Anda di halaman 1dari 26

CABANG-CABANG FILSAFAT:

METAFISIKA, ONTOLOGY, ESKATOLOGI

MAKALAH KELOMPOK

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum

Dosen pengampu : Yasni Alami, M.Pd

Disusun oleh :

kelompok 12

Nuryasva Ulan Nisa

Fikri Firmansyah

PROGRAM STUDI MENEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

SYAMSUL ‘ULUM GUNUNG PUYUH KOTA SUKABUMI


TAHUN AKADEMIK 2023 M /1444 H

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas ini. Tak luput sholawat dan salam kita junjungkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah memabawa perubahan besar untuk kejayaan
islam, khususnya dalam akhlaq dan pengtahuan. Makalah ini di susun untuk
memenuh tugas mata kuliah Filsafat Umum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi pembaca dan penulis.

Ucapan terimakasih kepada orang-orang yang membimbing kami dalam


membuat makalah ini dan juga kepada dosen yang memberikan tugas ini Bu Yasni
Alami, M.Pd yang telah menugaskan kami membuat makalah cabang-cabang
filsafat karenanya kami dapat memperdalam cabang-cabang filsafat. Dan tak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada para pembaca, semoga anda mendapat manfaat
dari makalah ini.

Kami sadar bahwa dalam makalah ini terdapat kesalahan maupun


kekurangan. Untuk itulah kami mohon kepada para pembaca agar memberikan
kritik dan saran agar makalah ini dapat kami perbaiki.

Sukabumi, 23 Maret 2023

Penyusun,

Kelompok 12

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................5
C. Tujuan...................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
A. Pengertian Fislafat dan cabang-cabangnya.......................................................6
B. Metafisika, Ontology, dan Eskatologi...............................................................10
BAB III...........................................................................................................................22
PENUTUP.......................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan suatu cara untuk memandang sebuah kebenaran yang
bersumber dari panca indera. Makna filsafat (philosophia) adalah "pecinta
kebijaksanaan" atau "pencari kebijaksanaan.
Pengetahuan adalah buah dari berfikir, sedangkan berfikir itu sendiri
adalah sebagai pembeda manusia dengan makhluk yang lainnya. Ketika
manusia mempunyai sebuah masalah, manusia pasti akan berfikir "apa yang
sedang terjadi?","dengan cara apa masalah ini bisa diselesaikan?","mengapa ini
bisa terjadi?" dan berbagai pertanyaan lainnya.
Dengan berbagai macam pertanyaan, kita sebenarnya. sudah terlibat dalam
karya berfilsafat. Karena itu filsafat pertama-tama merupakan suatu sikap. Ia
mempersoalkan cara, metode dan bagaimana orang mempertanyakan segala
sesuatu.
Filsafat adalah hasil dari tinjauan manusia mengenai dirinya, makna alam
dan tujuan hidup dengan Tujuan studi dari cabang-cabang filsafat adalah
mengantar seseorang kedalam dunia filsafat, sehingga minimal dia dapat
mengetahui apa-apa saja bagian dari cabang-cabang filsafat. Dalam filsafat ini
perlu ditegaskan bahwa dalam menguraikan beberapa tema filsafat, seperti
cabang-cabang filsafat. Yang memfokuskan pembahasan mengenai filsafat
disini akan diuraikan pembahasan tentang sesuatu tertentu, karena filsafat
bertanya atau sangat berpengaruh dengan kenyataan. Tentu saja ada sejumlah
istilah-istilah teknik filosofis yang tidak bisa dideskripsikan apa adanya yang
kadang kala cukup sulit bagi orang yang baru pertama kali belajar filsafat.
Cabang-cabang filsafat adalah bidang-bidang studi filsafat itu sendiri. Ia
merupakan cabang-cabang penyelidikan yang ada didalam filsafat. Namun
pembagian ini adalah pembahasan yang paling klasik dan paling umum

4
diterima, sasaran cabang-cabang filsafat ini adalah untuk membentuk sikap dan
perilaku atau pola pikir yang akan mampu membuat manusia untuk bertindak
bijak.
Ilmu filsafat menurut Hasbullah Backry yaitu filsafat yang mempelajari
segala sesuatu secara mendetail atau mengenai ketuhanan, alam dan
kemanusiaan. Filsafat bisa disebut juga sebagai induk dari segala ilmu. Ilmu ini
juga mempunyai beberapa cabang seperti Metafisika, Ontology, Eskatologi,dll.
Yang akan kami bahas pada makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu filsafat dan cabang-cabangnya?
2. Apa itu Metafisika, Ontology, dan eskatologi?

C. Tujuan
1. Mengetahui filsafat dan cabang-cabangnya.
2. Dapat membedakan satu cabang, dengan cabang lainnya.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Fislafat dan cabang-cabangnya
1. Pengertian Fislafat
Secara etimologis atau ilmu bahasa, filsafat berasal dari kata Yunani:
filosofia, sebagai rangkaian kata filein, berarti cinta, dan sofia, kebijaksanaan:
cinta pada kebijaksanaan. Istilah ini berawal pada pandangan bahwa pengetahuan
manusia yang sensual melalui indra bukan pengetahuan sebenarnya; pengetahuan
itu relatif umum serta mencakup dasarnya, meliputi keseluruhan objek sampai ke
akar. Para pemikir Yunani ingin tahu akan sebab yang sedalam-dalamnya. Mereka
juga tahu, pengetahuan seperti itu hanya dimiliki para dewa. Manusia hanya
punya keinginan, cita-cita semata. Manusia yang cinta akan pengetahuan sejati
disebut cinta kebijaksanaan, filosofia. Orangnya disebut filosof, pencinta
kebijaksanaan.1

Filsafat adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang masalah mendasar dalam
kehidupan. Filsafat sering juga disebut dengan filosofi. Dalam dunia ilmu
pengetahuan, filsafat atau filosofi merupakan salah satu ilmu tertua. Filsafat
adalah pandangan dunia yang sistematis. Bahkan, banyak pandangan yang
menyatakan bahwa filsafat adalah dasar dari segala ilmu.

Filsafat adalah pemikiran dengan cakupan yang kompleks dan terkadang sulit
dimengerti Tujuannya adalah untuk memperdalam pemahaman. Sesuai dengan
fokus pemahamannya. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pengertian filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

Filsafat adalah induk dari semua ilmu pengetahuan. Dia memberikan


sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan
berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam
1
Vardiansyah,Dani.2008 Filsafat Ilmu Komunikasi.Hal 17

6
mempertanggung jawabkan ilmunya. Maksudnya bahwa setiap langkah-langkah
harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan
secara argumentatif.

Filsafat adalah ilmu yang tak terbatas karena tidak hanya menyelidiki suatu
bidang tertentu dari realitas yang tertentu saja. Filsafat senantiasa mengajukan
pertanyaan tentang seluruh kenyataan yang ada. Filsafat pun selalu
mempersoalkan hakikat, prinsip, dan asas mengenai seluruh realitas yang ada,
bahkan apa saja yang dapat di pertanyakan, temasuk filsafat itu sendiri.2

2. Cabang-Cabang Filsafat
Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang,
sedangkan sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat
dan ilmu selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu
mempunyai titik singgung dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan
dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada
disepanjang pemikiran,sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang
pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika
kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika
filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat,
yatu teori hakikat (Ontologi), teori pengetahuan (Epistimologi), dan teori nilai
(Aksiologi). Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan
obor peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih
sempurna. Bagaimana masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong
untuk berfikir, bertanya, lalu mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan
akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Pada hakikatnya aktifitas
ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga masalah pokok yakni:
Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan
apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat
sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. 3 Maka untuk
menjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal

2
Mulyadi, M.Hum, 2020. (Filsafat Umum) Hal 2
3
Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 Hal 36

7
sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan. 4 Oleh karena itu,
ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi
membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada“ dengan
perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan
pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh
pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini
manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya,
maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.5

Beberapa ilmuwan mengajukan pengelompokkan cabang-cabang filsafat


yang berbeda-beda . Ada yang mengelompokkannya dalam gugus besar.

Misalnya Harry Hamersa membaginya menjadi empat garis besar: filsafat


tentang pengetahuan (mencakup epistemologi, logika dan kritik ilmu), filsafat
tentang keseluruhan pernyataan (mencakup metafisika), filsafat tentang tindakan
(mencakup estetika dan etika), filsafat sejarah (mencakup filsafat politik, filsafat
agama dan lain-lain).

Ada pula yang memilahnya seperti The Liang gie yang mengatakan
cabang-cabang filsafat menjadi tujuh: metafisika, epistemologi, metodologi,
logika, etika, estetika, dan sejarah filsafat.

Intinya, keseluruhan klasifikasi cabang-cabang filsafat adalah upaya


menyederhanakan cakupan cabang seperti apa yang sebenarnya menjadi fokus
para peneliti atau para filsuf.

Penjelasan berikutnya kita akan membicarakan tentang cabang-cabang


filsafat secara umum tersebut. Kattsoff lebih memilih untuk memerinci dan dalam
beberapa cabang memiliki keterkaitan yang tidak terpisah dengan cabang filsafat
lainnya.

4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Cet. X; Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990), h. 33
5
Rodric Firth, Encyclopedia Internasional, (Phippines: Gloria Incorperation) 19720, h. 105. 4
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1992), h. 15.

8
Terlebih dahulu sebelum mengurai 11 cabang filsafat, Louis Kattsoff
menawarkan klasifikasinya dengan meminjam model pemilahan studi modern,
dimana ada pelajaran mengenai alat atau ilmu alat (tool studies), dan ada pelajaran
mengenai bahan atau materi atau isi (content studies).6

Contoh tool studies misalnya adalah bahasa sebagai ilmu alat, dimana
pelajaran tersebut yang memungkinkan kita memperoleh pengetahuan yang
beragam jenisnya. Mata pelajaran tentang content studies berisikan informasi-
informasi , materi-materi dalam disiplin ilmu tertentu, misalnya fisika, kimia, dan
seterusnya.

Louis Kattsoff kemudian menerapkannya pula dalam ilmu filsafat. Ia


menjelaskan filsafat juga terbagi menjadi tool studies atau ilmu alat dan content
studies atau ilmu bahan.

Apa tool studies dalam filsafat?

Jawabannya adalah logika. Sederhananya, logika adalah metode berpikir


secara teratur guna mencapai kesimpulan tertentu, baik deduktif maupun induktif.
Di dalam logika mengandung pula ilmu alat lain yang disebut metodologi, di
dalamnya membahas observasi, teori yang digunakan, sumber data, analisis data,
dan seterusnya.

Logika dan juga mencakup pula metodologi adalah ilmu alat dalam filsafat
yang bertugas sebagai sarana mencapai pola pikir sistematis yang menjadi
karakter dari aktifitas kefilsafatan.

Dalam beberapa teks buku filsafat, ada yang memasukkan logika dan
metodologi sebagai bagian dari cabang-cabang filsafat. Menurut Kattsoff,
keduanya bukan cabang tapi merupakan ilmu alat. Dalam arti, ia memilah cukup
ketat yang dimaksud apa yang dimaksud dengan cabang-cabang filsafat adalah
bahan, isi, atau materi sebagai peminatan (content studies) dalam objek
penyelidikan filsafat.

6
Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat: Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

9
Ini cuma soal pengkategorian saja, tidak perlu diperpanjang. Hanya perlu
diingat saja bahwa Kattsoff memilah logika dan metodologi sebagai tool studies,
dan content studies adalah cabang-cabang filsafat.

Kattsof kemudian memerinci content studies atau cabang-cabang


filsafat menjadi 11. Namun yang akan kami bahas pada makalah ini hanya 3
cabang saja, yang semuanya termasuk cabang Ontologi (Metafisika).

B. Metafisika, Ontology, dan Eskatologi


1. Metafisika
Metafisika adalah kajian filsafat yang sangat tua. Usianya dapat
dikatakan setua dengan usia filsafat itu sendiri. Bukti dari pernyataan ini
dapat dilihat dengan mudah dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, yaitu ketika
para filsuf berusaha mencari arkhe atau prinsip pertama dari segala sesuatu.
Ketika Thales mengatakan bahwa arkhe itu adalah air; Herakleitos
mengatakan api; dan Pythagoras mengatakan bilangan, yang mereka
lakukan sebenarnya sedang bermetafisika dan membangun satu pemikiran
metafisika karena para filsuf tersebut berusaha menemukan ‘yang tetap’ di
antara segala ‘yang berubah’.7

a. Pengertian Metafisika

Secara etimologis, istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani,


yaitu “ta meta ta physica”. Perkataan tersebut terdiri atas dua kata pokok,
yakni “meta” yang berarti “sesudah” dan “physikos” yang berarti
“bersangkutan dengan alam”, atau “physis” yang berarti “alam”.
Berdasarkan bentukan dua kata tersebut, metafisika bisa diartikan sebagai
“sesudah fisika” atau “di belakang realitas fisik”8

Metafisika ini suatu cabang filsafat yang paling sulit dipahami,


terutama bagi pemula belajar filsafat. Pada umumya filsafat kontemporer
yang orientasinya pada pengetahuan ilmiah, terdapat metafisika lebih
skeptis.9 Cabang utama metafisika adalah ontology.

7
Jurnal Filsafat, Vol. 27 No. 2, Agustus 2017
8
Mudhofir, Ali, 2001, Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
9
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2010), hlm. 40-42

10
filsafat tentang keseluruhan kenyataan yang akan mengulas tentang
ilmu ontology atau metafisika umum dan metafisika khusus. Di dalam
metafisika khusus terdapat tiga cabang lagi, yaitu teologi metafisik,
antropologi dan kosmologi. Berikut masing-masing penjelasannya

b. Cabang Metafisika khusus

1) Teologi metafisika
Secara etimologi, teologi berarti ilmu tentang ketuhanan.
Secara terminology, teologi berarti pengetahuan tentang tuhan dan
manusia dlam pertaliannya dengan tuhan, baik yang disandarkan
kepada wahyu (revealed theology) maupun disandarkan pada akal
pikiran (rational theology).

Teologi Metafisik ternyata termasuk salah satu cabang cabang


filsafat. Nama lain dari metafisik adalah ontology. Filsafat
metafisik yang fokus pada prinsip yang mengulas sesuatu yang
menyeluruh. Metafisika juga membicarakan tentang sesuatu yang
tidak tampak. Jika dibedah lebih dalam lagi, metafisik atau
ontology dibagi menjadi tiga teori, yaitu teori materialisme,
idealisme dan dualism. Salah satu cabang teologi adalah eskatologi.

a) Eskatologi ialah suatu ilmu yang menjelaskan tentang


gambaran hari akhirat. Ilmu ini menjelaskan akhir segala sesuatu,
seperti kematian, kebangkitan dan perhitungan amal. Dengan kata
lain eskatologi termasuk bagian dari agama dan filsafat yang
menguraikan secara rinci semua persoalan dan pengetahuan
tentang akhir zaman, seperti kematian, alam kubur (barzakh),
kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala
bagi yang berbuat baik, hari kebangkitan, pengadilan pada hari itu
dan sebagiannya. Penjelasan lengkapnya dibagian berikutnya.

2) Antropologi

Cabang cabang filsafat antropologi adalah ilmu yang menyelidiki


pertanyaan dan pernyataan tentang hakikat manusia. Termasuk pula

11
mengulas tentang hakikat alam semesta. Dimana dari memahami hakikat,
akan melahirkan pemikiran kritis, menemukan hikmah positif yang bisa
bermanivestasi menjadi ide dan inovasi yang siap untuk dikembangkan
secara spesifik.

3) Kosmologi

Selain teologi metafisika dan antropologi, terdapat kosmologi.


Kosmologi adalah ilmu filsafat sebagai teori yang menekankan bahwa
ketika terjadi suatu peristiwa, dan terjadi lebih dari satu benda dan
mengalami perubahan waktu akibat terjadinya pengaruh benda satu sama
lain.

Kosmologi ini sendiri sebenarnya sebagai bentuk dari determinan


peristiwa alam. Komosologi inilah yang lebih akrab kita pahami tentang
ilmu alam yang mempelajari dunia bintang gemintang. Tokoh yang
paling terkenal dalam teori kosmologi ini adalah Aristoteles yang mampu
menemukan sebab sebab final yang dikenal dan disebut dengan
antecedent causes.

2. Ontologi
Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata
ini
dan bagaimana keadaan yang sebenarnya.10 Ontologi adalah bagian filsafat
yang paling umum, atau merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika
merupakan salah satu bab dari filsafat.
a. pengertian Ontologi

Kata Ontologi berasal dari dua suku kata, yaitu “Ontos” yang berarti “berada
(yang ada) dan ”logos” yang berarti ilmu pengetahuan, ajaran dan teori.11
Ontologi berarti ilmu atau studi tentang keberadaan atau ada. Sedangkan
Dalam kamus Oxford, ontologi (ontology) merupakan sebuah cabang filsafat yang
berhubungan dengan inti keberadaan.

10
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 69.
11
5 Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 30.

12
Objek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan
tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha
mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam
semua bentuknya.
Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat
manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial, kemudian
disusunlah uraian ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari
bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Dan ontologi adalah bidang filsafat
yang
paling sukar.12
b. bahan kajian ontologi

Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat
empiris.13 Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal
yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak
dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai
ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris. 14 Berdasarkan objek yang
ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam:

1. Objek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh


lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Objek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan
titik pandang terhadap obyek material.15

Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat
beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap
benar dan tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik
tolak segala pandang kegiatan.16 Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah

12
Anton Bakker, Ontologi dan Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar 10 Kenyataan
(Cet. VII: Yogyakarta: kanisius, 1997), h. 5
13
Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat
Ilmu, (Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991), h., 5.

14
Ibid
15
AM. Saefuddin et.al, op.cit., h. 50-51.
16
Ibid., h. 66-67.

13
yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Ada beberapa
asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu:
Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang
satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan
sebagainya. Kedua, menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan
dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap segala
gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. 17 Asumsi yang
dibuat oleh ilmu bertujuan agar mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis
dan mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam
pengalaman manusia. Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman
manusia dianalisisdengan berbagia disiplin keilmuan dengan memperhatikan
beberapa hal;
Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin
keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis. Kedua, asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya”
bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”.18
Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah,
sedangkanasumsi kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu
seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda
pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah
dilandasi dengan asumsi yang tegas, yaitu tersurat karena yang belum tersurat
dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat Pertanyaaan
mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa penggunaan
pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila kecerdasannya
digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli ekonomi yang
memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorang ilmuan
politik yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.

17
Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat
Ilmu, (Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991), h.,7-8

18
Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat
Ilmu, (Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991), h., 89

14
3. Eskatologi
Eskatologi ialah suatu ilmu yang menjelaskan tentang gambaran hari akhirat.
Ilmu ini menjelaskan akhir segala sesuatu, seperti kematian, kebangkitan dan
perhitungan amal. Dengan kata lain eskatologi termasuk bagian dari agama dan
filsafat yang menguraikan secara rinci semua persoalan dan pengetahuan tentang
akhir zaman, seperti kematian, alam kubur (barzakh), kehidupan surga dan neraka,
hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari kebangkitan,
pengadilan pada hari itu dan sebagiannya.19

a. Pengertian Eskatologi

Secara etimologis, eskatologi berasal dari bahasa Yunani eschaton


artinya "yang terakhir". "yang selanjutnya" atau "yang paling jauh” dan
logos "pengetahuan". Secara umum eskatologi merupakan keyakinan
yang berkaitan dengan kejadian- kejadian akhir hidup manusia seperti
kematian, hari kiamat, berakhimya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-
lain.
Menurut Lorens Bagus, eskatologi merupakan "...doktrin Yahudi
akhir dan Kristen awal mengenai hal-hal yang terakhir seperti kematian,
kebangkitan kembali, keabadian, akhir zaman, pengadilan, keadaan masa
mendatang..."20
Lebih jauh lagi dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa
"...eskatologi adalah doktrin atau teori (logos) tentang yang terakhir".
"Yang terakhir" bisa mempunyai dua arti, Pertama, ia dpat diartikan akhir
kehidupan setiap manusia. Kedua, ia dapat pula berarti akhir dari
dunia."21
Berdasarkan pengertian dan pendapat tersebut, maka penulis
menyimpulkan bahwa eskatologi merupakan suatu pengetahuan yang
berkaitan dengan hal-hal yang terakhir dan ia merupakan bagian dari

19
Mircae Eliade (ed). Eschatology, The Encylopedia of Religion, (New York: Macmillan
Publishing Company,1987). H.152-153
20
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 216
21
Paul Edward (ed.), "Eschatology". Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan
Publishing Co. Jac & The Free Press), Vol.3, h.48

15
agama dan filsafat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian akhir hidup
manusia seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan dan sebagainya.
Menurut klasifikasi pengetahuan, eskatologi merupakan cabang dari
teologi sistematis yang berkaitan dengan doktrin tentang hal-hal akhir (ta
eschata)."22
Kosakata Yunani untuk eskatologi sebenarnya baru diperkenalkan,
tetapi dalam pemakaian modern hal tersebut sebagian besar
menggantikan padanan latinnya De Novissimis."
Asal dokrin ini hampir sama tuanya dengan ras manusia, bukti
arkeologis berupa kebiasaan pada zaman batu telah menandai adanya
suatu konsep keabadian yang bersifat elementer. Bahkan di tahap awal
perkembangan agama, spekulasi tentang hal-hal yang akan datang adalah
tidak secara keselurulun dibatasi nasib individu.23
Kehancuran secara alami seperti banjir, kebakaran hutan, angin
puguh, gempa bumi, dan letusan gunung merapi sudah selalu
mengusulkan kemungkinan hari akhir dunia. Bentuk pemikiran-
pemikiran eskatologi adalah produk dari suatu pertumbuhan sosial yang
kompleks dan pertumbuhan pengetahuan yang ditinggalkan dari
pengetahuan alami.
Oleh karena itu, perkembangan spekulasi eskatologi, biasanya
mencerminkan pertumbuhan intelektual dan persepsi moral manusia,
perluasan pengalaman sosial, dan pengetahuan alam yang berkembang
Bagaimanapun, bentuk akhir doktrin. Eskatologi akan sangat beragam,
menurut karakteristik dari suatu lingkungan dan orang-orang yang
tinggal didalamnya.

b. Eskatologi dalam Filsafat Islam

22
P.J. Toner, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.ewtn.com/
library/HOMELIBR/05528B.TXT
23
G. M. Burge, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.mb soft.com/
believe/text/eschatol.htm

16
Hampir semua agama termasuk Islam mengajukan konsep tentang
awal segala sesuatu; Tuhan, dunia, dan manusia. Demikian juga halnya
dengan akhir segala sesuatu. Namun demikian seperti dijelaskan di atas,
bahwa harus dibuat perbedaan yang jelas antara eskatologi individu dan
eskatologi umum. Eskatologi individu berkaitan dengan akhir dari manusia
secara pribadi, yakni akhir dari jiwa setelah kematian. Sedang eskatologi
umum berkenaan dengan transformasi yang lebih umum atau akhir dunia
ini. Eskatologi adalah faham yang bercorak kefilsafatan yang berusaha
menjangkau kehidupan jangka panjang, dengan cara hidup meninggalkan
kepentingan-kepentingan duniawi, dan menekan dorongan darah dan
daging tubuhnya, dengan mengutamakan kehidupan akhirat, serta
mengikuti secara total bimbingan spiritualitas. Dalam konsep filsafat
Islam, eskatologi sesungguhnya menjadi upaya pemikiran transendental
untuk menyingkap kehidupan sesudah mati.
Persoalan eskatologi tidak hanya "meresahkan manusia zaman dahulu,
tetapi manusia modern yang sangat mengagungkan akal pun kerap dibuat
'resah untuk mengetahui, mencan dan menggapai kehidupan sesudah
kematian, bahkan di dunia Barat yang sekuler. Namun demikian
kemunculan eskatologi dalam filsafat Islam bukanlah suatu kelanjutan dari
pemikiran eskatologi dari fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan dalam al-
Qur'an dan Hadits banyak sekali keterangan-keterangan yang berkaitan
dengan permasalahan eskatologi, yang menjadi kelanjutan adalah
metode pembahasannya.
Dalam filsafat Islam, eskatologi tentang kehidupan sesudah mati
menjadi salah satu wacana penting sebagai upaya penyingkapan refleksi
metafisik atas dilema ketuhanan." Dimensi eskatologis ini dilihat melalui
pancaran nalar yang tetap melandaskan diri pada ajaran-ajaran al-Qur'an.
Meskipun demikian, menurut Majid Fakhry "...tantangan yang dihadapi
berkenaan dengan tafsir terhadap problema ini tidak kecil, terutama rata-
rata datang dari kalangan ortodoksi dan lebih khusu lagi yang diwakili
oleh al- Gazali.24
24
Musa Asy'arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta : LESFI,2002), Cet.ke-
3, h. 239 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University,

17
Agama-agama wahyu telah mengembangkan suatu penyesuaian antara
isi kitab suci dengan keinginan masyarakat di hampir semua kehidupan
keagamaan. Hal ini nampak sekali terlihat dalam perkembangan eskatologi
Islam, yakni selalu dalam proses perkembangan dan penyesuaian. Dengan
kata lain, dualisme radikal terhadap kitab suci dalam agama monoteistik
jarang sekali terjadi dalam bentuknya yang murni. Hal tersebut biasanya
menjadi semu karena proses interaksi dengan gagasan dan praktek yang
popular. Dibandingkan dengan agama-agama monoteistik lainnya, Islam
merupakan agama yang paling kaya dengan latar belakang dan paling luas
dalam pergaulan kebudayaan. Gambaran umum mengenai eskatologi Islam
adalah "...kenikmatan surga dan azab neraka. Surga dan neraka ini sering
dinyatakan al-Qur'an sebagai imbalan dan hukuman secara global,
termasuk keridhaan dan kemurkaan Allah" Namun, ide pokok yang
mendasan ajaran-ajaran al-Qur'an mengenai akhirat adalah gambaran
tentang kiamat ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik
yang tak pernah dialami sebelumnya dari perbuatan baik dan buruknya.
Pada saat ini manusia dihadapkan kepada apa yang telah dilakukannya,
kemudian ia akan menerima ganjaran karena perbuatannya. Lebih lanjut,
Rahman menyebutkan bahwa pada umumnya manusia sangat tertarik pada
kepentingan-kepentingan yang bersifat langsung (pragmatis terutama
kepentingan-kepentingan untuk dirinya sendiri yang dangkal dan bersifat
materi, sehingga ia tidak menghiraukan akhir kehidupan ini. Akibatnya
manusia sering sekali melanggar norma-norma dan hukum moral.
Al-Qur'an memang sarat dengan nilai-nilai eskatologis Kalau
ditelusuri dengan cermat, maka sekitar sepertiga dari keseluruhan ni al-
Qur'an memuat ajaran tentang eskatologi.25 Setiap pembicaraan tentang
amal manusia senantiasa ditutup dengan balasannya di hari kiamat nanti

1970), h. 135
25
Darwis Hude, et al., Cakrawala Ilmu dalam al-Qur'an. (Jakarta Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-
1. h. 162
10 Ibid. h. 165

18
Perkataan surga dan neraka. pahala dan dosa, kesenangan dan siksaan
selalu diulang- ulang di hampir semua surat Hal ini menunjukan bahwa
persoalan eskatologis dalam Islam merupakan hal yang sangat penting.
Kehilangan nilai eskatologis talak hanya dapat menjauhkan seseorang dan
agama tetapi juga dapat menjerumuskannya kepada
kekuluran dan kezaliman
Karena pentingnya persoalan eskatologi ini, al-Qur'an di banyak
tempat menyebutkan pesan-pesan tentang akhir segala sesuatu. Surat-surat
Makkiyah terutama Juz Amma umumnya mengandung pesan-pesan ini.
Hal ini dimaksudkan agar manusia sebelum mengamalkan ajaran agama, ia
terlebih dahulu mempunyai motivasi untuk melakukannya karean setiap
apa yang dilakukan itu akan diberikan balasan. Kemudian, keyakinan
kepada hari akhir menjadi bagian yang paling esensial dalam beragama.
Bahkan dalam al-Qur'an senantiasa digandengkan "beriman kepada Allah
dan hari kiamat". Penggandengan ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi
suatu ketetapan yang dirumuskan oleh Allah sendiri. Ini menunjukan
betapa eratnya kaitan antara beriman kepada Allah dan meyakini dengan
sesungguhnya hari akhir itu pasti terjadi. Dengan demikan manusia akan
sangat hati-hati dalam melakukan sesuatu, karena apa yang dikerjakannya
pasti Allah melihatnya dan dengan sendirinya ia menyadari bahwa kalau
Allah sudah melihat, maka perbuatannya itu akan diberikan balasan.
Balasan itu pun sangat tergantung pada kualitas amal, yang baik diberi
pahala kesenagan surgawi. Sedang amal yang jelek akan diberi azab
hukuman neraka.
Dalam eskatologi islam, permasalahan yang menjadi pembahasan para
pemikir Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang
pernah timbul pada pemikiran eskatologi sebelum Islam, terutama Yahudi
dan Kristen. Ada pun permasalahan-permasalahan dalam eskatologi Islam
antara lain: kematian, alam kubur, hari kiamat dan kebangkitan kembali,
berkumpul di mahsyar, penghitungan dan pertimbangan amal, pembalasan
dan hukuman. Berikut penulis akan menjelaskan beberapa hal tersebut
secara singkat:

19
1) Kematian

Realitas kematian adalah kepastian, yang tidak dapat ditolak, setiap


orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, dan dalam
konsep filsafat Islam kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia
menjadi akhirat.26 Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman tentang mati
masih saja dipenuhi misteri.
Ada dua konsep tentang kematian yang sangat berpengaruh terhadap
pemikiran-pemikiran eskatologi, yaitu konsep pertama yang berpandangan
bahwa kematian adalah "netral" (neutral death) yaitu tidak ada siksaan
maupun kenikmatan setelah kematian. pandangan ini berkembang di
Persia kuno. Sedangkan konsep kedua menyatakan bahwa kematian adalah
bermoral (moral death). yang akan dinilai menurut standar kriteria tertentu
apakah mendapat siksa atau mendapat nikmat pandangan ini muncul di
Mesir dan kemudian berkembang di Yunani27

2) Alam Kubur

Alam kubur bukanlah semata-mata kuburan tetapi alam yang dimasuki


oleh setiap orang yang telah mengakhiri kehidupan di dunia. Jadi kuburan
tidak berarti wujud lubang di dalam tanah, tetapi lebih dari itu kuburan
adalah alam yang dimasuki oleh orang yang telah meninggal kapan saja
dan dimana saja. Secara lebih spesifik alam kubur dinamakan juga alam
barzakh Barzakh artinya batasan yang mendindingi dunia dan akhirat.
Orang yang telah mati berarti ia berada di ruang tunggu menuju akhirat.

3) Hari Kiamat dan Kebangkitan

Dalam wacana keagamaan, hari kiamat adalah hari kebangkitan dari


kehancuran, yaitu dibangkitkannya manusia setelah terjadinya kehancuran
total. Setelah kehancuran total tersebut, akan ditegakkan suatu pengadilan
yang dijamin oleh Tuhan, karenanya manusia dibangkitkan kembali untuk
menghadapi pengadilan itu.
26
Musa Asy'arie,op.cit., h. 243
27
Alan E. Bernstein, The Formation of Hell: Death and Retribution in The Anicient and Early
Christian Worlds, (Ithaca: Cornell Universty Press, 1993), h.3-4

20
Ada pun mengenai kebangkitan kembali, filsafat Islam menawarkan
pendekatan nafs, untuk dapat memahaminya. Seperti yang dikenalkan Ibn
Sina untuk membuktikan adanya nafs, yaitu dengan adanya alam mimpi
atau pengandaian orang bisa terbang.
Teori Ibn Sina ini bias dikembangkan lebih lanjut untuk memahami
adanya kebangkitan kembali dengan melihat aspek. Seperti telah
dijelaskan bahwa pengertian eskatologi mencakup dua makna yakni
eskatologi individu dan eskatologi umum. Kematian merupakan salah satu
contoh dari eskatologi individu sedang hari kiamat dan kebangkitan adalah
bentuk dari eskatologi umum atau universal
transendentalnya nafs. Transendensi nafs menjadikan kebangkitan itu
pasti adanya dan dapat terjadi pada tahapan manusia sebagai nafs, karena
nafs itu sendiri yang berbuat dan yang akan mempertanggung jawabkan
amalnya di hadapan Tuhan. Kepastian adanya kebangkitan pada
hakekatnya merupakan tuntutan hokum moral, untuk menuntaskan
perbuatan jelek manusia yang tak terselesaikan dalam pengadilan di dunia,
yang dalam banyak hal sering kali dimanipulasi, direkayasa dan tidak
mencerminkan adanya keadilan yang benar-benar adil, sehingga adanya
hari kebangkitan dan pengadilan Tuhan yang dijamin Tuhan sendiri akan
keadilannya, pada hakekatnya merupakan rahmat dan anugrah Tuhan
kepada manusia, terutama yang merasakan ketidakadilan dalam kehidupan
di dunia.
Dalam persoalan kebangkitan, menurut Ahmad Syams ad-Din,
pandangan manusia terbagi menjadi lima kelompok yakni:

1. Sebagian kecil kaum teolog mengatakan bahwa kebangkitan hanya


jasmani saja.
2. Sebagian besar kaum filosof ketuhanan mengatakan bahwa
kebangkitan hanya jiwa saja.
3. Hampir semua kaum muslimin, termasuk al-Gazali mengatakan
bahwa kebangkitan adalah jiwa dan jasad sekaligus.
4. Para filosof mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan di akhirat baik
jasmani mau pun jiwa.

21
5. Galenus berpendapat bahwa kita tidak bias menentukan mana yang
benar dari pendapat di atas. Karenanya dia menganjurkan untuk
bersikap pasif dan tidak membahas persoalan ini panjang lebar.28

Eskatologi dalam filsafat Islam telah menjadi bahasan yang sangat


menarik pada awal perkembangan keilmuan dalam dunia Islam. Namun
demikian respons pemikir Islam modern terhadap masalah cakatologi Islam
tidak begitu intens seperti halnya I pendahulu mereka. Pemikir Islam modem
tidak membahas permasalahan eskatologi karena menurut mereka hal tersebut
terlalu sulit untuk dirasionalisasikan.29 Sehingga pembahasan mereka tentang
permasalahan eskatologi pada umumnya hanya merupakan pengembangan,
penekanan dan pembaharuan terhadap pemikiran sebelumnya.

28
Ahmad Syams ad-Din, al-Gazâlî: Hayatuhu, Asaruhu, Falsafatuhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1990), h. 93
29
Mircae Eliade (ed), "Eschatology: Islamic Eschatology", The Encyclopedia of Religion (New
York: Macmillan Publishing Company, 1987), h. 155

22
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat Secara etimologis atau ilmu bahasa, filsafat berasal dari kata Yunani:
filosofia, sebagai rangkaian kata filein, berarti cinta, dan sofia, kebijaksanaan:
cinta pada kebijaksanaan.

Filsafat adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang masalah mendasar dalam
kehidupan. Filsafat sering juga disebut dengan filosofi. Dalam dunia ilmu
pengetahuan, filsafat atau filosofi merupakan salah satu ilmu tertua. Filsafat
adalah pandangan dunia yang sistematis. Bahkan, banyak pandangan yang
menyatakan bahwa filsafat adalah dasar dari segala ilmu.

Metafisika merupakan cabang filsafat yang memuat suatu bagian dari


persoalan filsafat yang: Membicarakan tentang prinsip-prinsip yang paling
universal. Membicarakan sesuatu yang bersifat keluarbiasaan. Membicarakan
karakteristik hal-hal yang sangat mendasar, yang berada diluar pengalaman
manusia. Berupaya menyajikan suatu pandangan yang komprehensif tentang
segala sesuatu. Membicarakan persoalan-persoalan seperti : hubungan akal
dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kemerdekaan, wujud Tuhan,
kehidupan setelah mati dan lainnya.

Ontologi berarti ilmu atau studi tentang keberadaan atau ada. Sedangkan
Dalam kamus Oxford, ontologi (ontology) merupakan sebuah cabang filsafat yang
berhubungan dengan inti keberadaan. Objek telaah ontologi adalah yang ada tidak

23
terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara
universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi
segala realitas dalam semua bentuknya.

Eskatologi Secara umum eskatologi merupakan keyakinan yang berkaitan


dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat,
berakhimya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan
akhir segala sesuatu. Namun demikian seperti dijelaskan di atas, bahwa harus
dibuat perbedaan yang jelas antara eskatologi individu dan eskatologi umum.
Eskatologi individu berkaitan dengan akhir dari manusia secara pribadi, yakni
akhir dari jiwa setelah kematian. eskatologi umum berkenaan dengan
transformasi yang lebih umum atau akhir dunia ini.

B. Saran
Kami menyarankan untuk lebih memperdalam lagi materi prihal cabang-
cabang Filsafat ini, karena kami yakin banyak sekali referensi yang lebih lengkap
dan juga lebih jelas.

24
DAFTAR PUSTAKA

Vardiansyah,Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi. (Jakarta : PT.INDEKS,2008) Cet.ke-


II Hal 17

Mircae Eliade (ed), "Eschatology: Islamic Eschatology", The Encyclopedia of


Religion (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), h. 155

Ahmad Syams ad-Din, al-Gazâlî: Hayatuhu, Asaruhu, Falsafatuhu, (Beirut: Dâr


al-Kutub al- Ilmiyyah, 1990), h. 93

Alan E. Bernstein, The Formation of Hell: Death and Retribution in The Anicient
and Early Christian Worlds, (Ithaca: Cornell Universty Press, 1993), h.3-4

Darwis Hude, et al., Cakrawala Ilmu dalam al-Qur'an. (Jakarta Pustaka Firdaus,
2002), Cet. Ke-1. h. 162

Musa,Asy'arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta :


LESFI,2002), Cet.ke-3, h. 239
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University,
1970), h. 135
G. M. Burge, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.mb
soft.com/ believe/text/eschatol.htm

Mircae Eliade (ed). Eschatology, The Encylopedia of Religion, (New York:


Macmillan Publishing Company,1987). H.152-153
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 216

25
Paul Edward (ed.), Eschatology. Encyclopedia of Philosophy, (New York:
Macmillan Publishing Co. Jac & The Free Press), Vol.3, h.48

P.J. Toner, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.ewtn.com/


library/HOMELIBR/05528B.TXT

Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan


tentang Hakekat Ilmu, (Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991), h.,7-8
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1998), h. 69.
Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), h. 30.
Anton Bakker, Ontologi dan Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-
Dasar 10 Kenyataan (Cet. VII: Yogyakarta: kanisius, 1997), h. 5
Jurnal Filsafat, Vol. 27 No. 2, Agustus 2017
Mudhofir, Ali, 2001, Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2010), hlm. 40-42

Mulyadi, M.Hum, 2020. (Filsafat Umum) Hal 2


Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 Hal 36

Rodric Firth, Encyclopedia Internasional, (Phippines: Gloria Incorperation)


19720, h. 105. 4
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1992), h.
15.

26

Anda mungkin juga menyukai