Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ALIRAN – ALIRAN DALAM FILSAFAT


(IDEALISME, EMPIRISME, RASIONALISME, POSITIVISME DAN KRITISME)

Mata kuliah : Filsafat Umum


Dosen Pengampu : M. Sauki,MA,. M.Ag

Disusun Oleh : kelompok 9


1. Luthfi Ummul Hasanah
2. Adhwa Kamilatul Afiyah

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
TAHUN 2023
Jln. Widarasari III Tuparev – Cirebon
KATA PENGANTAR

Puja serta puji syukur kita panjatkan pada Allah SWT Tuhan yang telah memberikan
rahmat, hidayah-Nya bagi kita semua sehingga kita semua dapat berkumpul dan berdiskusi pada
hari yang semoga dirahmati oleh Allah SWT ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tujuan dari pembentukan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak
dosen yang terkasih yaitu bapak M. Sauki,. MA,.M.Ag pada mata kuliah Filsafat Umum
Kami ingin mengucapkan terimakasih kepada bapak pengampu mata kuliah ini juga
selaku dosen yang telah memberikan kepada kami tugas ini sehingga kami dapat menambah ilmu
dari mempelajari makalah ini.
Namun kami hanya manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan
sehingga kami ingin meminta maaf jika hasil yang kami berikan kurang baik. Saran dan kritik
kami terima sepenuh hati dalam rangka membuat hasil kami lebih maksimal.
Demikianlah kata pengantar ini semoga pembaca dapat mendapat manfaat dari makalah ini
khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca. sekian dan terima kasih.

Cirebon, 20 september 2023

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ 2


DAFTAR ISI .................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 3
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
C. Tujuan ......................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 4
A. Pengertian Filsafat....................................................................... 5
B. Pengembangan Filsafat .............................................................. 6
C. Jenis aliran-aliran filsafat……….. 6

BAB III PENUTUP ................................................................................ 8

A. KESIMPULAN .......................................................................... 8
B. KESIMPULAN ...................................................... 8

2|Page
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara
persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi
falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu
yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi
sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju
sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan
sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Semenjak Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang
mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat; maka
semenjak itu pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian.
Dan lahirlah pada abad 18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan (theory of
knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber serta tatacara
untuk menggunakan sarana dan metode yang sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah.
Diselidiki pula evidensi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran
ilmiah, serta batas batas validitasnya.

Mula-mula filsafat berarti sifat seseorang berusaha menjadi bijak, selanjutnya filsafat
mulai menyempit yaitu lebih menekankan pada latihan berpikir untuk memenuhi kesenangan
intelektual (intelectual curiosity), juga filsafat pada masa ini ialah menjawab pertanyaan yang
tinggi yaitu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Secara terminologi filsafat banyak
diartikan oleh para ahli secara berbeda, perbedaan konotasi filsafat disebabkan oleh pengaruh
lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda serta akibat perkembangan filsafat itu sendiri
seperti; James melihat konotasi filsafat sebagai kumpulan pertanyaan yang tidak pernah terjawab
oleh sains secara memuaskan. Russel melihat filsafat pada sifatnya ialah usaha menjawab,
objeknya ultimate question. filsafat diartikan ingin mencapai pandai, cinta, pada kebijakan, dan
sebagai jenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Hasbullah Bakry mengatakan filsafat menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal
manusia dan bagiamana sikap manusia itu harus setelah mencapai pengetahuan itu, dan masih
banyak pendapat dari tokoh-tokoh lainnya.

3|Page
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan filsafat
2 .Apa macam aliran-aliran dalam filsafat

C. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk mengetahui tentang perkembangan filsafat.
2. Untuk mengetahui tentang macam-macam aliran dalam filsafat.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Filsafat secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa yaitu bahasa inggris dan
bahasa yunani. Dalam bahasa inggris yaitu “philosophy” sedangkan dalam bahasa yunani
“philien’ atau “philos” berarti cinta, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani,
philosophia:, Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of
wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno)
mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan
pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami perkembangan
sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti suatu pekerjaan
yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di
dalamnya etika).

Filsafat menempatkan pengetahuan sebagai sasaran, maka dengan demikian pengetahuan tidak
terlepas dari pendidikan. Jadi, filsafat sangat berpengaruh dalam aktifitas pendidikan seperti
manajemen pendidikan, perencanaan pendidikan, evaluasi pendidikan, dan lain-lain. Karena ada
pengaruh tersebut, maka dalam makalah ini mencoba untuk membahas tentang keterkaitan
paradigma aliran-aliran filsafat tersebut dengan kajian pendidikan khususnya manajemen
pendidikan.

B. Perkembangan Filsafat

4|Page
Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan mitos guna
menjelaskan fenomena alam. Perubahan pola pikir dari mitosentris menjadi logo-sentris
membuat manusia bisa membedakan kondisi riil dan ilusi, sehingga mampu ke-luar dari mitologi
dan memperoleh dasar pengetahuan ilmiah. Ini adalah titik awal ma-nusia menggunakan rasio
untuk meneliti serta mempertanyakan dirinya dan alam raya. Pertama, Filsafat kuno dan abad
pertengahan Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekat-an
rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam)
sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates, kajian difokuskan
pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik.

Pada abad pertengahan (abad 12–13) mulai dilakukan analisis rasional terha-dap sifat-sifat alam
dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah
satu filsufnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Kedua, Filsafat modern (abad 15 sampai
dengan sekarang) Berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan humanisme
sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham rasionalisme
menyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh dan menguji pengetahuan.

B. Jenis aliran-aliran filsafat

a. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisika hanya dapat di
pahami dalam kaitannya dengan jiwa roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu
yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern di
pelopori oleh J.G Fichte, Schelling dan hegel.
Idealisme mempunyai argument epistemologi tersendiri. Oleh karena itu,tokoh-tokoh teisme
yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis karena tidak
menggunakan argument epistemology yang digunakan oleh idealisme. Idealisme secara umum
selalu berhubungan dengan rasionalisme, ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan
bahwa pengetahuan apriori atau dedektif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan
rasioanalisme dalam epistemologi ialah empiris yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan
diperoleh melalui rasio (akal), melainkan melalui pengalaman empiris.orang-orang empiris amat
sulit menerima paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung kepada jiwa dan roh
karena pandangan itu melibatkan dogma metafisik.
Plato sering disebut sebagai seorang idealis sekalipun ideanya tidak khusus (spesifik) mental
tetapi lebih merupakan objek universal (mirip dengan definisi pada aristoteles,pengertian umum
pada Socrates) akan tetapi, ia sependapat dengan idealism modern yang mengajarkan bahwa
hakikat penampakan itu berwatak (khas) spiritual. Ini terlihat dengan jelas pada legenda manusia
guannya yang terkenal. Pandangan ini dikembangkan oleh Plotinus.
b. Empirisme

5|Page
Empirisme di ambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
Sebagai suatu doktrin, emprisme adalah lawan rasionalisme. ( Ahmad syadali 2004 : 116).
Rasionalisme meragukan semua pandangan empirisme. Demikian juga, sebaliknya empirisme
memandang rasionalisme penuh dengan subjektivitas dan sangat personalistik. Dalam keadaan
tersebut muncullah salah seorang filosof yang hendak mendamaikan keduanya, yaitu Immanuel
Kant. Immanuel Kant memandang memandang empirisme dan rasionalisme senantiasa berat
sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Ia mengatakan bahwa
pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.
Kant tidak menentang adanya akal murni. Ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas.
Akal murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat pancaindra.
Pengetahuan indrawi tidak dapat menjangkau hakikat objek, tidak sampai pada kebenaran
umum. Adapun kebenaran umum harus bebas dari pengalaman, artinya harus jelas dan pasti
dengan sendirinya (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959: 261-262).
Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positive logis (logical
positivisme) dan filsafat ludwig wittegenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu
harus di pahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jika dapat di
pahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pottern) jumlah yang
dapat di indra, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama (Ahmad syadali
2004:116)
Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi
manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio.
John locke salah seorang penganut empirisme, yang juga “Bapak empirisme” mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan, keadaan akalnya masih bersih. Pengetahuan baru muncul
ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai
kejadian dalam kehidupan. Selain John Locke, pada era modern muncul pula George barkeley
yang berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau idea datang dari pengalaman.
Oleh karena itu, tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman dan
idea tidak bersifat independen. Berbagai gejala fisikal akan di tangkap oleh indra dan
dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi
pengetahuan yang berupa fakta-fakta.
Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat, hingga melahirkan positivisme. Aliran ini di
perkenalkan oleh auguste comte dari keluarga pegawai negri yang beragama katholik. Karya
utama August Comte adalah Course de Philosphie Positive, yaitu “kursus tentang filsafat positif”
yang di terbitkan dalam enam jilid.
Juhaya S. Pradja menjelaskan bahwa positif atinya sama dengan faktual, yakni apa yang
didasarkan pada fakta-fakta . dengan demikian, imu pengetahuan empiris menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Teori kedua yaitu teori pengetahuan bahwa pengetahuan
berbasis pada pengalaman. Jika sekedar pemahaman teoretis belum menjadi pengetahuan yang
benar. Diantara tokoh dan pengikut aliran empirisme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes dan
John Locke.

6|Page
c. Rasionalisme
Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber penegtahuan, sedangkan
yang lainnya hanya memperkuat atau membantu memberi bahan-bahan pemikiran bagi akal.
Intuisi yang datang kepada manusia lebih banyak tidak rasional, baik itu berupa wahyu maupun
ilham dan jenis-jenis lainnya. Intuisi sifatnya personal, karena orang lain yang tidak
mengalaminya tidak dapat dikatakan sebagai pemegang pengetahuan intuitif. Demikian pula,
dengan wahyu, sifatnya personal. Apabila wahyu tersebut disampaikan kepada orang lain yang
tidak mengalaminya, tentu orang yang dimaksud tidak mengenalnya. Dengan demikian,
diterima-tidaknya berita dan penjelasan yang ditransferkan kepada orang lain oleh penerima
wahyu, bergantung pada rasionalitas si penerima. Oleh karena itu, secara filosofis, akal menajdi
sumber utama pengetahuan, sedangkan intuisi, meskipun wahyu, sifatnya personal dan
membutuhkan berbagai strategi dalam menyampaikan kepada orang lain agar memercayainya
sebagai kebenaran.
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang pada
kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang. Yang benar hanyalah
tindakan akal yang terang benderang yang disebutnya ideas claires el distinctes ( pikiran yang
terang benderang dan terpilah pilah ). Karena rasio saja yang di anggap sebagai sumber
kebenaran, aliran ini disebut rasionalisme.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Menurut aliran rasionalis
suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.
Para tokoh aliran rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Spinoza, dan Leibniz. Aliran
rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam
bidang agama, rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik
ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan
sering berguna dalam pemyusun teori pengetahuan. Hanya saja, empirisme menyatakan bahwa
pengetahuan di peroleh dengan jalan mengetahui objek empirisme, sedangkan rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir, pengetahuan dari empirisme
dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berpikir adalah kaidah-kaidah yang logis.
Rene Descartes (1569-1650) adalah tokoh utama rasionalisme yang menciptakan metode
“keraguan” terhadap segala sesuatu dalam berfilsafat. Descartes meragukan semua objek yang
dapat dilihat oleh pancaindra, bahkan pada tubuhnya sendiri. Karena apa yang dillihatnya ketika
sedang tersadar tidak berbeda dengan yang dilihatnya dalam mimpi, berhalusinasi, dan ilusi,
sehingga yang sebenarnya “ada” yang mana? Apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu
mengapa objek yang dilihatnya sama?
Akan tetapi, Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benar-benar meyakinkan
sehingga dengan memakai metode deduktif, semua pengetahuan dapat disimpulkan. Descartes
memahami rasio sebagai sejenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran
pengetahuan ditelusuri dengan penalaran logis yang bertumpu pada metode deduktif.

7|Page
Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Istilah modern
disini hanya digunakan untuk menunjukan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat
berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak utama
filsafat modern yang dimaksud di sini ialah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa
yunani kuno. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga di sebut bercorak
renaissance. Pada masa ini, rasionalisme yunani lahir kembali sebagai objek kajian yang harus
menarik untuk di amati.
Selain Descartes, penganut rasionalisme adalah Spinoza. Ia telah banyak menyusun system
filsafat yang menyerupai system ilmu ukur. Spinoza berpandangan bahwa argument-argumen
ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, jika
seseorang memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam dalil-dalil
ilmu ukur, ia mau tidak mau tentu akan memahami makna yang terkandung dalam pernyataan:
“Sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat diantara dua buah titik”, maka mau tidak mau
harus diakui kebenaran pernyataan tersebut. Sebagai kebenaran aksiomatik. Juhaya S. Pradja
(1997: 19) menjelaskan bahwa pada intinya tidak perlu ada bahan-bahan bukti lain, kecuali
makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan. Spinoza menetapkan defiinisi-
definisi berbagai istilah seperti “substansi” dan “sebab bagi dirinya sendiri”, dan berbagai dalil,
misalnya “apa yang ada, pasti ada”, yang kesemuanya itu dipandang sebagai kebenaran-
kebenaran yang tidak perlu lagi dibuktikan. Ia mencoba untuk menyimpulkan dari kebenaran-
kebenaran lain mengenai kenyataan, Tuhan, manusia, dan kebaikan.
d. Positivisme
Dalam perkembangannya positivisme terdiri dari positivisme social, positivisme evolusioner,
positivism kritis. Ketiga positivisme diatas dibahas dalam potivisme Auguste comte dilihat dari
analisa epistimologi dan nilai etisnya terhadap sains. Positivisme itu merupakan “system
afirmai” sebuah konsep tentang dunia dan manusia. Aguste comte telah menunjukkan bahwa
didalam perkembangan jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan
terdapar suatu kemajuan. Positivisme berakar pada empirisme. Positivisme adalah satu-satunya
pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Aguste comte adalah tokoh aliran positivisme. Pendapat aliran ini adalah indera amatlah penting
dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam
karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophic positive, yaitu kursus tentang filsafat
positif yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas disebutkan disini
adalah Discour Lésprit Positive (1844) yang artinya “Pembicaraan tentang Jiwa Positif”. Dalam
karya inilah, Comte menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positivis, hukum tiga stadia,
klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan, dan baganan dan kemajuan.
Positivisme berasal dari kata “positif.” kata positif disini sama artinya dengan faktual yaitu apa
yang berdasarkan fakta-fakta. Positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh
empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Positivism tidak menerima sumber
pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyakah mengandalkan fakta-fakta
belaka. Positivsme menolak pemahaman metafisika dan mitos-mitos irasional. Positivism selalu

8|Page
menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, yang bagi positivism
tidaklah mempunyai arti apa-apa.
Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan metode-metode
penelitian empiris yang dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum yang sudah
tersebar luas lingkungan ketka Comte hidup. Akan tetapi, kebanyakan kelompok positivis
berasal dari kalangan orangorang yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi-tradisi
irasional dan memperbarui mayarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional.
August Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya
lebih daripada sejadar jumlah bagian yang saling bergantung. Akan tetapi, untk memahami
kenyataan ini, metode penelitian empiris harus dipergunakan dengan keyakinan bahwa
masyarakat merupakan suatu bagian dari alam, seperti halnya gejala fisik. Andreski berpendapat,
pendirian Comte bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan memperoleh pengetahuan
tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu
alam lainnya merupakan sumbangannya yang tidak terhingga nilainya terhadap perkembangan
sosiologi.
Perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah merupakan puncak suatu
proses kemajuan intelektual yang logis melalui ilmu-ilmu yang sudah terlalui sebelumnya.
Kemajuan ini mencakup perkembangan, mulai dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba,
penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai pada terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
Sesungguhnya, salah satu tujuan utama Comte dari bukunya, Course of Positive philosophy
adalah menunjukkan kesatuan dengan menganalisis dasar-dasar filosofis dari semua ilmu, dari
matematika dan astronomi, sampai sosiologi. Menurut Comte, kesatuan ilmu memperlihatkan
hukum perkembangan intelektual yang sama, seperti tampak dalam perkembangan melalui tiga
tahap pemikiran, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Adapun gagasan dasar bahwa manusia dan
gejala social merupakan bagian dari alam dan dapat dianalisis dengan metode-metode ilmu alam,
memberikan suatu analisis komprehensif mengenai kesatuan filosofis dan metodologis yang
menjadi dasar ilmu-ilmu alam dan ilmu social.
Menurut August Comte, dalam fase teologis rasio, manusia mencari hakikat dan kodrat dasar
manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat –singkatnya,
pengetahuan absolut- mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari
hal-hal supernatural. Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan bentuk lain dari yang pertama
rasio mengandaikan bukan hal yang supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal
yang benar-benar nyata melekat pada semua benda, dan yang mampu menghasilkan semua
gejala. Dalam fase terakhir, yaitu fase positif, rasio manusia sudah meninggalkan pencarian yang
sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal, dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab
gejala dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukum alamiah, yaitu hubungan
urutan dan persamaannya yang tidak berubah.
Paul Jhonson menjelaskan bahwa gagasan evolusi perkembangan melalui tiga thap ini bukan
hanya milik Comte. Awal-awal rumusan Comte mengenai hukum 3 tahap dikembangkan selama
dia bekerja sama dengan Saint Simon, dan model dasar merupakan hasil kerja sama tersebut.

9|Page
Jacques Turgot mengemukakan suatu pandangan yang serupa mengenai perkembangan sejarah
dan bentuk-bentuk pemikiran primitive sampai bentuk-bentuk pemikiran ilmiah modern pada
abad ke-18. Secara luas, Comte menyistematisasi dan mengembangan model tersebut serta
mengaitkannya dengan memberi tekanan pada paham positif.
Tahap teologis merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia untuk analisis yang
lebih terperinci. Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme.
Fetisisme merupakan bentuk pikran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi
kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kehidupannya sendiri. Fetisisme ini
diganti dengan politeisme, yaitu kepercayaan akan sejumlah hal supernatural yang meskipun
berbeda dengan benda-benda alam, terus mengontrol semua gejala alam. Ketika pikiran manusia
terus maju, kepercayaan akan banyak diganti dengan monoteisme, yaitu kepercayaan akan satu
yang tertinggi. Katolisisme pada abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Paul Jhonson mengemukakan bahwa tahap metafisik merupakan tahap transisi antara tahap
teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang
asasi, yang dapat ditemukan dengan akal budi. Lalu, tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan
data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara
sifatnya, tidak mutlak. Semangat positivism memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus
terhadap data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi
penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisis
rasional mengenai data empiris akhirnya memungkinkan manusia untuk memp[eroleh hukum-
hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan
metafisik. Dalam bukunya, Course of positive philosophy, ia mengatakan bahwa cara-cara
berpikir prapositif lebih rendah daripada cara-cara berpikir positif modern. Tahap-tahap yang
terdahulu memperlihatkan sumbangan yang bernilai terhadap keteraturan social manakala cara-
cara berpikir itu dominan, dan dalam jangka panjang menyumbang perkembangan pemikiran
umat manusia yang terus-menerus. Dalam penilaian ini, Comte sama dengan kelompok progresif
yang siap untuk menghapuskan sebagian sejarah pemkiran manusia sebagai sebuah cerita
dongeng bohong yang menyedihkan, atau takhayul demi takhayul yang pengaruh kumulatifnya
menghalangi perkembangan manusia.
Cepatnya perubahan dari satu tahap intelektual ke tahap berikutnya berbeda dalam periode
sejarah yang berbeda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi apabila
consensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-pandangan relatif tinggi. Organisasi social,
struktur politik, cita-cita moral, dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat saling
kebergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya, periode-periode ketika terjadi perubahan
yang pesat persyaratan itu, hal tersebut tidak dinamakan dengan eksistensi. Manusia yang
meyakini keberadaan yang tidak nyata adalah manusia yang rasionya masih dijajah oleh
pemahaman mitologis atau metafisik, sementara pemahaman teologis bersifat spekulatif yang
merupakan masa pencarian kebenaran manusia. Manusia akhirnya hanya akan mengakui bahwa
yang benar adalah yang positif, factual, dan realistis.
e. Kritisisme

10 | P a g e
Munculnya rasionalisme dan empirisme menjadi indicator lahirlah periode modern dalam
alam pikiran Barat. Masing-masing ingin menang sendiri, rasionalisme meragukan semua
pandangan empirisme. Demikian juga, sebaliknya empirisme memandang rasionalisme penuh
subjektivitas dan sangat personalistik.
Menurut Immanuel Kant, dalam membentuk argumen-argumen, akal akan dipandu oleh tiga
ide transedental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, yakni ide yang menyatukan segala gejala
lahiriah, yaitu ide dunia dan ide tentang tuhan. Ketiga ide tersebut bersifat apriori dan
transcendental. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide jiwa”menyatakan dan
mendasari segala gejala batiniah, merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam
bidang gejala psikis. “Ide dunia” menyatakan segala gejala jasmaniah, sedangkan “ide tuhan”
mendasari segala gejala, segala yang ada, baik yang batiniah maupun yang lahiriah (Ahmad
Tafsir, 2005: 150-151, lihat Mircea Eliade, t.t. : 247).
Filsafat ini memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio
sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak
filsafat modern sebelumnya yang memercayai kemampuan rasio secara mutlak. Immanuel Kant
mengutarakan teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut didasarkan pada tiga
pertanyaan, yaitu: (1) Apa yang saya dapat ketahui? (2) Apa yang harus saya lakukan? (3) Apa
yang boleh saya harapkan ? Tiga pertanyaan tersebut dapat tercirikan pada tiga pandangan Kant,
yaitu:
1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2. Pengenalan manusia atas sesuatu; itu diperoleh atas dasar apriori;
3. Menegaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
unsur apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori
yang berasal dari pengalaman yang berupa materi (Juhaya S. Pradja, 1997: 76-77).
Dengan kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan
pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya apriori-nya tetapi
juga aposteriori, bukan hanya pada rasio, melainkan juga pada hasil indrawi. Immanuel Kant
memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar “pasti”, arti menolak aliran skeptisisme yang
menyatakan tidak adanya pengetahuan yang pasti.
Kehidupannya sebagai filosof dibagi mejadi dua periode : zaman prakritis dan zaman kritis.
pada zaman pra-kritis, ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh wolff dkk. Akan
tetapi, karena terpengaruh oleh hume, berangsur-amgsur kant meninggalkan rasionalisme. Pada
zaman kritisnya, kant mengubah wajib filsafat secara radikal. Ia menanamkan filsafatnya dengan
kritisme serta mempertanggungkan nya dengan dogmatism. ( Juhaya S. Pradja).
Karyanya yang terkenal dan menampakkan kritisisme ialah: kritik der reinen vernunft reason
dan critique of pure reason yang membicarakkan reason dan the knowing process yang
ditulisnya selama lima belas tahun.

11 | P a g e
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aliran-aliran filsafat memiliki
banyak kaitan dengan ilmu pengetahuan, terutama aliran rasionalisme, aliran positivism, dan
aliran empirisme.

Aliran idealisme memandang realitas yang terlihat sebagai sesuatu yang tidak begitu
penting. Mereka hanya akan menerimanya jika realitas tersebut dihubungkan dengan ide-ide.
Walaupun begitu, pemikiran idealisme ini adalah pemikiran yang paling bisa diterima oleh para
tokoh atau filsuf. Selanjutnya, aliran empirisme memandang bahwa pengetahuan ini bukanlah
ada pada kita, akan tetapi ada diluar diri kita, dan datang kepada kita melalui pancaindra. Lalu,
aliran rasionalisme memandang bahwa akal pikiran atau rasio adalah sebagai dasar pengetahuan
manusia. Aliran positivisme memandang bahwa pengetahuan ini lebih memberi tekanan pada
fakta, kepada bukti-bukti yang konkrit ke sesuatu yang diverifikasi. Sedangkan aliran kritisisme
adalah aliran yang lahir dari hasil kritisi kedua aliran yaitu aliran rasionalisme dan aliran
empirisme.

12 | P a g e
13 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai