang matang. Ritzer juga mengatakan bahwa
masyarakat modern dalam rasionalitasnya telah melakukan dehumanisasi. Misalnya
saja sapaan tanpa makna oleh pramusaji dan petugas kasir kepada pelanggan yang
sudah diskenariokan.
Kritik-kritik atas modernisme bermunculan hingga pada puncaknya lahirlah
teori-teori yang menolak modernisme. Teori-teori ini adalah Teori Kritis dan
posmodern. Posmodern dalam hal ini benar-benar ingin lepas dari modernisme.
Posmodern ingin mengembalikan aspek-aspek humanis seperti yang sebelumnya;
kembali pada makna humanisme yang “berkaitan dengan keunggulan ontologis
manusia di hadapan Tuhan” (Turner, 2008: 105). Hal ini pula yang dapat
menyebabkan posmodern dipandang merindukan romantisme nilai-nilai
klasik.Namun, sayangnya:

“posmodernisme gagal dalam upaya humanisme, historis, konvensi dan upaya-


upaya inferential lainnya. Sebaliknya, konsekuensi yang tak bisa diduga dari
praktek budaya posmodernisme adalah (1) humanisme palsu; (2) historisitas
de-semantik; (3) bukan konvensi, tapi „golongan perintis yang mundur ke
belakang‟; dan (4) pencarian sesuatu, katakanlah „referensi yang hilang”
(Turner, 2008: 105).

53
4.6. Soal-Soal Latihan
1. Bagaimana struktural fungsional membahas agama?
2. Berikan penjelasan pandangan structural Foucoult yang mengatakan bahwa
agama telah merenggut kebebasan individu terhadap tubuh?
3. Bagaimana pemahaman agama dipandang secara fenomenologi?
4. Jelaskan Humanisme dalam agama!

54
BAB 5
SOSIOLOGI AGAMA DALAM TEORI
KRITIS

Lubis mengatakan terdapat distingsi antara teori kritis (yang ditulis tanpa
huruf kapital) dan Teori Kritis (yang ditulis dengan awalan kata menggunakan huruf
kapital). Teori kritis mencakup segala pemikiran yang bersifat kritis, baik terhadap
ilmu pengetahuan dan budaya dengan wilayah yang luas, sedangkan Teori Kritis
lebih ditujukan kepada tokoh-tokoh intelek yang berada di bawah naungan Mahzab
Frankfurt. Bahasan kita dalam bab ini adalah Teori Kritis. Menurut Lubis, yang
termasuk dalam tokoh-tokoh Teori Kritis dimulai dengan filsafat kritis Jerman yang
nantinya mendorong lahirnya tokoh-tokoh Teori Kritis generasi pertama.Para filsuf
kritis tersebut adalah Kant, Hegel, dan Marx.
Nama Immanuel Kant menjadi filsuf pertama yang disebut oleh Lubis (2015)
ketika membahas filsafat kritis. Kant menyumbang kritik terhadap Lingkaran Wina
yang sedang mengembangkan positivisme logis. Kant tidak setuju dengan syarat
keilmiahan suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya saling bertentangan, yakni
rasionalisme dan empirisme. Kemudian Kant menawarkan solusi agar keduanya
dapat bertemu, yakni dengan “analisis kegiatan akal-budi”. Kegiatan rasional
manusia yang menggunakan akal budi, ternyata memiliki kelemahan berupa
batasan-batasan rasio. Kant mengkategorikan hal ini sebagai fenomena dan “kita
tidak dapat mengetahui sesuatu di luar fenomena (atau yang diistilahkan dengan
dengan istilah das Ding an sich/noumena)” (Lubis, 2015: 6).
Hegel tidak setuju tentang pendapat Kant. Baginya, realitas adalah
perwujudan dari rasio itu sendiri. Hegel terus membela idenya tentang idealisme ini.
Sebenarnya, baik Kant maupun Hegel merupakan tokoh penganut aliran idealisme.
Namun, ketika memasuki abad pencerahan, gaya pemikiran kritis yang sudah tidak
lagi menganut tradisi lama “menerima ilmu pengetahuan begitu saja” terus

55
berkembang. Para murid mulai mengkritisi apa yang disampaikan gurunya jika
dirasa kurang tepat. Para tokoh dala naungan aliran yang sama pun juga mulai saling
mengkritisi. Seperti halnya Kant, Hegel, dan Marx.Mereka mengkritisi pemikiran
yang justru pada awalnya sangat mempengaruhi pemikiran mereka.
Kembali ke Hegel. Ciri khas filsafat idealisme ialah mengutamakan ide-ide
atau rasio dari manusia dalam memahami realitas. Bagi mereka, ketika kita
memandang dunia, bagaimana dunia tercipta, bagaimana benda-benda di sekitar
kita ada, adalah sebagai perwujudan dari ide-ide manusia. Mereka yakin bahwa
dunia berawal dari ide. Baru setelah itu, material-material di sekitar kita menjadi
nyata. Fokus utama filsafat idealisme Hegel adalah ide manusia sebagai rasio yang
membentuk kenyataan dan menentang adanya antinomi atas fenomena dan
noumena. Hegel tidak setuju dengan keterbatasan yang dikatakan Kant dalam
mengukur rasio manusia.
Filsafat Hegel ini pun tidak luput untuk dikritisi. Marx, seorang murid Hegel,
juga mengkritisi filsafat idealisme. Marx yang tergabung dalam kelompok Hegelian
Kiri memandang bahwa manusia lahir ke dunia dengan materi yang sudah ada di
hadapannya. Ia bersama Engels menekankan bahwa segala tindakan manusia
dipengaruhi oleh kebutuhan manusia untuk hidup. Kebutuhan-kebutuhan ini
berwujud material. Material historis Marx menjelaskan tentang sejarah kehidupan
manusia yang seluruhnya adalah sejarah materialisme dan perebutan hak atas materi
tersebut. Bagi Marx, bentuk masyarakat yang paling ideal adalah masyarakat
komunis: tidak ada privatisasi yang berujung pada pembagian kelas. Meskipun
pemikiran Marx sangat mempengaruhi perkembangan Teori Kritis, beberapa
pandangannya justru ditinggalkan karena tidak lagi sesuai dengan masyarakat
kontemporer.
Satu pondasi Teori Kritis yang sangat melekat dipengaruhi oleh Marx adalah
sifatnya yang emansipatoris. Ciri lain yang khas dari Teori Kritis adalah (berusaha)
memberi solusi, yang artinya pada setiap analisis dicarikan alternatif jalan keluar.
Teori Kritis generasi pertama meliputi Walter Benjamin, Friedrick Pollock, Max
Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm, Nathen Ackerman, Franz L.

56
Neumann, Herbert Marcuse dan Henryk Grossman; generasi kedua diwakili oleh
Jurgen Habermas; dan generasi ketiga diwakili Axel Honneth (Lubis, 2015: 15).
Tentu saja ada sederet tokoh penting lain yang tidak kalah penting dalam
perkembangan Teori Kritis, seperti Sigmund Freud, Paulo Freire, Henry Giroux
dan Edward Said dan banyak tokoh kritis lain dari berbagai aliran.Kajian yang
masuk dalam bab ini, meliputi beberapa pembahasan kajian sosial teoritis
multidisipliner pemikiran kritis, termasukcultural studies dan feminisme.

5.1 Agama dalam Perspektif Kaum Materialisme


Materialisme sering dilawankan dengan idealisme. Hal ini disebabkan sejarah
kelahirannya yang berasal dari kritik atas filsafat idealisme. Meskipun berangkat dari
filsafat, materialisme kini lebih sering menjadi pembahasan di ranah teori. Tokoh
materialisme yang sangat terkenal dalam sosiologi adalah Marx dan Engels.
Pemikiran dari tokoh kritis penganut materialisme, membuat materialisme masuk
dalam pembahasan bab ini.
Materialisme memandang setiap fenomena sosial yang terjadi beserta
masalah-masalah yang ditimbulkan, semuanya berawal dari materi. Materi mulai
menimbulkan masalah ketika ide-ide pembatasan hak milik (privatisasi) diterapkan.
Bagi penganut materialisme, bukan ide yang menentukan perilaku manusia
melainkan materi. Sejarah membuktikan bahwa semenjak adanya privatisasi,
muncul stratifikasi dalam bentuk kelas-kelas yang cenderung diukur secara
ekonomis: feudalisme dan kapitalisme. Pembatasan akses membuat segelintir orang
menjadi istimewa dengan hak-hak khusus dan yang lainnya membutuhkan „biaya‟
lebih banyak untuk mengaksesnya.
Begitu juga agama. Agama memiliki stratifikasi. Stratifikasi ini paling jelas kita
temukan dalam agama Hindu dengan lima kasta. Namun, pada dasarmya setiap
agama memiliki stratifikasi, bahkan pada agama-agama yang mengaku menolak
bentuk kasta sekalipun. Perlu diingat, agama memiliki sisi yang sakral, yang jika
tidak berasal dari kekuatan supranatural, berasal dari kharisma. Kharisma ini bisa
dikarenakan wahyu dari Tuhan atau amanat dari tokoh kharismatik (nabi) pada

57
agama Ibrahimiah, atau juga karena kemampuan berpikirnya dalam memahami
kehidupan pada agama-agama filsafat. Satu hal yang sama yang dimiliki oleh strata
atas tersebut adalah hak istimewa untuk dipercaya mempelajari agama lebih dari
yang dipelajari orang lain.
Akses ini bukan hanya berupa hak untuk mempelajari agama. Namun, juga
berarti mendapatkan hak untuk dipercaya tafsir agamanya dibanding dengan orang
biasa. Contohnya adalah para brahman, ulama, pastor dan santo. Apa yang
dikatakan dimaknai lebih dari apa yang orang biasa katakan. Makna, dalam hal ini
lebih dimaknai secara materialis, ketimbang teoritis. Sebab, makna bukan hanya
dianggap sebagai kegiatan kognitif, melainkan materi atau benda yang diberikan dan
diterima dengan melakukan pengorbanan (baca: agama sebagai pertukaran sosial).
Terjadi pergeseran nilai kharismatik. Hak dakwah yang sebelumnya hanya
dimiliki oleh ahli agama yang tidak sembarangan, kini bisa diwakilkan atau bahkan
diciptakan dengan mudah. Jika seharusnya dilakukan oleh kiai, kini bisa dilakukan
oleh aktor. Menjadi ustad juga tidak lagi sesulit sebelumnya. media sangat
membantu dalam hal ini. Kadang, cukup hanya dengan membaca buku-buku
panduan agama dan menonton ceramah di youtube. Setelah itu, langkah kedua adalah
menjadi viral. Kita bisa menemukan tokoh publik baru yang terkenal karena
ceramah agamanya di media online dan diundang televisi. Pers memegang peran
penting dalam hal ini. Ritzer memasukkan fenomena ini sebagai gejala
McDonaldisasi.
Turner (2012) mengawali pembahasan agama secara materialis dengan
pendapat Foucault tentang tubuh dan agama. Diskursus tentang tubuh, Foucault
temukan dalam analogi-analogi yang digunakan dalam ajaran-ajaran agama,
khususnya Kristen. Ketika Yesus menjadi kepala dari tubuh mistik Kristus dan Roh
Kudus menjadi jiwanya, manusia menjadi sel per individu. Secara kuantitas, seperti
pada organisme, sel akan bertambah banyak. Bertambahnya pengikut dengan
analogi sel ini merupakan hal yang baik. Namun, ketika pelanggaran dilakukan,
seorang penganut akan “menjadi semacam kanker yang menekan tubuh manusia itu

58
sendiri” (Smith, 2004: 379). Dengan kata lain, “tubuh adalah tempat jiwa belajar
dan sekaligus penghalang keselamatan (salvation)” (Turner, 2012: 11).
Materialis-historis tradisional (a la Marx dan Engels), tidak pernah melupakan
mode produksi dalam analisisnya. Bagi Engels, perkawinan menjadi hubungan
kontraktual yang menjaga perpindahan harta. Kontrak ini disahkan oleh agama dan
hukum. Selain itu, agama juga dapat membatasi hak-hak individu untuk
menentukan dengan siapa akan menikah. Khususnya agama dengan aturan kasta
yang ketat, seperti Hindu. Campur tangan agama terhadap hak perkawinan (dan
seks) individu ini masuk dalam diskursus Foucault sebagai bentuk kontrol agama
terhadap tubuh.
Hampir setiap agama mengajarkan mengenai kontrol terhadap tubuh.
Misalnya saja tentang aturan seks dan perkawinan (seperti dalam paragraf
sebelumnya), aturan tentang cara berpakaian ketika melakukan ibadah, aturan wajib
berkerudung bagi wanita muslimah, sampai kepada tata cara menyucikan diri yang
baik. Kontrol ini tidak selalu diartikan sebagai hal yang negatif (meskipun kadang
merepotkan). Sebab, seperti kata Berger, agama dapat menjadi langit suci yang
melindungi pengikutnya melalui aturan-aturannya.
Materialisme Marxis tradisional kini mulai ditinggalkan. Beberapa ajaran Marx
dirasa sudah tidak relevan dengan masa sekarang. Revolusi tidak pernah terjadi.
Perkembangan kapitalisme yang canggih bukan hanya soal mekanismenya dalam
hal produksi. Terintegrasinya buruh ke dalam sistem, membuat buruh tak lagi
bersemangat untuk melakukan pergerakan yang radikal, seperti menentang sistem.
Begitu juga agama. Agama tidak lagi mempertahankan status quo secara ketat.
Doktrin agama juga dilakukan lebih halus dan menyenangkan melalui iklan, musik
dan film misalnya.
Analisis hubungan agama dan materialisme diperantarai oleh budaya populer.
Sistem kapitalis merubah agama menjadi komoditas yang memiliki nilai jual. Musik-
musik rohani yang diperoduksi massal memiliki daya jual tinggi. Acara-acara rohani
bertebaran di TV dalam bentuk kultum, talkshow, juga sinetron dengan rating yang
tinggi. Negara dengan mayoritas masyarakat beragama, dapat menjadi lahan basah

59
untuk menjual produk yang bernilai religius. Hal ini lebih lanjut menjadi bahasan
bagi kajian culture studies.

5.2 Agama dalam Perspektif Orientalisme Edward Said


Orientalisme bukanlah kajian baru dalam ilmu sosial maupun budaya.
Namun, orientalisme Edward Said membawa kebaruan dalam orientalisme klasik.
Ia menolak tradisi lama orientalisme yang penuh prasangka dan etnosentris. Seperti
Marx, ia tak segan-segan untuk mengungkapkan kritik tajam atas perbandingan
Timur-Barat yang dilakukan oleh kolonialis. Alasan ini pula yang membuat Edward
Said termasuk dalam jajaran tokoh poskolonialis.
Menjelajahi benua lain untuk melakukan inventarisasi budaya seperti sebuah
adat bagi seorang antropolog. Selanjutnya, mereka melakukan penilaian dengan
memperbandingkan berbagai budaya di luar sana dengan budaya bangsanya.
Perbandingan ini mempergunakan kriteria sepihak: budaya mereka buruk, budaya
kita baik. Penjelajahan ini juga dilakukan sambil melakukan penjajahan. Penelitian-
penelitian tentang kebudayaan banyak dipergunakan untuk keperluan menyusun
taktik bentuk penjajahan. Hal ini banyak terjadi pada masa-masa kolonialisme.
Sehingga, kaum orientalisme ini disebut juga kolonialis.
Perasaan superior dan merasa budayanya berada di puncak peradaban,
membuat para orientalis enggan melihat budaya lain secara mendalam. Bagi mereka,
jika suatu budaya tidak menunjukkan kemajuan teknologi secara mutakhir seperti
yang ada di Barat, maka budaya itu adalah budaya rendah. Tren positivistik yang
kuat mempengaruhi pola pikir intelektual kala itu. Semuanya diukur dengan skala
keilmiahan. Melalui penilaian budaya, kolonialis sekaligus juga orientalis saat itu,
membuat klaim-klaim kebenaran universal menurut standar ilmu pengetahuan
Barat.
Muncul tokoh-tokoh poskolonialisme sebagai bentuk simpati atas penilaian
budaya yang sepihak ini. Para tokoh poskolonial ini mengkritik bahwa menilai
tradisi lain sebagai biadab hanya karena tidak sesuai dengan kebudayaannya
hanyalah penilaian yang sifatnya etnosentris. Perlu adanya kesadaran ilmiah baru.
Kesadaran bahwa klaim kebenaran ilmiah sebuah teori tidak selalu berlaku di segala

60
situasi dan kondisi. Tidak ada yang namanya kebenaran universal. Poskolonialisme
menawarkan kesadaran ilmiah baru. Ide untuk mengakui bahwa sebuah teori tidak
selalu dapat menjelaskan segala realitas. Penerimaan pluralitas mengharuskan untuk
menelaah kembali “konteks sosial-budaya di mana teori tersebut dapat diterapkan”
(Lubis, 2015: 134).
Said merupakan salah seorang poskolonialis ini. Ia berusaha menelusuri
adanya permainan kekuasaan dalam orientalisme. Menggunakan metode Foucault,
arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan, Said berhasil menemukan bahwa
dalam orientalisme, ada stereotipe yang sengaja diciptakan. Hal ini bertujuan untuk
mendukung kolonialisme yang terjadi saat itu. Orientalis mampu membuat klaim-
klaim tersebut karena mempunyai kekuatan berupa kuasa pengetahuan. Sehingga
klaim tersebut bukan sekadar premis-premis spekulasi. Klaim tersebut memiliki
kekuatan untuk membentuk diskursusnya sendiri.
Salah satu yang menjadi sasaran penilaian kaum orientalis lama adalah agama,
terutama Islam. Islam dinilai sebagai agama yang tidak rasional karena tidak mampu
membawa manusia pada kemajuan. Said mengkritik hal ini dalam bukunya Covering
Islam. Menurut Said, penilaian yang diajukan oleh kaum orientalis lama terhadap
Islam tidak bisa mewakili ajaran Islam sepenuhnya. Tanpa memahami secara
mendalam, penilaian itu bersifat dangkal dan kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Said, dalam hal ini, selalu memandang orientalisme lama dengan pandangan negatif
dan Said mendapat kritikan atas ini.
Meskipun Said tidak selalu menghujat semua ilmuan Barat, ia cenderung
berprasangka buruk terhadap kaum orientalis. Baginya, orientalis melakukan
perbandingan dengan semena-mena. Mereka sama sekali tidak memiliki simpati atas
(kebudayaan) masyarakat yang dijajah oleh kolonial. Pandangan ini kemudian
dikritik oleh Koft. Koft melihat bahwa orientalisme (lama) juga membawa beberapa
sisi baik bagi dunia Timur. Koft melihat manfaat adanya kolonialisme bagi dunia
Timur, yakni membantu menyebarkan sekaligus membangun modernisasi yang
telah tertinggal jauh. Menurut Koft, Said telah melupakan hal ini.

61
Terlepas dari kritik tersebut, Said masuk dalam jajaran sosiolog yang
melakukan pembelaan terhadap Islam. Beberapa sosiolog lain, ketika melakukan
kritik terhadap Kristen, cenderung menggunakan Islam sebagai komparasi.
Misalnya saja Nietzsche, Foucault dan Weber. Tiga alasan yang mungkin
mendasarinya adalah karena Islam dan Kristen adalah dua agama raksasa dengan
pengikut terbanyak di dunia. Artinya, Islam merupakan tandingan untuk Kristen.
Alasan lainnya, karena latar belakang lingkungan para sosiolog tersebut
menumbuhkan pemikiran intelektualnya. Nietzsche, Foucault dan Weber tumbuh
di lingkungan yang terpengaruh otoritas gereja. Kekacauan yang ditimbulkan gereja
saat itu terasa lebih berat, dan pula, mereka jadi lebih memahami kekristenan dari
dalam sebelum memperbandingkannya. Hal terakhir yang menjadi alasannya adalah
kedekatan antara Islam dan Kristen, baik secara historis dan teologis.
Konsep Islam sebagai perwakilan agama dari Timur juga mengundang
perdebatan. Jika hal ini didasarkan pada letak geografis, Islam merupakan agama
Barat. Secara historis, Islam banyak menguasai wilayah-wilayah di negara Barat.
Islam juga termasuk kekuatan terbesar dalam menaklukan Eropa, baik secara
politis, agama maupun penyebaran budaya. Namun, pada kenyataannya, sampai
sekarang pernyataan „Islam agama Timur‟ masih banyak digunakan. Ada juga yang
melacak model pemikiran Barat dan Timur. Model pemikiran Barat yang rasional
dan terbuka merupakan warisan dari Yunani. Islam, dalam hal ini juga mengambil
peran penting sebagai perantara dan penerjemah dari budaya Yunani ke negara-
negara Barat. Peran Islam tetap dipandang tidak terlalu berarti.Said kemudian
mengatakan, bahwa analisis yang digunakan kaum orientalis cenderung angkuh dan
keras kepala.
Ketika Said menemukan diskursus orientalisme lama, ia mengatakan bahwa
diskursus tersebut tidak benar-benar terjadi. Ketika kolonialis membangun wacana
tentang Timur, masyarakat Timur tidak membuat wacana balik tentang Barat. Tidak
ada wacana tandingan, tidak ada diskursus yang seimbang. Melalui orientalisme-nya,
Said membuat diskursus Timur sebagai tandingan untuk diskursus orientalisme
lama.

62
5.3 Agama dalam Perspektif Feminis
Ketika membahas gerakan emansipatoris, rasanya gerakan feminis sama
sakralnya dengan gagasan revolusi Marx. Perbedaanya, jika revolusi Marx tidak
terlaksana, feminisme telah terlaksana dan telah mengalami banyak perubahan dan
perkembangan sampai saat ini. Feminisme dapat dipandang sebagai paradigma,
pendekatan atau juga gerakan. Ada empat konsep yang harus diketahui ketika
mempelajari feminisme, yaitu “female, feminitas, feminim dan feminisme” (Anwar,
2009: 7). Female mengacu pada keadaan biologis sebagai perempuan. Feminitas
berkaitan dengan konstruksi budaya tentang kadaan seorang perempuan. Berbeda
dengan feminim, feminitas lebih terkait standar natural perempuan. Sedangkan,
feminim merupakan kontruksi sosial perempuan berdasarkan ideologi patriarkhi.
Untuk feminis sendiri, menyelidiki isu perempuan terkait dengan tiga hal di atas
disertai dengan posisi politik perempuan.
Feminisme mengundang banyak perhatian, baik yang mendukung, menolak
atau yang sekedar mengkritisi. Masa-masa perkembangan feminisme melahirkan
beberapa aliran dalam tiga gelombang. Gelombang pertama awal kemunculan
feminisme, merupakan awal penting di mana para tokohnya memulai gerakan
penyadaran bahwa perempuan mengalami pengucilan dari ranah politik. Pada fase
awal feminisme ini, tokoh-tokohnya seperti Mary Wollstonecraft, Sojourner Truth
dan Elizabeth Candy Stanton, lebih banyak melakukan perjuangan agar kaum
perempuan mendapat hak akses seperti laki-laki (terutama akses kepada pendidikan
dan politik). Feminisme gelombang pertama memulai upaya penyadaran kepada
para perempuan, bahwa perbedaan jenis kelamin dan keadaan fisik tidak bisa
menjadi legitimasi untuk mendiskriminasi perempuan.
Gelombang feminisme kedua muncul setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Gerakan-gerakan yang menjadi agenda gelombang ini merupakan kelanjutan dari
agenda gelombang sebelumnya. Hanya saja, lahirnya gelombang ini juga sebagai
reaksi atas kekecewaan akan lemahnya perlindungan hak sipil. Selain itu, pemikiran
gelombang ini sedikit terpengaruh oleh Teori Kritis yang mulai bangkit saat itu.
Gerakan-gerakan yang berusaha untuk meminimalisir kesenjangan dengan laki-laki,

63
justru menjerumuskan perempuan pada usaha untuk menjadi superior. Ini
merupakan akibat dari teori-teori dan gagasan feminis lama yang diterapkan pada
kondisi yang berbeda.
Arah feminisme menjadi radikal dan menuntut bukan lagi setara dalam arti
berimbang, melainkan sama. Feminisme gelombang ini juga lupa, bahwa keadaan
perempuan tidak bisa digeneralisi menggunakan satu standar. Perempuan-
perempuan di negara berkembang dan bekas jajahan, memiliki lebih banyak konflik
dan penindasan daripada perempuan yang berasal dari negara-negara merdeka dan
maju. Namun, hal ini juga yang membuat para tokoh feminis melakukan
pengembangan dan kajian ulang pada teori feminisme. Tokoh-tokoh dalam
gelombang ini meliputi Simone de Beauvoir, Betty Friedan, Kate Millet dan
Germaine Greer.
Feminis gelombang ketiga merupakan reaksi, kritik sekaligus perbaikan dari
feminis gelombang kedua. Pengaruh Teori Kritis sangat kuat pada gelombang ini.
Analisis-analisis yang dihasilkan adalah bahwa feminisme sebelumnya hanya
berpusat pada kepentingan perempuan kulit putih Amerika. Hal ini justru membuat
feminisme menjadi bias dan menafikan adanya diskriminasi. Agenda feminis
sebelumnya yang berupa tuntutan untuk menjadi sama dengan laki-laki atau bahkan
melebihinya, cenderung membuat perempuan menjadi penindas baru. Tuntutan
atas perbedaan posisi perempuan dan laki-laki mulai dilonggarkan. Fokus
gelombang ini lebih kepada isu-isu posmodern dan culture studies seperti politik
identitas, posisi politik dan keterasingan. Tokoh-tokoh dari feminis gelombang
ketiga ini adalah Helen Cixous, Luce Irigaray, Sandra Harding dan Yulia Kristeva.
Selain dibagi menjadi tiga gelombang, feminisme juga terbagi menjadi aliran-
aliran. Pertama, aliran feminis liberal. Aliran ini mengutamakan prinsip liberal, yakni
individu memiliki kebebasan dan otonom. Prinsip egaliter ini kemudian membuat
aliran ini lebih menyoroti isu-isu tentang hak akses pendidikan dan politik. Kedua,
aliran feminis radikal. Aliran feminis ini menyoroti tentang perbedaan laki-laki dan
perempuan, terutama perannya. Seperti namanya, aliran ini mempermasalahkan
sampai ke ranah terkecil seperti kewajiban menyusui anak dan aktivitas seks. Secara

64
ekstrem, feminis radikal akan mengekspos ranah yang sebelumnya dianggap tabu
sekalipun, di mana kekerasan baik secara fisik maupun nonfisik tejadi.
Ketiga, aliran feminis Marxis. Aliran ini kadang dijadikan satu dengan feminis
sosialis, tapi juga kadang dipisahkan. Inti dari aliran ini adalah mengutamakan isu-
isu seputar ketimpangan dan penindasan yang tentu saja menggunakan analisis
kelas. Keempat, aliran feminisme posmodernis. Aliran ini lebih berfokus pada
dekonstruksi terma-terma dalam feminisme. Penganutnya tidak lagi hanya berbicara
soal memperjuangkan kesetaraan. Namun, lebih kepada pembangunan ulang makna
maskulinitas dan feminimitas dalam diskursus posmodern. Sebagai perkembangan
lebih lanjut, feminisme posmodern menjadi pos-feminisme.
Perlu diketahui bahwa feminisme tidak terbatas hanya perjuangan perempuan
untuk merdeka, diakui dan setara dengan lelaki dalam kancah perpolitikan. Namun,
agenda feminisme mengalami perkembangan menjadi gerakan pemebasan secara
umum, dan pembebasan perempuan secara khusus. Feminis, dalam hal ini tentu
akan menyentuh agama sebagai salah satu unsur dari sistem yang sering melakukan
pengekangan tubuh dan kadang terlihat memusuhi perempuan.
Agama turut menyumbang konstruksi sosial atas pembentukan gender. Satu
agama yang paling disoroti ketika membahas feminisme, perempuan dan agama,
adalah agama Islam. Aturan-aturan Islam yang ketat dan mendetail tentang
perempuan sering dipandang sebagai kekangan atas perempuan. Aturan-aturan itu
meliputi cara berpakaian yang harus menutup aurat (sesuai batas-batas tertentu)
dengan cara menggunakan baju longgar dan panjang, juga keharusan mengenakan
kerudung untuk menutupi rambut. Islam juga mengatur dengan ketat tentang batas-
batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan harus menjaga nama
baik keluarga dengan menjaga kehormatannya, bahkan dengan nyawa sekalipun.
Namun, Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi.
Sebagai seorang ibu, Allah „menitipkan surga di bawah telapak kakinya‟. Perempuan
juga harus menjadi „barang mahal‟ yang tidak mudah dijamah oleh sembarang laki-
laki. Oleh karenanya muncul aturan-aturan seperti di atas. Hal-hal tersebut menjadi
masalah ketika diterapkan tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Kepentingan

65
menjaga kehormatan demi nama baik keluarga ini, justru mendatangkan bencana.
Harga untuk menjaga nama baik keluarga, harus dibayar dengan nyawa seorang
manusia yang ironisnya adalah putri dari keluarga itu sendiri. Hal ini dikuak BBC
dalam The Death of Princess (1977) (Kimball, 2003: 217).
Ajaran-ajaran yang pada dasarnya mengajak kepada kebaikan, harus dimaknai
secara bijaksana dan sesuai konteks. Bencana-bencana yang terjadi adalah akibat
tindakan yang tidak rasional dan kesediaan penganutnya untuk menjadi “budak
doktrin”. Islam masa kini, tidak menerapkan ajaran-ajaran kuno seperti itu. Lebih
tepatnya, para pengikutnya lebih cerdas dalam memaknai ajarannya. Islam
menghargai emansipasi perempuan. Prinsip fastabiq al-khairat (kompetisi menuju
yang terbaik), diraih dengan kerja sama baik laki-laki maupun perempuan
(Aripudin, 2013: 99). Islam modern juga tidak mengekang perempuan untuk
menjamah sektor publik. Ketika feminisme dikatakan tidak cocok dengan agama,
yang harus dilihat pertama kali adalah aliran feminis yang mana dengan ajaran
agama yang mana (?). Kedua unsur ini penting karena tidak dapat digeneralisir.

5.4 Agama dalam Culture Studies (Kajian Budaya)


Kajian budaya dalam culture studies berbeda dengan antropologi. Culture studies
memandang budaya secara luas yang terangkum dalam istilah “teks”. Teks yang
dimaksud bukan tulisan, namun termasuk diskursus, gaya, pola konsumsi, bahasa,
pola komunikasi dan segala aspek kebudayaan manusia yang dapat ditafsirkan. Cara
penafsiran culture studies menggunakan banyak metode. Kadang mengadopsi ilmu
politik, komunikasi dan antroplogi. Culture studies menempati tempat khusus dalam
sosiologi tekait sumbangannya dalam pemikiran kritis, termasuk posmodern.
Akhyar Lubis (2015), menulis sejarah kelahiran culture studies dalam Centre of
Contemporary Cultural Studies (CCCS) dibidani oleh seorang ahli sastra dan seni
(Richard Hoggart), novelis (Willaim Raymond), ahli sejarah (E.P. Thompson) dan
sosiolog sekaligus teoritikus budaya (Stuart Hall). Tokoh-tokoh culture studies ini
kemudian juga disebut tokoh cultural studies. Buku-buku yang ditulis oleh tokoh-
tokoh ini menjadi tahap awal tumbuhnya cultural studies di Inggris. Mereka memiliki

66
perhatian khusus dengan permasalahan budaya yang “sudah melebar ke persoalan-
persoalan seperti representasi gender, ideologi kelas, ras, etnisitas, pendidikan,
kebudayaan media dan lain sebagainya” (Lubis, 2015: 59). Hal ini sebagai akibat dari
Teori Kritis dan posmodern yang mempengaruhi model dasar analisis mereka.
Lebih lanjut, Lubis juga menjelaskan hubungan antara culture studies,
posmodern dan Teori Kritis. Dasar pemikiran yang sama diantara tiga disiplin
keilmuan tersebut adalah sama-sama menolak penyeragaman dan kepercayaan
bebas nilai yang disematkan pada semua fenomena sosial-budaya. Namun,
nampaknya yang lebih banyak mempengaruhi adalah posmodernisme. Lubis
menyajikannya dalam sebuah tabel panjang mengenai hubungan antara keduanya.
Culture Studies juga mendapat pengaruh dari strukturalisme. Meskipun
kemudian tradisi strukturalisme yang terikat dengan struktur banyak ditinggalkan.
Kajian tentang struktur bahasa dan budaya tinggi dan budaya rendah adalah dua
aspek yang diadopsi dari strukturalisme. Dibalik bahasa, terdapat kekuatan-
kekuataan yang berkuasa. Kekuatan itu meliputi ideologi, politik, kelas, kekuasaan
dan tingkat kebudayaan. Ketidaksetujuan akan kebebas-nilaian yang dianut
strukturalisme membuat culture studies selanjutnya lebih memilih pos-strukturalisme
yang melihat bahwa ilmu pengetahuan, ilmu sosial, bahasa dan budaya, termasuk
agama bersifat memihak. Tugas culture studies untuk menunjukkan kecenderungan ke
kelas mana keberpihakannya.
Culture studies memiliki perhatian khusus mengenai budaya tinggi atau budaya
elite dengan budaya rendah atau budaya massa atau budaya populer. Kuntowijoyo,
dalam buku yang dieditori Idy S. Ibrahim, memberikan ciri-ciri yang membedakan
antara kedua kebudayaan ini.

“Budaya elite mempunyai ciri: (1) pemilik tetap menjadi pelaku (ubjek
budaya); (2) pelaku tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya lengkap; serta (3)
pelaku mengalami pencerdasan... Ciri-ciri budaya massa adalah kebalikan dari
budaya elite. Yaitu: (1) objektivasi; (2) alienasi; dan (3) pembodohan”
(Ibrahim, 1997: 10-11).

67
Mengikuti perkembangan teknologi media, kajian culture studies semakin luas.
Meskipun dari awal film, televisi dan karya fiksi sudah menjadi lahan kajiannya,
namun media-media tersebut kini dimanfaatkan oleh lebih banyak pihak, termasuk
untuk media dakwah. Penyiaran agama turut memanfaatkan kecanggihan teknologi
media. Dakwah sudah tidak melulu dilakukan dengan cara yang membosankan dan
tradisional. Strategi yang lebih menyenangkan dan kekinian untuk menyebarkan
dakwah adalah dengan mengubah bentuknya ke dalam alur film, iklan, acara-acara
televisi, musik dan novel.
Strategi semacam ini nampaknya akan sangat direstui oleh presiden kedua
Indonesia, yakni Suharto. Mengingat pertelevisian dan perfilman Indonesia pada
masa Orde Baruharus menyisipkan nilai-nilai agama. Ketika sebuah film atau
sinetron menampilkan kriminalitas, kesengsaraan akibat pertarungan ilmu hitam
(magis) atau gangguan dunia spiritual, wajib menghadirkan tokoh agama (seperti
kiai) sebagai penengah sekaligus pahlawan yang menyelesaikan masalah tersebut.
Saat ini model-model itu lebih banyak lagi.
Fenomena „media dakwah pop‟ digunakan secara efektif sebagai bentuk
partisipasi dalam revolusi teknologi. Penggunanya disebut oleh Aripudin (2013)
sebagai “mubalig pop”. Film-film dan sinetron bertema religius semakin menjamur.
Alur cerita yang disuguhkan mengikuti selera masyarakat dan dapat dikonsumsi
segala umur. Umumnya, selain fokus pada agama, alur yang ditampilkan juga
menyorot keluarga sekaligus romantis. Contohnya adalah film Ayat-ayat Cinta,
Ketika Cinta Bertasbih, Perempuan Berkalung Sorban dan 99 Cahaya di Langit Eropa. Film
Ayat-ayat Cinta bahkan membuat season 2 pada tahun 2018.
Analisis yang berkembang dalam mengkaji film-film ini pun melebar. Kajian
semiotik kadang mengarahkan kepada ranah ekonomi, budaya pop dan keagamaan.
Keuntungan ekonomis yang pertama diraih dengan hasil penjualan film dan yang
kedua dari hasil penjualan produk-produk yang berlabel Ayat-ayat Cinta. Analisis
budaya pop yang melihat budaya dahwah baru melalui media pop, membuat
dakwah tidak lagi selalu harus dilakukan oleh tokoh kharismatik. Kharisma itu

68
dapat diwakilkan pada aktor maupun aktris profesional yang memerankan karakter
mereka dengan apik.
Dakwah untuk menyerukan nilai-nilai Islam tidak lagi disampaikan dengan
cara menyuruh-nyuruh, namun lebih dengan penyampaian pesan-pesan melalui, apa
yang disebut kaum strukturalis dengan „tanda‟.Aripudin menjelaskan bahwa:

“Penyampaian pesan-pesan Islam tidak lagi dengan kata-kata bahwa kerudung


itu wajib, menutup aurat itu kemestian seorang muslimah, apalagi bahasa-
bahasa seperti hijab (arti katanya adalah menutup). Karena kata tersebut kurang
mengena arus kultural masyarakat, atau dalam bahasa lain, kata-kata tersebut
tidak sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat, dalam hal ini adalah
budaya pop” (2013: 38).

Adorno lebih tertarik pada analisis bidang musik. Ia meletakkan dasar


pemikiran penting budaya Teori Kritis dalam culture studies melalui karyanya On
Popular Music. Adorno melihat adanya perubahan dalam budaya permusikan. Musik
sudah tidak lagi menjadi seni yang merdeka. Hal ini terjadi ketika musik menjadi
sebuah komoditas dan barang konsumsi yang diperjualbelikan. Agar laku dan
menghasilkan untung, industri hiburan menetapkan standar-standar untuk
menentukan kelayakan sebuah musik. Standar ini muncul sebagai akibat dari adanya
rasionalisasi akan modernisme. Kemudian, Adorno bersama dengan Hokheimer
mengkritik, kemajuan iptek dan modernisme justru membuat manusia menjadi
objek (konsumen). Seni yang sebelumnya menjadi sebuah sisi lain dari dunia yang
membosankan (rutinitas), kini turut dieksploitasi demi kepentingan industri.
Musik menjadi salah satu bentuk seni yang sering digunakan untuk
menyampaikan kritik. Namun, seperti yang dikatakan Adorno, musik kini hanya
menjadi produk komoditas yang sudah dipesan. Musik yang beredar adalah musik-
musik yang diizinkan untuk diedarkan. Pembatasan ini sangat terasa ketika
Indonesia berada pada era Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama membatasi
dunia musik dengan pelarangan menyanyikan musik yang berasal dari luar
Indonesia, khususnya lagu-lagu Barat. Orde Baru mengizinkannya, namun, untuk
lagu yang mengandung lirik mengkritik pemerintah akan dilarang terbit.

69
Musik juga tidak bisa menghindar dari pemanfaatan oleh para mubalig pop.
Lagu-lagu religius banyak beredar. Ada musisi yang menciptakan lagu religius secara
konsisten, ada juga yang menciptakannya secara musiman ketika ada momen
tertentu, misalnya hari raya agama.Beberapa musisi Indonesia yang dikenal banyak
menciptakan, atau sekadar menyanyikan lagu-lagu religi adalah Rhoma Irama,
Opick dan Haddad Alwi. Ada juga musisi religi luar negeri yang populer seperti
Maher Zain. Film-film religi juga tidak lupa untuk menyelipkan potongan lagu-lagu
religi dalam sekuel-sekuelnya.

5.5 Soal-Soal Latihan


1. Bagaimana sosiologi agama dalam teori kritis?
2. Bagaimana pemahaman agama menurut kaum materialisme?
3. Bagaimana orang oriestalisme memandang agama?
4. Berikan penjelasan perspektif feminism tentang agama!
5. Bagaimana agama dalam kajian masyarakat budaya?

70
BAB 6
AGAMA DALAM PERSPEKTIF
POSMODERN

Posmodernisme diartikan berbagai macam menurut perspektif yang kita


gunakan. Posmodern dapat diartikan sebagai bentuk neo-konservativisme, anti-
modernisme atau juga di luar modernisme (Turner, 2008). Posmodern sebagai
bentuk neo-konsevativisme muncul, karena adanya noltalgia kepada masa-masa
sebelum modernisme populer. Salah satu penyebabnya ialah karena modernitasyang
terukur, rasional dan seragam, dapat memunculkan kejenuhan pada suatu titik
tertentu. Weber berkomentar bahwa rasionalisasi tidak selamanya mampu
diandalkan. Sebab, standar-standar rasionalitas “modernisasi membawa juga erosi
makna” (Turner, 2008: 12).
Posmodern dipandang sebagai wujud anti-modernisme ketika ia dimaknai
sebagai sebuah perspektif yang reaksioner terhadap teori-teori modern. Pendapat-
pendapat yang muncul kemudian berupa penolakan-penolakan atas teori-teori
modern. Hal ini terlihat dari teori-teori yang dikategorikan dalam posmodern yang
berupa reaksi atas teori sebelumnya, seperti post-strukuralisme, post-industrialisme,
post-kolonialisme dan post-post yang lain. Sedangkan, posmoderndapat juga
bersifat progresif ketika kita memandangnya sebagai tindak lanjut dari modernitas
yang belum selesai, yang letaknya berada di luar modernisme. Hal ini berhubungan
dengan keengganan tokoh-tokoh posmodern untuk dikotak-kotakkan dalam aliran
tertentu, karena pengotakan tersebut merupakan tradisi teori modern.
Awal mula gagasan posmodern tidak bermula dari disiplin sosiologi. Teori-
teorinya berasal dari tokoh-tokoh sastra dan budayawan. Posmodernisme banyak
ditemukan dalam sejarah seni dan sastra. Kritik-kritik bergaya posmodern ditujukan
kepada budaya yang ada saat itu. Lebih lanjut Turner mengatakan:

71
“Jika konsep posmodernisme pertama kali muncul dalam konteks sastra
berkenaan dengan reaksi konservatif dalam modernisme, istilah tersebut
kemudian digunakan dalam hubungannya dengan rangkaian teks dan
sesibilitas yang lebih luas, untuk mensifati teks atau narasi yang bersifat
afirmatif dan kritis, untuk menilai periode sejarah dan corak estetik, dan untuk
mengkonsepsi perbedaan, bentuk khas di luar yang modern, sebagaiman
kesamaan, berbagai varian, yang sebenarnya menjadi batas modernisme itu”
(Turner, 2008: 35).

Modernisme mendapat kritikan atas diskriminasinya terhadap wacana


pinggiran. Para sastrawan dan kritikus budaya melancarkan kritiknya ini terhadap
„budaya tinggi‟. Sedangkan dalam sosiologi, kritik ditujukan kepada teori-teori besar
yang mengesampingkan diskursus yang berlangsung di sudut-sudut kecil kota.
Modernisme, dalam hal ini mengutamakan „yang sosial‟ dan mengabaikan „yang
otonom‟. Yang otonom di sini adalah berbagai diskursus pinggiran yang kemudian
muncul dalam posmodern.
Satu hal lagi yang membedakan antara modernisme dan posmodernisme
adalah cara pandangnya terhadap zaman. Modernisme bersifat menolak sejarah,
sedangkan posmodernisme tidak menganggap remeh nilai-nilai sejarah. Hal ini
dikarenakan posmodernisme melihat adanya proses yang belum selesai dalam
modernitas. Diskursus merupakan suatu hal yang terus berlangsung selama
kehidupan itu ada. Maka, tidak heran jika analisis diskursus Foucault “bukanlah
untuk memberikan alternatif-alternatif pemecahan, karena usaha-usaha pencarian
tersebut pasti juga merupakan bagian dari diskursus” (Turner, 2012: 66).Kemudian,
muncul gagasan untuk menyandingkan antara ilmu sosiologi dengan posmodern,
yakni sosiologi posmodern.

6.1 Agama bagi Foucault


Michel Foucault merupakan salah seorang intelektual Perancis yang juga
seorang perintis posmodern, khususnya pos-strukturalis. Foucault menganut nilai-
nilai Marxian dengan menghilangkan beberapa aspek yang tidak sesuai atau neo-
Marxis. Foucault dikenal sebagai salah satu intelektual „gila‟ yang mengatakan

72
menolak untuk dikekang oleh wacana atau diskursus. Analisisnya tentang bahasa
pada mulanya menggunakan strukturalisme. Namun, kemudian seiring
perkembangan intelektualnya, Foucault bergerak menuju pos-strukturalisme. Ia
enggan untuk patuh pada aturan-aturan struktural dan masuk dalam diskursus-
diskursus yang sudah ada.
Bagi Foucault, “sejarah adalah rangkaian praktik diskursif-diskursif yang tidak
saling berkesinambungan (diskontinu)” (Lubis, 2015: 136). Foucault melihat bahwa
ketika seseorang ingin menganalisa sebuah fenomena dengan menggunakan
diskursus, ia akan dipaksa untuk memilih dan mengikuti diskursus-diskursus
tersebut. Ini adalah konsekuensi dari kekuatan pengetahuan. Seperti kata Foucault,
pengetahuan mengandung kuasa dan untuk menjaga kekuasaan diperlukan
pengetahuan. Oleh karena itu, Foucault menolak penggolongan dirinya dalam
kotak-kotak yang menjadi tradisi lama. Sebab ini pula yang membuat Foucault
keluar dari strukturalisme menjadi pos-strukturalisme. Dari kategori-kategori
keilmuan sosial, Foucault lebih senang jika dipandang otonom.
Foucault termasuk salah satu filsuf yang percaya bahwa ilmu pengetahuan
tidaklah netral, begitu juga bahasa.Foucault mengadopsi konsep kesadaran palsu
milik Marx, namun diadopsi dalam analisis bahasa. Hal ini ia gunakan untuk
menganalisis penjara. Foucault sekaligus mengkritik gagasan Marx bahwa “konsep
kekuasaannya pra-modern dan statis” (Turner, 2008: 118).Ciri khas Foucault adalah
metodenya yang menggunakan pendekatan sejarah. Namun, berbeda dengan
sejarawan pada umumnya yang mengutamakan sejarah-sejarah besar, Foucault tidak
menganggap remeh sejarah-sejarah kecil yang berasal dari pinggiran.
Meskipun sering dikategorikan sebagai posmodernis, Foucault juga
menyumbang pemikiran dalam Teori Kritis. Pemikiran Foucault tentang
kuasa/pengetahuan memberikan sumbangan pada Teori Kritis bahwa pengetahuan
dan kekuasaan mempunyai hubungan. Meskipun begitu, Foucault tidak
menunjukkan bahwa terdapat konspirasi antara pemilik pengetahuan dengan
pemilik kuasa. Foucault menjelaskan hubungan antara kuasa dan pengetahuan

73
sebagai dua hal yang saling mendukung. Kekuasaan dijalankan dengan pengetahuan
dan pengetahuan diperoleh melalui kekuasaan.
Untuk dapat melihat hubungan antara kuasa dalam pengetahuan, Foucault
melakukannya dengan pendekatan arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan.
Arkeologi pengetahuan dilakukan dengan cara melacak secara historis dan
mengumpulkan setiap rekam jejak yang berkaitan dengan subjek yang diteliti.
Foucault menerapkan arkeologi pengetahuannya untuk mencari sumber pedoman
pembangunan penjara dengan mencari segala sesuatu yang berkaitan dengan
penjara (sejarah, tipografi bangunan). Hal ini bertujuan untuk mengetahui kerangka
paling awal dari pengetahuan itu sendiri. Foucault pun menemukan tipografi
rancang bangun bangunan penjara yang pertama kali.
Langkah selanjutnya ialah menganalisis dengan mencari genealogi
kekuasaannya. Foucault yang berangkat dari strukturalisme, mengikuti tradisi untuk
menganalisis segala jenis teks. Namun, ia menolak untuk menggunakan bahasa
formal yang sudah umum. Baginya, sama saja ia mengikuti alur diskursus orang lain
yang sudah terbangun. Foucault mencari sendiri bentu diskursusnya secara
genealogis. Pendekatan ini mengharuskan ia untuk melepas pengetahuan-
pengetahuan yang sebelumnya, agar tidak mempengaruhi diskursus baru yang akan
terbentuk. Dengan begitu, ia tidak terperangkap dalam diskursus orang lain. Kedua
pendekatan ini, Arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan, merupakan dua
proses yang berkelanjutan dan tak boleh dipisahkan.
Ciri lain yang khas dari Foucault adalah konsistensinya dalam perspektif
materialisme. Ketika ia ingin menganalisis sejenis kuasa/pengetahuan, ia akan
memulai dari tubuh. Foucault selalu memandang segala jenis pengetahuan akan
melahirkan kekuasaan, dan pada akhirnya akan selalu berhubungan dengan
pendisplinan tubuh. Pendisiplinan ini berupa kontrol-kontrol yang membatasi
ruang gerak individu, seperti panoptikon yang berupa menara pengawas di
bangunan penjara. Bentuk kontrol ini bersifat memaksa dan menundukkan, namun
dilakukan secara halus. Kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep-konsep
kekuasaan yang lain. Bagi Foucault, kekuasaan tidak dapat dibatasi pada area

74
tertentu, tidak bergantung pada kekuatan kharismatik seseorang dan tidak dapat
dimonopoli. Kekuasaan ada dalam kekuatan wacana yang dibangun dengan sebuah
ketimpangan kuasa pengetahuan.
Ketimpangan ini juga mengakibatkan munculnya keterasingan. Ketimpangan
pengetahuan membuat seseorang memiliki kuasa untuk menentukan kategori-
kategori. Kategori yang diciptakan cenderung saling dilawankan dengan kategori
lainnya, misalnya sakit:sehat, normal:gila, baik:jahat, seks normal:seks abnormal.
Ketika kita menerima begitu saja atas pengkategorian ini sebagai hal yang wajar,
maka kita sudah masuk dalam kuasa wacana (diskursus) yang telah ada.
Foucault sendiri masuk dalam kategori seks abnormal atau menyimpang.
Riwayat hidupnya menyebutkan bahwa ia seorang gay. Ia sering mengunjungi
tempat berkumpulnya para laki-laki homoseksual. Berkat ini pula, Foucault
memperoleh konsepnya mengenai keterasingan yang dipengaruhi oleh Marx,
namun tetap dengan versinya. Foucault adalah tipe yang kritis dan enggan digolong-
golongkan. Selain dalam keilmuan, ia juga tidak pernah merasa bahwa seks yang
dilakukan adalah penyimpangan. Ia melakukan pembelaan terhadap dirinya dan
membuktikan bahwa penggolongan pada dirinya hanyalah strategi kekuasaan yang
dilakukan oleh norma. Tidak tanggung-tanggung, Foucault menghasilkan karyanya
tentang rumah sakit dan sejarah seksualitas.
Foucault tidak meneliti agama secara khusus. Menjelaskan mekanisme
pendisiplinan tubuh oleh agama tidak dapat dijelaskan sesederhana seperti adanya
doktrin yang memaksa. Bukan juga karena tokoh kharismatik. Kerumitan ini
disebabkan Foucault yang tidak mau mengakui otoritas yang berlaku. Hal ini pula
yang membuat diskursus Foucault sedikit sulit.
Jika ingin menggunakan pendekatannya, kita harus keluar dari diskursus-
diskursus yang sudah ada. Sama halnya ketika ingin melihat kuasa agama.
Selayaknya kita harus menggunakan diskursus agama seperti ajaran-ajaran dan kitab
suci. Namun, Foucault tidak akan melakukannya. Jika ingin mengetahui genealogi
kekuasaan dalam agama, kita harus melepaskan pengetahuan-pengetahuan awal
yang telah terbentuk sebelumnya tentang agama. Baru kemudian mulai menyusun

75
artefak-artefak dari arkeologi yang telah dikumpulkan. Tidak heran jika Turner
menyimpulkan,

“...meskipun sosiolog agama selalu menekankan fungsi sosial praktek-praktek


religius dan praktek-praktek sekular... dalam masyarakat modern, mereka tetap
gagal mencurahkan perhatian pada praktek-praktek pendisiplinan yang
dibahas panjang lebar oleh Michel Foucault...” (2012: 122).

6.2 Agama bagi Nietzsche


Friedrich Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf sekaligus tokoh posmodern
nihilis dari Jerman. Nietzsche cukup fenomenal berkat analisisnya tentang kematian
Tuhan pada masyarakat modern. Filsafat nihilisme Nietzsche, banyak dipengaruhi
oleh keterpesonaannya pada nihilisme Baudelaire (Stauth and Turner, 1988, dalam
Turner, 2008: 7). Selain itu, ia juga mendapat pengaruh pemikiran kritis Marx.
Nihilisme Nietzsche, terus menerus ditujukan untuk menyerang Kristen dan segala
akarnya. Bagi Nietzsche, doktrin-doktrin Kristen benar-benar absurd dan berisi
doktrin moral kelas tertindas.
Nietzsche juga mengemukakan gagasannya tentang filsafat politi dan
kebangsaan. Ia mengambil Yunani sebagai contoh perpolitikan yang baik. Kriteria
politik yang diinginkan Nietzsche ada dalam polis Yunani. Kriteria-kriteria tersebut
adalah tersedianya ruang politik untuk warganya saling mempertemukan argumen,
pelembagaan kekerasan dalam rangka berkembang menuju yang lebih baik,
stabilitas politik internal dan peluang untuk mengembangkan kepribadian dengan
tidak direpresinya konflik yang terjadi. Nietzsche juga menkonsepsikan terciptanya
iklim politik yang sehat dengan membiarkan konflik dan pertarungan selama tidak
menyebabkan peperangan. Ia menyukainya karena peertarungan semacam ini
menandakan angka melek politik tinggi dan warga aktif dalam mengeluarkan
aspirasinya.
Nietzsche sepenuhnya menyadari bahwa pengandaian untuk kembali
mewujudkan bentuk politik Yunani adalah angan-angan yang utopis. Namun, ia
berpendapat bahwa mungkin sebab-sebab keruntuhan polis Yunani dapat
digunakan untuk menganalisis masalah perpolitikan saat itu (semasa hidupnya).

76
Kemudian, Nietzsche sampai pada kesimpulan bahwa kemunduran Yunani dimulai
ketika aspek-aspek industrialisasi masuk. Aspek industrialisasi yang dimaksud
Nietzsche memiliki kemiripan dengan modernisme kuno, yakni spesialisasi,
fragmentasi dan reduksi.
Selain itu, Nietzsche juga menemukan sebab-sebab kemuduran perpolitikan
pada masanya. Hal ini juga sama-sama disebabkan oleh pereduksian dan
ketidakpedulian terhadap pentingnya moral intelektual. Keruntuhan politik sehat
akibat dari “nasionalisme buta” masyarakat di sekitarnya, sekaligus menjadi hari
kehancuran moral dan kematian Tuhan.Nietzsche juga menggambarkan kematian
Tuhan “bukan hanya merupakan konsekuensi industrialisasi, tapi juga harga yang
harus dibayar oleh masyarakat Barat itu sendiri” (Turner, 2012: 262).
Pengaruh Marx tentang kritisisme, tidak mempengaruhi Nietzsche soal
pandangannya tentang bentuk negara ideal. Jika menurut Marx bentuk ideal adalah
negara yang menjunjung sama rasa, sama rata; tanpa kelas-kelas, bagi Nietzsche
tidak. Konsep negara sosialis masuk ke dalam tiga kategori bentuk negara yang
ditolak Nietzsche:

“Negara nasionalis adalah alat represi yang meluluhlantakkan individualitas


dan hanya menawarkan perbudakan; negara modern melahirkan manusia-
manusia lemah. Menurut Nietzsche, sosialisme pun tidak dapat dijadikan alat
untuk menghadapi politik represif.” (Turner, 2012: 370).

Nietzsche masuk dalam jajaran tokoh yang menolak positivistik. Meskipun


begitu, ia tetap setuju dengan Darwinisme di beberapa aspek dan mengkritiknya di
aspek yang lain. Nietzsche menunjukkan penerimaannya pada Darwinian mengenai
tahapan dimana manusia paling baik adalah ketika tanpa Tuhan. Namun, Nietzsche
juga tidak setuju ilmu pengetahuan abad 19 yang menggunakan klaim kebenaran
universal, sama seperti yang dilakukan agama. Pemikiran kritisnya menolak adanya
kebenaran mutlak. Nietzsche juga mengkritik pengandaian para Darwinis terhadap
hubungan antara lingkungan dan manusia yang sama sekali tidak mempunyai
makna.

77
Semangat Nietzsche dalam mengkritik Darwinisme, sama semangatnya
dengan ketika ia mengkritik Kristianitas. Sains-sains positivistik, terutama
Darwinisme, juga ajaran-ajaran Kristen sama-sama tidak bisa diharapkan untuk
mengisi kekosongan setelah Kematian Tuhan. Keduanya sama-sama tidak memiliki
capaian moral yang sanggup mengikat dan menumbuhkan kesadaran kolektif.
Sebab Nietzsche melihat sains positivistik yang berpotensi mengakibatkan
dehumanisasi. Juga ajaran-ajaran Kristen yang hanya menghibur diri sebagai orang
baik dibalik segala kelemahan yang diderita.
Teologi kematian Tuhan milik Nietzsche sedikit mempengaruhi pemikiran
Durkheim. Menurut Turner, hal ini dapat dilihat pada penutup buku Elementary
Forms of Religious Life milik Durkheim. Namun, pengaruh teologi Nietzsche hanya
sampai pada kematian Tuhan saja. Selanjutnya, Durkheim menjelaskan
pembelaannya terhadap tiga tahap perkembangan intelektual manusia yang digagas
Comte masih relevan sampai hari ini. Hal ini dikarenakan Tuhan beserta Dewa-
dewa lama telah mati, dan Dewa baru belum lahir untuk menggantikan perannya.
Masyarakat saat itu digambarkan oleh Durkheim sebagai masyarakat yang
ditinggalkan oleh Dewa atau Tuhannya.
Pada dasarnya Nietzsche dan Durkheim tidak memiliki pemikiran yang
cocok. Durkheim pernah mengkritik Nietzsche soal gagasan superman dalam konsep
kenegaraannya. Nietzsche pun pernah melancarkan penolakan terhadap gagasan
Durkheim dengan caranya yang khas, yakni secara kasar. Ketika Durkheim
menawarkan konsep “agama sipil” untuk memperbaiki kekacauan di negara-negara
Eropa, Nietzsche melakukan penerimaan tentang konsep agama sipilnya. Namun,
lebih lanjut, Nietzsche mengatakan jika konsep agama sipil yang tepat untuk itu,
bukan yang berasal dari gagasan Durkheim.
Nietzsche yang selalu menemukan sisi negatif agama Kristen, terus
melancarkan kritik atas ajaran-ajarannya. Ia mempergunakan perbandingan-
perbandingan untuk menyerang Kristen. Perbandingan ini seperti tradisi intelektual
pertengahan abad 19 yang disebut Said sebagai orientalisme lama. Bedanya,
Nietzsche mempergunakan Islam sebagai sisi pembanding yang baik dalam

78
kritiknya terhadap Kristen. Turner mencoba memberikan gambaran singkat
mengenai pemikiran Nietzsche dengan mengutip karya-karya Nietzsche sebagai
berikut:

“Dalam The Guy Science yang terbit tahun 1882, Nietzsche mengisahkan
seorang gila yang mondar-mandir di tengah pasar karena kegagalannya
mencari Tuhan. Kegagalan ini menyebabkan ia sangat menderita: “Tidakkah
kita sedang mencium bau ketuhanan yang sedang digembosi”? (1974: 181).
Tema kematian Tuhan juga muncul kembali dalam Thus Spake Zarathustra,
yang menceritakan seorang yang selalu cemas akhirnya menemukan kenyataan
bahwa kebodohan Santolah yang menyebabkan dia tidak tahu bahwa Tuhan
telah mampus” (Nietzsche, 1933: 5, dalam Turner, 2012: 78-79).

Kritik Nietzsche terhadap Kristen, dalam kutipan di atas lebih


menggambarkan kebencian Nietzsche daripada kritik. Kebencian ini terlihat dari
nada jengkelnya ketika memilih diksi “mampus” untuk menggantikan mati. Seolah
“mati” saja tak cukup kasar untuk mewakili kejengahannya.Nietzsche juga
menggambarkan bahwa kematian Tuhan “bukan hanya merupakan konsekuensi
industrialisasi, tapi juga harga yang harus dibayar oleh masyarakat Barat itu sendiri”
(Turner, 2012: 262).
Ateisme Nietszche dalam filsafat nihilismenya, tidak seperti bentuk ateisme
lain yang tidak mengakui eksistensi Tuhan. Nietzsche juga tidak memberikan
pernyataan bahwa ia tidak mempercayai Tuhan. Pemilihan istilah “kematian
Tuhan”, memperlihatkan bahwa Tuhan (mungkin) pernah ada, namun kini sudah
mati. Tuhan sudah tidak mampu menjalankan perannya, meminjam istilah Berger,
menjadi kosmos yang melindungi dunia manusia. Nietzsche juga berusaha
menawarkan semangat optimisme atas kesepian yang akan hadir setelah „berita
kematian Tuhan‟ tiba. Sayangnya, sampai akhir Nietzsche tidak menyebutkan secara
spesifik mengenai solusi atas kehampaan itu.
Nietzsche juga turut andil dapat individualisme. Nietzsche menawarkan
konsep individualisme yang berkepribadian otentik dan kritis. Kepribadian ini
didapatkan dengan menyadari kepribadian dan potensi yang ada dalam dirinya. Di

79
sisi lain, kerpibadian ini mencerminkan sosok yang hanya dimiliki intelektual tinggi,
namun cenderung terasing.

6.4 Soal-Soal Latihan


1. Bagaimana penjelasan agama menurut kelompok post modernisme?
2. Bagaimana pengertian kematian tuhan pada masyarakat modern menurut
Nietzsche?
3. Bagaimana penjelasan Durkheim tentang “agama sipil” dalam gagasan dan
konsepnya?

80
DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka

Anwar, A. 2009. Genealogi Feminis: Dinamika Pemikiran Feminis dalam Novel Pengarang
Perempuan Indonesia 1933-2005. Cet. I. Jakarta: Republika.
Aripudin, A. 2013. Sosiologi Dakwah. Cet. I. Eds: Pipih Latifah. Bandung: PT
Remaja Rosadakarya.
Ghazali, A. M. 2011. Antroplogi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,
Keyakinan, dan Agama. Bandung: Alfabeta.
Hidayat, K. dan Yudhie Haryono. 2004. Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan
Islam dan Dialektika Ulama-Negara. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, I. S. 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia. Idi Subandy Ibrahim (eds). Yogyakarta: Jalasutra.
Jamaludin, A. N. 2015. Agama dan Konflik Sosial: Setudi Kerukunan Umat Beragama
Radikalisme dan Konflik Antarumat Beragama. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kimball, C. 2003. Kala Agama Jadi Bencana. Cet. I. Sindhunata (eds). Bandung:
Mizan.
Lubis, A. Y. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer: dari Teori Kritis, Culture Studies,
Feminisme, Postkolonial Hingga Multikulturalisme. Cet. I. Jakarta: Rajawali
Press.
Noor, I. 2010. Agama Sebagai Universum Simbolik: Kajian Filosofis Pemikiran Peter L.
Berger. Cet. I. Eds: Muhaimin. Yogyakarta: Pustaka Prisma.
Pals, D. L. 2011. Seven Theories of Religion. Terjemahan Muzir dan Syukri. Cet.I. Edisi
Baru. Yogyakarta: IRCiSoD.
Raho, B. 2007. Teori Sosiologi Modern. Cet. I. John Wolor (eds). Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Ritzer, G. 2014. McDonaldisasi Masyarakat (Edisi Ulang Tahun ke-20). Cet. 1. Judul
asli: McDonaldization of Society (20th Anniversary Edition). Terjemahan: Astry
Fajria. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

81
Saidi, A., dkk. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru.
Cet. I. Anas Saidi (ed). Jakarta: Desantara Utama.
Smith, H. 2001. Agama-agama Manusia. Edisi ke-7. Terjemahan: Safroedin Bahar.
Judul asli: The Religions of Man. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Turner, B. S. 2008. Teori-teori Sosiologi Modernitas Postmodernitas. Cet. III. Judul asli:
The Theories of Modernity and Postmodernity. Terjemahan: Baehaqi dan
Baidowi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________. 2012. Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer. Edisi baru. Cet. I.
Yogyakarta: IRCiSoD.

Jurnal:
Hadi, S. 2012. “Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya dalam
Sejarah Pemikiran Filsafat”. Jurnal Filsafat, Vol. 22 (2), Edisi Agustus 2012.

82
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai